Bab 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi-pagi sekali, rumah Eric yang biasanya sunyi berubah ramai sehingga membuat pasangan yang masih tertidur lelap terganggu.

"Mas, ada apaan sih?" tanya Uri dengan mata yang hanya 30% terbuka.

Bukannya menjawab, Eric malah menimpa tubuh Uri dan kembali memeluknya. Semalam mereka melakukannya lagi hingga subuh menyapa dan pagi harinya mereka kelelahan.

Karena hari ini adalah hari Minggu, Eric memutuskan untuk beristirahat penuh di kamar bersama Uri. Namun, perempuan itu tidak berpikir hal yang sama dan langsung menjauhkan tubuh Eric.

Uri bangun dari tidurnya dan mengambil bajunya yang berserakan. Dengan cepat dia memakai baju dan keluar dari kamar, menuju lantai satu.

Matanya menemukan sosok perempuan dengan kacamata hitam masuk ke dalam rumahnya. "Maaf, Mbak siapa ya?" tanya Uri dengan hati-hati, dia tidak tau siapa perempuan di hadapannya ini.

"Harusnya, saya yang bertanya, kamu siap," jawab perempuan itu sembari membuka kacamata hitamnya.

"Saya Uri," jelas Uri singkat dan seperti mendapatkan jackpot, perempuan dihadapan Uri langsung tersentak.

"Oh, kamu simpanannya Eric?" tanya perempuan itu yang dengan ragu dijawab anggukan oleh Uri, dia sendiri kurang yakin dengan posisinya. Karena sekarang status dia adalah istri kedua. "Tolong bilang ke Eric, istrinya sudah datang."

Setelah berbicara, perempuan yang ternyata adalah Lona itu langsung berjalan naik ke lantai dua. Di sana, memang ada beberapa kamar termasuk kamarnya dengan Eric.

Di tengah kebingungan Uri, Dina pun datang dan mengejutkannya perempuan itu. "Mbak, jangan ngelamun gitu dong."

"Eh iya, maaf." Uri tersenyum kaku menanggapi ucapan Dina, dia tidak menyangka akan bertemu dengan istri Eric dengan pakaian mini seperti itu. Uri yakin, Lona akan berpikir buruk padanya. "Hmm, aku ke kamar dulu ya bangunin Mas Eric."

"Iya, Mbak."

Uri bergegas pergi ke kamarnya dan sesekali memperhatikan kamar lain, dia cukup penasaran dengan letak kamar Lona. Sayangnya setelah cukup lama memperhatikan, Uri tak kunjung mendapat jawaban dan langsung masuk ke kamar.

Saat masuk, Uri menemukan Eric masih tertidur di kasur dan membuatnya sedikit kesal. Perempuan itu naik ke atas kasur dan menepuk pundak Eric beberapa kali. "Mas, ayo bangun, Mas," ucap Uri dengan nada memohon.

Sama seperti sebelumnya, Eric tidak menjawab dan malah menarik Uri untuk kembali tidur. Namun, perempuan itu menolak. "Ih, aku nggak mau tidur lagi!"

"Terus, kamu maunya apa sayang?" tanya Eric dengan mata yang masih tertutup rapat.

"Bangun dulu, aku pengen ngomong sesuatu."

Karena tak tahan dengan rengekan Uri, Eric perlahan membuka matanya dan menatap Uri yang tengah cemberut duduk di sisinya. Pria itu kemudian mengelus pipi Uri dengan lembut. "Ada apa?"

"Istri Mas udah pulang," jelas Uri singkat.

"Terus kenapa?"

"Dia suruh aku bilang ke Mas."

"Ya udah sih, yang penting dia udah pulang. Saya masih ngantuk." Eric mencoba untuk kembali tidur, tetapi Uri menahannya dengan menarik tangan pria itu.

"Bangun! Aku bilang bangun, Mas!"

Dengan terpaksa, Eric bangun dari tidurnya dan ikut duduk seperti Uri. "Nih, saya udah bangun."

"Ya udah, mandi sekarang," perintah Uri yang langsung membuat Eric menatapnya dari atas hingga bawah.

"Kamu memangnya sudah mandi?" tanya pria itu dan Uri menggeleng pelan. "Ya udah, kita mandi bareng aja."

Tanpa aba-aba, Eric mengangkat tubuh Uri dan membawanya ke dalam kamar mandi. Mereka pun mandi bersama walau setelah itu Uri merajuk pada Eric.

"Saya minta maaf ya, sayang," bujuk Eric sembari mendekati Uri yang terus menjauh darinya.

"Nggak mau! Mas jahat!"

Uri marah bukan tanpa alasan, Eric tak sengaja membenturkan kepala perempuan itu ke shower saat akan mandi tadi.

"Saya kan nggak sengaja," balas Eric dengan wajah penuh rasa bersalah.

Di tengah kegiatan Eric membujuk Uri, tiba-tiba kamar mereka diketuk dari luar dan Eric langsung mendecih pelan. Siapa sih, nggak tau apa lagi ada masalah di sini.

Walau sedikit kesal, Eric tetap berjalan menuju pintu kamarnya dan membukanya secara perlahan. Matanya bertemu dengan pelaku yang mengetuk pintu mereka dan dia adalah Lona.

"Sorry ganggu waktu kalian, tapi saya butuh suami saya," ucap Lona dengan tatapan tertuju pada Uri sembari menarik tangan Eric untuk pergi bersamanya.

Selama Eric bersama dengan Lona, Uri hanya menunggu di kamar dengan perasaan gelisah. Dia takut sikap Eric akan berubah setelah ini atau bahkan mengusirnya, dia sudah tidak memiliki apa-apa dan tempat untuk pulang.

Setelah lama menunggu, pintu kamar Uri tiba-tiba terbuka dan perempuan itu langsung bangun dari duduknya. Orang yang baru saja masuk bukanlah Eric, melainkan Dina. Perempuan itu mendekat ke arah Uri dengan senyum kaku yang entah apa artinya.

"Maaf Mbak, saya disuruh buat panggil Mbak sama Mas Eric. Ada yang beliau ingin bicarakan, sekarang Mas Eric lagi ada di ruang keluarga," jelas Dina dengan hati-hati dan Uri langsung mengangguk pelan.

Perempuan itu segera keluar dari kamarnya dan bergegas pergi ke tempat yang dimaksud. Dari kejauhan, Uri sudah melihat sosok Eric dan Lona yang sama-sama terdiam dengan wajah serius.

Saat melihat Uri, Eric langsung memanggilnya dan menyuruh perempuan itu untuk duduk di sisinya. "Duduk sini."

Eric menepuk sisi sofa yang kosong dan dengan hati-hati, Uri duduk di sana tepat di sisi Eric.

Di sofa lain, Lona terus memperhatikannya dengan tatapan tajam. Uri tidak bisa menghindari hal itu sehingga memutuskan untuk menatap Eric yang tersenyum ke arahnya.

"Jadi, saya langsung to the point aja ya. Dia Gauri Elina, sering dipanggil Uri. Dia sekarang sudah sah jadi istri kedua saya, setelah kamu," jelas Eric sembari menatap Lona yang langsung mendengus kesal.

"Gimana bisa kalian nikah tanpa persetujuan saya!" bentak Lona dengan suara yang meninggi.

"Kamu sendiri yang nggak mau untuk saya ceraikan, jadi kenapa tidak untuk saya menikahi perempuan lain."

"Mas ... ."

"Saya nggak butuh penolakan dari kamu. Lagipula saya tau, selama ini kamu selingkuh kan di belakang saya."

Ucapan santai yang Eric keluarkan berhasil membuat Lona mematung, dia tidak bisa memberi pembelaan apapun karena memang apa yang dikatakan Eric adalah sebuah kebenaran.

"Saya juga tau, kamu liburan kemarin sama dia. Saya nggak mempermasalahkan itu, silakan kamu dengan dia dan saya dengan Uri."

Tatapan Eric beralih pada Uri yang kini dia rangkul dengan erat, perasaan Uri masih sama seperti sebelumnya gelisah dan tidak tau harus melakukan apa.

"Tapi, Mas ... ."

"Apa lagi yang kamu permasalahankan?" potong Eric dengan sedikit kesal.

"Gimana dengan keluarga kita?"

Pertanyaan Lona berhasil membuat Eric tertawa mengejek. Uri yang tidak paham dengan situasi saat ini langsung mengerutkan dahinya.

"Kamu sendiri tau bagaimana keluarga saya, saya juga tau bagaimana keluarga kamu. Kita menikah juga karena bisnis kan, jadi tidak perlu memaksa hal yang sebenarnya tidak perlu. Kamu sendiri tau bahwa semua saudara saya memiliki pasangan lebih dari satu. Apakah kamu melupakan itu?"

Lagi, ucapan Eric lagi-lagi membuat Uri terkejut. Dia pikir, hanya dia yang menjadi orang kedua di keluarga ini sehingga rasa bersalahnya terus menghantui. Namun ternyata tidak, dia bukanlah satu-satunya.

Karena tak kunjung mendapat jawaban, Eric langsung bangun dari duduknya dan bersiap untuk pergi.

"Sudahlah, tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Kalau kamu memang tidak menyukai Uri, kamu bisa gugat saya dan kita langsung bercerai. Tapi ingat, jangan bawa-bawa Uri dalam masalah ini. Saya bisa menghancurkan perusahaan ayah kamu dalam hitungan detik."

Setelah memberi peringatan, Eric menyodorkan tangannya untuk Uri genggam dan mengajaknya kembali ke kamar.

Sesampai di kamar, Uri hanya bisa terdiam di atas kasur dengan Eric yang sibuk memainkan ponsel.

"Kamu kenapa sayang?" tanya Eric dengan lembut, pria itu kemudian membawa Uri ke dalam pelukannya. Namun, tetap fokus pada apa yang dia lihat di ponsel.

"Aku nggak enak sama Mbak Lona, Mas," cicit Uri pelan, dia masih ingat raut wajah Lona yang begitu menyedihkan tadi.

"Udahlah, nggak usah dipikirin. Yang penting kalau dia macem-macem kamu langsung bilang ke saya ya."

Walau sedikit ragu, Uri tetap menganggukkan kepalanya. Perempuan itu kemudian ikut fokus membaca beberapa pesan yang Eric kirimkan kepada seseorang.

"Mas mau keluar kota?" tanya Uri setelah membaca beberapa pesan di dalam ponsel Eric.

"Iya, kenapa?"

"Yah, aku ditinggal dong."

Raut wajah Uri berubah sedih saat menyadari bahwa dirinya akan berjauhan dengan Eric walau tak tau untuk berapa lama. Dia hanya takut jika tidak dekat dengan pria itu apalagi sekarang Lona sudah pulang.

"Kamu mau ikut?" tanya Eric yang langsung dibalas anggukan oleh Uri. "Ya udah, ikut aja."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro