Bab 2. Pertemanan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lily mempersiapkan diri melakukan kegiatan paginya seperti biasa. Sejak orang tuanya tiada, gadis itu memutuskan untuk bekerja di kafe milik Bang Farrel sekaligus melanjutkan pendidikan kuliahnya. Lily ingin selalu sibuk menghabiskan waktu agar dia tidak terjebak dalam kenangan dan kesedihannya saat berada di rumah.

Farrel adalah seorang barista. Kecintaan dan hobinya meracik minuman membuatnya belajar dan bekerja keras hingga setelah lulus dari pendidikan S1-nya, dia mampu mendirikan sebuah kafe miliknya sendiri. Membuat sang ayah sangat bangga saat itu karena Farrel telah membuktikan kemampuan dan tekadnya membuka sebuah usaha mandiri tanpa melibatkan orang tua.

"Kak, berangkat dulu, ya," pamit Lily pada Ares yang masih tiduran di sofa setelah pulang dari jaga malamnya. Ah, satu lagi tentang tiga saudara ini, yaitu Ares yang merupakan seorang dokter umum di salah satu rumah sakit ternama di kota.

"Nggak bareng Bang Farrel?" tanya Ares melirik Lily yang mengambil kunci mobil di atas rak di ruang tengah.

"Nggak, Lily duluan aja. Mau mampir ke supermarket sebentar." Adiknya itu berjalan menuju mobil Fortuner hitam di garasi, lalu berangkat.

Kebetulan hari ini Lily tidak ada jadwal kuliah sehingga dia bisa menghabiskan waktu seharian di kafe. Sebenarnya, Lily tetap melakukan aktivitas seperti gadis-gadis yang lain saat di luar rumah, tetapi saat sendirian dia akan lebih sering melamun dan linglung. Perasaan Lily tidak bisa berbunga-bunga lagi karena dia merasa ada bagian yang hilang dari hidupnya. Kini, dia merasa seperti menatap dunia dari sudut pandang yang berbeda.

Lily tidak semanja yang kalian bayangkan, dia juga bukan gadis cengeng, hanya saja sebagai anak bungsu dalam keluarga yang selama ini berlimpah kasih sayang, dia yang terbiasa dengan kehangatan dan kebahagiaan keluarga kini merasakan kesepian.

Berapa kali pun dia memikirkannya, tetap saja itu menyedihkan dan menyakitkan.

Lily melirik ponsel yang menyala di bangku samping kemudi. Segera ia meraih handsfree untuk menjawab panggilan itu.

"Hai, Del, nggak biasanya jam segini telepon. Ada apa?" tanya Lily pada Adel—sahabatnya sejak kecil yang kini juga membagi kuliahnya sambil bekerja di sebuah kantor firma hukum—to the point.

"Nanti makan siang bareng, yuk? Aku ada kenalan, nih, buat kamu."

Gadis itu merotasikan bola matanya, jengah mendengar ucapan sahabatnya itu.

"Kenapa, sih, itu lagi yang dibahas? Kamu nggak bosen jodohin aku mulu?" tanyanya.

"Enggaklah, aku, kan, hanya ingin yang terbaik untuk sahabatku ini. Aku, tuh, kasian kamu jomblo terus sejak putus dari Wisnu pas SMA dulu. Seenggaknya, kamu harus menemukan pasangan baru dan berbahagia."

Tawanya yang menyebalkan di seberang sana membuat Lily ingin menghampiri dan mengacak-acak wajah sahabatnya yang cantik itu.

"Nggak, deh, banyak kerjaan. Lagi pula ini masih jam sembilan, kafe juga sebentar lagi buka dan aku masih harus belanja beberapa keperluan untuk kafe." Lily berusaha menolak permintaan Adel.

"Ya, udah, kuajak orangnya ke kafe, ya."

"Adel, please ... aku males banget, lagi pula nggak enak sama Bang Farrel."

"Tapi, aku udah terlanjur bikin janji sama orangnya. Paling nggak coba ketemu aja dulu. Nanti aku yang ngomong sama Bang Farrel, deh," bujuknya setengah memaksa.

"Terserah."

Lagi-lagi Lily pasrah dengan apa pun yang Adel lakukan. Dia selalu saja berhasil membuatnya menuruti keinginannya. Meski sering ribut, mereka tetap berteman baik.

***

Siang itu—tepat pukul 12—, Adel datang ke kafe bersama dua laki-laki dan satu perempuan. Salah satu dari laki-laki itu mungkin akan diperkenalkan pada Lily.

"Hai, Ly!" teriaknya ceria di tengah ramainya tamu kafe di saat jam makan siang seperti ini.

Setelah menunjuk meja yang memang sudah disiapkan, Lily berjalan menyusul untuk menemui Adel dan teman-temannya.

"Kenalin, nih, sahabat yang paling baik dan aku sayang—Lily," ucapnya kelewat ceria.

Si pemilik nama menjabat tangan mereka satu per satu dan menyunggingkan seulas senyum.

"Arya," ucap laki-laki dengan kemeja biru mudanya, good looking itu kesan pertamanya secara fisik.

"Errika." Gadis yang lumayan cantik dan terlihat seperti model iklan kosmetik itu memperkenalkan diri.

"Erlangga," ucap seorang laki-laki dengan wajah yang mirip artis drama Korea yang sering Lily tonton dengan senyum ramah mengembang di wajahnya.

"Lily," ucapnya membalas perkenalan mereka.

Setelah memesan espresso, cappuccino, milkshake, dan beberapa snack, Lily ikut duduk di sana untuk sekadar basa-basi, menghargai usaha Adel yang dengan baik hatinya selalu menjebaknya dalam situasi kencan buta seperti ini.

"Jadi, kamu kerja di sini?" tanya laki-laki yang bernama Erlangga.

"Dia itu ...." Belum sempat meneruskan ucapannya, Adel merasakan kakinya diinjak di bawah meja bersamaan dengan tatapan serupa mata elang dari Lily.

"Ya, aku kerja di sini. Part time, sih, kuliah juga soalnya," jawab gadis itu meneruskan jawaban Adel. Sedikit berbohong, sih.

Adel hanya memandang Lily dengan cengiran menyebalkannya. Selama ini Lily selalu melarang Adel untuk memberikan informasi pribadi pada siapa pun yang ingin diperkenalkan padanya.

Bukan apa-apa, hanya saja Lily risih dan tidak suka ketika orang lain menilainya dari status yang dia miliki. Ya, meskipun di sini perannya hanya seorang adik yang kadang ikut meng-handle kafe sang kakak. Terkadang, dia juga mendengar embel-embel 'anak dari Dokter Yudhistira' atau 'adik dari Dokter Ares'.

Lily tidak mau orang lain menganggapnya hanya mendompleng kesuksesan karir keluarga.

"Kita ganggu kerjaan kamu, dong?" tanya laki-laki bernama Arya.

"Nggak, kok, aku udah minta izin sama 'bos' tadi," jawab Lily sekenanya.

"Hebat, ya,. kamu bisa membagi waktu antara pendidikan dan pekerjaan." Erlangga mengucapkannya dengan senyum ramah yang masih tersungging di bibirnya.

Sayangnya, timing-nya tidak tepat. Farrel yang baru saja datang tiba-tiba berjalan menghampiri mereka setelah melihat Adel bersama adiknya.

"Ada tamu, ya? Kok, nggak bilang-bilang mau kesini, Del? Lama nggak ketemu," sapa Farrel tersenyum pada Adel seperti biasanya.

"Eh, iya, Bang. Ini tadi mampir sama temen-temen," jawab Adel asal karena sudah dipelototi oleh Lily.

"Oh, makan siang, ya? Kita ada menu baru, loh! Udah ditawarin belum, Ly?" tanya Farrel.

"Udah pesen, kok, tadi."

"Sip! Kalau gitu saya masuk ke dalam dulu, ya, Del. Enjoy it!" Tanpa berlama-lama, Farrel pergi menuju ruangannya di lantai dua.

Lily menghela lega karena tidak perlu menjelaskan 'ini itu' pada kakaknya.

"Itu tadi siapa, Del? Kok, akrab banget sama kamu?" tanya Errika yang terlihat penasaran.

"Dia pemilik kafe ini. Ganteng, 'kan?" jawab Adel, membuat Lily ingin mencubit lengannya dengan keras hingga sahabatnya itu diam.

"Pemilik kafe? Masih muda, ya," sahut Arya.

"Kok, akrab banget, emangnya kamu udah kenal?" tanya Errika lagi.

"Oh, itu, kan, ... karena sering ke sini dan nyamperin Lily. Jadi, udah akrab," jawab Adel tergagap karena harus mengarang alasan.

"Oh, ganteng banget! Kalo masih single kenalin sama aku, dong." Errika senyum-senyum ke Adel, dan Lily seketika melirik Adel dengan tatapan kesal.

Awas aja, Del.

Setelah 1 jam berlalu, akhirnya acara kenalan yang dirancang oleh Adel, berakhir. Lily bisa bernapas lega meskipun sebelumnya Adel memaksanya bertukar nomor ponsel dengan Erlangga dan Arya.

***

Sekarang malam Minggu. Sudah pasti lebih ramai pengunjung karena ada pertunjukan live music di kafe.

Biasanya Farrel akan stand by sampai kafe tutup tengah malam, tetapi hari ini dia ada urusan mendadak untuk pembelian biji kopi baru. Jadilah Lily yang menggantikan Farrel stand by sampai kafe tutup jam 11 malam.

"I'm so sorry, my little sister. Nanti Abang kasih komisi lembur, ya," ucap Farrel yang terlihat bersalah karena harus membuat adiknya pulang lebih malam. Biasanya jam 9 Lily sudah disuruh pulang.

"Nggak apa-apa, kok, Bang, 'kan jarang Lily di sini sampai larut malam, lagi pula anggap aja malam mingguan," jawabnya menyunggingkan seulas senyum melihat wajah Farrel yang tidak tega meninggalkannya.

"Tapi Abang bikin kamu jadi pulang malam banget, Ly. Nanti biar dijemput sama Ares deh."

"Nggak usah, 'kan Lily tadi bawa mobil sendiri," sanggah Lily, ia tertawa kecil melihat kakaknya yang protektif ini, Farrel merasa adiknya itu belum sembuh dari sakit depresinya sehingga tidak tega untuk dibiarkan pulang sendirian di tengah malam.

"Ya, udah, Abang pergi. Nanti Abang tetep minta Ares jemput."

"Nggak perlu, Lily sendirian aja."

"Pandu! Nitip adik kesayangan saya, ya! Kalo ada apa-apa hubungi saya segera!" teriak Farrel pada Pandu, bartender yang bertanggung jawab di kafe.

"Siap, Bos!" sahut Pandu yang nyengir dan memberikan tanda jempolnya pada Farrel.

.

.

.

Pukul 23.00, kafe sudah hampir tutup dan hanya menunggu tamu di dua meja yang sepertinya beberapa anak muda sedang kumpul-kumpul.

Saat ini, Lily bersama Sherly—karyawati bagian kasir yang sedang menyelesaikan laporan penjualannya—ketika tamu dari meja itu datang untuk membayar.

"Berapa, Mbak, semuanya?"

"Ini bill-nya, silakan!"

"Bayar pake card aja, Mbak."

Lily menunggu transaksi Sherly sambil membereskan barang-barang di laci meja kasir.

"Lily?"

Seketika gadis itu menoleh untuk melihat orang yang memanggil namanya. Suara yang tidak asing di telinga gadis itu.

"Oh ...."

"Oh, my God! Beneran kamu Lily, 'kan? Udah lama nggak ketemu!"

Lily terdiam menatap sosok pemuda di hadapannya. Setelah sekian lama, mengapa sekarang orang ini muncul lagi di hadapannya?

"Kamu masih ingat aku,'kan, Ly?"

"Ah, iya. Apa kabar, Wisnu?" jawab Lily pada akhirnya setelah terdiam cukup lama karena seketika otaknya berhenti berpikir saat melihat sosok mantan kekasihnya itu.

"Nggak nyangka akan ketemu kamu di sini. Kamu kerja di sini?" tanya Wisnu lagi masih dengan suaranya yang ramah dan menyenangkan.

"Ya, aku kerja di sini," jawab Lily seadanya dan berharap ini tidak akan memakan waktu lama untuk pemuda di hadapannya itu mengajaknya bicara.

"Eh, aku bisa ngobrol sama kamu nggak? Kamu ada waktu 'kan, ada yang perlu aku jelasin sama kamu tentang kejadian yang dulu ...." Pemuda itu berhenti bicara saat Lily mendongak menatapnya.

"Aku nggak bermaksud mengungkit, hanya saja aku ...."

"Lain kali aja ya, Wisnu, kafenya juga udah mau tutup," jawab Lily cepat. Dia tidak mau mendengar apa pun lebih banyak dari pemuda itu sekarang.

"Oke, berarti kamu janji mau ngobrol sama aku 'kan lain kali?" tanyanya penuh harap dan masih dengan seulas senyum di sudut bibirnya.

Lily sesaat menimbang apa yang harus dia katakan sebelum akhirnya mengangguk.

"Oke, see you next time. Btw, thanks ya, Ly," Wisnu pun kemudian berlalu meninggalkan kafe setelah melemparkan senyum manisnya pada Lily.

Seperti yang kalian tahu dari ucapan Adel sebelumnya. Wisnu adalah orang yang pernah menjadi kekasih Lily, masa yang indah saat gadis itu memasuki awal SMA empat tahun yang lalu. Bisa dikatakan dia adalah pacar pertamanya. Wisnu adalah orang yang baik, supel, pintar, dan wajahnya cukup tampan. Keduanya sering bertemu setelah bergabung dalam organisasi kesiswaan sekolah.

Lily menyukai sikapnya yang ramah pada semua orang. Mereka berada di kelas yang berbeda, tetapi selalu bisa bertemu. Bahkan, semangat belajar Lily semakin meningkat bila bersama Wisnu. Begitu juga dengan prestasinya yang menjulang setelah mereka kerap kali belajar bersama. Poin plus ketika kamu berpacaran dengan siswa yang rajin dan pintar. Terlebih Lily juga bukan gadis yang bodoh, dia cukup pintar untuk selalu berada di posisi tiga besar peringkat kelas.

Menyenangkan, itulah yang Lily ingat hingga saat sebelum ujian akhir sekolah, Wisnu memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Lily sempat bertanya alasannya, tetapi pemuda itu tak pernah menjawab. Bahkan yang lebih buruk dari itu, dia tiba-tiba menghindar tanpa memberi alasan yang jelas.

Saat itu, Lily mendengar Wisnu memiliki pacar baru—seorang adik kelas—gadis pemandu sorak—yang tentu saja sering bertemu dengannya. Wisnu adalah kapten tim basket andalan sekolah mereka. Ya, Lily merasakan sakit hati untuk pertama kali dan mungkin yang terakhir karena mereka tidak memiliki hubungan lagi. Tiga tahun berpacaran dengan Wisnu lalu putus tepat sebelum ujian, juga kejadian buruk di hari kelulusannya membuat Lily merasa bahwa dunia terlalu jahat padanya.

Sungguh, untuk saat ini pun, dia tidak bisa benar-benar merasa bahagia.

Apalagi, bila harus menjawab tanda tanya besar yang kini hadir di benak Lily.

Setelah lama tidak terlihat, mengapa baru sekarang Wisnu muncul di hadapannya?

.
.
.

Bersambung.
.
.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro