Bab 9. Keputusan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.
Happy reading! 💕

Setelah hampir 1 bulan berada di Rumah sakit, Lily akhirnya diperbolehkan pulang. Gadis itu merasa lega bisa kembali ke rumah meskipun sekarang Farrel tidak mengizinkannya untuk kembali bekerja di kafe, begitu juga dengan Ares yang lebih cerewet merawatnya di rumah. Keduanya bahkan rela datang ke kampus Lily hanya untuk mendapatkan izin agar sang adik bisa mendapatkan libur lebih lama.

Segala hal baik yang dirasakan olehnya sekarang, tentu saja tak lepas dari rasa bersalahnya kepada Raga. Pemuda itu sudah keluar dari Rumah sakit seminggu sebelumnya. Lily tidak sempat menemuinya, tetapi dia berhasil mendapatkan alamat rumah pemuda itu.

Lily berada di kamarnya ditemani oleh Adel yang baru pulang dari urusan keluarganya di Bandung selama 3 minggu. Sekarang dia sedang menangis tersedu-sedu dan mengomel panjang lebar karena tidak tahu tentang kecelakaan yang dialami sahabatnya itu.

"Aku nggak menyangka kalo kamu akan mengalami nasib setragis ini, Ly, dan ini semua gara-gara Wisnu, si Muka Badak yang nggak tahu malu itu!" rutuknya kesal hingga mau tidak mau Lily tersenyum mendengar omelan Adel tentang Wisnu.

"Kenapa ketawa?" gerutunya kesal.

"Bagaimana bisa kamu nangis-nangis terus marah sambil ngomelin orang begitu," jawab Lily dengan tersenyum.

"Aku tuh jengkel banget sama makhluk bernama Wisnu! Pokoknya aku nggak akan mengampuni dia, awas aja kalo ketemu!" Adel masih bersungut-sungut marah sembari mengelap ingus dari hidungnya.

"Del, lupain dulu emosi kamu. Sekarang ada hal yang membuatku merasa nggak nyaman." Lily kini menatap sahabatnya itu serius.

"Apa? Soal Wisnu? Tenang aja, aku akan ...."

"Bukan itu. Ini tentang Raga, aku nggak bisa tenang sedikit pun mengingat keadaan dia yang sekarang."

"Kamu merasa bersalah?"

"Iya, karena ini memang salahku yang malah membuat orang lain menderita."

"Ini kecelakaan, Ly, jangan menyalahkan diri seperti itu." Adel menggenggam tangan sahabatnya itu, tersenyum menenangkan.

"Aku tahu, tapi dia kehilangan hal besar yang nggak sebanding dengan alasanku yang bodoh malam itu. Seseorang harus kehilangan penglihatan karena kecerobohanku. Aku merasa bersalah, Del."

"Kamu sudah datang dan minta maaf ke dia atau keluarganya?" tanya Adel, Lily mengangguk pelan dengan raut wajah murung.

"Lalu, apa masalahnya?"

"Awalnya, aku hanya berani melihatnya dari jauh sampai aku bertemu dengan ibunya. Saat Beliau mendengar penjelasanku dan mengetahui semuanya, Beliau marah. Tetapi, beberapa hari setelah itu kami bertemu lagi dan Beliau sudah memaafkanku."

"Lalu apa lagi? Kamu sudah mendapat maaf, kan?"

"Masalahnya, Raga tidak menerima permintaan maafku. Dia sangat marah dan mengusirku, Del. Aku paham dengan alasannya, tapi rasanya aku ikut sakit." Lily menghela napasnya panjang, berharap dengan itu bebannya akan berkurang.

Adel terdiam sesaat memikirkan ucapan Lily. "Kamu tidak mencoba untuk datang padanya lagi setelah itu? Siapa tahu mungkin dia sudah tenang dan bisa berpikir jernih untuk maafin kamu," saran Adel kemudian.

"Aku terlalu takut untuk mencobanya lagi. Aku takut dengan penolakannya padaku. Aku tahu rasanya kehilangan dan merelakan keadaan, itu rasanya sangat sulit. Aku mengerti seberapa banyak kemarahan dan kebenciannya padaku, karena aku, dia kehilangan dunianya."

Rasanya begitu berat memikul rasa bersalah ini. Sebenarnya bisa saja gadis itu menyudahi semua dan berpura-pura tidak terjadi apa pun, tetapi jauh dalam hatinya dia tidak bisa melakukannya. Lily tidak bisa mengabaikan rasa bersalahnya begitu saja.

"Jangan terlalu memikirkannya, Ly, ada aku untuk mendukungmu. Aku akan selalu siap bantuin kamu kapan pun itu. Jadi, jangan khawatir, oke?" Adel memeluk sahabatnya itu erat, dia selalu tahu bagaimana harus membuat Lily tenang.

"Terima kasih Del, kamu adalah sahabat terbaikku."

***

Siang yang cukup terik, Lily menyusuri sepanjang jalan Kartika untuk mencari alamat rumah keluarga Diany.

Setelah membicarakannya dengan Adel kemarin, Lily berpikir bahwa satu-satunya hal yang harus dilakukan untuk mengenyahkan rasa bersalah dalam hatinya adalah dengan kembali menemui keluarga Raga lagi.

Apa pun yang akan terjadi, Lily akan menerimanya, tentu saja dia akan membantu Raga dalam kondisinya yang sekarang. Entah dia suka atau tidak.

Adel tidak bisa menemaninya hari ini karena dia harus menemui klien di tempatnya bekerja. Dia begitu khawatir dan menyarankan pada Lily agar meminta Kak Ares atau Bang Farrel untuk menemaninya. Tentu saja Lily menolak karena hal ini tidak boleh diketahui oleh kedua kakaknya sekarang.

Jalan Kartika No. 13 yang terletak agak jauh dari jalan utama berada di kawasan perumahan yang tenang dan nyaman. Rumah yang cukup besar dengan pagar putih yang dihiasi oleh beberapa macam bunga di halaman depan rumahnya. Sepi namun terasa menenangkan.

Lily menekan bel beberapa kali, tetapi tak seorang pun keluar dari dalam rumah. Seharusnya ini alamat yang benar. Lily menekan bel sekali lagi dan menunggu, sampai ada seseorang yang akhirnya membuka pintu.

"Maaf, Anda mencari siapa?" seorang anak laki-laki berusia sekitar 14 tahun keluar dari dalam rumah dan berbicara padanya dari balik pagar.

"Apakah benar ini rumah Ibu Diany?" tanya Lily ramah.

"Iya, tapi Mama sedang tidak ada di rumah."

"Begitu, ya, kalau begitu saya akan kembali besok. Permisi," ucapnya sopan sebelum berbalik pergi.

Gadis itu baru saja akan memesan taksi online saat seseorang memanggilnya.

"Lily, apa yang kamu lakukan di sini?"

Lily menoleh dan mendapati sosok Diany keluar dari mobil yang baru saja berhenti di depannya.

***

Lily duduk di ruang tamu dengan perasaan gelisah. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang.

"Jadi, dari mana kamu tahu alamat rumah ini?" tanya Diany.

"Maaf, Tante, saya memintanya dari Rumah sakit," jawabnya merasa sedikit tidak nyaman dengan situasi ini.

"Saya tidak bermaksud lancang atau apa pun, saya hanya ingin ...." Lagi-lagi gadis itu berhenti sebentar berusaha menjelaskan perasaan bersalahnya. "Saya hanya ingin bertanggung jawab atas kesalahan saya pada keluarga Tante dan Raga."

"Jadi, apa yang ingin kamu lakukan sekarang?"

"Saya tahu permintaan maaf tidak akan merubah keadaan yang terjadi. Saya juga tahu, jika Raga tidak akan memaafkan saya. Karena itu, biarkan saya untuk membantu Raga dalam kondisinya sekarang."

Gadis itu menunduk, sekilas melirik pada Diany. Sesuatu yang berat untuk diputuskan oleh seorang ibu menghadapi orang yang menyebabkan cacat putranya.

"Lily, kamu tidak perlu melakukan apa pun. Ini adalah sebuah kecelakaan, jadi kamu tidak perlu merasa bersalah seperti itu. saya tidak ingin menimbulkan masalah lain, jadi kita bisa menganggap ini selesai. Kamu bisa melanjutkan hidup kamu dan kami akan melanjutkan hidup kami," jawab Diany kemudian dengan segaris senyum lembut pada raut wajahnya yang lelah.

Lily tidak tahu lagi harus berkata apa, tetapi dia tidak bisa menuruti perkataan Diany dan mengabaikan rasa bersalahnya begitu saja. Dia harus bertanggung jawab atas keadaan Raga.

"Saya tidak bisa melakukan itu, saya akan terus datang dan pasti akan membantu Raga. Seandainya pun dalam kecelakaan itu Raga hanya mendapat sedikit luka, saya juga akan tetap bertanggung jawab. Hari ini, saya ingin menemui Anda untuk mengatakan maksud saya ini, berharap saya bisa menebus semuanya. Tolong dipikirkan kembali permintaan  saya , Tante. Kalau begitu, saya permisi dulu,  saya akan kembali lagi besok," pamit kepada Diany.

Lily kembali pulang dan selama perjalanan dia terus berpikir bahwa ini yang terbaik. Membuat orang lain mengalami kecacatan fisik bukanlah sesuatu yang ringan. Entah itu sengaja atau kecelakaan. Akan ada beban moral dan perasaan bersalah dalam hati yang jika itu diabaikan mungkin akan menjadi sesuatu yang terus menerus mengganggu dalam hidupnya.

Lily ingat, Bunda selalu mengajarkan pada anak-anaknya untuk selalu peduli dan saling menolong pada sesamanya. Sekecil apa pun pertolongan yang kita berikan mungkin akan sangat berarti pada orang yang membutuhkan. Bundanya juga selalu mengatakan untuk menolong atau melakukan kebaikan pada orang lain haruslah datang dari diri sendiri, bukan melihat orang lain. Ketulusan dari dalam hati.

Esok harinya, Lily memutuskan untuk datang ke rumah keluarga Diany lagi, tetapi kali ini dia ingin Farrel tahu. Dia tidak ingin membohongi kedua kakaknya mengenai keinginannya membantu Raga. Lily meminta sang kakak untuk menunggunya di kafe setelah makan siang.

"Hai, Abang udah nungguin kamu lama. Ada apa, kok nggak ngobrolin ini di rumah?" tanya Farrel yang membawa dua cangkir coklat panas. "Nih, minum dulu."

"Terima kasih, Abang. Sebenarnya ada yang Lily mau katakan sama Bang Farrel, tapi janji nggak akan marah, ya?"

"Apa? Kayaknya serius banget." Farrel duduk menghadap Lily sambil menyesap cokelat panasnya.

"Bang Farrel tahu kan, kita sempat membicarakan soal donor mata untuk Raga." Lily berhenti sejenak untuk melihat reaksi kakaknya itu.

"Ya, Ares sudah cerita kalau dia membicarakan ini dengan keluarganya," jawabnya setelah diam sejenak. "Ada apa?"

"Lily sebenarnya belum tahu keputusan keluarganya, tapi Lily lega karena Kak Ares mau mengusahakan. Sebelum ini, Lily bertemu dengan ibunya."

"Kamu bertemu ibunya, kapan?" tanya Farrel kaget tak menyangka.

"Saat masih di Rumah sakit Lily bertemu ibunya. Awalnya Beliau marah, tapi setelahnya beliau mau menerima permintaan maaf Lily," jelasnya pelan, sementara Farrel menatapnya dengan tatapan menuntut.

"Kenapa kamu nggak cerita saat itu juga? Ares tahu hal ini?" tanya Farrel sedikit merasa kesal.

Lily menggeleng, "Lily nggak mau cerita karena takut Bang Farrel dan Kak Ares cemas. Lily juga sudah bertemu Raga."

Farrel menatap adiknya itu dengan tatapan yang tidak percaya.

"Lily! Abang sudah melarang kamu melakukan hal-hal yang bisa memperumit keadaan." Farrel mengusap wajahnya kesal, "lalu apa yang terjadi?"

"Raga tidak menerima permintaan maaf Lily, dia benci Lily, tentu saja," jawab Lily akhirnya dengan perasaan bersalah yang lagi-lagi menyerang mengingat sikap Raga padanya.

Farrel yang melihat perubahan ekspresi adiknya kemudian diam, mengubah wajah kesalnya menjadi normal kembali.

"Kamu masih merasa bersalah karena hal itu?" tanyanya kemudian berpindah duduk di samping Lily.

"Lily berusaha menganggap ini mudah dan biasa saja, tapi rasanya tidak nyaman memikirkan ada orang lain yang tiba-tiba buta, pasti sangat sulit. Lily ingin membantunya."

"Maksud kamu?"

"Mengenai donor mata ...."

"Nggak. Abang nggak setuju sama sekali kalau kamu mau jadi pendonornya," sela Farrel tak suka.

"Dengarkan Lily dulu, ini bukan tentang Lily yang ingin donor mata, tapi Lily ingin membantu sampai Raga mendapatkan donor mata."

"Huh, kirain kamu mau donor mata untuk dia, jelas Abang nggak akan terima, tapi apa maksud kamu sampai dia dapat donornya?"

"Jadi, selama dia belum mendapatkan donor, Lily akan membantunya setiap saat dia butuh bantuan."

Mendengar itu seketika raut wajah Farrel berubah. "Setiap saat? Maksudnya kamu akan membantunya dalam hal apa?" tanyanya.

"Apa pun itu, Lily akan membantu," jawab Lily yakin.

Sebenarnya Lily juga tidak tahu bantuan apa yang bisa diberikan nanti. Untuk sekarang saja Raga tidak menerima kehadirannya, lalu bagaimana dengan bantuannya?

"Kamu nggak perlu sejauh itu, Ly. Dengan mencarikannya donor mata, itu sudah hal terbaik yang bisa kamu lakukan sebagai bentuk tanggung jawab. Jika kamu membantunya setiap saat, bukankah itu berlebihan? Dia memiliki keluarga yang akan mengurusnya, jadi kamu tidak perlu melakukan hal yang merepotkan seperti itu."

"Tapi sepertinya ini adalah keputusan terbaik. Pencarian donor mata membutuhkan waktu yang lama dan bukankah setiap harinya bagi Raga akan menjadi sulit sekarang? Lily tidak ingin merasa semakin bersalah dengan mengabaikannya, sementara Lily bisa menolongnya. Jadi, Lily mohon Abang mau memberi izin dan mendukung Lily." Gadis itu menatap sungguh-sungguh pada sang kakak, dia tahu mungkin memang keputusannya sedikit berlebihan, tetapi membayangkan dirinya yang berada di posisi Raga, mungkin dia tidak mampu bertahan.

Farrel hanya diam, berpikir bahwa adiknya ini sudah kehilangan kewarasannya, tetapi melihat Lily yang begitu sungguh-sungguh, mungkin ini adalah yang terbaik.

"Ares tahu kamu mau melakukan ini?" tanya Farrel.

"Kak Ares belum tahu tentang keputusan Lily ini," jawab Lily pelan, dia tahu Ares adalah orang yang lebih emosional dari Farrel dan dia lebih over protektif darinya. Karena itu, Lily akan memberitahunya nanti jika Farrel sudah menyetujui hal ini. Dia tidak ingin kedua kakaknya khawatir berlebihan.

"Oke."

Lily menatap Farrel yang kini menyesap coklat panasnya tanpa ekspresi. "Bang Farrel setuju?" tanyanya memastikan, dilihatnya sang kakak mengangguk meski matanya masih tidak mau menatap. Lily melingkarkan kedua tangannya memeluk erat Farrel, perasaan lega menyeruak dalam hatinya mengurangi sedikit bebannya.

"Makasih, Lily sayang Abang!"

Farrel selalu mengerti bagaimana harus bersikap dan mengambil keputusan meski adik-adiknya kadang menyulitkannya.

Setelah itu, Farrel mengantar Lily pergi ke butik milik Diany. Sebelum ke sana, Lily sudah menghubungi wanita itu dan memintanya untuk bertemu.

"Selamat siang. Maaf, Lily mengganggu kesibukan Tante."

"Tidak apa-apa, saya sebenarnya ragu kamu akan datang kembali mengingat sikap terakhir Raga pada kamu juga penolakan saya kemarin. Jujur saya masih kaget karena kamu bilang ingin membantu Raga."

"Lily kan sudah janji, dan sebisa mungkin akan Lily tepati."

"Dia kakak kamu, kan? Saya ingat pernah bertemu dengannya saat di Rumah Sakit dulu," ucap Diany saat melihat Farrel, mereka lalu saling memperkenalkan diri.

Farrel meminta Lily menunggu, sementara dia ingin berbicara berdua dengan Diany. Lily merasa sedikit cemas jika kakaknya akan mengatakan sesuatu pada Tante Diany mengenai keputusannya.

Dia ingin sekali membantu Raga, seperti ada sesuatu yang memaksa untuk tidak mengabaikannya. Jujur, mungkin itu adalah cerminan dari ketakutan Lily akan hal terburuk yang mungkin terjadi sama seperti yang terjadi pada orang tuanya.

Tak lama, Farrel dan Diany kembali. Mereka memutuskan untuk menemui Raga di rumah. Lily mempersiapkan hatinya untuk itu.
Karena menurut Diany, Raga masih dalam pengaruh emosional karena keadaannya sekarang. Dia mudah marah pada apa saja dan siapa saja. Hampir sepanjang hari dia menutup diri dengan mengurung diri di kamarnya.

Itu menambah kecemasan Lily. Gadis itu menanyakan beberapa hal pada Diany tentang Raga. Lalu informasi dari Diany membuat gadis itu semakin merasa bersalah karena ternyata Raga adalah seorang arsitek yang artinya sekarang dia tidak akan bisa kembali bekerja seperti semula.

"Raga adalah anak yang bisa diandalkan, dia tidak pernah mengecewakan saya atau papanya, dia selalu lulus dengan nilai terbaik dan mencapai hal-hal melebihi harapan kami sebagai orang tua. Dia anak yang cekatan dan bertanggung jawab," terang Diany dengan kebanggaan tulus dalam nada bicaranya.

Lily terdiam, merasa ini semakin berat. Seorang anak kebanggaan keluarganya yang kini cacat karena kecerobohannya.

"Lily?" panggil Diany membuyarkan lamunannya.

"Ya, Tante."

"Jangan pikirkan apa pun, saya tidak bermaksud membuat kamu merasa semakin bersalah. Semoga kamu bisa menjadi teman untuknya sekarang." Diany mengusap bahu Lily pelan dan tersenyum, sementara Farrel hanya diam di sepanjang perjalanan.

Begitu mereka sampai ada remaja laki-laki yang sebelumnya menemui Lily saat kemarin datang. Dia adalah Kean, adik laki-laki Raga yang masih kelas VII SMP. Dia menjaga Raga sepulang sekolah selama orang tua mereka bekerja. Diany langsung menemui Raga di kamarnya untuk melihat keadaannya, sementara Lily, Farrel, dan Kean menunggu di ruang tamu dengan perasaan berdebar.

.
.
.

Bersambung.
.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro