21 - Rehat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"M-mohon maaf! Segera kucari lagi, sekarang juga!"

Pintu terbanting membuka. Seorang Aures Animalis, terbirit-birit berlari keluar ruangan. Meninggalkan jejak berupa kertas-kertas dokumen yang beterbangan. Sepertinya perempuan dari suku domba, terlihat tanduk melingkar dan rambut ikal yang megar dan empuk.

Dengan sebelah tangan, Helios membungkuk, memunguti kertas-kertas itu lalu membawanya masuk.

"Ada banyak paperwork di sini," komentarnya seraya meletakkan tumpukan kertas itu di meja. Tak ada nada sarkas, tetapi dengan wajah kerasnya mungkin orang bisa berpendapat lain.

"Ya ... Banyak dokumen untuk diolah dan sedikit orang yang bisa mengolahnya," Van menggerutu sambil menyambar tumpukan kertas yang baru saja sampai itu untuk dipilah dan dikembalikan ke tumpukan aslinya. "Kau pasti tidak menyangka, preman lokal seperti kami mencatat dan mengolah dokumen dengan cermat, bukan?"

Helios mengamati Avian cantik bertelinga sayap hitam di hadapannya. Sudah cukup lama dia memutuskan bergabung dengan kelompok Van, untuk memudahkan mencari informasi mengenai hilangnya Lunos. Persisnya dua bulan, sejak dia terbangun dari tembakan peluru bius.

"Kami sudah periksa dengan pengamatan fisik maupun magis, kau betul-betul Avian, sama sepertiku," ujar Van saat itu. "Dari informasi yang kudapat sejauh ini, mungkin adikmu terbawa oleh kelompok demi human trafficking, pedagang budak. Entah karena terbuai tipuan atau ada alasan lain yang kita tak tahu."

Helios masih terlalu lemas akibat efek tembakan bius sehingga tak banyak bisa bereaksi mendengar penjelasan Van. Namun geraman dan hawa panas yang perlahan menguat, membuat Van harus mengacungkan pistol biusnya untuk memaksa pemuda besar itu menenangkan diri.

"Kau punya dua pilihan," ujar Van, setengah mengancam dengan ujung pistol menempel ke leher Helios. "Pertama: Bekerja sendiri, yang itu artinya kami akan membiusmu sekali lagi lalu membuangmu jauh dari kota ini sampai tak bisa kembali dalam waktu satu-dua minggu ke depan ...."

Helios menelan ludah. Membayangkan pistol itu menyalak teredam dan menyerangnya dengan beberapa kejutan beruntun lalu terbangun bingung di tempat asing, jelas tidak menyenangkan.

"Atau pilihan kedua: Bergabung bersama kami, yang berarti kau harus berbagi informasi dan membantu urusan kami yang berkaitan dengan pencarian keluargamu yang hilang. Sebagai gantinya kau juga bisa menggunakan jaringan dan fasilitas kelompok kami."

Helios membuka mulut, mencoba menjawab. Namun suaranya tak keluar. Pemuda itu bertanya-tanya, berapa banyak obat bius yang digunakan Van hingga lidah dan pita suaranya tak berfungsi.

Setelah beberapa lenguhan dan gumaman tak jelas, akhirnya sayap telinga Helios mengepak dua kali. Van tersenyum puas melihat jawaban itu.

"Lalu," tegur Van dengan suara khas yang teduh dan sejuk, membuyarkan lamunan Helios akan masa lalu. "Ada perlu apa seorang Helios datang ke ruanganku?" tanyanya sembari mengetukkan jari lentiknya ke permukaan meja.

"Asal kau tahu saja, informasi tentang adik sepupumu itu masih belum berubah sejak tiga hari terakhir, jadi percuma kalau kau bertanya."

Avian cantik itu memiringkan kepala, menunjukkan leher jenjangnya yang berwarna hangat seperti roti bakar madu favorit Lunos. Kontras dengan telinga sayap yang hitam mengkilap, rambut Van berwarna pirang, halus tergerai jatuh hingga melewati pundak yang ramping. Namun dengan suara yang berat untuk seorang gadis dan pakaian yang sangat maskulin, Helios masih tak tahu yang di hadapannya itu lelaki atau perempuan.

"Teh hangat," jawab Helios pendek. Lalu pemuda besar itu meletakkan piring tatakan, cangkir kosong, serbet yang terlipat rapi, sendok kecil di atas serbet, dan menuangkan cairan bening kecokelatan dari poci.

Aroma segar teh pekat menguar. Beberapa keping biskuit, tebal dan harum mentega, disertakan dalam tatakan.

"Kubuat tak terlalu manis, mengandung madu." Helios menambah penjelasan sebelum Van sempat bertanya lagi. "Habiskan itu, lalu kau boleh lanjut kerja!"

Van menatap pemuda itu keluar ruangan membawa nampan kosong.

Dia masih tak mengerti maksud Helios, tetapi diraihnya juga keping biskuit yang terlihat paling menggoda. Renyah dan tak hanya rasa biskuit mentega yang menyebar dalam mulut, samar tercium aroma yang membangkitkan nostalgia di setiap kunyahan. Tanpa sadar semua kepingan biskuit itu habis, menghilang ke dalam perutnya.

Van meneguk teh hangat yang masih mengepul di cangkir.

"Sedap."


***ooo000ooo***

Tema kali ini: Love Languages
Kebetulan mendapat hasil Acts of Service.
Penjelasan mengenai bahasa cinta yang satu ini bisa dibaca di bawah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro