Janji dan Bunga Matahari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini tulisan siapa?"

Aku, Mentari, dan Aruna sedang menatap tulisan cakar ayam yang sepertinya ditulis oleh seorang anak. Di baliknya, gambar serupa denah menunjukkan sebuah tempat yang harus dicari.

"Kayaknya sih, Surya, ya. Soalnya kan dia yang paling jelek tulisannya di antara kita," kelakar Aruna.

"Idih, kok, aku?" protesku. "Kayak kalian tulisannya sebagus kaligrafi aja."

Dalam beberapa hari lagi, aku akan pindah. Aku sengaja menghubungi kedua sahabatku itu untuk membantu. Aku memang bisa saja melakukannya sendiri, tetapi aku ingin membuat setidaknya kenangan terakhir, takut kalau aku tidak bisa lagi kembali ke sini. Pasalnya, aku akan berkuliah S2 di luar negeri. Aku takut kalau aku harus tinggal lama di sana dan akan jarang pulang kemari.

Mentari yang pertama datang dan langsung memelukku. "Kok, gitu sih?" tanya gadis berambut panjang itu dengan pipi gembung yang memerah.

"Ya, mau bagaimana lagi. Disuruhnya di sana. Kan, sayang juga kalau enggak diambil," jawabku sambil mempersilakan Mentari masuk.

Gadis itu kemudian celingukan dari ruang tamu ke ruang tengah. "Om sama Tante pada ke mana, Sur?"

"Lagi ke luar kota."

Mentari hanya mengangguk.

Aku lalu pergi ke dapur untuk mempersiapkan minuman dan camilan, sementara Mentari melihat-lihat kardus yang telah kubereskan. Kubuat tiga gelas sirup jeruk dan kue-kue basah.

Aruna telah datang ketika aku tiba di ruang tamu. Gadis berambut pendek itu sedang tertawa di samping Mentari. Ketika dia melihatku, Aruna berteriak kencang sampai aku terlonjak dan hampir menumpahkan minuman dan kue-kue yang ada di nampan.

"Kok, mendadak, sih?"

Aku meletakkan nampan di meja. Mentari dan Aruna langsung menyambar gelas dan camilan, sementara aku duduk meluruskan punggung di seberang mereka.

"Ibu yang maksa," mulaiku. "Katanya, 'Ambil beasiswa S2, ke luar negeri sekalian biar bagus. Dosen juga kan mendukung.' " Aku mengambil kue sagon, lalu memakannya. "Enggak mendadak, sih. Aku kan, sudah apply dari lama. Belum lama ini pengumuman. Terus sekarang aku sudah harus siap-siap."

Aruna tersedak. "Langsung diterima?!"

"Enggak aneh, sih. Surya gitu, loh. Si Otak Encer dari kita SD."

Aku mengambil minum untuk meredakan pipi yang memanas.

"Sudah, sudah. Mending kalian bantu aku beres-beres. Ada barang-barang yang mesti diloak sebelum aku pindahan," pintaku sambil berdiri.

"Kenapa harus diloak? Kenapa sekarang?" tanya Aruna sambil mencomot kue apem.

"Awalnya aku cuma beres-beres barang yang mau dibawa nanti aja, eh Ibu malah suruh sekalian yang di gudang juga. 'Biar sekalian capek,' katanya."

Aruna dan Mentari hanya mengangguk-angguk. Mereka lalu mencomot lagi satu kue sebelum berdiri.

"Itu tadinya buat kalian kalau sudah bantu aku beres-beres," tunjukku pada sirup jeruk dan kue-kue yang tinggal beberapa buah.

Kedua gadis itu kompak berteriak, "Ih, Surya!"

Aku hanya tertawa. Mereka tahu aku cuma bercanda.

Gudang di rumahku cukup luas. Banyak barang-barang yang rusak dan tak terpakai. Kardus-kardus besar dan kecil bertebaran di berbagai sudut. Debu-debu menghias memperjelas kalau tempat ini tidak pernah dibersihkan. Sesekali aku atau Mentari dan Aruna terbatuk karena tak sengaja menghirup debu-debu itu.

"Pantas aja Tante suruh kamu sekalian capek, enggak pernah diurus, sih," sindir Mentari sambil mencolek-colek kardus yang tertutup debu.

"Ya, kan aku ngekos. Gak ada waktu buat pulang dan beresin," belaku. Kuangkat satu kardus yang berisi kertas-kertas bekas.

"Ih, Sur!" Mentari tiba-tiba berteriak membuatku yang sedang membawa kardus berjengit. "Kamu masih simpan mainan-mainan ini? Mainan waktu kita masih kecil." Gadis itu mengobok-obok isi kardus.

Aku dan Aruna mendekati Mentari, melihat apa saja isi kardus itu. Perkataan Mentari menyiratkan kalau kami sudah berteman sejak balita, padahal itu hanya mainan-mainan dari kami yang masih berumur tujuh tahun. Boneka, robot, dan mainan kayu.

"Kirain udah dikasih ke orang lain," komentar Aruna. Dia mengambil satu boneka kain yang sudah lusuh. Aku sangat ingat kalau boneka itu selalu dimainkan oleh Aruna sampai dia memeluk dan menciuminya.

"Enggak mungkin. Aku terlalu sayang sama barang-barang ini. Daripada dikasihin ke orang lain, mending buat anak-anakku nanti," timpalku sambil mengambil mainan robot.

"Utututu, Surya. Sentimental banget, sih," Aruna kembali menimpali. "Itu juga kalau masih bagus."

Aku membuka tempat baterai yang ada di belakang tubuh si robot. Baterainya sudah bocor dengan bagian kecokelatan yang lumer dan membuat lengket.

"Eh, Sur, ini apa?" Mentari mengambil sesuatu yang mirip seperti amplop. Dibukanya benda itu dan membaca isinya. "Ini tulisan siapa?"

...

Aku ingat. Surat itu adalah surat yang kutulis waktu kami masih kecil ... dan, Aruna benar. Mereka menyuruhku yang menulis karena aku yang paling lancar dalam hal itu, meskipun tulisanku acak-acakan. Ibu pernah bilang kalau tulisan yang acak-acakan itu artinya aku pintar, karena orang pintar akan langsung menuliskan gagasan mereka tanpa peduli huruf-huruf yang ditulis. Saat itu kelas 2 SD, dan aku percaya. Sampai kini.

Kami bertiga berakhir membaca surat itu dan melupakan tujuan kami sebenarnya ke gudang.

"Ini aku. Ini Surya. Ini Aruna," tunjuk Mentari ke gambar orang-orangan lidi dari kiri ke kanan. Berambut panjang sebahu, botak, dan kucir dua. Gambar orang-orang itu berada di sudut di mana gambaran besarnya adalah sebuah denah mirip peta dengan rumah-rumah, sawah, pegunungan, dan arena berbunga kekuningan.

"Gimana kalau kita cari taman itu?" usul Aruna setelah membaca surat itu untuk kedua kalinya karena tulisanku tidak terbaca setelah belasan tahun lamanya.

Belasan tahun. Entah sebuah keajaiban atau takdir, tapi kami bisa kebetulan menemukan surat itu tanpa sengaja setelah belasan tahun dilupakan. Dulu saat kami masih kecil, tiga belas tahun yang lalu, aku, Mentari, dan Aruna membuat janji yang akhirnya dituliskan dalam sebuah surat—yang seharusnya janji itu kami tepati. Kami akan bertemu kembali di tahun 2023 untuk mengambil kapsul waktu berupa stoples yang isinya barang-barang kenangan kami. Di taman bunga matahari yang dapat mengabulkan permintaan. Dan stoples itu dikubur di bawah bunga matahari yang menghadap ke arah bulan. (Sebuah anomali.)

"Ayo, lah! Aku juga ingin tahu itu benar atau enggak bisa kabulin permohonan!" teriak Mentari. Dia menatapku dalam. "Yuk, Sur! Nanti barang-barangnya buat kamu. Hitung-hitung kenang-kenangan."

Aku meraba-raba tanggal dengan jemari. "Bulan purnama itu malam ini," ingatku.

"Kalau begitu kita cari malam ini juga!" sahut Aruna dan Mentari bersamaan.

Aku menutup telinga karena suara mereka membuat telingaku pekak.

...

Malam harinya, semua dimulai.

Aku memakai jaket tebal bertudung, celana jeans, sepatu tinggi bertali, dan tas ransel untuk memasukkan barang-barang yang kami temukan nanti. Mentari mengenakan jaket parka cokelat milik Ibu, celana panjang hitam ketat, serta bersepatu rendah dan dia yang membawa tas selempang berisi sekop dan peralatan menggali lainnya. Aruna dengan sweterku, celana jeans, sandal gunung, dan membawa sebuah senter. (Harusnya kami membawa tiga, tapi sayangnya tidak ada.)

Taman Bunga Matahari tidak jauh dari rumahku. Kami tidak diperbolehkan main terlalu jauh waktu kecil karena wilayah sekitar saat itu masih banyak hutan dan sawah. Namun, untungnya hal itu membuat kami tidak perlu pergi jauh-jauh.

Tiga belas tahun berlalu tentunya sudah banyak yang berubah. Sawah di peta telah berganti menjadi rumah-rumah. Hutan di belakang juga sudah berganti menjadi taman bermain. Kami bahkan sempat kesulitan menentukan arah dan tempat-tempat dalam peta, selain karena tulisanku yang—ehem, maaf aku muda—jelek dan gambarnya yang tak jelas.

"Dari pos satpam belok kiri," ujar Aruna sambil menyorot jalan yang telah berubah jadi jalan setapak di pinggir taman.

Aku mendesah lelah. "Ini enggak ada gunanya," kataku sambil melipat kembali peta itu dan memasukkannya ke ransel. Kukeluarkan ponsel dan kubuka aplikasi peta. Aku sesuaikan lokasi dengan GPS. Kucari taman bunga matahari.

"Begitu, dong, dari tadi," komentar Mentari sambil sama-sama melihat aplikasi peta. Kepalanya hampir menyentuh pipiku.

Kami bertiga kemudian menelusuri jalan dengan Aruna sebagai pemandu yang membawa ponselku. Kami menelusuri jalan gelap melewati taman bermain tak berlampu, kebun sayur yang luas, dan berakhir di sebuah bukit yang untungnya masih hijau, menjadi area luas yang memasok oksigen segar. Terus melangkah menaiki tanjakan sampai ke puncak.

"Kita sampai," ucap Aruna.

Bunga-bunga matahari yang telah mekar terhampar. Aruna menyorot ke setiap bunga. Tanaman-tanaman itu tingginya sedadaku.

"Banyak banget," komentar Mentari. "Kita cari dari mana?"

"Bunga matahari yang menghadap bulan," sahutku.

Aku langsung melihat ke langit dan mendapati angkasa yang penuh rasi bintang sebab iadanya polusi cahaya di atas sini membuatku bisa melihat dengan jelas. Dan yang paling bersinar di antara itu, bulan purnama sempurna. Memancarkan cahayanya.

"Sur, Tari! Di sini!" panggil Aruna sambil mengacung-acungkan senter membuatnya seperti kode morse. Aku dan Mentari seketika mendekatinya ke tengah padang dan mendapati sebuah bunga matahari yang sedang menatap bulan di atas.

"Akhirnya ketemu!" seru Mentari.

Aku menatap bunga itu lama sebelum Mentari dan Aruna menarik lenganku bersama.

"Mau buat permohonan dulu?" tanya Mentari sambil mengacungkan sekop.

Aku tertawa miris. "Okey, coba aja kalau bener," jawabku.

Aku memejamkan mata dan berdoa dalam hati. Semoga persahabatan ini terus kekal sampai akhir hayat.

Kami bertiga menggali. Butuh waktu cukup lama karena tanahnya keras sampai kedalaman yang cukup dalam sebelum sekopku menyentuh sesuatu. Aku segera menggalinya dan mendapati sebuah stoples kaca. Lekas, aku mengangkat dan membersihkannya kemudian.

Aruna terus menyorot sampai aku dapat membuka stoples kaca yang kaku itu. Sejurus kemudian, tutupnya terbuka, memperlihatkan mainan kecil kami.

Beberapa butir kelereng milikku. Bunga-bunga plastik punya Mentari. Kain rajutan bermotif kotak-kotak Aruna.

Kedua gadis itu mengambil mainan milik mereka, memeluknya, lantas menangis.

Dalam keremangan, tangan Mentari meraih tanganku. "Buatmu, Sur," katanya sambil menyerahkan bunga-bunganya. Aruna menyusul melakukan hal yang sama.

Aku memeluk kedua gadis itu. "Terima kasih."

~~oOo~~

A/N

Cerpen ini adalah hasil dari event swap idea yang diada oleh NPC2301

Prompt berasal dari ide dreaminblue_

Tahun 2023, saat kalian sedang membereskan barang-barang di tempat tinggal kalian, kalian menemukan sebuah amplop di dalam kardus mainan.

Di dalamnya ada surat yang ditulis asal-asalan dan ada gambar tiga orang manusia, juga sebuah peta yang digambar dengan tangan. Di surat tertulis bahwa kalian mengubur suatu toples dan berjanji akan berkumpul kembali di tahun 2023.

Tempatnya berada di taman bunga matahari yang terkenal bisa mengabulkan permintaan, dan tepat di atas tempat toples dikubur, akan ada bunga matahari yang menghadap ke arah bulan.

Kalian pun tergerak untuk datang dan membuktikan kebenarannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro