Bab 8. Why Do I?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Messing with my head again
You had your heart set on me
But these feelings, they come and go
And they come so easily

Unknown Brain - Why Do I?

***

Delano Okka adalah labirin yang menjebak Manna bertahun-tahun dalam hubungan yang terlihat santai, tetapi sesungguhnya sangat rumit. Bahkan hingga jiwanya meninggalkan raga, perasaannya terlihat samar. Orang-orang mungkin berpendapat bahwa mereka adalah pasangan yang bahagia, tanpa pertengkaran. Namun, bukankah pertengkaran adalah ujian yang memperkuat hubungan? Seberapa besar keegoisan dan seberapa besar keinginan untuk memperbaiki juga memaafkan. Hubungan yang terlihat 'baik-baik saja' inilah yang kemudian berakhir dengan penyesalan. Begitu, bukan?

Manna menatap manik yang jernih, tetapi mampu mengeruhkan pikirannya. Ia tidak bisa menyusun kata-kata, membiarkan rasa penasaran membunuhnya. Dan, apa bedanya situasi saat ini dengan di masa lalu? Kapan kerumitan ini akan berakhir jika mereka hanya berspekulasi sendiri? Menganggap dirinya pintar sehingga menafsirkan maksud satu sama lain tanpa berkomunikasi. Bukankah itu menandakan bahwa diri terlalu bodoh? Apa bedanya dengan masa lalu? Untuk apa waktu memberinya kesempatan?

Manna tersenyum tipis. "Apa kamu tahu, Ka, sudah berapa lama saya berada di dunia jurnalistik?"

"Delapan tahun."

Manna mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka Okka akan menyahutnya dengan cepat dan tepat. Hatinya menghangat. Okka sebenarnya peduli, mengapa ia tidak pernah melihat ketulusan Okka selama ini?

"Kamu tahu benar, Ka. Dan, saya yakin kamu juga tahu bagaimana saya mendapatkan informasi dari narasumber. Tidak serta merta melaporkan sebuah berita hanya dengan pandangan objektif saya sendiri. Sekalipun saya tahu benar bagaimana sebuah kejadian itu berlangsung, saya tetap harus mewawancarai narasumber. Dan, saya bukan orang yang sangat jenius, bisa menebak apa yang kamu lakukan."

Okka tergemap. Ia tidak pernah melihat Manna tampak begitu penasaran padanya. Wanita itu bahkan enggan mendapat jawaban yang singkat. Sebelumnya, mereka bahkan tidak peduli satu sama lain. Sehingga Okka hanya menjawab seadanya. Namun, malam ini, ia melihat sesuatu yang lain dari Manna? Wanita itu peduli padanya?

"Apa kamu marah?"

Wajah Manna menyiratkan kekecewaan. Walaupun wanita itu selalu bisa mengendalikan diri, tetapi malam ini Okka berhasil menerjemahkan rautnya. Seketika lelaki itu merasa sedikit gugup. Meraih gelas kosong di atas meja dan menuangkan air ke gelasnya. Tak lama hingga jakunnya bergerak, menandaskan air putih dari gelas tersebut.

Sementara itu, Manna juga ikut merasa kehausan. Ia tidak menyangka Okka mengetahui emosinya yang sebenarnya. Malam ini, ia sepertinya tidak bisa mengendalikan diri.

"Sa-saya tidak marah. Hanya saja, saya pikir selama ini kita hidup seperti orang asing. Tidak ada salahnya jika saya tahu lebih banyak tentang suami saya sendiri, 'kan? Dan, saya pikir kita perlu saling terbuka, setidaknya saya tidak terlihat bodoh di depan rekan saya sendiri. Maaf, jika kamu tidak nyaman dengan pembicaraan malam ini. Saya terlalu banyak bicara."

Manna tidak bisa berhadapan dengan Okka lagi. Ia kehilangan kendali. Jika mata mereka terikat terlalu lama, Manna mungkin tidak bisa menahan diri untuk tidak menggila. Setiap melihat Okka, hal yang ingin selalu dilakukannya adalah memeluk lelaki itu dan mengutarakan perasaannya di setiap detik. Mengatakan bahwa seberapa besar rasa cintanya pada Okka.

"Manna."

Wanita itu menghentikan langkahnya, tetapi tidak berniat membalikkan tubuhnya. Suara serak Okka membuat kakinya melemas.

"Saya minta maaf karena tidak menghargai kamu sebagai istri saya. Saya janji, di lain waktu akan menjadikan kamu orang pertama yang mengetahui segalanya. Namun, mengenai program acara KKK, saya tidak bisa memberitahu kamu lebih jelasnya."

Manna menelan salivanya dengan sukar, terutama setelah mendengar kata 'istri'. Bibirnya begitu gatal ingin mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya ia hanya bisa mengangguk lalu melangkah meninggalkan Okka. Ia penasaran dengan air muka Okka, tetapi otaknya mendoktrin untuk mengendalikan diri.

***

Manna tidak pernah insomnia sebelumnya. Namun, malam ini adalah pengecualian. Ia tidak bisa menganalis dengan baik hasil akhir dari percakapannya dengan Okka di ruang makan tadi. Dan, hingga jarum pendek pada jam berada di angka 12, Okka belum masuk ke kamar mereka. Apa lelaki itu sedang bekerja? Atau menghindari Manna?

Perasaan tidak enak menyelimuti hati wanita itu. Akibat sikapnya yang tergesa-gesa dan terlalu ceplas-ceplos membuat Okka kesal dengannya, 'kan? Praduga itu membuatnya cemas. Ia beranjak turun dari ranjang lalu mondar-mandir beberapa kali. Ingin rasanya menjumpai Okka di ruang kerja, tetapi di sisi lain ia berpikir bahwa Okka mungkin tidak mengharapkan kehadirannya.

Tak disangka, tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan sosok Okka yang sama kagetnya dengan Manna.

"Kamu belum tidur?" tanya Okka lembut.

"Saya akan tidur sekarang."

Karena canggung, Manna segera kembali berbaring di ranjang. Ia menutup matanya erat sebelum Okka bertanya lagi. Sementara itu, Okka berjalan ke kamar mandi sembari memijit kepalanya. Hal itu tidak lepas dari pandangan Manna yang tergelitik mengintip sang suami. Tampaknya Okka memang baru selesai bekerja dan kelelahan. Kemungkinan tidak ada hubungannya dengan pembicaraan mereka tadi.

Suara air dari kamar mandi mendorong Manna untuk bangun. Hati kecilnya berkata untuk melakukan hal yang seharusnya dilakukan seorang istri. Ia pun tergerak untuk mencari piyama yang pas untuk sang suami. Pipinya bersemu merah tatkala memegang pakaian dalam Okka. Berdasarkan hukum suami-istri ala Shea, hal-hal memalukan adalah kunci mempererat suami istri. Pikiran wanita itu tak jauh beda dengan Radian, mereka cocok bersama.

Manna berjingkat kaget saat mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Sementara ia masih memegang benda yang memalukan itu. Ketika tatapan mereka bertemu, Manna akhirnya merasakan perasaan saat kepergok seperti Okka beberapa waktu lalu.

Refleks ia melempar pakaian dalam itu pada pemiliknya. Namun, untuk menjaga imejnya, ia hanya berdeham sesaat dan menyodorkan piyama berwarna merah pada Okka. Walau begitu, tetap saja Okka bisa melihat pipinya yang bersemu merah. Lelaki itu tersenyum tipis sehingga Manna mendelik.

"Kenapa kamu senyum?" tanya Manna sedikit frustrasi.

"Saya hanya berpikir kalau kamu sedikit lucu."

Manna benar-benar membutuhkan keahlian Shea saat ini untuk menebalkan wajahnya dengan make up. Ia tidak bisa melarikan diri dari situasi memalukan ini. namun, karena kepribadiannya, ia berhasil tampil cool.

"Terima kasih. Terakhir kali orang-orang menyebut saya lucu adalah ketika saya masih TK." Sebelum Okka sempat berkata-kata lagi, Manna menambahkan, "Kamu lembur malam ini. Apa karena saya?"

Okka terlihat terkejut. Manna jarang seterbuka ini padanya. Ia bahkan menyiapkan piyama dan belum tidur sampai saat ini. Apakah Manna peduli padanya?

Senyum Okka melebar, ia tidak bisa menahan kebahagiaannya. Entah apa yang merasuki Manna, Okka berharap setan itu tidak keluar dari tubuhnya. Ia mengambil piyama dari tangan Manna dan memegang tangannya.

"Saya tebak, kamu tidak bisa tidur karena memikirkan hal ini?"

Manna tidak bisa mengelak, jadi dia hanya diam menandakan persetujuan.

"Saya jadi merasa bersalah. Saya lembur karena mengoreksi proposal mahasiswa saya. Lain kali, saya akan beritahu kamu sehingga kamu enggak perlu nunggu saya dan ganggu jadwal tidur kamu. Mengenai pembicaraan kita tadi, saya sudah merenungkannya. Saya pikir, kita memang sedikit buruk dalam berkomunikasi. Bukan hanya saya, saya berharap kamu juga bisa memberitahukan kondisi kamu pada saya. Kamu keberatan?"

Okka awalnya percaya diri, tetapi ia sedikit meragu di akhir. Lelaki itu takut Manna merasa tidak nyaman. Melihat wajah Manna yang masih datar, ia berdeham.

"Saya tidak berniat memaksa kamu. Say-"

"Saya tidak merasa dipaksa, Ka. Sebagai suami istri, saya rasa kita memang perlu kesepakatan bersama. Seperti yang kamu bilang, saya akan mengabari apa pun itu pada kamu."

Okka manggut-manggut dengan senyum yang masih dipertahankannya. Manna menyadari tangannya yang dipegang Okka membuat lelaki itu buru-buru melepaskannya. Manna tersenyum kecil dan kembali berbaring ke ranjang. Ia merasa tenang dan menutup matanya kembali. Rasanya insomnia itu langsung menghilang.

Sementara itu, Okka kembali ke kamar mandi dan mengganti pakaiannya. Sebenarnya ia nyaman hanya memakai jogger pants dan kaos putihnya. Namun, karena sang istri sudah menyiapkan, ia harus memakai piyama yang belum pernah disentuhnya itu. Jantung yang berdebar tidak wajar menemani setiap detiknya. Hingga ia keluar dari kamar mandi, wajah polos Manna yang tidur menghangatkan hatinya.

Ia mematikan lampu dan perlahan mengisi bagian kosong di sebelah Manna. Sangat berhati-hati, takut jika Manna terganggu dengan pergerakannya. setelah menghidupkan lampu tidur, ia tidak berencana untuk segera tidur, melainkan memandang wajah Manna dalam keremangan. Hal yang selalu ia lakukan sejak awal menikah.

Tangannya gatal menyentuh surai pendek Manna dan perasaan bahagia menyerbu hatinya. Manna memang terlihat sedikit berbeda akhir-akhir ini dan itu membuka pikirannya. Mencoba menangkap arti dari sikap Manna dan menemukan sesuatu yang aneh dalam tatapannya. Kerinduan, rasa kehilangan, dan penyesalan. Okka tidak bisa menebak, tetapi ia ikut merasakan sakitnya.

Sementara itu, Manna belum benar-benar tertidur. Tadinya ia hampir memasuki alam mimpi, tetapi sentuhan hangat di kepalanya menariknya kembali. Ia tahu pelakunya, lelaki yang terus menyembunyikan diri. Sebuah kecupan hangat mendarat di kening Manna dan tanpa sadar membuat Manna meremas seprai.

"Man, saya bahagia."

***

Tell me, what
It is about you that I can't forget?
But you're breaking down my walls again
Just to set me free

Unknown Brain - Why Do I?


Bonus:
Okka dan piyama merah yang menggoda

Mau yang lebih baper? Yuk baca ceritanya tokohfiksi_. Berikut cuplikannya:

“Wajar enggak sih kalau gue cemburu sama hubungan seseorang?” celetuk Rinjani membuat kedua temannya menoleh bersamaan.

“Kok lo tiba-tiba nanya gitu?” Senja sangat heran atas apa yang Rinjani ucapkan, pasalnya dia tidak pernah bercerita tentang perasaannya. Bahkan saat dia ditodong kalau dirinya berpacaran atau ditanya soal rasa kepada Langit, dia malah membuang muka dan mengelak dengan seribu bahasa.

“Lo sedang jatuh cinta?” tuduh Salma, sambil menggigit sosis yang dibalut banyak saus.

“Kalo gue pacaran gimana?”

Kedua temannya semakin tidak percaya dengan apa yang Rinjani ucapkan, mereka sempat saling pandang, bahkan tangan Salma langsung rebahan di dahi Rinjani untuk mengecek kalau dia baik-baik saja.

“Lo sehat, kan?” Salma kembali bertanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro