Bagian 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siapa yang nungguin cerita ini?
Aku up, nih. Tapi kalau sepi aku lamain lagi up-nya.
Ramein dong biar aku semangat lanjutin cerita ini.



Sungguh di luar dugaan jika Bian akan berhasil membujuk Angel agar mau sekolah di rumah. Hal ini tentu menjadi bumerang untukku karena sudah membuat kesepakatan bersama Bian jika dia berhasil membujuk Angel, maka aku akan menuruti segala perintahnya. Benar-benar mengesalkan.

Pagi ini, Angel sangat antusias untuk belajar meski di dalam rumah. Entah kalimat apa yang diucapkan Bian sehingga membuat Angel seperti ini. Aku yakin jika Bian akan memberikan hadiah besar pada Angel jika menuruti perintahnya. Sudahlah, lagipula aku memang tak pernah bisa menang dari Bian dalam hal apa pun.

"Hari ini Angel akan belajar piano setelah pelajaran utama selesai. Ada guru khusus yang akan datang siang nanti. Aku sudah memberikan data itu pada Cia. Kamu bisa memastikan padanya untuk berjaga-jaga." Bian membuka obrolan.

"Iya," balasku singkat tanpa ingin memanjangkan obrolan. Sudah cukup kalimat darinya mewakili semua. Aku harus patuh.

"Good morning, Bunda, Ayah."

Sapaan itu membuat aktivitasku terjeda. Aku menoleh ke sumber suara. Malaikat kecil di rumah ini terlihat berjalan menghampiri kami dalam keadaan pakaian rapi.

"Pagi, Sayang." Aku menyambutnya dengan senyum hangat.

"Hari ini Ayah dan Momi ada urusan penting di kantor. Angel di rumah berasama Bunda. Ingat pesan Ayah, jangan keluar rumah, ya." Bian mengingatkan putri kecilnya.

"Iya, Ayah." Angel mengangguk. Dia sudah duduk di sampingku.

"Angel mau sarapan apa?" Aku menawarinya.

Sudah menjadi tugasku melayaninya di ruang makan. Hari ini, dia yang meminta sendiri untuk bersiap ditemani pelayan. Dia sudah mulai belajar mandiri. Aku meletakkan roti yang sudah terolesi selai di atas piringnya.

"Pagi, semua."

Pandangan kualihkan pada sumber suara. Cia hadir di ruangan ini. Penampilannya sudah rapi dan sangat mempesona. Dia memang cantik.

Kami sibuk dengan makanan masing-masing. Obrolan pun tercipta antara Bian dan adiknya. Angel sesekali ikut memotong karena merasa diacuhkan, sedangkan aku lebih memilih untuk diam.

"Nyonya. Guru Angel sudah datang." Seorang penjaga menyampaikan.

"Aku akan menemuinya." Bian beranjak dari kursi.

Penjaga itu mengangguk, lalu beranjak dari posisinya untuk mengikuti Bian.

"Sebenarnya, aku merasa berat meninggalkan kalian karena khawatir terjadi sesuatu, tapi tugas kantor memaksaku untuk hadir. Aku akan usahakan pulang secepatnya setelah urusan kantor selesai." Cia angkat suara.

"Kamu tidak perlu khawatir seperti itu. Aku dan Angel akan baik-baik saja. Di sini ada banyak penjaga dan pelayan. Semuanya akan aman." Aku menenangkannya.

"Bunda, Angel sudah selesai makan. Angel ingin bertemu dengan guru," sambar Angel.

"Angel cuci tangan dulu bersama pelayan. Setelah itu, Angel boleh menemui guru." Aku memberinya instruksi.

"Okey, Bunda." Dia beranjak dari kursi, lalu meninggalkan meja makan untuk memcuci tangan.

Perlengkapan sekolahnya sudah tersedia di ruangan khusus untuk Angel belajar. Bian sudah menyiapkan semuanya. Aku hanya perlu memberikan pengertian pada Angel selama belajar secara pribadi.

"Ini data guru piano Angel." Cia meletakkan sebuah map di sisi meja.

Aku meraih map itu, lalu membukannya untuk memastika data guru yang akan mengajari Angel. "Kamu tau apa yang Bian janjikan pada Angel karena sudah berhasil membujuknya?" tanyaku pada Cia.

"Mungkin liburan ke luar negeri," balas Cia menebak. Rupanya dia belum tahu, sama seperti aku.

"Kamu sudah siap?"

Obrolan kami terjeda karena pertanyaan Bian. Semoga saja dia tak mendengar pertanyaanku pada adiknya.

"Iya," balas Cia singkat, beranjak dari kursi.

"Ingat pesanku. Aku sudah-"

"Aku tau," potongku tanpa ingin lebih panjang mendengar ucapannya.

"Ini serius. Jangan memotong ucapanku," balasnya menahan amarah.

Lebih baik aku diam daripada akhirnya dia marah. Melawannya berpotensi menimbulkan obrolan sengit. Dia kembali mengingatkan aku agar berhati-hati dan mengingatkan pelayan atau penjaga agar tidak mengizikan orang lain masuk ke dalam rumah ini. Aku dan Angel seperti tawanan yang harus dikurung karena kesalahan yang tidak kami perbuat.

Setelah selesai memberiku berbagai peringatan, dia berlalu pergi tanpa pamit, atau minimal menunjukkan sedikit citranya sebagai suami. Ujian terberat dalam hidupku adalah menghadapinya. Cia menyusul pamit padaku dan kembali mengingatkan agar aku hati-hati di rumah. Mereka benar-benar sulit untuk ditebak. Terkadang santai, dan terkadang seperti ini. Aku tak bisa mengelak dari apa yang mereka sampaikan. Nyatanya ini demi kebaikan kami.

Angel masih di dalam ruangan belajar bersama gurunya. Aku hanya bisa mengawasi lewat CCTV. Gadis kecil itu terlihat antusias mengikuti pelajaran yang diberikan. Masa belajarnya selama dua jam. Selama itu pula aku harus duduk di sini untuk mengawasi sambil sesekali menginstruksi pelayan masalah pekerjaan rumah.

Dua jam akhirnya berlalu. Masih ada jeda waktu sekitar 15 menit untuk Angel istirahat sambil menunggu guru selanjutnya. Belajar piano adalah salah satu kesukaan Angel. Pelayan sudah menyiapkan jus untuk kami.

"Angel ganti baju dulu, ya. Masih ada waktu sepuluh menit untuk menunggu guru piano," ajakku pada Angel.

Angel hanya mengangguk, mengikutiku untuk menuju kamarnya. Aku menghampiri tempat pakaian, membuka salah satu lemari untuk meraih pakaian yang akan Angel kenalan.

"Nyonya. Guru piano Angel sudah datang."

Perhatianku teralih ketika mendengar pwlayan menyampaikan jika guru piano sudah tiba. Pandangan kualihkan pada jam di pergelangan tangan. Maaih tersisa tujuh menit. Tidak seperti biasanya guru datang lebih awal seperti ini.

"Tolong pakaikan pakaian ini pada Angel." Aku mengulurkan pakaian padanya.

Dia hanya mengangguk sambil menerima pakaian yang aku berikan. Aku bergegas meninggalkan kamar Angel untuk memastikan. Terlihat seorang laki-laki berdiri di ruang keluarga tanpa siapapun di sekelilingnya. Aku mengamati wajah laki-laki itu untuk memastikan. Pandangan kuedarkan untuk mencari penjaga. Tak ada seorangpun kudapati.

"Di mana penjaga?" tanyaku tanpa menatapnya, masih mencari sosok penjaga.

"Akhirnya aku bertemu denganmu."

Aku melempar pandangan ke arahnya. Dia terlihat menyeringai. Baru kusadari jika wajahnya berbeda dari data diri yang Cia berikan padaku.

"Kamu siapa?" Aku kembali bertanya sambil melangkah mundur.

Dia mengayun langkah untuk menghampiriku. Seketika aku merasa takut. Dia bukan guru piano Angel. Aku bergegas lari untuk menuju kamar.

"Kamu tidak akan bisa kabur dariku."

"Pelayan!" seruku.

Suara seperti tembakan menggema di rumah ini, membuat langkahku terhenti seketika. Aku menoleh ke belakang untuk memastikan. Terlihat dua pelayan terjatuh di atas lantai. Kaki mereka mengeluarkan darah. Aku bergegas menyentuh handel pintu untuk bergegas masuk ke dalam kamar, tapi gerakanku terhenti saat suara tembakan kembali menggema, dan di saat yang sama kakiku terasa seperti mati rasa. Aku menatap ke arah kaki. Terlihat darah mengalir di kakiku. Suara tembakan kembali menggema. Aku bergegas masuk ke dalam kamar dalam keadaan kaki bersimbah darah. Tangis tak bisa kubendung setelah mengunci pintu kamar. Aku bergegas meraih ponsel di dalam saku untuk menghubungi Bian.

"Bunda."

"Bawa Angel pergi sekarang!" seruku pada pelayan sambil menunggu Bian mengangkat telepon dariku.

"Tapi, Nyonya-"

"Pergi sekarang!" Aku menatap tajam pelayan. Rasa sakit kini menjalar ke seluruh kaki.

Suara tembakan kembali terdengar. Pelayan mengajak Angel untuk pergi, tapi dia menolak. Angel ingin pergi bersamaku. Sialnya Bian tak mengangkat telepon dariku. Berulang kali aku menghubunginya.

"Angel. Di luar sana ada orang jahat. Angel harus cepat pergi." Aku menasehati Dania. Sudah tidak banyak waktu.

Suara gedoran pintu kini terdengar jelas. Seruan meminta dibuka pintu di belakang tubuhku terdengar jelas. Pelayan masih membujuk Angel. Aku mengayun langkah tertatih, mendorong tubuh Angel agar menuju jendela. Pelayan membantu Angel untuk keluar setelah jendela terbuka. Suara dobrakan pintu terdengar jelas. Angel sudah keluar dari kamar ini.

"Tolong bawa Angel pergi jauh dari sini," pintaku pada pelayang dengan memohon.

"Baik, Nyonya." Dia mengangguk.

Pintu kamar ini berhasil terbuka. Aku membalikkan tubuh untuk menatap ke sumber suara. Laki-laki itu berdiri persis di ambang pintu. Dia kembali mengarahkan pistol ke arahku. Air mata tak bisa kubendung saat ini. Tubuh bagian pinggang sampai kaki terasa sakit. Ada alasan kenapa aku tak kabur.

"Nyawa harus dibayar nyawa," ucapnya.

Aku memejamkan mata. Jika ini akhir dalam kehidupanku, maka akan aku terima, asal Angel selamat. Perlahan mataku terbuka karena tak mendapat suara apa pun. Aku melangkah perlahan untuk kabur karena dia kehabisan peluru. Setidaknya aku masih memiliki kesempatan untuk kabur dari sini.

"Tolong jangan bunuh aku," pintaku memohon saat dia kembali fokus padaku.

"Kamu pasti tahu jika Bian berhutang nyawa padaku, dan kamu harus membayarnya jika dia tak bisa membayar. Bahkan semua orang di rumah ini tak bisa menebus kepergian adikku." Dia berjalan ke arahku.

Aku berusaha menghindar darinya, tapi dia berhasil mengerjarku, lalu memukul kepalaku dengan gagang pistolnya. Saat ini, hanya doa yang aku ucapkan untuk meminta pertolongan agar Bian segera datang. Kepala terasa pusing karena beberapa kali kepalaku dibenturkan pada dinding.

Kini rasa itu berpindah pada leher. Dia mencekik leherku dengan kuat. Tenagaku kalah olehnya. Bian, tolong aku.

Samar, aku melihat wajah Cia di belakang tubuh laki-laki itu. "Cia," lirihku. Penglihatan tak lagi menampakkan cahaya. Semua terasa gelap.

♡♡♡

Jangan lupa tap bintang, ya.
Aku serius bakal up lama kalau sepi. Haha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro