1. Pemuja Kertas Tampan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ruangan indekos yang dipenuhi oleh poster itu terlihat berantakan. Beberapa gulungan kertas tersebar di lantai dan banyak kemasan makanan ringan yang sudah dibuka ikut meramaikan kekacauan di kamar. Queenala Savina, gadis pemilik kamar itu tengah mengikat rambut panjangnya dengan santai tanpa merasa terganggu dengan kondisi kamarnya.

Suara klakson motor membuat Nala bergerak menuju pintu. Ia mendengkus setelah melihat tamunya. Seorang laki-laki yang duduk di atas motor matik itu menaikkan kaca helm dan berdecak.

"Jam berapa ini, Nala?" Laki-laki bersuara berat itu menunjuk jam yang melingkar di pergelangan tangannya setelah memutar bola matanya malas. Ia menggeleng melihat penampilan sahabatnya yang belum siap.

Bukannya segera keluar, Nala malah kembali ke depan kaca dan merapikan rambutnya. "Bentar, elah."

"Gila. Kamar lo lebih parah dari barak perang." Gara yang mampu melihat sebagian kamar gadis itu kembali menggeleng.

"Kayak lo udah pernah ikut perang aja." Gadis bermata besar itu mengambil almamater dan menyampirkannya di bahu. Tangan kirinya memegang sepasang sepatu yang akan ia kenakan. Tak lama setelah itu, sebuah panggilan telepon masuk.

Lagi-lagi Gara harus menghela napas karena kelakuan sahabatnya. "Ada telepon, tuh."

Nala menerima panggilan itu dengan segala kerepotannya membawa sepatu dan almamater. "Iya, Ma. Ini Gara udah di depan. Aku mau berangkat."

Setelah memutuskan panggilan itu, Nala melemparkan almamaternya pada Gara. Laki-laki itu menangkap dengan sigap dan menggeleng setelahnya. Nala kini disibukkan dengan kegiatan mengunci pintu.

Menyaksikan kekacauan Nala bukanlah hal baru bagi seorang Nouvel Anggara. Mereka sudah bersahabat sejak SMA. Pertemuan mereka juga bukan pertemuan yang menyenangkan seperti pertemanan lainnya. Bisa dibilang pertemuan mereka adalah pertemuan teraneh sepanjang masa.

Gara duduk di belakang gedung perpustakaan dengan sebatang rokok menyala yang terselip di jarinya. Hari itu adalah hari terakhir dari masa pengenalan sekolah di SMA. Ia sama sekali tidak berminat lagi untuk mengikuti rangkaian acara tersebut. Beberapa hari sebelumnya, ia tidak sengaja melihat seorang kakak kelas yang berjalan ke belakang perpustakaan, Gara jadi penasaran untuk melihat tempat macam apa yang ada di sana. Mungkin saja tempat itu bisa dipakai untuk melarikan diri.

Belum juga ia merasakan kebebasan, seorang gadis dengan pakaian putih biru muncul di dekatnya dengan tatapan tidak percaya. Gara tidak kalah terkejut, baru kali ini ia melihat seorang gadis dengan tangan berlumuran saus sepertinya. Kemunculan gadis itu lebih mirip dengan munculnya hantu dalam serial horor. Belum lagi rambut panjangnya yang diikat berantakan membuat Gara sempat kaget bukan main.

"Lo ngapain di sini?" Gara bertanya dengan dahi berkerut.

Gadis berambut dikucir dua itu malah tersenyum. Senyumnya mirip seringai. Gara hampir menahan napas karenanya.

"Udah lama ngerokok?" Gadis itu melihat rokok yang menyala di antara jari Gara. Melihat rokok tersebut masih nyaris utuh, gadis itu mengangguk. "Kayaknya baru mulai."

"Ini bukan punya gue." Laki-laki yang seragamnya keluar sebagian itu segera meletakkan rokok di salah satu batu yang ada di dekatnya.

Gadis itu duduk di samping Gara dengan santai. "Punya lo juga nggak apa-apa. Kenalin gue Nala. Queenala. Jangan panggil gue Queen. Gue nggak suka, kalau lidah orang Indonesia yang ngomong bakalan kedengaran lokal banget."

Gara tidak membalas uluran tangan Nala. Ia malah menunjuk tangan gadis itu sambil menyipitkan mata. "Tangan lo?"

"Oh, ini bekas saos telor gulung tadi." Gadis itu cengar-cengir. "Gue ke sini mau cari keran. Bentar."

Setelah mencuci tangannya di keran yang ada di samping perpustakaan, Nala kembali tersenyum. Senyumnya kali ini tidak terlihat menyeramkan, justru malah terlihat menyenangkan. Jenis senyumnya adalah senyuman yang bisa membuat orang lain turut tersenyum. Tanpa sadar, senyum Gara mengembang. Dalam hati, ia menyimpulkan kalau gadis ini benar-benar ajaib.

"Sorry, gue setorannya lama." Seorang laki-laki berseragam putih abu-abu yang baru saja tiba itu mengambil rokoknya dan mengucapkan terima kasih pada Gara.

"Itu beneran bukan rokok lo?" Nala berbisik setelah memanggil Gara mendekat dengan gerakan tangan.

"Gue udah bilang tadi. Gue nggak ngerokok." Gara tertawa karena gemas. Gadis ini tidak kelihatan pintar. Ia benar-benar polos dan ceroboh. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Gara merasa tertarik dengan kepribadian gadis yang ada di hadapannya. Gadis ini terlihat berani untuk ukuran anak SMP yang baru lulus.

Nala menatap Gara dengan mata besarnya, ia memperhatikan wajah Gara dan menghela napas. "Jadi, nama lo?"

Laki-laki berkulit cokelat itu mengulurkan tangannya lebih dulu. "Nouvel Anggara. Biasa dipanggil Gara."

Nala tidak menyambut uluran tangan Gara. Dahi gadis itu malah berkerut. "Nama lo mirip sama karakter anime yang gue suka."

"Jangan bilang, Gaara yang di Naruto?" Laki-laki bermata sipit itu jadi antusias.

"Wah, kayaknya lo cocok jadi teman gue. Oke, Gara KW, ayo temenan." Nala menggenggam tangan Gara dan senyumnya mengembang.

Satu pukulan yang cukup keras di helmnya membuat Gara tersadar. Ia memperbaiki posisi helm yang sudah bergeser dari kepalanya, sedikit lebih maju dari yang seharusnya.

"Lo mau berangkat nggak? Gue jalan kaki aja kalo lo masih mau ngelamun di sini." Nala melontarkan ancaman dengan penuh emosi.

"Iya, sabar Kuin." Gara menyebutkan nama itu dengan penggalan penuh penekanan.

Nama Nala yang harusnya Queen berubah menjadi Kuin. Laki-laki jangkung itu memang suka menggoda Nala dengan nama depannya. Gadis itu akan sangat kesal kalau namanya disebutkan dengan gaya lokal.

Motor matik yang dikendarai Gara melaju menuju gedung serba guna tempat ospek berlangsung. Gedung tersebut berjarak kurang dari satu kilometer dari indekos Nala, jadi tidak butuh waktu lama untuk mereka tiba di tempat itu.

"Gue masuk dari pintu Barat." Nala berseru karena laki-laki itu tidak berbelok ke pintu Barat.

"Heh! Kampret! Gue masuk dari pintu Barat." Gadis itu mengetuk helm Gara dengan penuh emosi.

Motor matik berwarna merah itu berhenti di parkiran dekat pintu Timur. Nala buru-buru turun dan bersiap meluapkan umpatan yang lebih spektakuler. Namun, ia batal meluapkan emosinya karena dua orang laki-laki yang kelihatan akrab dengan Gara menghampiri mereka.

"Sama siapa, Gar?" Laki-laki berwajah oriental menyapa lebih dulu.

"Peliharaan gue." Gara tertawa setelah melihat Nala cemberut.

Nala merapikan rambutnya dan berbicara dengan nada lembut. "Gara, nggak sopan ngomong gitu."

Gara hampir menjitak kepala Nala karena tiba-tiba sahabatnya itu bertingkah layaknya wanita bertata krama.

"Ayo, masuk. Bisa jadi masalah kalo kita telat." Kata-kata laki-laki bertubuh mungil itu menyadarkan Nala.

"Mati gue." Gadis berambut terikat itu berlari sekuat tenaga. Ia harus masuk dari pintu yang berlawanan dengan posisinya sekarang.

Gara tertawa melihat Nala yang berlari karena ulahnya.

"Awas ya, lo." Gadis itu masih sempat mengancamnya dari kejauhan.

***

Nala merebahkan tubuhnya di kasur sambil menatap poster yang ada di kamarnya. Ia tersenyum melihat jajaran kertas tampan yang sengaja ia kumpulkan untuk menjadi sumber semangatnya. Gadis yang kini sudah mengenakan baju tidur itu meraih salah satu makanan ringan favoritnya. Ia sempat tertawa karena salah satu poster tampan yang ada di kamarnya bernama serupa dengan makanan ringan yang ada di tangannya. Nala tertawa setidaknya selama tiga menit. Gadis berambut tergulung itu hampir terjungkal dari kasurnya karena suara keras yang berasal dari luar.

"Kuin."

Tidak diragukan lagi, suara itu pasti berasal dari spesies setengah kera yang sedang mencari perhatiannya.

"Kuin. Main, yuk." Gara kembali memanggil.

Tentu saja panggilan itu diabaikan oleh Nala. Dalam hati, Nala tengah menyerukan sumpah serapah untuk sahabatnya yang membuat ia berlari dan terkena hukuman dari kakak tingkat.

"Kuin. Gue bawa paket ayam goreng favorit lo, nih."

Tadinya Nala mau mempertahankan egonya, tetapi harga dirinya lebih murah jika dibandingkan dengan paket ayam goreng favoritnya. Gadis itu batal membuka makanan ringan, ia akhirnya membuka pintu kamarnya. Sekantong ayam dari tempat favorit Nala menggantung di depannya. Gadis itu langsung membuka pintu kamarnya lebar-lebar.

Senyuman laki-laki yang ada di balik pintu itu mengembang. Hal itu membuat matanya menghilang, berubah menjadi garis lurus.

"Jangan senyum. Lo jelek kalo senyum." Nala berbicara setelah mengambil sogokannya. Nala tersenyum lebar sambil membongkar isi kantung berlogo ayam itu.

Laki-laki yang kini sudah duduk di lantai itu memandang sekeliling. "Kamar lo udah nggak sekacau tadi pagi."

"Iya, dong. Nala gitu." Gadis itu mengibaskan rambutnya yang tidak terurai. Akhirnya ia melepas ikat rambutnya hanya untuk melakukan kibasan rambut ala-ala yang pasti berhasil membuat Gara kesal.

"Gue kira lo nggak akan bawa itu poster pemujaan. Ternyata masih aja. Malah kayaknya nambah." Gara melihat puluhan poster yang menempel di dinding kamar gadis itu.

Walau pertunjukan kibas rambutnya diabaikan, Nala langsung semangat begitu Gara membahas tentang jajaran poster tampannya. "Lo lihat yang di ujung itu. Itu anggota boygrup yang baru debut. Cakep banget. Mana masih muda."

Gara melayangkan satu pukulan di kepala Nala. Laki-laki itu menggunakan gulungan gertas yang ada di dekatnya. "Lo, kalo sama yang cakep, baru jinak."

"Sayangnya lo nggak cakep, sih." Gadis itu menatap wajah Gara prihatin.

Bukannya marah, Gara malah berdecak. "Gini-gini pengagum gue banyak, lho."

"Iyain, biar seneng." Nala memutar bola matanya malas.

"Udah. Yuk, makan. Laper gue." Gara mengambil satu potong ayam yang ada di depannya.

Setelah menghabiskan satu paha ayam goreng, Nala tiba-tiba berseru heboh. Laki-laki yang tengah mengunyah makanan di sampingnya sampai tersedak.

"Gue baru inget. Temen lo yang sipit tadi siapa namanya? Ganteng banget."

Gara masih batuk-batuk dan berusaha menenangkan diri dengan minum air ketika wajah Nala berubah merah.

"Otak lo, bersihin dulu!" Gara kembali memukul kepala gadis itu dengan gulungan kertas.

"Lo ini orang yang paling berkontribusi buat otak gue bermasalah. Doyan banget mukul kepala gue. Gini, ya, Gara KW. Wajar gue sebagai wanita, suka laki-laki tampan. Gue emang nggak jelek, tapi alangkah baiknya kalo gue menikahi laki-laki tampan. Seenggaknya keturunan gue bakal good looking. Betul atau betul?"

"Betul-betul nggak waras. Sion udah jadi cowok idaman lo nomor berapa?" Gara menggeleng. Ia melanjutkan aktivitasnya menggiling kentang di mulut.

"Oh, jadi masa depanku bernama Sion." Suara penuh drama itu berubah menjadi normal. "Kayaknya sih nomor 70-an. Lo masih inget nggak kakak yang bantuin kita daftar SBMPTN dulu, dia mau nikah, dong."

"Ya, kalo mau nikah, kenapa? Kan, lo udah berpindah hati?"

Gadis itu mendengkus dan menatap Gara sinis. "Gue cuma ngasih tahu."

Salah satu kebiasaan Nala sejak SMA adalah mengoleksi kandidat yang mungkin menjadi jodohnya di masa depan. Namun, rasa kagum itu paling lama bertahan selama dua bulan. Belum ada satu nama yang bertahan lebih dari masa itu. 

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Aloha!

Ketemu lagi sama Nala dan Gara. Seneng banget bisa main sama mereka lagi. Ayo, ikutin terus perjalanan Nala buat ketemu sama cowok masa depannya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro