12. Rambut Dora

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arka sudah berdiri di depan rumahnya sejak setengah jam lalu. Laki-laki berkulit pucat itu langsung mengepalkan tinjunya ketika melihat sahabatnya keluar dari mobil.

"Lama banget lo."

Sion membalas kepalan tinju itu dengan kepalan tinju darinya. Mereka saling menyapa dengan kepalan tinju yang beradu.

"Gue mampir kampus dulu." Sion mengikat rambutnya sambil berjalan ke ruang tengah rumah megah laki-laki itu.

"PS-nya udah gue setting. Makanan ambil sendiri di dapur. Gue udah isi ulang kulkas."

Sion melangkah ke dapur dan dengan mudah menemukan kulkas. Ia mengambil dua kaleng minuman bersoda dan beberapa makanan ringan yang ada di lemari dekat kulkas. Laki-laki berambut panjang terikat itu memang sudah biasa datang ke tempat Arka. Mereka berdua sudah berteman sejak SMA. Sion tahu betul kalau Arka sulit mengekspresikan diri. Kalau diibaratkan dengan perumpamaan, Arka itu serupa kanebo kering.

"Lo udah buka pengumuman dari panitia KKN?" Sion meletakkan dua kaleng soda dan beberapa makanan ringan di atas karpet.

"Gue belum buka email dari tadi pagi." Arka membuka kaleng soda yang ada di depannya.

"Cek sana! Pembagian kelompok sama penempatan udah keluar. Coba cek, siapa tahu lo bareng sama temen gue." Sion bertanya sambil mendekat untuk melihat email Arka.

"Temen lo yang mana? Kayak punya temen aja." Jari tangan Arka sibuk membuka email.

"Temen gue ada di semua fakultas. Lo mau yang mana?" Sion jadi emosi karena Arka terlihat tidak mempercayainya.

Mata Arka langsung terkunci pada satu nama yang ada di antara lima nama lain. Ia mengenali nama itu. Sebuah pertanyaan muncul di kepalanya, tetapi Arka enggan mengutarakkan pertanyaan itu.

Sion yang biasanya kalem, langsung tertawa heboh sampai terjungkal begitu melihat nama Gara yang turut tergabung pada kelompok Arka. "Nouvel Anggara, teknik mesin. Beneran lo satu kelompok sama temen gue."

Arka tersenyum. Pertanyaannya sudah terjawab tanpa bertanya.

"Gue nggak nyangka kalian bisa gabung satu kelompok." Sion berseru heboh.

Alis Arka tertaut, ia tidak memahami kata-kata Sion.

"Pokoknya lo harus bisa menang dari Gara."

"Memangnya mau ngapain?" Tangan Arka sudah tidak memegang kaleng soda, kini ia sudah memegang stik PS.

"Ya, siapa tahu aja, kalian suka sama cewek yang sama. Biar lo waspada, Gara, tuh, jago banget."

Arka mendengkus. "Gue mau KKN, bukan mau cari cewek."

Sion tersenyum, senyumnya lebih mirip seringai jahat. Ia juga sudah memegang stik PS dan bergabung dalam permainan.

"Ya, kan, gue bilang, siapa tahu. Nggak ada yang tahu gimana nanti. Gue cuma cuma kasih wejangan aja, siapa tahu lo bakal ketemu anak mipa itu lebih sering."

Kata-kata Sion mampu membuat Arka kehilangan fokus dan gerakan jarinya terhenti.

"Gue baru bilang anak mipa aja lo udah gagal fokus. Gimana kalau gue spill namanya?" Sion melanjutkan permainannya dan mengambil kesempatan itu untuk mengalahkan Arka.

Arka meletakkan stik PS-nya. "Lo tahu dari mana?"

Sion juga turut meletakkan stiknya. "Dari mata sama ekspresi lo kalo liat dia. Bisa-bisanya lo ngaku-ngaku jadi pacarnya. Untung gue masih bisa mikir dan nggak nanya langsung ke Nala."

"Lo ada di ATM waktu itu?"

Sion mengangguk sambil tersenyum penuh arti. "Gue berdiri nggak jauh dari posisi lo. For your information aja, nih, ya. Waktu itu gue yang nganter Nala ke ATM."

Seketika laki-laki berkulit pucat itu kehabisan kata-kata.

"Nggak usah syok gitu. Gue temen Nala juga." Sion menepuk pundak Arka. "Lo tahu Nala sama Gara sahabatan, tapi gue nggak bisa jamin hubungan mereka nanti cuma sebatas sahabat."

"Gue denger, Gara punya pacar."

Kali ini, giliran Sion yang kehabisan kata-kata. Pernyataan Arka membuat Sion sadar kalau laki-laki itu sudah tahu lebih banyak dari yang seharusnya.

"Pacarnya nggak cuma satu."

"Gue nggak tahu lo dengar ini dari mana, tapi gue sebagai temennya nggak bisa nyangkal itu. Makanya gue bilang, Gara itu jago. Satu hal yang perlu lo tahu. Saat seseorang punya pacar, belom tentu dia nggak punya orang lain yang disuka."

Arka diam. Ia mencoba memahami kata-kata Sion. Tidak lama setelah itu, ia mengangguk. "Gue ngerti."

Permainan mereka berlanjut hingga menjelang petang. Permainan mereka sempat terhenti karena Sion yang menadapat panggilan alam. Saat menuju ke kamar mandi, Sion melihat gantungan kunci Snorlax yang kelihatan sudah usang menggantung di pintu kamar Arka.

"Gue lupa terus mau nanya, gantungan kunci pokemon di pintu kamar lo udah buluk, kenapa masih ditaro situ?" Laki-laki berambut terikat itu kembali duduk di posisinya semula.

"Snorlax? Gantungan kunci itu punya banyak kenangan, makanya masih dipajang di sana."

"Ngomong-ngomong soal pokemon, karakter pokemon lo sama kayak punya Nala. Gue pernah, tuh, dikerjain Gara buat nyari gantungan kunci model sama kayak itu karena punya Nala ilang."

Arka hanya mengangguk dan tidak melanjutkan pembicaraan tentang gantungan kunci miliknya itu.

***

Cahaya matahari sudah berhasil menerobos masuk ke dalam kamar indekos Nala, tetapi gadis yang kini kelihatan sangat berantakan itu masih enggan beranjak dari tempat tidurnya. Perut gadis itu sudah melakukan demo besar-besaran, tetapi bukannya bangun, Nala malah mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap.

Nala menghabiskan waktunya hingga subuh untuk menonton beberapa film sedih untuk meluapkan segala emosi dan kekecewaannya karena batal satu kelompok dengan Pangeran Dua Ratus Rupiahnya. Kini Nala hanya bisa menyesal karena sudah mengorbankan kesempatannya untuk KP bersama teman-temannya dan memilih KKN dengan harapan bisa satu kecamatan bahkan satu kelompok dengan Arka. Ditambah lagi, selama seminggu penuh Gara kelihatan sibuk dengan kegiatan himpunan mahasiswanya. Bahkan laki-laki itu tidak pernah datang ke indekos Nala. Hal itu membuat kegalauan Nala semakin besar karena orang yang biasanya menghiburnya malah menghilang.

Pengumuman pembagian kelompok dan penugasan tempat KKN tersebut keluar tepat setelah UAS selesai. Setelah UAS, biasanya masing-masing himpunan mahasiswa memiliki kegiatan sebelum libur berlangsung. Nala tidak banyak protes pada Gara karena jika kondisinya baik-baik saja, Nala juga pasti akan dibuat sibuk dengan kegiatan himpunan mahasiswa selama seminggu ini. Namun, Nala memilih untuk tidak ambil bagian dalam kegiatan himpunan kali ini untuk meresapi segala kegalauannya. Benny dan Setia tidak banyak bertanya mengenai hal itu, mereka mengira Nala sibuk mempersiapkan KKN.

Di tengah kegiatan melamun dengan posisi tengkurap, Nala tiba-tiba punya ide karena rambut panjangnya selalu berhasil membuatnya kesal. Setelah berdiskusi dengan diri sendiri, akhirnya Nala menyetujui ide tersebut.

Nala sedang duduk di sebuah kursi dengan kaca besar di depannya ketika sebuah panggilan masuk. Gadis itu langsung meraih ponselnya dan menjawab panggilan tersebut.

"Selamat siang, Kuin." Suara dari seberang sana kedengaran begitu semangat.

"Oh, masih inget sama gue?" Nala menjawab penuh emosi.

"Cie, ngambek." Suara tawa yang sudah lama tidak Nala dengar itu pecah. "Di mana lo sekarang?"

"Di mana-mana hatiku senang." Nala sengaja tidak langsung memberi tahu.

"Serius, elah. Mau gue traktir nggak? Honor asisten dosen baru cair, nih."

Suara Nala langsung berubah ceria. "Kalo urusan traktir, ya, kali nggak kuy. Kuy, lah."

Gara berdecak. "Ya, lo di mana? Biar gue jemput."

Nala tidak langsung menjawab, dia menjauhkan ponselnya dari telinga, kemudian bertanya pada petugas salon yang tengah memotong rambutnya.

"Sepuluh menit lagi selesai, jemput gue di salon Adinda yang deket kosan itu."

"Oke. Tumben amat lo ke salon?"

Nala yang sudah malas meladeni Gara, langsung memutuskan panggilan tersebut. Nala tertawa karena kini pasti Gara sudah mengumpat karenanya.

Sepuluh menit setelah panggilan telepon itu, benar saja, Gara sudah tiba di sana. Laki-laki berjaket denim itu sempat kesulitan mencari Nala karena ada beberapa pelanggan di dalam salon itu. Akhirnya, Gara memilih untuk duduk di dekat pintu masuk. Tidak lama setelah Gara duduk, satu panggilan dari Nala masuk ke ponselnya.

"Gue deket pintu masuk."

Nala tertawa. "Gue di depan lo."

Gara mendongak dan mendapati seorang gadis dengan rambut sebahu berdiri di depannya. Gara mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian ia mengucek kedua matanya. Sadar kalau gadis yang ada dihadapannya ini benar-benar Nala, Gara langsung bangkit berdiri dan berkacak pinggang.

"Dalam rangka apa lo potong rambut kayak Dora begini?"

Malas menanggapi Gara yang terlihat sudah siap mengomel, akhirnya Nala berjalan melenggang keluar dan langsung menuju tempat parkir. Belum juga Nala tiba di tempat parkir, Gara sudah menarik tangannya dan hal itu membuat tubuh Nala berbalik menghadap laki-laki itu.

"Lo kenapa tiba-tiba potong rambut pendek?"

"Buat buang sial. Lagian, bosen aja punya rambut panjang terus."

Gara melepaskan pegangannya pada tangan Nala. "Jujur sama gue, kenapa lo potong rambut?"

"Sensi banget, ya. Gue udah laper. Ayo, makan."

Nala berjalan meninggalkan Gara yang masih tidak habis pikir setelah melihat Nala yang seumur hidupnya tidak pernah berambut pendek, tiba-tiba memotong rambutnya pendek.

Kedua sahabat itu bisa menaiki motor dengan tenang. Tidak ada pertengkaran maupun percakapan di sepanjang jalan menuju gerai ayam goreng favorit Nala. Setelah tiba di tempat dan makanan sudah tersaji di hadapan mereka, Nala akhirnya bicara.

"Gue abis galau seminggu penuh, makanya kepikiran potong rambut. Kalo kata orang zaman dulu, potong rambut itu bisa buang sial." 

"Galau kenapa, gitu? Oppa lo ada yang kepergok kencan lagi? Apa malah udah mau nikah? Atau ...." Gara tidak lagi melanjutkan opsi yang lebih berbahaya dari dua pilihan sebelumnya karena Nala sudah memelototinya. 

"Gue nggak satu kelompok sama Arka, boro-boro satu kelompok, satu kecamatan aja enggak." Nala mematahkan sayap ayam yang kini ada di tangannya untuk menyalurkan kekesalannya. "Terus, lo sibuk banget seminggu ini. Udah kayak orang penting aja." 

Gara menghabiskan es tehnya sebelum menjawab Nala. "Gue emang sibuk, ya. Jangan pura-pura nggak tahu, lo juga biasanya sibuk di himpunan."

"Gue baru kepikiran buat tanya, lo ditempatin di mana KKN-nya?" Nala langsung mengalihkan topik pembicaraan. 

"Gue ditempatin di Kecamatan Rumbia Baru."

Gara merapikan piring dan gelas yang ia gunakan. Setelah selesai dengan makanannya, Gara kini sibuk melihat Nala yang makan dengan penuh emosi. Kalau dilihat-lihat, gadis yang kini berambut sedikit lebih panjang dari Dora itu memang tidak bisa makan dengan anggun, kecuali jika ada laki-laki tampan di sekitarnya.

"Gimana kelompok lo? Banyak cewek, ya?" Nala bertanya tanpa berusaha menelan makanan yang ada di mulutnya.

Gara mendekatkan tempat saus ke samping tangan Nala yang masih sibuk menguliti sayap ayam. "Tiga cowok, dua cewek. Ngomong-ngomong soal teman sekelompok, gue sekelompok sama Pangeran Dua Ratus Rupiah kebanggan lo."

Nala berhenti mengunyah. Ia langsung memelotot dan menunjuk Gara dengan tulang ayam yang ada di tangannya. Nala sudah siap meluapkan emosinya. "Kenapa baru bilang?"

"Siapa suruh, lo nggak nanya?"

Kalau saja Gara mengatakan hal ini di indekos Nala, pastilah laki-laki itu sudah berubah tampilan seperti ayam geprek. Nala sudah siap melayangkan tinju ke arah laki-laki yang ada dihadapannya, tetapi gerakannya tertahan karena tiba-tiba Sion muncul dari pintu masuk gerai tersebut.

"Ribut terus! Kayaknya nggak ada hari tanpa lo berdua ribut." Sion langsung menarik kursi di meja yang sama dengan Gara dan Nala.

"Thanks, Bro. Lo udah selametin nyawa gue." Gara langsung menyambut kedatangan Sion dengan penuh kebahagiaan.

"Rasanya gue mau nyakar lo, tahu nggak?" Nala kini mengunyah es batu yang ada di mulutnya dengan penuh emosi.

"Apa lagi yang bikin kalian ribut kayak sekarang?" Sion menatap bergantian pada dua orang yang ada di kiri dan kanannya.

Nala mendengkus, kemudian melontarkan omelan khasnya. "Ini Kampret, berhasil buat gue kayak orang gila, uring-uringan satu minggu gara-gara nggak tahu di mana Arka ditempatin. Terus hari ini, dengan wajah penuh dosanya, dia bilang kalo ternyata dia satu kelompok sama Arka. Please, deh. Ini bukan satu kecamatan, tapi satu kelompok. Gue nggak ngerti lagi, nih, di mana rasa setia kawan manusia ini?"

"Ya, lo nggak nanya." Gara berseru separuh emosi.

"Lo, tuh, bikin emosi aja." Nala hampir melempar sayap ayam yang tersisa di piringnya.

Sion hanya bisa tertawa karena pemandangan yang ada di depannya. Seminggu yang lalu, saat bertemu Sion, Gara langsung bercerita kalau ia satu kelompok dengan Arka. Ternyata laki-laki bertelinga ditindik itu tidak menceritakan hal itu pada Nala.

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Perkara rambut, Gara udah hampir ngamuk, eh, Nala cuma cengar-cengir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro