21. Make a Wish

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perjalanan pulang Nala dan Arka diisi sepi. Tidak ada percakapan, apalagi tawa. Hanya hening yang tercipta. Kepala Nala dibuat sibuk dengan berbagai pilihan untuk meminta maaf. Meski aroma ayam goreng yang sangat ia sukai kini tengah menyerang, Nala tetap sibuk dengan kepalanya sendiri. Namun, tiba-tiba Arka berhenti di sebuah warung yang cukup besar. 

"Ayo, turun!"

Meski bingung, akhirnya Nala turun dari motor. "Mau beli apa, Ka?" 

"Anak-anak nitip lilin. Hampir aja kelupaan."

"Buat apa?" Nala sama sekali tidak bisa berpikir. 

"Ketua kelompok kami, kan, ulang tahun. Anak-anak mau pada kasih kejutan. Makanya tadi gue cegah Gara buat pergi."

Nala mengumpat. Umpatan itu ia lontarkan untuk dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia lupa hari ulang tahun sahabatnya, bahkan teman sekelompok Gara yang baru kenal dua minggu bisa tahu hari penting itu. Nala tertunduk lesu dan tidak bisa berpikir lagi. 

"Kenapa, Nala?" Arka bertanya sebelum mereka pergi dari warung tersebut.

"Gue lupa kalo Gara ulang tahun." 

Arka tertawa kecil. "Terus? Kan, nanti bisa rayain bareng-bareng. Hawu bilang, ulang tahun itu hari spesial buat Gara. Makanya anak-anak juga pada heboh."

Nala tidak sadar kalau Arka sudah berbicara dengan kalimat panjang. Tidak lagi dengan kalimat-kalimat pendek menggantung.

"Kenapa lo nggak cari hadiah atau lo mau kasih kejutan duluan? Pasti Gara seneng. Anggep aja lo sengaja nggak ngucapin ulang tahun, buat kasih kejutan."

"Betul juga."

Nala langsung kembali ke warung dan segera membeli satu buah roti dan satu lilin besar yang biasa digunakan untuk penerangan saat listrik padam. Untuk hadiahnya, Nala akan memberikannya nanti. Ada satu hal yang selalu ingin Nala berikan pada Gara. Gadis berjaket abu-abu kebesaran itu tidak lagi tertunduk lesu, kini ia semangat untuk menyusun rencana.

Setibanya di posko kelompok Gara, Nala langsung menyalakan lilin. Ia sempat meminta bantuan Arka untuk menunjukkan lokasi kamar mereka.

Nala tidak perlu repot-repot memastikan kalau Gara ada di kamar tersebut. Melihat sifat Gara yang selalu diam kalau kesal, laki-laki itu pasti masih terjebak dalam kamar karena rasa kesalnya. Nala mengetuk jendela kamar dengan keras, kemudian ia mundur dua langkah setelah mendengar suara langkah kaki dari kamar.

Begitu jendela dibuka, Nala langsung memasang senyum lebarnya. "Selamat ulang tahun, Gara."

Gara tidak kelihatan senang. Ia hanya menatap Nala dengan wajah datar.

Bukannya merasa bersalah Nala malah cengar-cengir. "Lo pasti bete banget karena gue belum ngucapin, ya?"

Gara mendengkus. "Gue kira, lo udah terlalu sibuk buat ngejer cinta Pangeran Dua Ratus Rupiah lo itu sampe enggak peduli lagi sama gue."

Nala mengakui hal itu. Ia terlalu sibuk dengan Arka, hingga melupakan hari penting bagi Gara. Namun, ia tidak sanggup jujur karena hal itu hanya akan menyakiti Gara. "Nggak mungkin, dong, gue nggak peduli sama sahabat terbaik gue. Apa perlu gue nyanyiin lagu Selamat Ulang Tahun, biar lo nggak ngambek lagi?"

Gara berdecak. "Enggak perlu. Makasih."

Nala cemberut dan memajukan bibirnya hingga ia kelihatan seperti bebek. "Terus gue harus gimana biar lo nggak kesel lagi?"

Jangan dekat-dekat Arka. Gara ingin mengatakan hal itu, tetapi ia hanya bisa menyimpannya dalam hati karena ia tahu kalau Nala sangat menyukai Arka.

Akhirnya, Nala menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun dengan suaranya yang pas-pasan. Namun, ia menyanyikan lagu tersebut dengan senyuman lebar.

Gara tertawa karena Nala menyanyikan lagu itu dengan nada yang mengerikan. "Oke, cukup. Kalo gue dengerin lo nyanyi lebih lama lagi, kayaknya gue perlu ke dokter THT."

Nala cemberut. "Lo bener-bener nggak bisa menghargai usaha gue, ya?"

"Iya, iya. Makasih Nala." Gara mengucapkannya dengan malas. Kemudian ia melanjutkan kalimatnya dengan suara yang sangat pelan. "Itu rotinya pasti roti seribuan. Nggak modal banget."

"Sekarang waktunya make a wish."

Gara dan Nala menutup mata mereka bersamaan. Masing-masing dari mereka melantunkan satu doa. Setelah selesai dengan doa masing-masing, keduanya meniup lilin bersama.

"Dih, gue yang ulang tahun, kok, lo ikut-ikutan doa sama niup lilin segala?" Gara segera mengamankan rotinya. 

"Heh! Kalo gue ulang tahun, lo juga ikut-ikutan make a wish, kok. Lo nggak usah protes, deh."

"Wish lo kali ini apa?" Gara bertanya sambil menyingkirkan lilin yang ada di atas roti.

"Ya, jelas. Gue mau punya pacar. Kalo bisa, sih, Pangeran Dua Ratus Rupiah." Nala kembali cengar-cengir. "Tadi kami ngobrol banyak, lho. Ternyata Arka, tuh, kalo ngomong lembut banget. Jadi tambah sayang, deh."

Gara bisa melihat kalau Nala kelewat senang ketika bicara tentang Arka. Laki-laki yang kini tengah membagi dua roti kecil yang dibeli Nala, hanya bisa tertawa garing.

"Kayaknya doa lo tiap tahun begitu mulu." Gara menyerahkan setengah potongan roti tersebut pada Nala dan setengah lainnya ia makan sendiri. "Gue gemes, deh, liat lo sama Arka. Gimana kalo gue bantu kalian untuk makin deket?"

Nala langsung semringah. Ada kilau di matanya. "Beneran?"

"Lo beneran suka sama Arka, kan?"

"Lho, lo kira selama ini gue bercanda? Ya, seriuslah." Nala melayangkan pukulan ke lengan Gara. Jendela yang berada di tengah mereka tidak membuat pukulan Nala melemah.

Gara mengaduh karena pukulan Nala terasa pedas. Gadis itu memang punya kebiasaan untuk memukul orang yang ada di dekatnya ketika terlalu senang. Hawu dan Sion juga sering menjadi korban Nala.

"Jadi, lo beneran mau bantuin gue, nih? Beneran?"

Gara menyeringai. "Ada syaratnya."

"Ye, sebagai sahabat yang baik, gue kira lo tulus dan ikhlas bantu gue, ternyata ujung-ujungnya ada syaratnya juga. Ya, udah, apa syaratnya?"

"Lo harus bahagia sama dia." Gara mengatakan hal itu dengan nada serius dan mata yang terkunci pada Nala.

Gadis berambut terikat itu mengerjap. Ia mengusap tangan dan tengkuknya. "Gue merinding. Sumpah."

"Emang gue setan? Masa sampe merinding?"

"Kata-kata lo, udah berasa kayak abang gue aja."

"Secara teknis, gue emang abang lo, sih. Gue lebih tua 4 bulan."

Nala tidak lagi meladeni Gara. Ia sibuk mengunyah rotinya.

Gara menyodorkan tangan di depan wajah Nala. Gadis itu tidak memiliki petunjuk apa pun. Ia malah melongo.

"Hadiah gue?" Gara kembali menyodorkan tangannya.

Sebelumnya, Nala tidak pernah lupa membelikan kado untuk Gara, tetapi pilihannya sering mendapat protes. Jadi, Nala memang sudah berniat untuk membelikan kado sesuai keinginan Gara. Kalau uangnya kurang, Mama dan Papa pasti mau ikut menyumbang.

"Gue kasih lo satu permintaan. Gue bakalan kabulin, asal masuk akal."

Gara tertawa. "Lo udah kayak Jin Tomang."

"Serius, sahabat mana yang perhatian kayak gue? Lo bebas pilih hadiah lo. Asal tahu diri. Awas aja lo minta beliin barang nggak masuk akal."

"Gue pikirin dulu." Sejujurnya, Gara ingin meminta Nala untuk menjauhi Arka, tetapi ia tahu kalau permintaannya menduduki tempat lebih tinggi dari kata tidak masuk akal. Jadi, ia menyimpan hal itu untuk dirinya sendiri.

"Lo bakal bantuin gue buat deket sama Arka, kan? Janji?" Nala mengacungkan jari kelingkingnya.

Gara menyambut kelingking Nala dan jari mereka tertaut. Dengan ragu, Gara berkata, "Janji."

***

Hawu dibuat sibuk setelah sepasang sejoli yang ia dukung sepenuh hati, pergi dari posko. Laki-laki mungil itu adalah otak dari semua rencana kejutan ulang tahun Gara. Ia tahu betul hal yang bisa membuat Gara kesal. Janji yang ditunda dan orang-orang yang melupakan hari ulang tahunnya. Bagi sebagian orang, hari ulang tahun hanya hari biasa, tetapi bagi Gara, hari itu adalah hari spesial. Hari saat ia bisa merasa senang hanya dengan diingat.

Hawu berani jamin, Gara tidak akan keluar dari kamarnya jika hari belum berganti. Trik yang sama sudah sering dilakukan oleh Hawu dan Sion, tetapi Gara tetap saja tertipu. Hawu masih sibuk dengan gulungan tikar ketika satu panggilan masuk ke ponselnya.

Belum juga Sion bicara, Hawu sudah menyambar tanpa rem. "Gila, ya, lo? Bisa-bisanya kemaren lo chat gue begitu? Gue hampir mati karena keselek tahu nggak?"

"Lo nggak mati, kan?" Hawu bisa mendengar tawa Sion dengan jelas.

"Kalo gue mati, lo pasti udah jadi tersangka pembunuhan Resion Dirgantara!"

"Gimana?"

Hawu semakin emosi. Ia menghempaskan tikar yang sedari tadi ia peluk. "Lo bisa nggak, sih, kalo ngomong, tuh, pake keterangan. Apanya yang gimana?"

Suara keras Hawu sempat menarik perhatian, tetapi ia segera keluar dari posko dan berjalan cukup jauh hingga kebun tetangga.

"Gimana Gara sama Nala?"

"Nggak salah, tuh, pertanyaan? Bukannya, gimana Nala sama Arka?"

"Terserah, deh. Gimana mereka?"

Hawu mencari tempat bernaung dan duduk setelah menemukan sebuah pohon. "Jelasin dulu maksud chat lo kemaren!"

"Lo beneran nggak tahu? Emang nggak keliatan?"

Hawu mulai mengambil daun kering yang ada di sekitar kakinya. "Apaan? Jangan bikin gue naik darah, dong!"

"Gara suka sama Nala."

Kini Laki-laki mungil itu melempar daun kering yang tadi ia genggam. Hawu sudah tidak peduli dengan segala pencitraan yang sudah ia bangun. Tingkahnya kini pasti sudah lebih mirip orang gila daripada ketua kelompok KKN. "Ya, itu chat lo yang bikin gue hampir semaput! Maksud gue, kok, lo bisa bilang gitu, Sion? Kenapa? Jelasin, kenapa?"

"Dari awal Gara ngenalin Nala ke kita, gue udah curiga kalo hubungan mereka nggak cuma temenan."

"Ya, emang mereka udah kayak sodara, kan? Gara aja manggil mamanya Nala pake panggilan Mama."

"Gue sempet kepikiran gitu, tapi kalo lo perhatiin, Gara mulai nujukin sikap yang berlebihan kalo Nala ngomongin Arka. Dia juga nggak banyak cerita soal temen KKN-nya ke Nala, kan? Padahal dia sering banget ngocehin itu ke kita. Satu lagi, Gara keliatan seneng banget waktu Nala bilang dia udah ditolak Arka."

"Jadi, maksud lo, Gara cemburu sama Arka?"

"Nah, itu. Makanya gue penasaran banget sama kondisi di sana. Arka juga udah bilang terang-terangan, kan?"

Hawu sudah lebih tenang. "Gue lebih suka Nala sama Arka. Ya, Arka rada kurang beruntung, sih, dapet Nala, tapi gue lebih suka gitu daripada Nala harus sama Gara. Gue beneran nggak rela Nala pacaran sama Buaya." 

"Kayaknya, Gara masih nggak sadar sama perasaannya sendiri."

Hawu menggeleng. "Kasian banget, ya. Ini namanya karma. Suruh siapa dia koleksi cewek banyak-banyak?"

"Ya, kita tahu, kan, dia nggak ada nyokap. Menurut gue, dia temenan sama banyak cewek karena itu."

Hawu menghela napas. Ia bisa mengerti. Sangat mengerti malah, tetapi tetap saja, Gara salah. Gara bisa memilih menjadi laki-laki setia, tetapi ia malah melebarkan jaring setiap hari. "Tetep aja, gue nggak setuju kalo dia pacaran sama Nala. Lagian, Nala nggak bakalan mau sama Gara. Biarin aja Gara menikmati patah hatinya, biar tahu rasa. Siapa tahu, dia tobat."

"Iya, sih. Kita liat aja gimana nantinya. Gue nggak berani berpihak karena dua-duanya temen gue."

"Ya, gue juga nggak bisa ngatur, tapi gue harap Nala masih cukup waras."

"Oh, iya. Gimana persiapan acara kalian? Anak desa sini juga mau ikutan tanding katanya. Udah heboh pada mau daftar. Kayaknya desa kami bakal kirim tiga tim."

Hawu langsung bangkit berdiri. "Buset, semangat amat. Kan, gue jadi semangat juga." 

"Iya, dong. Gue juga jadi bisa main ke posko kalian. Lumayan liat tontonan gratis."

"Nonton bola?"

Sion tertawa. "Enggak. Nonton drama cinta segitiga Arka, Nala sama Gara."

"Sialan!" Hawu turut tertawa. 

Keduanya mengakhiri telepon itu setelah tawa mereka selesai. Namun, Hawu malah menghela napas berat. Tidak ada yang tahu kalau saat mereka masih mahasiswa baru, Hawu sempat naksir berat pada Nala, tetapi ia langsung mundur teratur begitu melihat kedekatan Nala dan Gara yang tidak wajar. Setelah tiga tahun berlalu, Hawu baru sadar kalau firasatnya saat itu benar. Gara menyukai Nala. 

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Misi, dapet salam dari duo julid

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro