26. Gantungan Snorlax

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepanjang perjalanan menuju ke toko cat, Arka berhasil membuat Nala terus tersenyum karena laki-laki itu banyak bicara. Mulai dari menceritakan tentang keluarga, himpunan, hingga kucing di fakultas teknik.

Setelah banyak bicara dengan Arka, Nala menyimpulkan kalau Arka adalah seorang yang suka bercerita. Ia hanya butuh didengarkan. Baru satu jam ia mendengar Arka banyak bicara, ia sudah bisa menyimpulkan kalau Pangeran Dua Ratus Rupiahnya jauh lebih cerewet dari Gara. Namun, Nala senang mendengar tawa laki-laki yang kini tengah memboncengnya. Semakin lama percakapan mereka semakin random.

"Apa karakter Pokemon favorit lo?" Arka bertanya setelah cerita panjang.

Tanpa perlu berpikir Nala langsung menjawab, "Snorlax. Kalo lo?"

Arka tertawa kecil. "Snorlax juga."

"Wah, ternyata kita punya kesukaan yang sama. Kenapa bisa suka Snorlax? Padahal Snorlax, tuh, jarang banget difavoritin sama orang-orang."

"Lucu aja." Arka menjawab sambil tersenyum.

"Ih, enggak ada jawaban yang lebih kreatif apa?" Nala langsung menyerukan protes.

"Ada, sih, tapi nanti lo kaget kalau gue cerita."

Jawaban Arka malah membuat Nala semakin penasaran. Kini kepalanya tengah dipenuhi oleh berbagai macam kemungkinan yang akan disampaikan oleh laki-laki pujaan hatinya itu. “Kenapa?”

"Lo dulu, deh. Kenapa lo suka sama Snorlax?" Arka bertanya ketika mereka tiba di tempat cat.

Nala menjawab dengan antusias. "Karena gue suka makan. Kata Papa Snorlax itu mirip banget sama gue karena doyan makan. Gara juga bilang gue mirip sama Snorlax karena gue bisa makan lebih banyak dari orang-orang.

Arka tersenyum hingga matanya membentuk garis lurus. “Lucu banget, sih.”

Entah mendapat keberanian dari mana, Nala langsung menjawab, “Baru sadar? Kemarin-kemarin kemana aja?”

Laki-laki berjaket hitam itu tertawa kecil. “Ngobrolnya lanjut nanti, kita cari cat dulu. Oke?”

Nala mengangguk dan mengikuti Arka yang masuk ke dalam toko.

Setelah mendapat semua kebutuhan untuk mengecat lapangan, Arka dan Nala tidak langsung kembali ke posko. Keduanya malah mampir untuk membeli es krim.

Arka membantu Nala membuka bungkus es krimnya dan menyodorkan es krim yang sudah siap makan pada gadis berponi itu.

Nala menerima es krim tersebut seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah. “Terima kasih. Kok, lo tahu gue suka es krim cokelat?”

“Tahu aja. Gue udah tahu dari zaman kita SMP.” Arka mengamati perubahan ekspresi Nala, tetapi gadis itu hanya diam.

Nala yang tidak langsung menyadari kata-kata Arka, malah sibuk mengunyah es krim. Ia baru sadar setelah 10 detik kemudian. “Hah, gimana?”

Arka duduk di samping Nala yang masih melongo. “Lima tahun lalu, di bangku Taman Estetika.”

Bukannya mengerti, Nala malah mengerutkan dahi kemudian mengerjap berkali-kali.

“Bangku taman, es krim cokelat, sama gantungan Snorlax.”

Nala sungguh gagal paham. Ibarat kecepatan internet, sepertinya kini kecepatan otak Nala hanya 3G, padahal Arka sudah menyampaikan petunjuk yang harusnya bisa dipahami oleh Nala jika kecepatannya 5G.

“Gue cowok yang pakai jaket abu-abu, duduk di bangku Taman Estetika. Yang belum sempat bilang, terima kasih, tapi lo udah ilang.”

Nala tidak lagi peduli pada lelehan es krim yang sudah membanjiri tangannya. Kini ia terpaku pada laki-laki yang ada di hadapannya. Kepala Nala sedang mengumpulkan semua informasi yang sebelumnya sudah disampaikan oleh Arka, hal itu membawanya pada peristiwa 5 tahun lalu.

Nala berjalan sambil membawa sebuah es krim dan 2 gantungan kunci Snorlax. Ia baru saja mendapat rezeki nomplok dari mesin pencapit boneka. Nala punya obsesi sendiri pada mesin tersebut. Setiap pulang sekolah, gadis berponi itu lebih memilih untuk berjalan kaki dan memainkan mesin penjepit, daripada harus menggunakan uangnya untuk menaiki angkutan umum.

Setelah penantian panjang, Nala berhasil mendapatkan gantungan kunci Snorlax. Tidak hanya satu, tetapi dua sekaligus. Bahkan ia tidak perlu repot-repot mengalami kekalahan karena ia mendapatkan kedua gantungan tersebut hanya dari 2 kali percobaan.

Nala masih sibuk memakan es krim cokelatnya ketika ia melihat seorang laki-laki yang duduk di bangku taman dengan tudung yang menutupi kepala. Tadinya, Nala ingin gerus berjalan, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat laki-laki tersebut melamun dengan tatapan sedih. Hanya dengan melihat, Nala tahu kalau laki-laki itu mengalami sesuatu yang buruk.

Rasa penasaran Nala lebih besar daripada keinginannya untuk pulang. Akhirnya, Nala duduk di samping laki-laki itu dan diam di sana selama beberapa menit. Namun, laki-laki itu tidak peduli pada keberadaan Nala.

Tiba-tiba gerimis mulai turun. Nala buru-buru bangkit dan matanya segera mencari tempat terdekat untuk berteduh, tetapi laki-laki tadi masih membeku di tempatnya. Akhirnya, Nala menarik paksa laki-laki itu untuk berteduh. Saking buru-burunya, gadis bermata besar itu, menjatuhkan es krimnya.

Begitu tiba di teras ruko, Nala melepaskan genggamannya dan ia berdiri di depan laki-laki itu. “Kamu enggak kesambet, kan?”

Laki-laki di hadapannya hanya diam. Tidak ada respon lain, selain berkedip.

“Lah, malah diem aja.” Nala menggeleng tetapi ia buru-buru bertanya. Pertanyaannya kini diiringi gerakan tangan. “Kamu tuna wicara?”

Bukannya menjawab, laki-laki itu malah melangkah menjauhi Nala. Namun, bukan Nala namanya jika langsung menyerah. Ia berjalan lebih cepat dan menghadang laki-laki itu. “Aku nggak tahu masalah kamu apa, tapi kata Mama enggak sopan ninggalin orang yang lagi ngomong sama kamu.”

Laki-laki itu menghela napas berat. “Bisa tinggalin gue sendiri?”

Nala menggeleng. “Enggak, enggak. Orang kayak kamu kalau ditinggalin sendiri, bisa bisa kesambet."

Laki-laki itu mengerutkan dahi.

"Udah, sini aja. Kalo mau cerita juga boleh."

Laki-laki tadi masih saja diam, seolah-oleh ia sedang puasa bicara. Meski diam, laki-laki bertudung itu tidak menggeser posisinya lagi.

"Oh, iya." Nala mengibaskan gantungan kunci Snorlax yang ada di tangannya. "Maaf, agak basah."

Laki-laki tadi melihat gantungan kunci tersebut.

"Buat kamu." Nala menyodorkan salah satu gantungan kuncinya. "Walau aku nggak tau masalah kamu apa, kamu harus tetap semangat."

Laki-laki bertudung itu tidak mengambil gantungan yang Nala berikan.

Akhirnya, Nala memasukkan gantungan tersebut ke kantong jaket laki-laki itu. Kemudian ia berlari dengan sekuat tenaga. Nala ingat betul, ia sakit seminggu penuh karena kejadian itu.

"Nala."

Suara Arka menarik Nala kembali.

"Jadi, itu lo?" Nala terkejut sampai hampir terjengkang.

Arka mengangguk. "Terima kasih, Nala. Akhirnya gue bisa berterima kasih."

"Wah, dunia sempit. Sejak kapan lo tahu?" Nala jadi semakin antusias. Inikah yang dinamakan takdir?

"Sejak maba? Gue udah merhatiin lo dari zaman maba, tapi baru bisa kenal lo setelah KKN gini."

Sejak maba katanya? Nala merasa kalau ia butuh nyawa cadangan karena mungkin saja ia terkena serangan jantung dalam waktu dekat. Kini, detak jantungnya sudah disko.

"Sebenernya kita udah sering ketemu, tapi gue emang susah banget buat nyapa lo duluan."

Nala sungguh ingin murka. Bisa-bisanya Arka merasa sulit untuk menyapanya. "Padahal tinggak disapa aja, lho."

"Gue yakin itu lo, tapi gue nggak yakin kalo lo inget gue." Arka tersenyum pahit.

"Mustahil gue lupa."

Arka tersenyum puas. Ia melihat es krim Nala sudah habis dan langit semakin mendung. "Balik, yuk. Keburu ujan."

"Ayo." Nala mengikuti langkah Arka.

"Nala, lo suka ujan?" Arka bertanya setelah motor mereka melaju.

"Suka. Gue suka bau tanah abis ujan."

Gerimis mulai turun. Bukannya menepi, Arka malah terus melaju di tengah aspal. "Kalo gue ajak lo ujan-ujanan, mau?"

Nala tidak menduga kalau tingkah random Arka separah ini.

"Dari kecil, gue suka ujan-ujanan. Setiap hujan, Mama nggak pernah larang gue buat mandi ujan. Kesukaan gue sama hujan, nurun dari Ayah. Lo mau tau kenapa gue duduk di taman waktu itu?"

Nala jadi penasaran, ia tidak lagi berminat menjawab pertanyaan Arka sebelumnya. "Kenapa?"

"Itu hari peringatan kematian Ayah gue. Gue sengaja duduk di sana buat nunggu hujan."

Nala terdiam. Ia tidak punya alasan untuk meminta Arka menepi. Dengan hari-hati, Nala menepuk punggung laki-laki yang sudah mulai basah itu.

"Makasih, Nala. Lo buat gue nggak sendirian di hujan kali ini."

Satu alasan Nala tidak bisa melupakan laki-laki yang ditemuinya di Taman Estetika adalah ia sakit satu minggu penuh setelahnya. Nala mudah sakit jika terguyur air hujan. Tubuhnya juga sensitif pada suhu dingin. Nala sudah bisa menebak apa yang akan terjadi setelah ini.


Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro