4. Pangeran Dua Ratus Rupiah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tempat parkir Jurusan Teknik Sipil masih ramai ketika Arka berjalan di sana. Meski hari sudah menjelang petang, kebanyakan mahasiswa masih berkutat dengan tugas atau laporan praktikum. Seseorang yang mengenakan PDH Teknik Sipil sempat menyapa Arka, tetapi ia hanya membalas sapaan itu dengan anggukan. Arkasa Dio Giantara adalah mahasiswa Teknik Sipil yang cukup disegani di fakultas karena selain menjabat sebagai Ketua Bidang Teknologi di Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil, ia juga merupakan salah satu mahasiswa berprestasi di jurusannya.

Arka berjalan menuju mobil yang terparkir di ujung tempat itu. Tangannya bergerak merogoh saku untuk mengambil kunci mobil, tetapi getar ponsel membuat tangannya bergerak ke saku lainnya. Laki-laki yang mengenakan kemeja abu-abu itu langsung tersenyum ketika melihat sebaris nama yang muncul di layar.

"Selamat sore, anak kesayangan mama."

Arka langsung tersenyum begitu mendengar suara wanita itu. Sepertinya sudah hampir seminggu ia tidak mendengar suara ibunya. "Sore, Ma."

"Mama mau cerita sama kamu. Kamu tahu Pak Andi? Beliau ngajuin surat pengunduran diri sore ini. Mama kecewa banget, sih, dari dulu, kan, Pak Andi itu sudah berkontribusi banyak untuk perusahaan kita."

Arka melanjutkan kegiatannya membuka pintu mobil. Kemudian ia masuk dan meletakkan tasnya di bangku penumpang sambil berusaha fokus untuk mendengarkan wanita itu.

Mesin mobil dinyalakan. Arka mengatur pendingin, lalu memindahkan ponselnya ke telinga kiri. "Kenapa Pak Andi tiba-tiba mau keluar?"

"Katanya keluarga mereka mau buka toko kecil-kecilan di depan rumahnya karena anak bungsu mereka, kan, sudah menikah. Jadi, Pak Andi mengajukan pensiun dini."

"Kalau itu alasannya, kayaknya Mama nggak bisa cegah Pak Andi buat keluar, deh."

"Memang gitu, makanya Mama cerita sama kamu. Kayaknya mama bakal lebih jarang pulang ke rumah karena banyak urusan di sini."

Arka terdiam. Ia menghela napas berat. Kemudian memaksa dirinya untuk tersenyum, meski tidak dapat dilihat oleh ibunya. "Nggak apa-apa, Ma. Mama sama Papa urus perusahaan aja. Lagian aku juga baik-baik aja di sini."

Kata baik-baik saja yang keluar dari mulut Arka sebenarnya adalah sesuatu yang tidak bisa ia pertanggungjawabkan. Mungkin orang lain melihatnya sebagai sosok yang sempurna dan memiliki segalanya, tetapi di balik itu semua, ada satu hal yang terus menyiksa Arka. Hal itu adalah kesepian.

Besar di keluarga yang selalu tercukupi kebutuhannya tidak membuat Arka terlepas dari kesepian. Kedua orang tuanya terlalu sibuk bekerja sehingga ia tumbuh tanpa perhatian orang tuanya. Selain kedua orang tuanya yang sibuk, Arka juga tidak memiliki saudara karena ia adalah anak tunggal.

Mungkin orang lain akan menganggap kejadian ini adalah hal biasa untuk keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, tetapi sebenarnya Arka tidak membutuhkan itu. Ia hanya ingin kedua orang tuanya memperhatikannya.

"Oke, Sayang. Kalau uang di ATM kamu habis, jangan lupa kabarin Mama."

Arka tertawa. Kemudian ia menjawab dengan satu kata, "Oke."

Mobil tersebut melaju keluar dari area Fakultas Teknik. Arka sengaja mampir ke minimarket yang ada di lingkungan kampus untuk membeli susu dan beberapa buah-buahan. Agenda belanja yang dilakukan Arka adalah hal biasa yang ia lakukan seminggu tiga kali. Terbiasa hidup sendiri di rumah besar tanpa dilengkapi dengan pembantu membuat Arka terbiasa mengurus dirinya sendiri.

Arka masuk ke dalam minimarket tanpa membawa tasnya. Ia berjalan di deretan rak yang memuat susu. Laki-laki jangkung itu mengambil dua kotak susu ukuran satu liter, lalu ia bergerak ke rak yang berisi sereal. Arka berniat mengambil salah satu sereal favoritnya, ketika perhatiannya teralihkan pada seorang gadis yang tengah berdiri di lorong yang sama sambil berkacak pinggang.

"Lo di mana? Bisa jemput gue, kan?"

Suara gadis itu membuat Arka terus memperhatikannya tanpa sadar. Gadis itu memiliki rambut panjang yang digulung asal, tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dibalut dengan jaket yang kebesaran. Arka sempat mengira kalau gadis itu mungkin meminjam jaket teman laki-lakinya.

"Eh, Kampret! Uang gue lo pinjem, ya, tadi pagi, terus stok makanan di kosan gue udah abis. Lo mau bikin bikin gue mati kelaparan karena nggak jemput gue di sini? Kalau lo nggak jemput gue, berarti gue harus bayar ojek online. Kalau gue bayar ojek online, berarti gue nggak jadi beli makanan. Gue udah masukin banyak makanan ke keranjang gue. Uang gue cuma dua puluh lima ribu. Sini nggak lo!"

Arka baru tahu kalau gadis semungil itu ternyata punya kemampuan merepet panjang layaknya ibu-ibu yang tengah memarahi anaknya. Arka menggeleng, ia memasukkan serealnya ke keranjang. Kemudian ia berlalu melewati gadis itu. Ia bisa melihat keranjang gadis itu diisi dengan beberapa produk mie instan dengan berbagai rasa dan satu kantong keripik kentang.

Keranjang Arka kini sudah dipenuhi dengan berbagai macam buah, dua kotak susu dan satu kotak sereal. Namun, laki-laki itu tidak langsung menuju ke kasir. Ia malah berjalan ke deretan rak yang memuat makanan kucing. Ajaibnya, ia kembali melihat gadis yang sama.

Gadis itu tengah berjongkok di depan rak yang berisi makanan kucing. Keranjang penuh micin itu masih setia menemani di sebelahnya. "Kalo gue ambil keripik kentang, gue jadi nggak bisa beli makanan buat Meong."

Arka mengerutkan dahi. Ia mengedarkan pandangannya ke sekililing dan tidak mendapati siapa pun selain gadis itu.

"Kalau gue nggak beli keripik kentang, nanti gue bego karena nggak dapet asupan micin."

Mata sipit Arka membelalak. Ia tidak percaya kata-kata yang diucapkan gadis aneh itu. Bagaimana bisa ia kekurangan asupan micin ketika keranjangnya terisi penuh dengan mi instan?

"Oke. Demi kebahagiaan Meong, gue rela berkorban. Bye-bye keripik kentang. Gue tunda dulu kedatanganmu ke perut ini. Besok, gue pasti balik lagi."

Gadis itu akhirnya meletakkan makanan kucing ke keranjangnya. Ia memeluk kantong keripik kentangnya dan berjalan ke arah rak makanan ringan. Arka menduga kalau gadis itu akan mengembalikan keripik kentangnya.

Arka mengambil tiga kantong makanan kucing, lalu ia berjalan menuju kasir. Tanpa terduga gadis tadi sudah berdiri di depan kasir. Kekacauan kembali muncul ketika gadis itu tiba-tiba berseru kaget.

"Lebih dari dua puluh lima ribu? Tadi saya udah itung, semua belanjaan saya itu, pas dua puluh lima ribu." Gadis itu menunjukkan riwayat perhitungan di kalkulator ponselnya. "Kenapa jadi kurang dua ratus?" Suara gadis itu kedengaran kecewa. Bahunya juga kelihatan melemas.

Kasir di minimarket tersebut kelihatan kebingungan. Kemudian ia mencoba menjelaskan, "Mohon maaf, Kak. Untuk harga yang ada di rak, ada beberapa yang belum kami perbaharui. Jadi, untuk di sistem harganya sudah diperbaharui karena itu terjadi selisih harga. Kira-kira gimana, Kak?"

"Saya cuman ada uang dua puluh lima ribu, Mbak. Keluarin mi saya satu bungkus, deh. Beneran, saya nggak ada uang lagi." Gadis itu menunjukkan dua lembar uang berwarna hijau dan oranye.

"Baik, Kak." Kasir minimarket itu menutup kalimatnya dengan senyuman tidak ramah.

Melihat kejadian yang ada dihadapannya, Arka jadi gemas. Akhirnya, ia menepuk bahu gadis yang ada di depannya.

"Dua ratusnya, biar saya aja yang bayar."

Gadis itu kelihatan terkejut, tetapi terlihat tidak ingin menolak.

"Nah, kakaknya bisa lewat. Nanti dua ratusnya biar Kakak di belakang aja yang bayar."

Arka bisa melihat kalau gadis itu tersenyum lega. Gadis itu mengucapkan terima kasih kepada kasir, tak lupa ia juga berbalik dan mengucapkan terima kasih pada Arka.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Arka tidak berhenti tersenyum karena ingatan tentang kelakuan aneh gadis tadi terus melintas di kepalanya.

***

Nala mengeluarkan lolipop yang ada di saku tasnya, ia membuka lolipop tersebut lalu memakannya dengan gaya sekasar mungkin. Suara permen yang dikunyah membuatnya semakin senang. Tangan kanannya kini tengah menenteng kantong plastik berwarna putih dengan merek minimarket yang baru saja ia masuki. Gadis berambut panjang itu berjalan dengan sambil bersenandung, kini suasana hatinya kelewat bahagia karena kejadian tadi.

Setelah bertengkar dengan Gara karena laki-laki itu yang tidak mau menjemputnya di minimarket, Nala akhirnya memilih pulang dengan berjalan kaki. Daripada mengorbankan uangnya yang berharga untuk memesan ojek online,  ia rela berjalan kaki ke indekos yang sebenarnya memiliki jarak  tidak begitu jauh, tetapi karena hari sudah menjelang gelap, tentu saja ia merasa sedikit malas dan kelelahan. Kalau saja uangnya tidak dipinjam, ia pasti sudah berbaring di atas kasur empuknya. Namun, kejadian di minimarket tadi mengubah mood Nala menjadi bahagia.

Kebahagiaan Nala berubah menjadi kemarahan karena tiba-tiba ada suara klakson motor yang bertubi-tubi mendekat ke arahnya. Mau tidak mau, Nala akhirnya berjalan semakin ke pinggir. Motor tersebut lewat di samping Nala dengan kecepatan tinggi. Gadis itu kehilangan keseimbangan, salah satu kakinya masuk ke dalam selokan yang berisi air berwarna kehitaman dan kantong plastik yang ada di tangannya terlepas begitu saja. Beberapa bungkus mi sudah tercecer di atas aspal.

Nala tadinya ingin mengucapkan sumpah serapah pada orang yang hampir menabraknya, tetapi motor itu tidak lagi terlihat. Akhirnya, gadis menyedihkan itu ditinggalkan di jalan sepi. Sendirian. Nala sudah hampir menangis ketika ia melihat nasib kaki kirinya yang tercebur ke dalam selokan.

Gadis itu menarik kakinya dan mulai bergerak untuk memungut bungkus mi yang berserakan di jalan. Tidak lama setelah itu, suara klakson motor kembali terdengar di belakang Nala. Gadis itu sudah siap mengumpat karena klakson tersebut tidak kunjung berhenti dan terus mendekat ke arahnya.

"Lagi menjiwai peran lo? Sungguh, lo udah kayak gembel. Apa ini yang dibilang jatoh pake gaya estetik?" Laki-laki berhidung mancung dan kulit kecoklatan itu masih sempat bertanya dengan serius.

Begitu mendengar suara berat yang ia kenali, Nala langsung melotot tajam pada laki-laki itu. Namun, pelototan Nala malah dibalas tawa.

Tangan Nala bergerak merogoh salah satu mi yang ada di dalam kantong. Pelototan mata gadis itu tidak dihentikan barang sedetik. Gara masih terus tertawa ketika Nala berhasil melemparkan satu bungkus mie ke arah laki-laki itu. Entah beruntung atau memang kecepatan refleks Gara di atas rata-rata, laki-laki bermotor matik merah itu berhasil menangkap mi yang dilempar Nala. Kemudian Gara malah tertawa keras.

Nala mengepalkan tangannya. Ia tengah menahan emosi yang bergejolak di dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tangisnya meledak dalam sekejap.

Nala menangis dengan suara yang keras. Ia tidak lagi peduli dengan kondisi sekelilingnya. Kini ia hanya ingin melepaskan kekesalannya.

Gara terkejut melihat Nala yang tiba-tiba menangis. Laki-laki berbaju hitam itu langsung turun dari motor matiknya dan segera menepuk pundak Nala. "Lo kenapa nangis?"

Bukannya mereda, tangis Nala malah semakin menjadi. Gara jadi bingung bukan main, terakhir kali ia melihat Nala menangis seperti ini adalah saat idolanya menikah. Saking bingungnya, ia sampai berniat menelpon Sion untuk meminta bantuan.

"Lo nyebelin banget!" Nala berbicara terbata di tengah isak tangisnya.

Gara yang merasa tidak melakukan kesalahan apapun akhirnya berinisiatif untuk membantu membersihkan kaki Nala yang tercebur ke dalam selokan.

Gara mengambil botol minumnya dan menyiramkan air yang ada di botol tersebut ke kaki Nala. Kemudian ia berjongkok untuk membersihkan kaki sahabatnya dengan tisu. Tidak lama setelah itu, isak tangis Nala mereda.

"Maaf, gue enggak niat ngetawain lo tadi, tapi sumpah, lo lucu banget." Gara masih saja berniat menggoda Nala.

Nala yang sudah kehabisan energi karena menangis hanya bisa melotot.

"Udahan nangisnya?" Kini Gara mengambil tisu dan membantu Nala menghapus air mata di wajah pucat gadis itu.

"Udahan?" Gara kembali bertanya.

Pertanyaan itu dijawab anggukan oleh Nala. Gadis itu benar-benar kesal, tetapi sikap Gara yang manis mampu membatalkan niatnya untuk marah.

"Ayo, gue anter pulang sampe kosan." Begitu Nala naik ke motor, Gara kembali menggoda gadis itu. "Jangan lupa mandi pake kembang tujuh rupa. Kaki lo bau banget soalnya."

Satu pukulan keras mendarat di lengan Gara. Bukannya meringis laki-laki itu malah tertawa.


Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Rasa ingin menggadai Gara. Ada yang mau terima nggak, tuh? Lumayan bisa jadi ojek.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro