Pekat yang Semakin Kelam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Sudah hampir satu jam Afreen belum juga kembali, Kanaya berdecak pelan. Gadis itu mengira Afreen akan kabur dari pestanya sendiri. Kanaya menghela nafasnya, dia berpamitan pada beberapa temannya untuk menyusul Afreen ke toilet, entah mengapa, perasaannya menjadi tak tenang, salahnya juga mengapa tadi tidak membujuk Afreen untuk dia temani di toilet.

"Af, Af....lo di dalam, kan?" Teriak Kanaya begitu sampai di toilet.
Tak ada jawaban, toilet itu sangat sepi. Seakan dibungkam ketakutan, Kanaya membuka semua pintu toilet bersamaan dengan teriakkan nama Afreen yang memenuhi seisi toilet.
"Afreennnn.....lo dimana, Af? Please jawab gue, jangan becanda dong!"
Nihil, tak sekalipun terbesit suara yang menyahuti teriakkan Kanaya. Gadis itu diliputi perasaan kalut, keringat dingin membasahi tubuhnya, hingga membuat gaun yang dikenakannya basah bermandikan keringat.
"Afffff...."
Kanaya mulai terisak, gadis itu keluar dari kamar mandi sambil tetap meneriakki nama Afreen. Hingga, Kanaya dikejutkan dengan suara isakkan dari sebuah ruangan gelap di sisi toilet, isakkan yang sangat dikenalinya, isakkan itu adalah isakkan yang seumur hidup Kanaya kenal. Afreen!

Gadis itu membalikkan badannya menuju ruangan yang Kanaya yakini adalah gudang. Namun, langkahnya terhenti saat dia melihat seorang laki-laki juga sedang berjalan tergesa menuju toilet. Itu adalah Abhi--sahabat Javas, Kanaya sangat hafal dengan sosok yang selama ini sangat dikenal di sekolahnya. Javas dan Abhi adalah dua laki-laki yang selalu dipuja, hingga kadang, Kanaya muak mendengar dua nama itu.
"Lo--lo anak SMA Nusantara, 'kan?" Tanya Abhi pada Kanaya, sejenak Kanaya melupakan tujuannya untuk memastikan keberadaan Afreen di dalam gudang.
"Lo lihat Javas?"
Kanaya mengerutkan dahinya, "gue nggak tahu."
"Shit, dia ke toilet tadi, tapi hampir sejam nggak balik-balik dan dia lagi mabuk!" Gerutu Abhi, membuat Kanaya sadar satu hal.
"Afreen!"
"Lo mau kemana?" Kata Abhi, Kanaya menghiraukannya, tapi--beberapa saat kemudian Abhi dikejutkan dengan suara teriakkan Kanaya. Laki-laki itu menghampiri Kanaya di dalam gudang, lebih tercengang lagi, jantung Abhi terasa berhenti berdetak ketika melihat apa yang dilihatnya saat ini. Sahabatnya Javas dan seorang gadis yang Abhi yakini adalah Afreen--Abhi tahu gadis itu karena tadi Abhi juga diundang dalam pesta ulangtahun Afreen.
Bugh
Abhi mendaratkan sebuah pukupan di wajah Javas.
"Apa yang lo lakuin, Jav?" Bentak Abhi pada Javas yang masih setengah sadar.
"Jawab gue, Bangsat! Apa yang lo lakuin sama cewek ini?"

Kanaya memeluk Afreen yang terlihat berantakan, pakainnya terkoyak dan gadis itu terlihat kacau dengan isakkannya yang seakan menampar hati Kanaya kencang. Kanaya berulang kali menenangkan Afreen, tanpa dijelaskan pun, semua yang melihat keadaan Javas dan Afreen akan langsung mengerti apa yabg terjadi. Dan, Kanaya hanya bisa menangis bersama Afreen, meratapi nasib sahabatnya itu yang saat ini hancur, demi Tuhan, Kanaya akan mengejar Javas kemanapun laki-laki itu pergi, jika menghindar dari tanggungjawabnya pada Afreen, cukup sudah Afreen menderita, Kanaya tak akan membiarkan hidup gadis itu menderita lebih kelam lagi, walau kenyataannya saat ini sangat bertentangan dengan apa yang Kanaya janjikan pada dirinya sendiri. Tapi, malam ini Kanaya hancur bersama Afreen.

"Pakaikan ini sama temen lo," Abhi melempar jaketnya pada Kanaya.

"Ya Tuhan Javas, sadar sialan! Lo lihat apa yang udah lo lakuin sama Afreen!" terus Abhi benar-benar merasa geram dengan Javas.
Javas hanya tertawa, laki-laki itu mengira gadis yang baru dia rebut kesuciannya adalah Adis--kekasihnya.
"Gue nggak akan nyesel, Adis pantas mendapatkan semuanya!"
"Sialan! Lo dengarin gue, dia Afreen bukan si Adis bitchy lo itu!"
"Apa lo bilang?" Javas membeliakkan matanya, dilihatnya Abhi dengan tatapan tak percaya.
"Lihat!" Teriak Abhi membuat tubuh Javas kaku, kesadarannya seketika muncul, apa yang dilihatnya membuat Javas meremas rambutnya kasar. Dia melakukan kesalahan, dia merusak seseorang, hati Javas mencelos ketika melihat bagaimana Afreen menangis, bagaimana hancurnya Afreen dihari ia dilahirian di dunia.
"Lo harus bertanggungjawab sama dia, Jav. Bagaimanapun ini karena kebodohan lo, jangan lari dari apa yang udah lo perbuat!"
Kata-kata Abhi terasa menusuknya, tanggungjawab? Demi Tuhan, Javas tak pernah siap dengan segala kemungkinan.
"Maafkan gue, maafkan gue!"
"Maaf lo nggak akan berguna, maaf lo nggak akan mengembalikkan apa yang udah lo buat hancur. Gue nggak akan pernah lepasin lo gitu aja, ingat itu Javas!" Sahut Kanaya--memandang Javas penuh amarah.

****

                  

Apa yang telah rusak tak mungkin dikembalikan lagi, sesuatu yang telah rusak tak mungkin bisa disempurnakan lagi, seberapa berat pun usaha yang dilakukan seorang manusia untuk membuatnya utuh—yang telah rusak tak akan pernah diperbaiki menjadi keutuhan seperti semula. Begitu pula yang Afreen rasakan, gadis itu menganggap hidupnya telah rusak, semenjak laki-laki yang dia cintai  merebut apa yang selama ini dibanggakannya sebagai seorang perempuan.

Andai saja, malam itu Afreen tidak pergi ke toilet, andai saja malam itu tak ada pesta ulangtahunnya, semua tak akan menjadi seperti ini. Sudah dua hari berlalu, tapi sepertinya waktu tak pernah cukup untuk memuaskan penyesalannya. Air mata gadis itu keluar lagi, membasahi wajahnya yang bahkan belum mengering, angin malam yang bertiup di balkon kamarnya mempermainkan rambut hitam panjangnya. Afreen memandang lurus langit malam di atas sana. Langit itu terlihat sepi dan meyedihkan, hanya gumpalan awan hitam yang menutupinya, tak ada bulan pun dengan bintang, semua hilang, semua meninggalkan langit bersama gumpalan mendung yang menghadirkan duka. Sama seperti Afreen, selama ini gadis itu merasakan hidupnya sepi, tak ada yang membuat warna selain pekat yang dia rasakan, dan pekat itu semakin kelam ketika kejadian itu menimpanya. Bagaimana, jika suatu hari nanti ada kehidupan lain yang tumbuh di rahimnya, apa yang harus dia lakukan? Afreen, seperti kehilangan akal ketika memikirkan segalanya, gadis itu mengerti betapa Javas mencintai Adis—lalu ketika bagian dari dirinya dan Javas hadir nanti, apa laki-laki itu mau menerimanya? Afreen tak kan sanggup jika suatu hari nanti, hanya penolakan yang Javas berikan padanya.

"Lo nggak sendiri, please jangan kayak gini."

Kanaya mengusap air mata Afreen yang meluruh. Kanaya turut hancur bersama Afreen, melihat Afreen seperti ini benar-benar melukainya.

"Gu—gue takut, gi—gimana kalau hamil, Kan?"

"Nggak, lo nggak bakal hamil. Kalau lo hamil, gue bakal nuntut Javas buat nikahin lo. Gue yang akan berdiri pertama kali buat ngehancurin Javas kalau dia lari, Af. Lo nggak perlu khawatir."

"Tapi gue—"

"Sttt...udah! Lo jangan mikir yang aneh-aneh. Udah dua hari lo bolos, besok kita sekolah ya."

"Gue takut, Kan."

"Ada gue yang bakal selalu di samping lo, lo nggak perlu takut. Okay."

Kanaya memeluk Afreen. Membiarkan gadis itu menangis dalam dekapannya, Kanaya tahu, barangkali hanya sebuah pelukan yang saat ini Afreen butuhkan. Dalam diam, Kanaya berdoa pada Sang Kuasa,semoga Tuhan tak lagi menghadirkan derita bagi Afreen.

***

Satu bulan berlalu semenjak kejadian itu, selama satu bulan ini pula Afreen selalu dihantui ketakutan. Mimpi seorang bayi laki-laki yang selalu datang membuatnya benar-benar kalut, hingga siang tadi sepulang sekolah Afreen meminta Kanaya untuk menemaninya membeli beberapa alat tes kehamilan di apotek, meski dipandang dengan penuh tatapan selidik oleh Apoteker yang tadi melayaninya ketika membeli alat itu. Belum apa-apa, Afreen seperti merasa diolok sebagai seorang pendosa. Meski tadi, Kanaya sempat menegur Apoteker itu agar tak menatap Afreen dengan tatapan merendahkan.

Tangan Afreen gemetaran, saat memegang benda itu di tangan kanannya, Afreen tak sanggup membuka matanya, jatungnya berdetak kencang semenjak tadi, keringat dingin membasahi tubuhnya walau di kamar mandi kamarnya, udara terasa dingin.

"Gimana?" Tanya Kanaya dari belakang, Afreen sedikit tersentak.

"Gu—gue nggak berani bukanya."

"Sini, biar gue aja yang buka!"

Kanaya merebut benda pipih itu dari tangan Afreen dibaliknya perlahan, benda pipih itu langsung jatuh seketika di atas lantai begitu mata Kanaya bertemu dengan tanda garis dua yang membuat tubuhnya tak ubahnya batu yang tidak memiliki nyawa.

"Kan, gu—gue nggak hamil, kan?"

Afreen menarik-nari baju Kanaya dengan matanya yang mulai berair, sedangkan Kanaya sendiri masih tetap membisu, hingga dengan kekalutannya Afreen mengambil benda yang tadi Kanaya jatuhkan di atas lantai kamar mandi.

"Nggak, Kan. Ini nggak boleh terjadi, Kan, Gu—gue...."

Gadis itu histeris, isakannya kembali mengiris hati Kanaya. Dalam beberapa saat, tubuh Afreen limbung di atas lantai kamar mandi, Kanaya menjerit, hingga membuat Ahira dan dua asisten rumah tangganya berhamburan memasukki kamar mandi di kamar Afreen.

"Afreen kenapa, Kanaya?" Tanya Ahira –kaget melihat keponakannya tak sadarkan diri.

"Nanti aku jelaskan Tan, kita bawa Afreen dulu ke kasurnya."

Ahira mengangguk, bersama Kanaya dan dibantu dua asisten rumah tangganya, perempuan itu membawa Afreen ke atas kasurnya.

"Tan, aku ada urusan. Nanti aku balik lagi," pamit Kanaya tergesa.

"Kamu mau kemana, Kan?"

"Nanti aku ceritakan, permisi, Tan."

***

Javas! Nama itu yang harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Setelah bertanya alamat Javas pada salah satu temannya—yang selama ini menyukai Javas, gadis itu mengendarai motor matic-nya menuju rumah Javas. Mau tidak—mau, suka—tidak suka Javas tetap harus bertanggungjawab atas janin yang saat ini dikandung Afreen.

Rumah di hadapan Kanaya, tergolong besar dan mewah. Kanaya faham benar, Javas adalah anak seorang pejabat tinggi di negeri ini, hingga tak heran gaya hidup Javas selama ini terkesan mewah dan berkecukupan. Kanaya melepas helm-nya, pintu gerbang rumah Javas dijaga oleh seorang satpam yang saat ini sedang sibuk membaca koran sorenya.

"Pak, Javasnya ada?" teriak Kanaya tak sabar—satpam itu menutup korannya dan menghampiri Kanaya di muka gerbang.

"Neng siapanya, Mas Javas?"

"Saya temannya. Javasnya ada nggak, Pak?"

"Eh ada Neng, monggo Neng. Masuk saja."

Setelahnya, Kanaya masuk ke dalam rumah Javas dengan langkahnya yang sedikit terburu. Gadis itu berdecak saat masih harus mengetuk pintu besar di rumah Javas.

"Dasar orang kaya, penjagaan aja banyak banget," omelnya di depan pintu rumah Javas.

"Maaf, Neng siapa?"

"Saya temannya Javas, dia ada nggak, Mbak?" kata Kanaya langsung, setelah seorang perempuan paruh baya yang dipikirnya adalah asisten rumah tangga di rumah Javas membukkan pintu.

"Mas Javas ada di kamarnya, mari masuk."

Kanaya mengikuti perempuan itu masuk ke dalam rumah Javas, sementara perempuan paruh baya tadi pergi ke kamar Javas untuk memanggil laki-laki itu. Kanaya menghela nafasnya, pikirannya berkecamuk antara bayi yang dikandung Afreen saat ini dan nasib Afreen setelah ini. Gadis itu amsih terlalu muda untuk menanggung semuanya, lalu bagaimana dengan sekolahnya nanti? Diusia 17 tahu Afreen harus menjadi seorang ibu. Demi Tuhan, Kanaya tak pernah memikirkan hal segila ini menimpa gadis sepolos Afreen.

"Ada apa?" ucap Javas yang baru saja turun dari kamarnya di lantai dua.

Bugh

Kanaya memukul pipi Javas dengan kepalan tangannya, emosinya benar-benar meluap saat melihat Javas dengan ekspressi datarnya itu.

"Lo harus bertanggungjawab!"

"Ma—maksud lo?"

"Afreen hamil."

Satu kata dari Kanaya membuat mata Javas membeliak, apa yang ditakutkannya terjadi, apa yang tak dikehendakinya justru saat ini hadir. Ada bagian dari dirinya yang saat ini tumbuh di Rahim Afreen.

"Lo bohong!"

Kanya berdecak, "gue nggak bohong, sialan! Kalau sampai lo lari dari tanggungjawab, gue bakal laporin lo ke polisi dan nyebarin kalau lo seorang pemerkosa ke media, lo mau ayah lo dicap sebagai seorang terpandang yang gagal mendidik anaknya, heh?" ucap Kanaya membuat Javas bungkam.

"Lo nggak berhak lakuin itu!"

"Gue berhak dan gue bisa. Sialan lo, Jvas! Gue nggak pernah main-main sama ucapan gue. Lihat saja nanti!"

***

Afreen mengerjabkan matanya usai sadar dari pingsan dan akhirnya kembali tertidur setelah kelelahan menangis, Ahira menatap keponakannya itu nanar. Hatinya begitu hancur ketika satu jam yang lalu Kanaya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Afreen. Keponakan yang selama ini dijaganya telah dirusak oleh seorang yang sangat dicintainya, sungguh ini terasa lebih menyakitkan daripada melihat Afreen tumbuh tanpa dekapan bundanya, kerena Ahira masih bisa menggantikan untuk mendekap Afreen ketika Alia tak mampu melakukannya. Lalu, kini? Apa yang dapat dilakukannya selain menuntut laki-laki yang menghamili Afreen untuk bertanggungjawab? Ahira mengusap air matanya, dirinya tak boleh memperlihatkan wajah menyedihkannya di depan Afreen. Ketika Afreen lemah, Ahira harus kuat untuk sedia menjadi tempat Afreen bersandar.

"Kamu baik-baik saja, kan, Af?"

Ahira mengelus rambut hitam panjang milik Afreen, "semuanya akan baik-baik saja, Nak."

"Afreen hamil, Tante. Afreen, kotor..."

Afreen berteriak histeris, meluruhkan air matanya lagi dan lagi. Entah berapa banyak air mata yang sedari tadi dikeluarkan oleh Afreen.

"Tenang Nak, jangan seperti ini. Dia akan bertanggungjawab, Sayang."

"Tante, kenapa semua ini terjadi pada Afreen. Apa selama ini Tuhan nggak sayang sama Afreen, kenapa semua ini terjadi, Tante? Apa salah Afreen?"

"Sabar Nak, sabar."

Afreen menggeleng, gadis itu turun dari atas kasurnya dan berlari ke kamar Alia. Afreen bersimpuh di depan Alia dengan rambutnya yang terlihat berantakan. Alia masih tak bersuara, tatapannya masih kosong seperti hari-hari yang selama ini sudah dilalui oleh Afreen. Bundanya itu seakan raga tanpa nyawa. Afreen menangis memeluk Alia yang tak pernah mereposn pelukannya.

"Bunda. Afreen salah apa Bunda, hingga Tuhan terus-terusan hukum Afreen kayak gini? Bunda bilang sama Afreen, apa ini kutukkan Bun? Ayah meninggal saat Af lahir, Bunda jadi kayak gini sejak ayah pergi dan saat ini Afreen hamil di luar nikah, demi Tuhan Bun, apa kelahiranku di dunia ini adalah sebuah kutukan? Bilang Bun, Bilang!"

Afreen mengguncang tubuh Bundanya, Alia tak bersuara, sementara Ahira yang melihatnya dari ambang pintu hanya mampu mengigit bibirnya untuk menahan isakannya. Tak hanya Afreen yang hancur, dirinya pun sama halnya dengan Afreen, turut hancur ketika keponakannya itu lebur. Bibir Ahira seakan kelu ketika saat ini dirinya dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang disuratkan Tuhan pada Afreen.

"Maafkan Afreen karena Afreen udah berbuat dosa Bunda, maafkan Afreen belum bisa jadi anak yang bunda banggakan. Tolong Bunda, Afreen butuh pelukkan bunda saat ini, Afreen mohon Bunda....." terusnya masih tetap memeluk Alia. Hanya Alia yang bisa menenangkannya, hanya Alia yang bisa membuat bebannya sedikit berkurang, walau Afreen tahu, Alia tak akan pernah memeluknya, meski keinginan terbesar Afreen di dunia ini adalah—berada dalam dekapan Alia—Bundanya.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro