|6|

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Name] memandang kelamnya langit malam yang pucat dan mendung. Tak ada satupun bintang yang menghiasi di sana, hanya ada bulan yang sendiri dan merana. Bulan mengingatkannya pada dirinya, [Name] tak punya siapa-siapa selain dirinya sendiri dan sahabatnya, Nezuko. Orang tuanya telah meninggal ketika usianya 15 tahun, dia tak punya kerabat karena kedua orang tuanya adalah anak yatim piatu. Waktu itu dirinya juga meninggalkan Sabito dan Giyuu, jadi dia tidak punya siapa-siapa dalam kurun waktu beberapa tahun.

Ya, beruntung sekarang semua berubah.

Kini Sabito sudah ada di sini, pria itu bahkan kini menggendongnya di punggungnya. [Name] jadi teringat masa kecil mereka berdua, waktu pertama kali mereka bertemu, Sabito mengantarkannya pulang dengan seperti ini.

Setelah perang bola salju tadi, keduanya yang kelelahan akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah kediaman Kochou. Saat akan kembali, [Name] merasakan perutnya kembali sakit dan akhirnya setelah Sabito memaksanya untuk mengantarkan ia pulang dan Giyuu, Nezuko, serta Kanao memaksanya pulang ke rumah, [Name] kembali terjebak dengan pria bersurai peach dan bermanik lavender yang menggendongnya sekarang ini.

[Name] tersenyum. Rasanya hangat dan perutnya tak kesakitan lagi. Semua selalu sembuh jika ada Sabito, aneh rasanya. Padahal selama ini mereka hanyalah teman.

[Name] masih sangat menyesal, dia meninggalkan Giyuu dan Sabito. Orang tuanya menawarkan apakah dia mau pindah rumah dan dia menerima saja, karena waktu itu ia berpikir Giyuu dan Sabito selalu kerepotan berteman dengannya. Setelah pindah, tak lama kedua orang tuanya meninggalkan dirinya. Ayahnya sakit, dan Ibunya bunuh diri. [Name] berada di panti asuhan untuk beberapa tahun, sampai ia bertemu dengan Kamado bersaudara dan tinggal seapartement dengan Nezuko dan Makomo.

[Name] mengutuk kekeras kepalaannya dan tingkahnya yang menurutnya tak etis itu. Dia kemudian bertemu kembali dengan Giyuu, karena Giyuu sendiri mengajar di sekolahnya. Yang anehnya Giyuu ternyata sepupu Kamado bersaudara dan Makomo adalah saudara kandung Sabito, ya dunia memang sangat sempit. Saat ia menanyakan Sabito, Giyuu bilang ia telah kuliah di luar negeri dan saat itu [Name] berhenti berharap. Mungkin Sabito sudah menemukan kebahagiaannya.

Ia masih tak mengira pria ini akan kembali di pesta Shinobu. [Name] tahu, ia tak mungkin kembali begitu saja karena pesta yang diadakan Shinobu, pasti ada alasan lain.

Untuk itu, [Name] akan menanyakan hal itu sekarang. "Sabito."

"Ya?"

"Kenapa kau kembali ke sini?" [Name] melontarkan pertanyaan itu dengan ragu-ragu. Ia bisa mendengar sendiri detak jantungnya yang bergerumuh di dalam.

Sabito tak menjawab. Sebaliknya wajahnya mendongak, memandang langit. [Name] ikut melakukannya, dan ketika itu ia terperangah dengan apa yang dilihatnya. Salju.

Titik-titik putih tersebut berjatuhan di atas kepalanya, menghujaninya tanpa rasa ampun. [Name] tersenyum melihatnya, ia selalu suka salju di manapun ia berada. Ah, dipikir-pikir kasihan orang-orang yang rumahnya masih belum lepas dari tumpukan salju, pasti besok pagi pekerjaan mereka akan berat.

"Saljunya indah sekali ya?"

[Name] mengangguk sambil tersenyum. Tapi kemudian, senyumnya luntur dan kembali memandang Sabito. "Umm... Sabito kau belum menjawab pertanyaa—"

"Untukmu."

"Hah?"

"Aku kembali untukmu."

Wajahnya kembali memerah sempurna, seiring dengan jantungnya yang kini berisik lagi di tempatnya. [Name] menampar pipinya, mencoba fokus. Apa yang dikatakan Sabito tadi? Apa ia tidak salah dengar? Atau mungkin telinganya sudah konslet?

"Telingamu tidak konslet. Aku memang kembali untukmu." Seolah membaca pikirannya, Sabito kembali melontarkan ucapannya.

[Name] menundukkan kepalanya. Gawat! Ini tidak baik untuk jantungnya! Kenapa Sabito selalu bisa membuat dia seperti ini? Sebelumnya jika Zenitsu, Uzui atau Douma menggodanya ia tak sampai seperti ini.

"Kenapa?" Akhirnya hanya itu yang terlontar dari mulutnya, ia tak bisa memikirkan kalimat lain.

Sabito tersenyum di sana. Sangat lebar. Namun sayang [Name] tak bisa melihatnya. "Aku hanya ingin dan rindu kepadamu. Itu saja."

[Name] menundukkan kepalanya untuk kedua kali. Wajahnya masih memerah, kali ini perutnya tak lagi sakit, namun seperti dikerubungi oleh lebah-lebah di dalamnya. Ia masih tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Sabito, tidak, ia tidak bisa percaya. Tapi tak urung, sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis.

"Lagipula tak perlu alasan untuk melihat calon istriku," gumam Sabito pelan, tetapi dengan keadaan yang lenggang seperti ini, [Name] bisa mendengarnya dengan jelas.

"Sabito, kau bilang apa?" [Name] mengerjap, ia tak salah dengar lagi bukan?

"Ah tidak, lihat saljunya hampir berhenti."

[Name] memandang Sabito curiga. Dia kemudian menghela napas dan kembali menyunggingkan senyum tipisnya. Ya, mungkin untuk yang itu [Name] pura-pura tak dengar saja dan mengikuti alur yang Sabito buat. Atau mungkin memang telinganya sedikit bermasalah. Entahlah, siapa yang tahu. Kita serahkan semuanya saja kepada takdir.

—fin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro