Believe Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dear guys, lama ya? maaf deh, lagi banyak tugas beneran. Dan mau cerita ini, aku lagi kesel karena ada yang menyamai ide cerita So I Marry A Senior bhaks, ada yang mau coba buat Jiver versi lain. Huhu it's hurt me, tapi nggak papalah, Anggap saja dia fans. Eak dah. Luka seorang penulis itu saat karyanya dijiplak tapi dia nggak bisa ngapa-ngapain. Aku mau jadi orang baik, engga mau bikin hebih sebenarnya, cuma mau minta dukungan aja sama kalian, supaya aku nggak down dan nggak ngelanjutin cerita ini. Huhu, semoga bisa lanjut sampai akhir ya guys, terima kasih sudah mendukungku, jangan mengkhianatiku yak wkwk.

salam damai dari bumi orange.

ig squad: aristavee, arzello.prakarsa, aluna_dewi, seriescampus.ofc

***

Jangan menjaminkan kebahagiaan dengan nama selamanya, jika pada akhirnya kita harus kembali berkubang pada luka.

Ahmed sibuk dengan ponselnya, Aldo dengan kopi hitam dan Zello sibuk tersenyum menatap foto Aluna. Mereka sedang ada di Ormawa, usai membahas program kerja Departemen Dalam Negeri, di mana Ahmed yang menjadi ketua departemennya. Mereka sedang membahas Ospek Fakultas yang akan segera dilaksanakan setelah mahasiswa baru masuk.

"Nggak ada Lio, sepi," ucap Ahmed, setelah ia bosan bermain dengan ponselnya. Ia letakkan ponsel itu di atas karpet, menyadarkan tubuhnya yang dibalut kemeja merah pada bilik pembatas.

"Dia apa kabar ya?" Ahmed mengimbuhi.

"Dia pasti baik, ini udah sebulan, semoga saja dia nggak lama di sana," ucap Zello, mengalihkan pandangannya dari foto Aluna di ponsel.

"Apa dia bakalan bener-bener sembuh?"

Aldo menghela napasnya, mendengar ucapan Ahmed. Diteguknya sisa kopi yang ada hingga tandas, ia lihat Ahmed sekilas, sebelum beranjak mencari remote televisi dan menyalakannya, menampilkan sebuah berita penangkapan Presiden BEM dari kampus lain, yang sedang hangat diperbincangkan di kalangan mahasiswa.

"Lio bakal bener-bener sembuh kalau lingkungannya baik dan manu nerima dia lagi, tugas kita buat selalu dukung dia," ucap Aldo, matanya masih tak lepas dari layar televisi yang menayangkan berita.

"Mending lo belajar, Med. Senin depan kita UAS, habis itu kita bakalan sibuk ngurus Ospek," ujar Zello.

Ahmed mengangguk pelan, "belajar nggak belajar percuma, Zell. Lo kan tahu gue selalu nyari contekan kalau ujian." Ahmed terkekeh, Zello menatapnya malas.

"Kalau lo begini terus, kuliah lo bakalan molor sampe 14 semester. Mau lo, jadi mahasiswa abadi?"

Ahmed berhenti terkekeh, matanya melotot tajam pada Zello, mata bulat dan besar khas keturunan Timur Tengah.

"Sekata lo, tuh mulut lo, ya kali mahasiswa abadi."

"Hahaha..."

Aldo tertawa, ia lalu merebahkan tubuhnya di atas karpet hijau di Ormawa. Matanya terpejam sejenak, seperti mengingat sesuatu. Saat matanya kembali terbuka, pandangannya jatuh pada sosok Zello.

"Lo siap kan, Zell?"

Ia berkata tiba-tiba, membuat dahi Zello mengerut. "Apanya?"

"Jadi Pres BEM," kata Aldo.

Zello membuang napasnya, ia berdiri, menepuk-nepuk bajunya yang agak kusut. Ia simpan ponselnya di kantong celana, melihat sekilas pada Ahmed dan Aldo.

"Kita lihat nanti," pungkasnya sebelum pergi, ia tak peduli ketika Ahmed memanggilnya untuk tetap diam. Zello melangkahkan kakinya, menuju jurusan seni rupa, di mana Aluna sedang sibuk dengan tugas akhirnya.

***

"Kamu ngapain sih? Ganggu tahu nggak?" omel Aluna saat ia melihat Zello di sampingnya, ia sedang sibuk mengerjakan lukisannya yang akan digunakan untuk pameran tugas akhir.

"Ya lihat kamulah, memang ngapain lagi?"

"Malu tahu dilihatin anak-anak."

"Bisa malu ya? Kirain enggak."

Dengan kesal, Aluna meraih kuasnya dan mencoretkan kuas yang terkena cat akrilik hijau itu ke wajah Zello. Ia tertawa puas setelahnya.

"Haha sukurin, nggak usah rese deh."

Zello menggeleng-gelengkan kepalanya, ia raih tangan Aluna dan mengusapkan ke pipinya yang terkena noda cat, membuat Aluna terpekik.

"Anjay, Zelll...malu tahu, kayak drama picisan tahu nggak? Balik sana," gerutunya, ia lantas meraih tisue dari dalam tasnya, memberikannya pada Zello.

"Bantu bersihin gih."

"Bersihin sendiri, nggak usah manja. Aku nggak selalu ada di deket kamu ya, jadi jangan manja."

Zello yang tadinya tersenyum menghentikan senyumnya, perkataan Aluna terdengar seperti kalimat yang lain daripada yang didengarnya.

"Kamu mau kemana?" tanya Zello langsung.

Aluna meneruskan acara melukisnya, mereka sedang berada di depan jurusan Aluna, tempat Aluna dan teman-temannya tampak sibuk melukis untuk keperluan tugas akhir. Gadis itu sendiri melukis seorang perempuan yang duduk di sebuah ruangan sepi. Tugas kali ini bertema mahluk hidup, dan sosok yang merupakan refleksi dirinya itu dipilih Aluna sebagai tokoh dalam lukisannya.

"Memang mau kemana? Pulanglah ke Surabaya, kan mau liburan."

"Tapi balik ke sini kan?"

"Iyalah, kan kuliah baru semester tiga, ya masa mau nggak balik? Kamu ini ada-ada aja deh."

Zello Bernapas lega, ia mulai mengusap pipinya menggunakan tisue dari Aluna.

"Kamu cuma bisa dua bulan yang liburan di sana, satu bulan sisanya kita harus ngurus Ospek."

"Nggak bisa izin gitu?"

Zello menggeleng, bukannya jahat, tapi ia malas kalau harus berpisah lama dari Aluna, mereka baru kembali, dan lagi-lagi harus dibuat berpisah karena masa liburan tiba, di masa liburan itu Zello sudah berencana akan mengambil pekerjaan full day di kantor penerbitan milik papanya, jadi ia tidak bisa mengikuti Aluna. Ia ingin produktif walau liburan. Ia ingin belajar bertanggung jawab seperti papanya.

"Jahat kamu tuh."

"Jahatan mana sama kamu yang ninggalin pacar pas liburan, hem?"

"Ya kan mami lebih penting daripada pacar."

"Yah, aku pasti kalah kalau lawan mamimu haha. Nanti malam pergi bareng ya?"

Aluna harus menghentikan acara melukisnya lagi saat mendengar permintaan Zello.

"Mau kemana?"

"Lupa ya? Syukuran pernikahan sekaligus acara syukuran kehamilan temanmu, si Alya sama Fendy."

Aluna menepuk dahinya, ia benar-benar lupa kalau seminggu lalu, Alya dan Fendy menikah, dan hari ini ada acara di rumah Alya.

"Astagaaaa, ntar jemput ya. Aku lupa masa."

Aluna meringis, Zello tertawa kecil. Ia lalu menunggui Aluna hingga menyelesaikan lukisannya dua jam kemudian.

***

Dress sepanjang mata kaki melekat di tubuhnya, Aluna mengenakan dress panjang berwarna baby blue dengan make up tipis yang menggores wajahnya—hasil melihat tutorial di youtube. Rambutnya ia kuncir separuh, dan mengenakan wedges berwarna putih di kakinya. Ia mengambil tas sling bag kecil yang berisi ponsel dan dompet, sebelum turun ke bawah untuk menemui Zello yang sudah duduk di ruang tamu rumahnya. Namun, kehadiran Zello yang tidak sendiri, membuat Aluna terkejut. Ada papinya di sana, sendiri, tanpa Rama yang biasanya selalu mengikutinya kemana-mana.

"Papi ngapain?"

"Papi dapat laporan dari Kang Abay katanya kamu sering pulang sama cowok, jadi, ini pacar kamu?" tanya Anggara, menatap Zello dengan pandangan meneliti.

Zello tersenyum kikuk di depan papi Aluna, ia pernah sekali bertemu dengan Anggara sewaktu dulu SMA, dan Anggara sepertinya lupa padanya.

"Dia memang pacarku, kenapa?"

Anggara terdiam, menatap lagi ke arah Zello.

"Om, saya memang pacar Aluna, maaf kalau lancang pacaran dengan Aluna sebelum meminta izin sama Om."

Zello berucap dengan lugas. Anggara mendengus, ia merasa kecolongan karena kurang mengawasi Aluna.

"Papi nggak mau kamu pacaran, Lun, kuliah saja dulu."

"Kenapa?"

Aluna menatap papinya dengan bingung.

"Papi mana percaya dia bisa jaga kamu, kamu anak perempuan papi, tinggal sendiri di rumah ini, papi nggak mau kecolongan," jelas Anggara. Aluna tersenyum masam.

"Apa papi tahu kalau aku kesepian? Apa papi sadar, kenapa aku nolak tinggal bareng papi? Dan, terakhir, kenapa papi ngelarang aku ini itu, sedangkan Jani papi beri kebebasan? Kenapa papi nggak bisa percaya sama aku, sedangkan sama Jani bisa? Aku yang anak kandung papi," kata Aluna, air matanya tertahan di kelopak matanya, suaranya bergetar menahan sesak di dada. Ia tak pernah berkata seperti itu pada papinya, mungkin sekumpulan emosi yang dipendamnya selama ini pecah, pada detik Anggara memintanya untuk tidak pacaran dengan Zello.

"Papi nggak tahu apa-apa tentangku, never. Papi nggak akan pernah benar-benar mengerti tentang aku."

Aluna mengelus dadanya, ia berjalan kea rah Zello, menggenggam tangan laki-laki itu, meninggalkan papinya tanpa suara. Ia tidak menjamin akan baik-baik saja ketika lebih lama lagi berada di ruangan yang sama dengan Anggara.

***

"Ini minum dulu," ucap Zello saat ia memberikan segelas sirup pada Aluna. Gadis itu menerimanya dan langsung meminumnya hingga habis, pergolakan emosinya beberapa saat tadi membuat rasa haus melanda.

"Udah baikan?"

Seakan mengerti keadaannya, Zello tak mencoba bertanya lebih jauh tentang hubungan dirinya dengan sang papi. Sejak dulu, selain Davika, Zello adalah orang yang paling mengertinya.

"Aku nggak papa."

Zello duduk di sampingnya, mengelus rambut Aluna pelan. Laki-laki itu mengenakan kemeja biru tua, ia tampak lebih rapi malam ini, rambutnya ditata seperti biasa. Aluna selalu suka Zello yang seperti ini, lebih terlihat dewasa.

"Kalau ada apa-apa cerita. Jangan bikin aku jadi pacar yang nggak berguna, karena nggak tahu apa-apa tentang kamu, Lun."

"Kamu tenang aja, aku enggak papa."

Zello membuang napasnya, ia tersenyum, Zello tidak bisa memaksa Aluna. Maka, ia akan menunggu atau bertanya pada Davika misalnya. Karena Zello paham, Aluna bukan orang yang suka dipaksa.

"Alunaaa..."

Alya berteriak heboh, berlari kecil menghampiri Aluna, gadis itu mengenakan gaun putih, di belakangnya Fendy menyusul istrinya itu. wajah ceria Alya tak bisa menyembunyikan sedih sebenarnya yang perempuan itu rasakan, Aluna bisa melihatnya. Bahagia pura-pura? Ia sudah hafal dengan orang-orang yang selalu bersembunyi di balik topeng itu, mungkin karena dirinya sering melakukannya.

"Makasih udah mau dateng, makasih," kata Alya sambil memeluk Aluna.

Wajah Fendy yang berada di belakangnya masih tampak memar di beberapa bagian. Bukan rahasia umum lagi kalau pernikahan ini terjadi karena kecelakaan, dan sudah bisa ditebak jika Fendy pasti menjadi sasaran kemarahan ayah Alya dan kakak laki-laki Alya yang seorang militer itu.

"Hei,ibu hamil nggak boleh sedih. Harus tetap semangat."

"Gue seneng lo mau dateng, di saat temen-temen gue yang lain ninggalin gue, tapi lo nggak, makasih Lun."

"Manusia pasti pernah bikin salah, Al. Lo hanya harus bangkit, nggak boleh sedih ya. Bentar lagi kan punya dedek bayi."

Aluna terkekeh, Alya tersenyum kecil menyeka air matanya. Ia tahu sekarang, seorang teman mungkin akan meninggalkannya saat terkena masalah, tapi seorang sahabat akan tetap bersamanya. Alya menemukannya pada diri Aluna. Ia bersyukur Tuhan masih bermurah hati mempertemukannya pada orang seperti Aluna.

"Gue mau cuti kuliah, Lun."

"Kenapa? Kan kampus kita ngebolehin kuliah walau hamil."

"Gue nggak mau stress karena dengerin gunjingan anak-anak. Cuti lebih baik."

Alya tersenyum paksa, Aluna mengelus punggung tangan Alya, memberikannya dukungan.

"Kalau itu yang terbaik. Gue dukung lo, Al."

"Thanks, Lun." Alya tersenyum, ia peluk lagi Aluna.

***

"Kita nggak bakal jadi kayak Alya sama Fendy kan, Zell?"

Zello yang menemani Aluna di ayunan di dalam taman rumahnya menatap Aluna dari balik punggung Aluna. Ia mendorong Aluna, hingga ayunan itu mengayun pelan.

"Aku mau jaga kamu, bukan mau merusakmu."

Zello mendorong ayunannya lagi, membuat Aluna terkikik pelan. Langit malam dipenuhi bintang, ada sebuah rasi bintang gemini menghiasi langit hitam di atas sana.

"Kita mungkin nggak bisa selamanya, Zell. Aku nggak mau kita janjiin sesuatu."

"Kenapa, Lun?"

"Salah satu dari kita mungkin akan saling menyakiti, aku atau kamu misalnya."

"Kamu kenapa tiba-tiba ngomong begini?"

"Kalau ada yang lebih mencintai kamu daripada aku? Kamu akan ninggalin aku apa enggak?"

Zello menghentikan ayunannya, ia memutar arah tubuhnya, menjadi di depan Aluna. Sedikit berjongkok untuk menyamai tingginya dengan Aluna.

"Dapetin kamu itu susah, kenapa harus ninggalin kamu?"

"Kamu boleh ngomong begini sekarang, tapi kita nggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bisa saja kita nggak berjodoh."

Zello membuang napasnya, ia usap wajahnya. Perkataan Aluna membuatnya kesal, ia menegakkan tubuhnya.

"Ya aku bakal minta sama Tuhan buat dijodohin sama kamu."

"Haha...mana bisa?"

"Kamu percaya sama aku kan?"

Aluna diam sesaat, ia tak bisa sepenuhnya percaya pada Zello. Hatinya mengatakan untuk percaya, namun pikirannya selalu menolak. Ia belum sepenuhnya bisa menerima Zello lagi dalam hidupnya, keinginan untuk pergi selalu ada. Aluna hanya takut, takut Zello meninggalkannya dan akan membuatnya hancur untuk kesekian kali.

"Maaf..."

"Belajar percaya sama aku, Lun, jangan tidur terlalu malam, aku pulang," tukas Zello, ia beranjak dari hadapan Aluna tanpa mengatakan apa-apa, Zello butuh meredam emosinya. Sikap Aluna sedikit membuatnya tersinggung, ia tidak ingin memperparah keadaan dengan meluapkan kekesalannya pada Aluna.

Aluna dan ketidakpercayaannya mungkin akan menjadi masalah bagi hubungan mereka di masa depan. Zello hanya berharap, Aluna tidak pergi meninggalkannya lagi. Karena, ia tak akan menjamin hatinya akan baik-baik saja saat Aluna melakukannya lagi.

=6

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro