Cerita di Surabaya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bisakah kamu menghapus sebuah keraguan, dan menjadikan yang telah terberai kembali utuh?

           

Aluna segera menuju rumah sakit menggunakan taksi online, setibanya ia di bandara Juanda, Surabaya. Gadis itu sibuk berdoa dalam hati, semoga maminya baik-baik saja. Mami adalah satu-satunya orang yang mampu mengertinya sejauh ini, jika sesuatu terjadi pada maminya, entahlah, apa yang akan Aluna lakukan. Ia tidak pernah siap untuk kemungkinan terburuk.

Keluar dari taksi, Aluna lantas menuju ruang inap mamanya yang telah diberitahu omnya lewat pesan Whatsapp. Wajahnya tampak cemas, ia menaiki lift dengan tidak sabaran. Kakinya bergerak gelisah, berkali-kali ia melihat ke ponselnya, kalau-kalau omnya mengabarinya sesuatu. Setibanya lift di lantai tempat maminya dirawat, gadis itu langsung begegas menuju kamar maminya. Di luar kursi tunggu, ada Om Fandy dan sepupunya Rajendra yang sedang duduk di sana. Buru-buru Aluna menghampiri dua orang itu.

"Mami gimana, Om?"

"Kamu tenang dulu, Lun. Mamimu baik-baik saja, ada Tante Mitha di dalam."

"Alhamdulillah, Aluna masuk dulu ya, Om."

Om Fandy mengangguk, dan membiarkan Aluna masuk untuk bertemu maminya. Alisa—maminya tampak terbaring di atas bangkar, dan ditunggui oleh Tante Mitha.

"Mi, Ya Allah. Mami kok bisa gini sih?"

Aluna menyalami tangan maminya yang tampak lemas, wanita itu tersenyum lembut pada Aluna.

"Mami sakit apa?"

"Mami nggak papa, Lun. Cuma sakit lambung."

Mata Aluna melotot. Cuma? Maminya bilang Cuma? Padahal sakit lambung itu bukan penyakit yang bisa dianggap enteng, sudah banyak kasus dimana penderita sakit lambung kehilangan nyawanya. Aluna menunduk di samping maminya, menggenggam tangan maminya.

"Tante, makasih ya udah jagain mami."

"Kita saudara Aluna, harus saling bantu." Tante Mitha tersenyum, mengelus puncak kepala Aluna.

"Kamu belum makan, Lun?" tanya maminya, Aluna menggeleng. Ia tak akan nafsu makan jika keadaan maminya seperti ini. Siapa yang bisa makan dengan tenang ketika orang yang disayang terbaring sakit?

"Kamu makan dulu ya, Lun. Mami nggak mau kamu sakit."

"Nanti aja, Mi."

"Mbak Alisa benar, Lun. Kamu makan dulu ya, biar diantar Rajendra."

"Nggak, Tan. Aluna belum laper."

Tante Mitha menggeleng, ia lalu berdiri dan berjalan keluar untuk memanggil Rajendra—sepupu Aluna yang usianya terpaut satu tahun di bawah Aluna, dan saat ini berstatus sama dengan Aluna, mahasiswa semester dua, karena Aluna sempat menunda kuliahnya satu tahun.

"Mbak, ayo makan dulu," ajak Rajendra, Aluna menatap maminya.

"Makan dulu, Lun," kata maminya, Aluna mengembuskan napasnya.

"Aku pergi dulu, Mi. Tan," pamitnya, lalu meninggalkan ruang inap maminya dan pergi bersama Ranjendra. Di depan kamar inap maminya, ia sempat berpapasan dengan seorang pria paruh baya berkemeja biru tua, membuat Aluna bingung, siapakah laki-laki itu, dan apa hubungannya dengan sang mami?

"Ndra," kata Aluna, begitu ia naik ke dalam mobil Rajendra. Sepupunya yang berdarah Chinese—keturunan dari mamanya itu menatap Aluna sekilas.

"Kenapa, Mbak?"

"Kamu kenal pria di depan ruang rawat mami tadi?"

"Oh, kata papa itu teman Tante Alisa, Mbak."

Dahi Aluna mengerut, "Teman? Sejak kapan?"

"Mungkin calon papa baru, Mbak Aluna," jawab Rajendra enteng, membuat Aluna tegang dalam duduknya? Papa baru? Yang benar saja? Mengapa maminya tidak pernah mengatakan apa pun perihal ini?

***

Keluarga Om Fandy baru saja pulang setengah jam yang lalu, tinggal Aluna dan maminya di ruangan ini. Gadis itu memandang maminya gelisah, ia ingin bertanya perihal pria yang tadi ditemuinya pada Alisa, namun Aluna merasa ia takut jika hal itu terlalu mencampuri urusan pribadi Alisa.

"Kenapa, Lun?"

Aluna menggeleng. Ia pura-pura fokus pada acara televisi yang menampilkan berita petang.

"Mami tahu kamu lagi gelisah, kenapa?"

Mengigit bibir bawahnya, Aluna menatap maminya. Ia membuang napasnya, mencari ketenangan.

"Pria tadi, siapa, Mi?" ia bertanya pada akhirnya.

"Om Johan, teman kuliah mami dulu."

"Calon suami mami?" tebak Aluna, ia tak kuasa melontarkan kalimat itu.

Alisa hanya diam di tempatnya. Jujur saja, wanita itu tak pernah memikirkan tentang pernikahan setelah perceraiannya dengan papi Aluna, perasaan terkhianati masih membekas di hati Alisa. Dan, perihal Johan, laki-laki yang berstatus duda itu memang menawarinya untuk menikah, dan dengan halus Alisa selalu menolak, karena baginya, kebahagiaan Alunalah yang paling penting. Ia cukup dengan statusnya saat ini, janda beranak satu.

"Nggak, Lun. Mami nggak berniat menikah lagi."

"Kenapa? Karena pengkhianatan papi?" tanya Aluna, ada yang menyumpal mulutnya saat mengatakan kalimat itu. Aluna ingin maminya bahagia, papinya sudah lama menemukan kebahagiaan baru. Lantas mengapa tidak untuk maminya?

"Mami hanya mau lihat kamu bahagia, keadaan ini, mami sudah merasa cukup."

"Papi udah bahagia, kalau mami mau menikah lagi, dengan siapa pun itu asal mami bahagia, Aluna nggak papa kok, Mi. Aku mau mami bahagia. Mami berhak untuk itu," ucap Aluna, ia peluk maminya sambil menangis.

Dulu, tak pernah ada dalam bayangannya ia akan mengalami ini semua, namun setelah perceraian kedua orang tuanya, Aluna tahu saat seperti ini mungkin akan tiba. Di mana, mami akan bahagia dengan keluarga barunya pun dengan sang papi. Dan dia? Akan ada di tengah-tengah kebahagiaan dua keluarga, dia mungkin akan sendiri. Dan, Aluna tak pernah ingin menyaksikan sebuah perceraian lagi, termasuk dengan seseorang yang akan menjadi jodohnya di masa depan, ia hanya bisa berharap, tidak akan lagi ada perceraian di dalam hidupnya. Cukup mami-papi om-tante dan kakek-neneknya. Melihat kehancuran satu per satu hubungan itu cukup memberikan dampak buruk bagi Aluna, ia nyaris berada di ambang kepercayaan terhadap suatu hubungan. Sebuah teori behaviour mengatakan, lingkungan tempat manusia tinggal akan mempengaruhi kepribadian seseorang, begitulah yang dialami Aluna. Lingkungan pertumbuhannya telah membentuk dirinya yang dipenuhi distorsi kognitif terhadap sebuah hubungan.

"Mami cukup bahagia punya kamu, Lun," ucap maminya, Aluna mencoba tersenyum sekaligus menangis.

***

"Lo udah dapet alamat rumah sakitnya?" kata Zello pada Davika, mereka sedang duduk di starbucks di dalam bandara.

Kemarin Davika dan Zello membuat janji untuk menyusul Aluna ke Surabaya, Davika yang meminta sebenarnya, karena ia tak berani pergi sendirian, dan gadis itu juga tahu kalau Zello pasti tidak akan menolak ajakannya, apalagi untuk Aluna. Sedangka kalau mengajak temannya yang lain, pasti tidak ada yang mau, karena minggu ini kuliah masih aktif, akan sayang jika membolos beberapa hari hanya untuk menemaninya membolos. Karena, absen kehadiran memang berpengaruh terhadap nilai, walau tidak semua dosen memberlakukan demikian, tapi sebagian besar dosen mempunya aturan seperti itu.

"Udah, tinggal cari taksi online."

"Kata temen gue, di bandara taksi online dilarang, jadi kalau mau ya kita jalan keluar bandara."

Mata Davika melotot, "Gile lo, Zell. Ogah gue jalan ke luar, capek. Bawa-bawa tas besar lagi, naik taksi convensional aja deh," usul Davika.

Zello mengembuskan napasnya. Manja, sifat Davika yang satu itu tidak pernah berubah. Tipikal orang yang tidak mau susah. Ya, begitulah Davika, mungkin karena dia anak bungsu.

"Hm, ayo."

"Sekarang?"

Zello mengangguk. Davika meminum sisa minumannya sebelum beranjak untuk menyusul Zello. Laki-laki itu sedang berjalan untuk mencari taksi yang akan mengantarkan mereka ke rumah sakit.

"Ntar lo nginep di mana?" tanya Davika pada Zello, kalau Davika jelas akan menginap di rumah Aluna. Kalau Zello? Davika tidak tahu mantan pacarnya itu akan menginap di mana, Zello juga tak mengatakan apa pun sejak tadi.

"Kost temen gue."

"Jauh? Gue takut lo ilang ntar."

Zello tertawa kecil, Davika tetap saja konyol, lebih konyol daripada Aluna. "Ya nggak, nanti dia jemput gue di rumah sakit, lagian kosnya deket rumah sakit tempat mami Aluna dirawat," kata Zello setelah tahu di mana mami Aluna dirawat.

"Kok bisa? Temen lo kerja emang?"

"Ya kuliah. Kampusnya deket rumah sakit, dia anak kedokteran," ucap Zello. Davika manggut-manggut.

Tiba di rumah sakit, mereka segera menuju ruang inap maminya Aluna. Sebelumnya, Davika sudah bertanya lebih dulu pada Aluna, namun ia tak memberitahu perihal kedatangannya pada Aluna. Biar menjadi kejutan, lagipula ia datang bersama Zello, kalau Aluna tahu, bisa-bisa gadis itu tak akan memberitahu tempat maminya dirawat.

"Permisi gue mau nanya, ini bener ruang rawat maminya Aluna?" tanya Davika saat mereka sampai di sebuah ruangan dengan seorang laki-laki yang duduk di depannya. Laki-laki itu menatap aneh pada Davika, jelas saja, kebiasaan berdialog gue-lo tidak berlaku di Surabaya. Malah akan dicap aneh saat mengucapkan dialog seperti itu.

Laki-laki itu—Rajendra berdiri dari duduknya, memperhatikan Davika dan Zello bergantian, membuat Davika geram.

"Mas, Mas...gue tanya loh, ya," kata Davika lagi.

"Ya bener, kamu siapanya Mbak Aluna?"

Nah, Davika yang sekarang merasa aneh. Kalau di lingkungannya, kalimat aku-kamu hanya berlaku untuk seseorang yang memiliki hubungan dekat, pacaran misalnya. Malah, kalau diucapkan seperti itu, banyak yang akan baper. Lalu, Davika ingat, saat ini ia tak sedang berada di Jakarta.

"Gue temennya, jadi?"

"Oh, yasudah masuk saja," ujar Rajendra, Davika membuang napasnya, tersenyum singkat lalu masuk ke dalam kamar inap mami Aluna, diikuti oleh Zello.

Davika melihat Aluna sedang duduk sambil menyuapi bubur untuk maminya, gadis itu begitu telaten merawat sang mami, sesekali ia menyeka mulut maminya dengan tisue, jika buburnya belepotan di sekitar bibir.

"Alunaa..." panggil Davika pelan, Aluna menoleh dan matanya membeliak kaget saat melihat keberadaan Davika dan Zello di belakangnya. Ia letakkan mangkuk bubur itu dan segera berdiri menghampiri Davika.

"Dav, lo kok di sini?"

"Gue khawatir sama lo, sekalian jalan-jalan sih, pengin lihat Surabaya hehe," ucapnya. Ia melirik mami Aluna, lantas berjalan mendekat.

"Assalamualaikum Tan, saya Davika, teman Aluna. Gimana keadaannya, Tan?" sapa Davika, Alisa tersenyum lembut.

"Baik, Nak. Terima kasih ya, sudah mau berkunjung jauh-jauh dari Jakarta."

"Hehe santai aja, Tan."

"Tan. Bagaimana keadaannya?" kata Zello sembari menyalami Aluna, sewaktu pacaran dengan Aluna, ia pernah bertemu dengan mami Aluna beberapa kali, saat mami Aluna ke berkunjung ke Jakarta, setelah kepindahannya ke Surabaya.

"Nak, Zello. Kamu apa kabar?"

"Alhamdulillah baik, Tan."

"Ehem ehem, ketemu calon mertua, cieee," goda Davika, Aluna melotot dan mencubit lengan Davika hingga gadis itu mengaduh. Sementara Alisa tertawa.

"Kalian istirahat dulu saja, pasti lelah," kata Alisa.

"Nggak kok, Tan. Santai aja, nggak lelah hehe."

Zello hanya terseyum tipis, matanya memandang Aluna, ia melihat gadis itu tampak serba salah saat melihatnya. Terakhir kali mereka bertemu, hubungan mereka sedang tak baik, dan tahu-tahu ia menyusul Aluna ke Surabaya, gadis itu pasti merasa canggung.

***

Aluna mengajak Zello dan Davika makan di sebuah restoran cepat saji, diantar oleh Rajendra. Sepupunya itu akan menjadi supirnya selama ia di Surabaya. Davika tampak bersemangat, beberapa kali ia selfie dan membuat insta story di Instagram.  Zello sendiri baru saja menerima telepon dari mamanya yang bertanya tentang keadaannya juga mami Aluna. Rajendra? Laki-laki itu sibuk minum sodanya.

"Lun, ngantuk," kata Davika, hari memang sudah malam, wajar jika Davika mengantuk.

"Habis ini kita pulang, makanan lo habisin dulu Dav. Dan, emh—"

"Kenapa, Lun?" tanya Davika.

"Zel—Zello, nginep di mana?"

Davika terkikik, ia melirik ke arah Zello. "Ya, tanyain dong."

Aluna menggaruk belakang kepalanya, ia menoleh kea rah Zello. Hubungannya dengan Zello sedang rumit. Ia sulit sok akrab dengan Zello, seperti biasa. Aluna masih sedikit kesal dengan Zello karena kejadian tempo hari.

"Mas Zello bisa nginep di rumahku, Mbak," potong Rajendra. Tiga pasang mata itu menatap ke arahnya.

"Oh, nggak perlu. Gue bisa nginep di kos temen, kebetulan tadi udah gue kabarin."

"Nggak papa, Mas. Santai aja, kamar di rumah masih ada yang kosong, ya biar sekalian nanti."

"Eng, ya—ya Zell, nginep di rumah Om Fandy aja," sahut Aluna.

"Oke, kalau gitu."

Aluna bernapas lega, ia melirik ke arah Zello dengan ekspresi datarnya. Aluna tidak menduga Zello akan menyusul ke Surabaya, membuatnya hampir mati kutu. Dengan status mereka sebagai mantan pacar, rasanya memang aneh.

"Ya udah, pulang sekarang aja biar nggak kemalaman," ucap Rajendra, ia berdiri, mengambil kontak mobilnya yang tergeletak di atas meja.

Aluna mengangguk, matanya berserobok lagi dengan Zello. Mereka berjalan beriringan menuju mobil Rajendra. Dada Aluna berdegup kencang, ia gugup berdekatan dengan Zello. Segala ketakutannya kembali menyeruak, ia tidak bisa mendustai perasaannya kalau memang masih menyayangi Zello, namun ketakutan dalam menjalin sebuah hubungan membuatnya ingin terus menghindar dari Zello.

Lagu The Man Who Can't Be Move dari The Scrip memenuhi mobil Rajendra. Sebuah saluran radio dinyalakan oleh Davika. Gadis itu memang sengaja duduk di depan, bersama Rajendra dan membiarkan Aluna duduk di belakang dengan suasana awkward bersama Zello.

How can I move on

When I'm still in love with you?

"Zell, udah move on belum, Zell?" Davika bertanya sambil terkikik geli.

"Lo apaan deh, Dav?" gerutu Aluna.

"Lha, gue tanya sama Zello, bukan lo deh, Lun."

"Ish, tahu ah, serah lo."

"Yeee sewot haha..."

Aluna melongos, mengarahkan kepalanya ke jendela mobil, menimbulkan tawa kecil dari Zello. Laki-laki itu meraih tangan Aluna, tak mengatakan apa pun, hanya menggenggam tangan gadis itu, membuat Aluna terkesiap dan ingin melepaskan tangannya, namun ditahan oleh Zello. Karena tidak ingin membuat Davika semakin heboh, Aluna lebih memilih untuk diam.

"Bentar lagi UAS, jangan lupa belajar. Tugas akhir semester jangan lupa dikerjakan, jangan bolos terlalu lama, ingat, izin bolos cuma empat kali disetiap mata kuliah, kalau kebanyakan nanti kamu tidak bisa ikut ujian," kata Zello pelan, Aluna menoleh, ia mengangkat sebelah alisnya, tak mengatakan apa pun. Pikirannya berkelana ke Jakarta, tepatnya pada tugas-tugas akhirnya yang menumpuk seperti gunung, rasanya...Aluna ingin menjadi amoeba saja yang bisa membelah.

Distorsi kognitif: pikiran negatif

more info tentang ceritaku, mengenai penerbitan SIMAS, MHIMCC dan lainnya silakan follow aristav.books aku bakal bagiin info di sana :D

salam,

Rista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro