Honest

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah hubungan lebur karena kebohongan, ia kembali karena tekad dan kejujuran.

"Kenapa?"

Aldo menaikkan sebelah alisnya. Menatap Aluna yang melihatnya dengan malas. Gadis itu tiba-tiba saja menghampirinya yang sedang melaukan kroscek untuk proker BEM bersama Danang—wakil BEM-nya.

"Masih nanya lagi. Lo masih hutang penjelasan ke gue, Mas!"

Nada gadis itu tampak kesal, membuat Aldo tertawa kecil.

"Sini, duduk."

Aluna mendengkus, melihat Aldo jengah. Ia lantas duduk di atas kursi yang dipersilakan oleh Aldo tadi. Beruntung, taka da orang di ruang BPH—Badan Pengurus Harian—ini, Danang sudah pergi lima menit yang lalu.

"Jadi..."

"Nanti juga tahu. Santai aja, Lun. Nikmatin semuanya."

Gadis itu menoleh padanya, menatap geram pada Aldo. Merasa dipermainkan oleh Aldo, sementara laki-laki itu malah sibuk dengan ponselnya.

"Mas, gue serius loh."

"Gue juga serius."

Berdiri dari duduknya. Aluna menatap tajam wajah Aldo, laki-laki itu mendongakkan kepalanya, menatap Aluna sambil menahan tawa.

"Nggak semua rahasia harus lo tahu saat ini, Aluna."

"Sumpah ya, Mas. Ngomong sama lo itu ribet, lebih ribet daripada gnomon sama Zello."

Aldo terbahak, sampai ia memegang perutnya karena sakit akibat tertawa. Aluna membuang napasnya, berbalik badan meninggalkan Aldo. Percuma, laki-laki itu akan tetap bungkam, Aldo adalah orang yang pandai menjaga rahasia, tidak heran ia menjadi ketua BEM F, yang tentu banyak menjaga rahasia dari orang-orang atas di fakultasnya.

Sial. Aluna merasa muak saat ini. Aldo sama sekali tidak membantu.

***

Es krim memang bisa mendinginkan kepala. Benar kata Davika, memakan es krim bisa membuat kepalanya yang tadi panas menjadi terasa ringan. Mungkin itu hanya filosofi, tapi ketika dipercayai Aluna merasa memang demikian kebenarannya.

Suara musik di kafe ini terdengar mengalun di telinganya. Ia memang datang seorang diri, karena ia butuh ketenangan, sampai Alya mengirim pesan padanya, ia bilang ingin bertemu karena ada hal penting yang ingin dibicarakan.

Aluna melihat ponselnya lagi, pesan dari Alya yang mengatakan sebentar lagi ia tiba hanya dibalas ok olehnya. Setelahnya ia membuka aplikasi Instagram, melihat beberapa temannya memposting foto, ada sebuah tag foto bergambar tangan dari seseorang. Gadis itu membukanya, nama Zello tampak di beranda instagramnya.

Jangan memintaku melupakan, saat aku enggan.

Jangan memintaku mengabaikan

Saat aku tak akan

Mintalah aku untuk berbalik

Sekali lagi, mejemput kenangan

Menjemput kita dan membangun lagi cerita.

Aluna mengklik tanda like di sana, ia mengamati beberapa komentar yang masuk. Gadis itu tersenyum kecil, perhatian kecil Zello yang seperti ini memang manis, meski Zello bukan termasuk laki-laki posesif yang setiap saat akan mengabari dirinya, tapi bagi Aluna, Zello tetaplah laki-laki manis yang pernah ada dalam hidupnya dan mungkin satu-satunya, tidak ada yang tahu, pun dengan dirinya.

"Maaf, gue telat."

Alya tiba di hadapannya, gadis itu segera duduk. Wajahnya tampak panik, dengan pengertiannya Aluna menyodorkan sebotol air mineral yang tadi ia pesan bersama es krim.

"Lo kenapa?"

"Lun, gue—gue."

"Kenapa?"

Aluna menunggu Alya bicara. Gadis itu melihat wajah gelisah dan pucat pasi milik Alya, seperti ada sebuah kejadian besar yang baru saja menimpa gadis itu. Alya meremas-remas kedua tangannya.

"Gue nggak tahu mau cerita sama siapa, saat ini lo satu-satunya temen deket gue, Lun."

"Lo yang tenang, Al."

"Lun...gue, gue kayaknya..."

"Kenapa?" tanya Aluna dengan tidak sabaran. Lama-lama ia tampak gemas.

"Gue hamil, kayaknya, Lun. Gimana Lun, astaga Lun..."

"Apa? Lo ngomong apa?"

"Gue telat tiga minggu, Lun..."

Aluna terkesiap. Ia melihat Alya dengan pandangan sulit diartikan, sendok es krim yang akan diraihnya ia kembalikan lagi, mendadak selera makan es krimnya menguap entah ke mana. Perkataan Alya membuatnya kaget luar biasa. Pasalnya selama ini Alya tampak alim, ia tak banyak tingkah, Alya bahkan tak terlihat memiliki pacar. Dan, saat ini ia gadis itu mengatakan kalau kemungkinan besar dirinya hamil?

"Lo nggak becanda kan? Lo pacaran sehat kan sama Fandy?"

Alya menundukkan wajahnya. "Gue khilaf, Lun. Gue takut, Lun, gue harus gimana?"

Khilaf? Alasan klasik, semua orang akan mengatas namakan khilaf setelah melakukan kesalahan, pun dengan papanya. Mendadak, Aluna mengingat papanya, pengkhianatan papanya, khilaf papanya dan segala kenangan buruk masa kecilnya.

"Lo udah pastiin? Maksud gue? Beli alat tes kehamilan misalnya?"

"Udah, tiga-tiganya positif."

Aluna menarik napasnya. "Periksa ke dokter?"

Alya menggeleng, ia melihat Aluna dengan muka pias. Wajah ketakutan tampak jelas tergambar di sana.

"Gue anterin ke dokter, ya? Lo jangan panik dulu, bisa saja alat itu nggak akurat."

"Kalau gue beneran hamil, gimana, Lun?"

"Cowok lo harus bertanggung jawab!" kata Aluna tegas. Ia menarik lengan Alya, mengajak Alya meninggalkan kafe itu.

***

Mereka tiba di sebuah rumah sakit swasta. Wajah Alya semakin gelisah. Aluna menggenggam tangan gadis itu, mencoba memberi kekuatan. Alya sedang memiliki masalah, sebagai teman ia harus membantu. Walau baru beberapa bulan mengenal Alya, tapi bagi Aluna Alya adalah teman yang bisa diandalkan dalam berbagai hal, tidak hanya untuk urusan kampus, tapi untuk urusan organisasi dan sebagainya.

"Gue takut, Lun..."

"Nggak papa, lo harus nerima segala risikonya, Al. Lo berani berbuat harus berani menanggung, kan?"

Aluna menelan ludahnya susah payah. Penyesalan memang tak akan sudi membuat awalan, oleh karenanya ia selalu datang di akhir, datang disaat kesadaran yang sempat terenggut karena ego, perlahan kembali.

Aluna memutuskan untuk mendaftarkan Alya dan mengambil nomor antrean, sementara ia meminta Alya untuk duduk menunggu di bangku tunggu rumah sakit. Mungkin kejadian yang dialami Alya bukan kali pertama yang Aluna saksikan, beberapa temannya saat SMA dulu juga pernah mengalaminya. Harus di drop out dari sekolah karena hamil di luar nikah. Sebuah fenomena yang banyak terjadi di era millennial ini.

Aluna kembali ke tempat Alya duduk. Ia mengambil duduk di sisi kiri Alya, menggenggam tangan Alya dengan kuat, memberi kehangatan pada tangan Alya yang tampak dingin.

"Nggak usah takut. Manusia berbuat salah itu wajar, yang penting lo udah nyesel," ucap Aluna, ia menatap Alya yang terus menunduk.

"Apa gue gugurin aja ya, Lun?"

Mata Aluna melotot, ia menyentakkan tangan Alya, menatap gadis itu dengan pandangan nyalang.

"Banyak orang di luar sana yang pengin punya anak tapi nggak dikasih sama Tuhan. Lo, Al, lo dikasih anugerah sama Tuhan, walau cara lo salah, dan lo mau lenyapin dia? Astaga..."

"Lunn..."

Aluna menggeleng, memijit kepalanya. Orang-orang di sekitarnya selalu bermasalah, entah apa yang terjadi, Aluna tak paham, mengapa Tuhan selalu membuat orang-orang di sekitarnya memiliki masalah pelik, di samping hidupnya sendiri yang sudah pelik.

"Lo butuh minum. Tunggu di sini, gue beliin dulu di kantin."

"Tapi, Lun..."

"Sebentar."

Alya mengangguk kaku. Ia membiarkan Aluna pergi ke kantin, meninggalkannya seorang diri.

***

"Berapa, Mbak?"

"Semuanya dua puluh ribu."

"Oh ok, ini uangnya. Terima kasih, Mbak."

Aluna tersenyum kecil sebelum berbalik untuk segera kembali pada Alya. Ia membeli dua botol air mineral, susu untuk Alya dan sebungkus roti sandwitch instant.

Ketika akan meninggalkan kantin, matanya menatap seseorang yang sangat ia kenali, sedang duduk berdua dengan seorang gadis berseragam SMA. Rambut gadis itu dikuncir kuda, ia tampak menikmati semangkuk soto yang sedang ia lahap, sementara Zello berkutat dengan ponsel di tangannya.

Aluna hendak mengabaikan dua manusia itu, namun Zello terlanjur melihatnya, dan mau-tak-mau ia harus mendatangi Zello dan gadis berseragam SMA dengan senyum seadanya, tak ada niatan untuk bertemu Zello hari ini, saat ia harus segera kembali pada Alya.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Zello, ia letakkan ponselnya dan fokus pada Aluna. Liara yang sibuk makan soto, menghentikan makannya, gadis itu menatap Aluna dan Zello bergantian.

"Pacar Kak Zello ya? Cieee...cieee," goda Liara, Zello mendengkus. Adik Lio ini memang sangat cerewet dan suka menggodanya.

"Kamu makan aja, Ra. nggak usah godain kakak, ya."

"Halah, paling takut kumintain PJ. Kakak cantik, duduk sini sama aku," ajak Liara dengan muka berbinar. Aluna yang merasa kikuk lalu duduk di samping Liara, tepat berhadapan dengan Zello.

"Jadi, kamu ngapain ke sini?"

"Eh? Anu nemenin temen yang lagi check up."

"Yakin?" tanya Zello lagi, Aluna mengangguk pasti.

"Kakak cantik pacarnya Kak Zello, kan?" Liara bertanya tiba-tiba, membuat Aluna sedikit terkejut.

"Hah—"

"Calon istri ya, bukan pacar," sahut Zello, Liara mencibir, dan Aluna memandang tajam laki-laki itu yang justru nyengir ke arahnya.

"Halah, jangan mau sama Kak Zello, sukanya godain suster rumah sakit?"

"Hah, beneran?"

Liara mengangguk semangat. "Serius, Kak. Beneran deh, aku nggak bohong."

Pandangan Aluna kembali lagi ke Zello. Ia hendak bertanya pada laki-laki yang sedang menggelengkan kepalanya itu namun bunyi ponselnya mengurungkan Aluna untuk bertanya. Ada pesan dari Alya yang memintanya segera kembali, karena gilirannya akan tiba.

"Emh, balik dulu ya. Dahh..."

Aluna berjalan cepat sebelum Zello atau Liara mengatakan sesuatu. Meninggalkan rasa penasarannya kenapa bisa Zello bisa bersama gadis berseragam SMA itu. urusan Alya lebih penting.

***

Alya dinyatakan positif mengandung. Itu yang membuat Aluna pulang sampai selarut ini, ia harus menunggui Alya untuk menenangkan gadis itu sebelum pulang. Mental Alya sedang tidak sehat, menerima berita yang mengancam masa depannya membuat temannya itu dilanda duka, meski Fandy,  pacar Alya akan bertanggung jawab. Tapi, tetap saja, hamil di luar nikah dan di usia muda bukanlah perkara mudah. Pandangan keluarga, masyarakat dan orang-orang yang mengenal Alya tentu akan menjadi beban bagi gadis itu.

"Sssttt, Lun. Aluna..."

"Siapa? Setan? Astaga? Ini bukan malem jumat kan?"

Aluna bergidik ngeri saat ada yang memanggilnya, ia celingukan mencari sumber suara laki-laki yang tadi menyebut namanya.

"Di belakang," kata suara itu lagi. Berbalik badan, Aluna mendapati Zello berdiri di sana sambil tersenyum lebar. Ia membawa sebuah bungkusan di tangannya.

"Kamu ngapain ke sini? Bikin kaget tahu nggak?"

"Ini..."

Zello mengangkat tinggi-tinggi bingkisan yang ia bawa. Sebuah kantung kresek yang tampak berat, berlogo penerbit tempat Aluna menerbitkan novelnya.

"Buku kamu selesai dicetak," kata Zello dengan senyum lebar.

"Astaga....seriusss?" pekik Aluna, ia akan meraih bungkusan itu namun dihalau oleh Zello.

"Kamu nggak mau nyuruh aku duduk? Aku sudah nunggu kamu sejam, kalau mau tahu. Nunggu di luar gerbang tadi."

Gadis itu terkekeh, lalu mempersilakan Zello duduk di teras.

"Mau minum apa?"

"Nggak perlu."

"Oke. Kalau gitu, mana bukunya?"

Zello menyodorkan bungkusan itu untuk Aluna, membuat gadis itu memekik girang. Segera ia buka bungkusan itu dan mendapati lima novelnya berada di dalam sana. Aluna membuka salah satu novelnya dengan pelan, membaca deretan huruf yang berjajar rapi membentuk sebuah alur cerita. Ia ingin menangis rasanya, setelah banyak kegagalan yang dialaminya, pada akhirnya ia bisa melihat tulisannya abadi dalam sebuah buku.

"Kamu seneng?" Zello menatap manik matanya.

"Nggak usah ditanya, banget!"

"Sampai menyebut inisial namaku di halaman persembahannya, ya?" kata Zello setengah bercanda. Aluna mendengus, tak menjawab.

"Cerita ini tidak akan pernah terabadikan tanpamu, AWP. Terima kasih, karena kamu pernah membuatku tertawa sekaligus merasa terluka."

"Zellooooo...bisa nggak sih, diem?"

"Nggak bisa." Zello terkekeh, membuat Aluna gemas dan menampar tangan laki-laki itu cukup kencang. Aluna bersumpah, jika dari awal ia tahu editornya adalah Zello, ia tak akan menulis lembar persembahan seperti itu. Memalukan.

"Kamu sadis ya?"

"Bukan Afgan, jadi bukan sadis."

"Terus?"

"Nggak ada terus-terusan! Pulang sana."

"Hahaha...kamu nggak penasaran sama cewek yang kamu temui tadi?"

"Nggak!" jawab Aluna cepat, enggan melirik Zello. Hanya orang tidak waras yang tidak penasaran dengan gadis berseragam SMA yang duduk dengan mantan pacarnya itu. uh ralat, mungkin sudah naik kasta menjadi gebetan lagi.

"Dia Liara, adik Lio temanku, Lio nitipin Liara karena harus rehab di panti rehab karena pake narkoba. Ibu Liara sakit, makanya aku di sana, dan Liara itu bohong, aku mana pernah godain suster, godain kamu aja nggak pernah. Udah, nggak penasaran kan?"

"Siapa yang nanya coba?"

Zello tertawa. Ia meraih tangan Aluna, menggenggam tangan gadis itu dengan lekat. Matanya menerawang ke arah langit malam berbintang.

"Aku hanya mau jujur. Nggak mau ngulangin kesalahpahaman kamu dulu. Aku beneran mau kita balikan, Lun," kata Zello, ia beralih menatap Aluna, membuat mantan pacarnya itu salah tingkah.

"Ya udah kamu tidur gih, aku pulang."

Zello beranjak, ia meninggalkan Aluna yang hanya diam di teras rumahnya. Memandang punggungnya yang menghilang di balik remang lampu taman rumah Aluna.

Apakah keputusannya benar, memberi kesempatan untuk Zello?

***

padet bener kegiatan aing bulan ini :'v maklumin maba--mahasiswa basi wkwk :'v. Hiuhuhuhu. karena ga tega sama kalian yg udah nunggu, padahal besok uts, ane bela belain update loh wkwk, oki dah kumau mandi dulu wkkw, selamat membaca.

follow ig squad:

 serieskampus.ofc 

arzello.prakarsa 

aluna_dewi

aristavee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro