Jungkir Balik Hati Aluna(1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai 2000+ voters, 4000+ pembaca, happy reading.
***

Kamu pernah menjadi alasanku tertawa, dan saat ini, bolehkah aku menyebutmu sebagai alasanku terluka?

Gema sumpah sebagai pengurus BEM F periode tahun ini baru saja berkumandang. Aluna yang berdiri tepat di belakang Zello tak banyak melakukan pergerakan. Tubuhnya mendadak kaku, mulutnya terasa kelu untuk berbicara, demi apa pun di dunia ini, ia benci ketika harus ada di posisi seperti ini. Semenjak malam itu Zello berubah, sikap Zello tak sehangat biasanya, Aluna tidak paham, mengapa Zello berubah sikap padanya. Memang, apa yang salah dari perkataan umum 'semoga kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dariku?' Bukankah itu lumrah jika diucapkan oleh mantan pacar? Namun, sepertinya bagi Zello itu salah.

Aluna membuang napasnya, usai serangkaian acara pelantikan, ia hanya duduk diam di aula, menunggu Aldo untuk membubarkan acara. Zello sendiri tampak berbincang dengan Aldo, entah apa yang mereka bicarakan, bukan urusan Aluna pula.

"Heh, Lun. Ngelamun aja, sakit?" Tanya Nimas, teman satu departemennya.
"Nggak papa kok. Hehe..."
"Oh iya lupa, tadi kata Mas Zello, lo sama dia besok ikut acara seminar jurnalistik di gedung serba guna. Acaranya jam 8 pagi, ditunggu Mas Zello di Ormawa ya," ucap Nimas, membuat Aluna melongo.
"Kenapa harus gue? Nggak lo aja?"
"Gue sama tiga anak lainnya lagi ada pelatihan fotografi sama anak-anak UKM fotografi, sisanya ada kelas, cuma lo sama Mas Zello yang free."

Aluna mendesah, kalau sudah begini dia tidak bisa menolak kan? Pergi berdua dengan Zello? Aluna tahu itu bukan opsi yang bagus.

"Teman-teman kita rapat sebentar di sana ya. Ada beberapa hal yang ingin gue sampaikan," ujar Zello, ia tiba-tiba berdiri di antara kumpulan anak Departemen Infokom. Semua mengangguk, lalu mengikuti Zello ke salah satu sudut aula, mereka duduk melingkar di lantai.

"Gue langsung pada poinnya ya, gue tahu kalian semua sudah nggak sabar mau pulang."

"Mas Zello emang paling pengertian yah hehe," ucap Annika, ia mendapat sorakan dari teman-temannya.

"Infokom ada beberapa proker, yang pertama ada seminar jurnalistik yang akan dilaksanakan bulan september nanti, yang kedua kelas literasi setiap minggu, jadi kita menaungi UKM Literasi, programnya setiap bulan mendatangkan narasumber untuk sharing, dan memberi materi, yang ketiga, berhubungan dengan mading dan majalah kampus, kita yang akan meliput, dan bertanggung jawab untuk penerbitannya."

Zello berhenti sejenak, ia melihat catatan kecil di tangannya, melirik ke arah Aluna yang sedang menatapnya, dan ketika pandangan mereka bertemu, Zello itu memutuskan pandangannya.

"Dan, untuk media sosial akan gue serahkan pada kalian, kalian yang bertanggung jawab untuk mengelolanya. Satu lagi, setiap ada kegiatan, kita harus meliput. Sampai sini, ada yang ingin kalian tanyakan?"

"Penanggungjawabnya, Zell," kata seorang laki-laki bernama Bayu.

"Gue sudah rundingin sama Aldo, karena di sini gue bertindak sebagai SC. Untuk ketua pelaksananya gue serahin ke kalian, kelas literasi Nimas sebagai ketupelnya, mading dan penerbitan majalah Bayu sebagai koor pelaksananya, untuk liputan kita sesuaikan saja, dan untuk proker utama kita, Aldo dan saya sepakat untuk menunjuk Aluna sebagai ketua pelaksananya. Ada yang keberatan?"

Aluna terkesiap saat namanya terpanggil. Ia menatap tak percaya ke arah Zello yang tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, bahkan laki-laki itu tidak balik menatapnya. Ia sibuk dengan catatan yang dibawanya. Zello itu bisa menggemaskan dan menyebalkan di waktu yang bersamaan.

"Oke gue anggap setuju. Dan, kalian bisa pulang. Permisi," ucap laki-laki itu lalu beranjak meninggalkan tempat di mana ia tadi duduk, meninggalkan Aluna yang masih terkejut, bahkan ketika Zello sudah menghilang bersama gadis yang sama, yang pernah ia temui di mall tempo hari, yang sudah menunggu Zello untuk pergi. Shilla.

***

"Thanks, buat tumpangannya, Zell. Tentang ucapan gue tadi, gue serius, Zell."

Zello membuang napasnya, ia melihat ke arah Shilla yang hanya menunduk. Pipi gadis itu memerah, Zello tahu Shilla sedang menahan malu. Jelas saja, bagi seorang perempuan, mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu pada seorang laki-laki bukanlah hal yang mudah. Butuh keberanian untuk itu, dan Shilla belajar, di era emansipasi ini, ia tidak harus menunggu Zello untuk mengucapkan cinta terlebih dahulu. Ia merasa bisa memulainya jika Zello tidak ingin.

"Gue nggak tahu, Shill. Kita udah temenan lama, pacaran juga bukan prioritas gue sekarang. Gue harap lo ngerti ya?"

Shilla mendongak, manik matanya menatap Zello dalam. Seakan mencari kesungguhan dari ucapan Zello.

"Gue pengen tahu, apa lo pernah suka sama gue?"

Zello membuang napasnya. Ia melihat arloji di tangannya. Lalu melihat ke arah Shilla yang tampak menunggu jawabannya.

"Jangan berharap sama gue ya, Shill. Lo terlalu berharga buat nunggu gue."

Shilla menggeleng, "Gue tetap mau nunggu lo, Zell."

Laki-laki itu menurunkan kaca helmnya. Ia bingung bagaimana menghadapi Shilla. Zello tidak banyak pengalaman dengan perempuan, hanya Davika dan Aluna, itu pun ia yang mengajak mereka pacaran terlebih dahulu. Dengan cara yang super kaku dan tidak romantis sama sekali. Lalu, saat ini ia dihadapkan dengan Shilla? Gadis yang mengaku menyukainya semenjak menjadi mahasiswa baru sampai saat ini. Zello tidak paham dengan perasaan perempuan. Hati dan mulut mereka lebih sering berlawanan, sama seperti Aluna. Zello mendengus, ketika ingatannya jatuh pada gadis itu.

"Gue harus pergi, Shill," kata Zello, ia tidak perlu menunggu jawaban Shilla. Zello menghilang dari tempat Shilla berdiri--di depan sebuah rumah kos berpagar hitam, meninggalkan gadis itu yang tetap berdiri di sana sampai motor Zello tak lagi tampak saat berbelok di perempatan.

***

"Arzello Wisnu Prakarsa, kenapa mukamu suntuk begitu? Aku nggak suka ya, lihat muka suntukmu itu kalau kamu ada di apartemenku," teriak Andira saat ia membuka pintu apartemennya untuk Zello dan mendapati adik sepupunya itu datang dengan wajah keruh.

"Dir, plis. Aku butuh ketenangan, jangan ngomel kayak mama."

Zello melewati Andira yang menggeruti di tempatnya, laki-laki itu merebahkan dirinya di atas sofa, memejamkan matanya--mengusir lelah.

"Kamu itu selalu ke sini kalau lagi suntuk, kalau bahagia mana inget sama aku?"

Zello tak memberi jawaban, ia memilih diam daripada menghadapi Andira.

"Zell...punya telinga nggak sih?"

Zello tetap diam. Membuat Andira berang.

"Ngomong sama kamu kalau nggak sepuluh kali mana ada jawaban."

"Cewek itu ribet, Dir."
"Apa? Kamu ngatain aku?"

Zello menggeleng, ia menegakkan tubuhnya, menatap Andira sekilas. Matanya lalu beralih pada pemandangan gedung pencakar langit yang tampak dari balik jendela kaca di apartemen Andira.

"Kenapa cewek itu selalu ribet?"

Andira berdecak, "Nggak semua cewek ribet. Kalau ada cowok yang ngatain cewek itu ribet, berarti dia nggak bisa ngertiin cewek, bisanya cuma ngeluh dan ngatain cewek."

"Tapi cewek itu ribet, Dir. Ngomong A isi hatinya B. Cowok itu bukan tukang baca pikiran yang bisa paham isi hati mereka!"

"Memang kamu lagi ngadepin keribetan cewek yang gimana sih? Coba cerita," kata Andira. Zello mengusap wajahnya dengan tangan.

"Shilla tadi ngomong kalau dia suka denganku. Dan, kemarin ada seseorang yang memintaku untuk mendapat yang lebih baik darinya, padahal isi hatinya nggak begitu. Bisa kamu bayangkan, gimana ribetnya mereka?"

Andira manggut-manggut, ia tahu Shilla itu teman satu kelas Zello. Dan, ia juga paham siapa yang dimaksud oleh Zello, yang meminta laki-laki itu untuk mencari pasangan yang lebih baik.

"Kamu suka nggak sama dia?"
"Kamu tahu jawabannya, Dir."

Andira mendesah, ia menumpukan kepalanya di bahu Zello. "Aku nggak bisa ngomong apa-apa sih, Zell. Tapi, coba gengsimu itu dihilangkan, jangan sampai kamu sepertiku yang pada akhirnya menyesal. Kamu itu Zell, kayak mama yang gengsinya gede," ucap Andira setengah mencibir, Zello mulai berpikir.

"Aku tahu."

***

"Yooo Aluna yooo, Aluna yeahhh uhuy!"

Aluna berdecak, hanya satu orang tidak jelas yang selalu merecokinya ketika sedang berkonsentrasi. Fendy, laki-laki berkulit putih, seniornya yang juga teman satu kelasnya, karena ia mengulang salah satu mata kuliah semester satu di kelas Aluna, yang juga pacar Alya sejak SMA.

"Eh Fen, lo kalau mau ngerecokin gue mending pergi! Gue lagi nggak mood ya!"
"Kenapa sih, Neng? Mikirin tugas akhirnya Pak Johan yang seabrek itu?" Kata Fendy, membuat Aluna ingat tugas akhir Pak Johan yang memaksa mahasiswanya untuk menyelesaikan 250 sketsa dengan tema kehidupan sehari-hari dalam kurun waktu satu bulan.
"Jangan ingetin gue soal tugasnya Pak Johan kali! Pusing," keluh Aluna. Di pemikiran awalnya, kuliah jurusan seni rupa itu santai dan menyenangkan, tinggal melukis dan voila selesai. Tapi, Aluna baru paham meski jurusan ini terlihat santai, itu hanya 'kelihatannya' saja, nyatanya kuliah jurusan seni rupa itu banyak tugas, dan yang pasti tugas praktik lebih banyak.
"Terus kenapa suntuk? Lagian ini kan libur, lo malah ngedekem di ormawa," ucap Fendy lagi.
"Lo juga di sini, tumben nggak jalan sama Alya."
"Lah kan gue ketua HMJ, harus stay di sinilah, nah lo ada acara apaan?" Fendy ini satu angkatan dengan Zello.

Aluna mengendikkan bahunya. Ia cemberut, Fendy yang duduk di sampingnya dengan sebuah totebag bergambar panorama kota--tas khas anak cowok jurusan seni rupa--tampak merogoh sesuatu dari dalam tasnya.

"Nih permen. Biasanya Alya selalu seneng kalau gue kasih permen beginian," kata Fendy. Ia mengangsurkan sebungkus permen lolipop rasa stroberi untuk Aluna.
"Lo pikir gue bocah TK?"
"Udahlah makan aja, ribet amat deh. Enak kok, nggak beracun," ucap Fendy, ia lalu menyalakan vape beraroma apel di dekat Aluna.
"Lo kalau mau ngerokok minggir sana! Jangan deket-deket gue!"
"Ya elah Al, vape doang."
"Tetep aja gue nggak suka! "

Fendy mencibir, ia memilih mengalah dan mematikan vape-nya. Mereka sedang duduk di undakan anak tangga di depan ormawa. Aluna melirik jam di pergelangan tangannya sambil memakan permen dari Fendy, lumayan untuk menghilangkan rasa asam di mulutnya.

"Sudah hampir jam delapan, ayo!"

Suara Zello membuat Aluna mendongak, ia mendapati laki-laki itu sedang duduk di atas motor matic berwarna hitam, lengkap dengan jas almamater berwarna biru tua miliknya.

"Gue duluan, Fen."
"Yooiii, hati-hati, Al," ucap Fendy, Aluna mengangguk. Ia lalu menghampiri Zello dan naik ke atas motor laki-laki itu.

Mereka pergi menuju gedung serba guna di kompleks kampus itu, acara ini diadakan oleh BEM U sebagai proker pertama mereka. Aluna duduk canggung di belakang Zello, wajahnya tampak gelisah, sesekali ia melirik Zello lewat kaca spion motor.

"Cowok tadi, pacar kamu?" Tanya Zello, membuat Aluna terkesiap.
"Hah?"
"Lupakan!" Kata Zello, Aluna membulatkan matanya tak percaya. Kalau ia tidak salah dengar, tadi Zello bertanya tentang Fandy.
"Fandy temanku," ucap Aluna.
"Oh," jawab Zello singkat. Aluna merasa geram. Hanya Oh? Astaga!

Zello itu aneh bin nyebelin, selalu bisa membuat hatinya jungkir balik.

Tbc
Ig cast: arzello.prakarsa dan aluna_dewi

Regards,
Ig: Aristavee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro