Bab 15 : Interaksi dan Aliterasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di dalam ruang kantor yang modern dengan nuansa monokrom, Krisan duduk di mejanya yang terletak di sudut dekat jendela besar. Dari sana, dia bisa melihat pemandangan kota yang sibuk. Meja Krisan tertata rapi, dengan laptop yang terbuka menampilkan grafik penjualan produk baru yang sedang mereka luncurkan. Dua pekan ini, produk itu menunjukkan peningkatan penjualan yang cukup baik, meski masih ada beberapa target yang harus mereka kejar.

Radit duduk di meja yang tak jauh dari Krisan, namun posisinya lebih dekat ke pintu. Ponselnya tergeletak di samping tumpukan dokumen yang menumpuk, menunjukkan betapa sibuknya hari-hari belakangan ini. Di balik layar laptopnya, Radit sesekali melirik ke arah Krisan, menyimpan pikiran yang tak pernah benar-benar bisa dia buang.

Kantor itu dipenuhi dengan aktivitas karyawan lain yang sibuk dengan tugas masing-masing. Suara keyboard dan obrolan rekan kerja menjadi latar belakang yang konstan, namun di antara semua itu, suasana di antara Krisan dan Radit terasa berbeda. Seperti ada jarak yang tak terlihat, namun sangat nyata.

Radit mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi pikirannya terus kembali ke Krisan. Dia merasa rindu dengan kedekatan mereka dulu, sebelum Ortiz hadir dalam kehidupan Krisan dan mengambil begitu banyak perhatian dan kasih sayang yang dulu hanya miliknya. Radit tahu, di lubuk hatinya, bahwa dia masih memiliki perasaan yang kuat untuk Krisan. Namun, kehadiran Ortiz seolah menjadi penghalang yang tak terhindarkan, membuat Radit merasa tersingkir.

Dengan perasaan campur aduk, Radit memutuskan untuk mencoba memulai percakapan dengan Krisan, berharap bisa menemukan kembali hubungan yang pernah mereka miliki. Namun, dia juga menyadari, bahwa perasaan ini semakin rumit dengan adanya Ortiz, dan mungkin, tidak akan pernah sama lagi.

Radit mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya memanggil Krisan, "Kris, gimana hasil penjualan produk baru? Ada yang perlu kita tindak lanjuti lebih lanjut?"

Krisan menoleh dari layar laptopnya, tersenyum kecil meskipun matanya terlihat sedikit lelah. "Sejauh ini, penjualannya cukup baik. Tapi, kita masih perlu memperkuat pemasaran di beberapa wilayah yang penjualannya belum optimal."

Radit mengangguk, berusaha tetap tenang meski perasaannya semakin tidak karuan. "Iya, aku lihat grafiknya. Mungkin kita bisa coba beberapa strategi baru untuk meningkatkan exposure produk ini. Kita bisa diskusikan lebih lanjut nanti."

Krisan mengalihkan pandangannya kembali ke layar, tampak begitu fokus pada pekerjaan. Namun, Radit bisa melihat bahwa ada sesuatu yang mengganjal di balik sikap tenang Krisan itu—sesuatu yang tidak bisa diabaikannya begitu saja.

Setelah beberapa detik hening, Radit akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. "Kris, akhir-akhir ini kamu sibuk banget ya sama Ortiz?"

Pertanyaan itu membuat Krisan sedikit terkejut. Dia menoleh lagi, kali ini menatap Radit dengan sedikit rasa ingin tahu. "Iya, Ortiz memang butuh banyak perhatian sekarang. Tapi, kenapa kamu tanya?"

Radit tersenyum, meskipun ada rasa pahit yang sulit dia sembunyikan. "Aku cuma... merasa kita jadi jarang ngobrol kayak dulu. Aku rindu masa-masa itu, Kris."

Krisan menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Tapi... kamu tahu, hubungan kita sekarang hanya sebatas pekerjaan. Kisah kita sudah selesai, dan aku harap kamu mengerti itu."

Radit mencoba menyembunyikan kekecewaannya dengan senyuman kecil, tapi Krisan bisa melihat bahwa kata-katanya mengenai perasaan Radit. Krisan menyadari keinginan Radit untuk kembali bersama, namun ia tahu bahwa dirinya harus tetap tegas.

"Ya, aku mengerti," jawab Radit, meskipun nada suaranya menyiratkan sebaliknya. Namun, Krisan tahu bahwa Radit tidak akan menyerah begitu saja.

***

Pada malam yang sejuk dan tenang, Ortiz berseluncur dengan skateboardnya di taman kota yang agak sepi. Di bawah sinar lampu jalan yang temaram, dia merasakan angin malam menyapu wajahnya, seolah-olah membawanya jauh dari kekacauan dalam pikirannya. Teman setianya, Dika, berdiri di samping, menyaksikan Ortiz dengan perhatian penuh saat dia berlatih trik-trik baru.

Di sisi lain taman, di luar jangkauan lampu, Radit mengamati dari kejauhan. Dia tampak mengenakan jaket hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, berusaha agar tidak terlalu mencolok. Radit tahu betul di mana Ortiz berada malam itu, berkat pesan-pesan ancaman yang dia kirimkan sebelumnya. Malam ini, dia berencana memastikan Ortiz memahami betapa serius ancaman itu.

Radit melangkah maju, menembus kegelapan dan mendekati Ortiz dan Dika. "Eh, Ortiz," sapa Radit, suaranya menyusup ke udara malam yang sepi.

Ortiz berhenti berseluncur, menatap Radit dengan ekspresi bingung. "Radit? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya, sedikit terkejut dengan kedatangan Radit yang tiba-tiba.

Dika, yang tidak mengenal Radit dengan baik, melangkah maju dan bersikap waspada. "Kamu kenal dia?" tanyanya pada Ortiz, matanya memerhatikan Radit dengan curiga.

Radit menyeringai, matanya bersinar dengan kejam. "Oh, aku hanya ingin memastikan Ortiz tahu betapa seriusnya ancaman itu. Ternyata kamu ada di sini malam ini. Itu kebetulan yang menarik."

Ortiz merasakan ketegangan meningkat. "Apa maksudmu? Kenapa kamu mengancamku? Jadi, kamu terus-menerus mengirim pesan-pesan itu?"

Radit mendekat, suaranya semakin rendah dan berbahaya. "Kamu pikir kamu bisa lari dari masalah ini? Aku hanya ingin membuatmu paham, kalau kamu dan Krisan itu bukan pasangan yang ideal. Dan, kalau kamu terus-terusan mengganggu hubungan yang seharusnya milikku, aku akan memberitahunya tentang rahasiamu. Seberapa jauh kamu siap pergi untuk mempertahankan semuanya?"

Dika, merasa atmosfer semakin tegang, bergerak sedikit mendekati Ortiz dan Radit. "Sudah cukup," kata Dika dengan nada tegas, "Apa yang kamu lakukan di sini? Ortiz tidak butuh ancaman dari orang seperti kamu."

Radit melihat Dika dengan tatapan tajam, matanya menyipit penuh kebencian. Tubuhnya yang tinggi dan berotot membuat kehadirannya terasa mengintimidasi, bahkan di bawah lampu taman yang redup. Dia berdiri lebih tinggi dari Dika dan Ortiz, membuat kedua pemuda itu terlihat kecil di hadapannya.

"Dan kamu siapa?" Radit bertanya dengan nada meremehkan, suaranya penuh kekuatan yang mengancam. "Tidak penting. Aku hanya perlu membuat Ortiz mengerti posisinya."

Dika tidak mundur, meskipun Radit jelas lebih besar dan tampak lebih kuat. Dia menatap balik dengan pandangan tenang, berusaha tidak terpengaruh oleh postur dominan Radit. Ortiz, yang berada di antara mereka, merasakan ketegangan yang semakin meningkat.

Ortiz menggenggam skateboardnya dengan kuat, berusaha menenangkan diri. Dia tidak bisa mengabaikan ancaman ini lagi; rasa takutnya semakin menggerogoti. "Radit, aku tidak tahu apa yang kamu inginkan dariku, tapi aku akan menghadapi semuanya dengan cara sendiri. Aku tidak akan membiarkanmu mengontrolku atau mengancamku."

Dika menepuk bahu Ortiz, memberikan dukungan tanpa kata. "Kita harus pergi, Ortiz," katanya dengan tegas, "Ini sudah cukup. Kita tidak bisa terus berada di sini."

Dika mengamati Ortiz dengan cermat. Melihat betapa cemasnya Ortiz dan ancaman yang dia terima, Dika merasa penting untuk memastikan keselamatan temannya.

"Ortiz, aku akan mengantar kamu pulang malam ini," kata Dika dengan nada penuh perhatian saat mereka keluar dari taman. "Kita tidak bisa mengambil risiko. Aku ingin memastikan kamu sampai rumah dengan aman."

Ortiz menoleh dengan tatapan terkejut, "Ah, tidak perlu repot-repot, Dika. Aku bisa pulang sendiri."

Dika tersenyum lembut, "Aku tahu, tapi malam ini aku merasa lebih baik jika kamu tidak sendirian."

Ortiz akhirnya setuju dan mereka berdua berjalan menuju motor Dika. Malam semakin larut, dan kota tampak lebih tenang dari biasanya. Mereka berbicara ringan sepanjang perjalanan, tetapi ketegangan dari ancaman yang belum sepenuhnya hilang masih terasa di udara.

Dika, sambil fokus mengemudikan motor, menoleh sedikit dan bertanya, "Ortiz, apa kamu mau cerita tentang apa yang terjadi? Mungkin aku bisa membantu."

Ortiz ragu sejenak, tetapi akhirnya memutuskan untuk berbagi, "Sebenarnya, aku mendapat pesan-pesan menakutkan dari seseorang. Sekarang aku tahu siapa pengirimnya, tapi aku belum siap untuk menghadapinya."

Dika mengangguk dengan pengertian, "Kamu tahu, kadang-kadang membicarakan masalah bisa membantu kita merasa lebih baik. Apa ada alasan khusus kenapa Radit mengancammu?"

Ortiz menghela napas berat, "Radit... dia merasa tersisih karena hubungan antara aku dan Krisan. Aku pikir dia merasa cemburu dan mungkin ingin menghancurkan segalanya."

Dika menatap jalanan dengan serius, "Aku mengerti. Terkadang, ketika seseorang merasa kehilangan, mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak terduga. Tapi kamu harus tahu, kamu tidak sendirian. Aku ada di sini untuk membantu."

Ortiz tersenyum sedikit, "Terima kasih, Dika. Kamu benar. Aku seharusnya tidak merasa sendirian. Tapi kadang-kadang, ketakutan itu menguasai kita."

Dika berusaha meringankan suasana, "Satu hal yang harus kamu ingat adalah kamu memiliki teman yang peduli. Aku juga tahu Krisan dan keluargamu sangat mendukungmu. Kita semua ingin kamu merasa aman dan bahagia."

Ortiz mengangguk, merasa sedikit lega, "Aku tahu itu. Krisan sudah banyak membantu. Tapi aku merasa sangat cemas karena ancaman ini. Ini ada hubungannya dengan mereka. Keluargaku."

Dika membelokkan motor ke arah yang lebih tenang, "Cobalah untuk fokus pada hal-hal positif. Kadang-kadang, menghadapi ketakutan itu lebih mudah jika kita dikelilingi oleh orang-orang yang kita percayai."

Saat mereka sampai. Motor berhenti di depan rumah Ortiz. Dika mematikan mesin dan menoleh ke Ortiz dengan penuh perhatian, "Kamu yakin bisa mengurus semuanya setelah ini?"

Ortiz mengangguk, "Ya, aku rasa aku bisa. Terima kasih banyak atas bantuanmu malam ini."

Dika tersenyum, "Kapan saja. Aku akan memastikan kamu tidak sendirian menghadapi ini. Ingat, jika ada sesuatu, jangan ragu untuk menghubungiku."

Ortiz membuka pintu rumah dan menatap Dika, "Aku akan ingat. Terima kasih sudah membuatku merasa lebih aman malam ini."

Lalu, sebelum Ortiz menjauh, Dika menyarankan, "Ortiz, aku ada saran. Mungkin lebih baik jika kita tidak bermain skateboard untuk sementara waktu. Ada baiknya kamu menghindari aktivitas yang bisa menarik perhatian atau membuat kamu dalam posisi yang tidak aman."

Ortiz mengernyitkan dahi, "Kamu maksudnya apa? Skateboarding adalah salah satu cara aku melepaskan stres."

Dika menoleh dengan penuh perhatian, "Aku tahu itu, tapi saat ini, keamananmu adalah prioritas utama. Jika ada seseorang yang mengancam, kita harus berhati-hati dengan aktivitas yang bisa membuatmu lebih rentan. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak berada dalam situasi yang bisa membahayakanmu."

Ortiz mempertimbangkan saran tersebut sejenak, "Kamu mungkin benar. Terakhir kali, aku memang merasa lebih santai saat bermain skate, tapi sekarang ada banyak hal yang membuatku khawatir. Mungkin sebaiknya aku benar-benar menunda untuk sementara."

Dika tersenyum, merasa lega mendengar keputusan Ortiz, "Bagus. Kamu bisa fokus pada hal-hal yang membuatmu lebih tenang dan menghindari potensi risiko. Selain itu, kita bisa mencari cara lain untuk mengurangi stres tanpa harus mengambil risiko tambahan."

Ortiz mengangguk setuju, "Aku menghargai perhatianmu, Dika. Terima kasih sudah mengingatkan. Aku akan mencoba untuk lebih berhati-hati dan mencari cara lain untuk mengatasi kecemasanku."

Dika mengangguk dengan senyum, "Sama-sama. Aku di sini untuk membantu. Kita akan bersama-sama menghadapi masalah ini. Jangan ragu untuk berbicara jika kamu merasa perlu dukungan lebih."

Dika tersenyum dan melambaikan tangan saat Ortiz melangkah masuk ke dalam rumah, "Jangan ragu untuk menghubungi jika ada yang perlu. Jaga dirimu baik-baik."

Ortiz menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang masih berdebar. Dia memandang Dika dengan serius, memastikan pesan ini tersampaikan dengan jelas, sebelum dia masuk ke rumah. "Dika, tolong jangan bilang ke siapa-siapa tentang apa yang terjadi malam ini. Aku nggak mau orang lain tahu, terutama Krisan." Suaranya tegas, namun ada nada kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan.

Dika mengangguk perlahan, menyadari betapa pentingnya permintaan Ortiz. "Tenang aja, Ortiz. Mulutku terkunci rapat. Apa yang terjadi malam ini, cukup antara kita berdua." Mereka saling pandang sejenak, mengerti bahwa ini bukan sekadar janji biasa, tapi sebuah kesepakatan yang harus mereka jaga dengan baik.

Di dalam kamar, Ortiz memeriksa ponselnya, melihat notifikasi pesan baru yang tidak dia baca. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Aku harus kuat, demi Krisan, demi keluargaku, pikirnya. Namun, bayangan ancaman Radit terus menghantuinya, dan dia tahu bahwa besok akan menjadi hari yang panjang.

Babak baru dalam hidupnya telah dimulai, dan Ortiz sadar bahwa ini bukan hanya tentang melindungi dirinya sendiri, tetapi juga tentang melindungi mereka yang dia sayangi. Dengan perasaan berat, dia memejamkan mata, berharap mimpi buruk tidak akan datang malam itu.

Ortiz membuka ponselnya sekali lagi, kali ini berusaha mengabaikan kecemasan yang tadi melanda. Saat dia melihat notifikasi yang belum dibuka, sebuah pesan dari Krisan menarik perhatiannya:

[Besok siang aku mau ke mall buat kontrol booth produk kosmetik. Ikut, ya? Bisa sekalian jalan-jalan juga.]

Ortiz tersenyum kecil, merasakan sejenak beban yang ada di pundaknya sedikit terangkat. Krisan selalu tahu kapan dia butuh distraksi, meski mungkin tidak sengaja. Sepertinya, hari esok tidak akan seburuk yang dia bayangkan. Dia segera mengetik balasan singkat:

[Oke, sounds good. Jam berapa?]

Setelah mengirim pesan itu, Ortiz meletakkan ponselnya di samping tempat tidur. Pikiran tentang Radit dan ancamannya masih berputar di benaknya, namun ada sesuatu yang menenangkan dari rencana sederhana esok hari bersama Krisan. Dengan itu, dia membiarkan matanya terpejam, mencoba tidur dengan pikiran yang lebih tenang.

Besok adalah hari yang baru, dan untuk sementara waktu, dia akan fokus pada hal-hal yang lebih ringan—setidaknya, sampai dia harus menghadapi ancaman itu lagi.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro