Bab 6 : Batas Tipis dan Persimpangan Rumit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada suatu malam yang santai, Krisan memutuskan untuk mengajak Dimas dan Jaka keluar minum-minum di sebuah bar favorit mereka. "Ayo, kita nge-bar malam ini," ujar Krisan dengan semangat saat mereka baru saja selesai makan malam bersama di rumah Krisan.

Dimas, yang selalu siap untuk petualangan, langsung mengangguk setuju. "Tentu! Sudah lama nggak nongkrong bareng di bar."

Jaka, yang biasanya lebih tenang, menatap Krisan dengan sedikit rasa penasaran. "Ada apa, San? Tumben ngajak kita minum. Ada yang mau diceritain, ya?"

Krisan hanya tersenyum samar, lalu mengangkat bahu. "Mungkin aja. Kadang, kita butuh minuman untuk bikin cerita mengalir lebih lancar, kan?"

Tak butuh waktu lama, mereka pun sampai di bar yang tidak terlalu ramai. Bar tempat Krisan, Dimas, dan Jaka berkumpul adalah tempat kecil yang nyaman dan akrab. Pencahayaan temaram dengan lampu neon yang memancarkan cahaya biru dan ungu menciptakan suasana santai namun berenergi. Musik pelan mengalun dari speaker yang tersembunyi di sudut ruangan, menambah kesan intim di antara suara percakapan pelanggan yang bercampur dengan suara dentingan gelas.

Aroma khas bar, campuran antara alkohol, jeruk, dan sedikit asap tembakau, memenuhi udara. Pelayan bar yang ramah dan profesional sibuk menyiapkan pesanan minuman, sementara pelanggan datang dan pergi, membawa serta cerita mereka sendiri.

Di belakang meja bar, ada deretan botol-botol minuman beralkohol yang tertata rapi di rak-rak kayu. Meja bar itu sendiri terbuat dari kayu gelap yang mengkilap, dengan beberapa kursi tinggi yang diletakkan di depannya. Di sekeliling ruangan, terdapat beberapa meja kecil dengan kursi-kursi empuk, tempat orang-orang duduk berbincang atau menikmati minuman mereka.

Mereka memilih meja di sudut yang agak tenang, memesan beberapa minuman, dan mulai mengobrol tentang banyak hal, dari hal-hal ringan hingga masalah yang lebih serius. Gelas-gelas mulai kosong dan terisi lagi, sementara tawa dan canda semakin lepas.

Di tengah percakapan, Krisan, yang mulai sedikit terpengaruh oleh alkohol, akhirnya membuka diri tentang perasaannya terhadap Ortiz. Sambil menuangkan minuman, Krisan mulai bercerita dengan antusias, "Kalian nggak akan percaya, tapi aku lagi tergila-gila sama seseorang."

Dimas dan Jaka menatap Krisan dengan penasaran. Dimas, yang selalu penasaran, langsung bertanya, "Siapa, San? Kok bisa-bisanya kamu, yang biasanya cool, jadi tergila-gila begitu?"

"Aku bener-bener nggak bisa berhenti mikirin Ortiz," ucap Krisan tiba-tiba, membuat Dimas dan Jaka saling berpandangan.

Dimas, yang mulai menyadari arah pembicaraan, tersenyum lebar. "Aha, jadi ini alasan kita di sini. Lo lagi jatuh cinta, San?"

Krisan hanya bisa mengangguk sambil tertawa kecil, meski ada sedikit kegelisahan di matanya. "Iya, tapi ini bukan perasaan yang bisa aku ungkapin sembarangan. Situasinya rumit."

Jaka, yang sudah menduga ke arah mana ini akan berlanjut, menepuk bahu Krisan pelan. "Ingat, San, Ortiz itu adik tirimu sekarang. Hati-hati dengan perasaanmu, ya."

Krisan menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Ini nggak bisa dihindari, Dim. Serius, aku nggak pernah ngerasa kayak gini sebelumnya. Dan... orangnya itu, Ortiz."

Mendengar nama Ortiz, Jaka yang sedang menuangkan minuman ke gelasnya, langsung berhenti dan menatap Krisan dengan serius. "Krisan, ingat Ortiz itu adik tirimu. Kamu harus jaga diri, jangan sampai perasaanmu ini bikin masalah. Ortiz masih muda, dan situasinya bisa jadi rumit kalau kamu nggak hati-hati."

Krisan tertawa kecil, tapi jelas ada rasa bingung di balik senyumnya. "Iya, aku tahu, Jak. Tapi ini bukan sesuatu yang bisa aku kendalikan. Aku juga nggak mau bikin situasi jadi canggung, tapi ya... gimana lagi, rasanya nggak bisa hilang begitu aja."

Saat Krisan masih sadarkan diri, Dimas memutuskan untuk berbicara dengan hati-hati, tapi tegas. Ia menatap Krisan dengan sorot mata penuh kepedulian. "Krisan, selama ini kita selalu berada di sampingmu, apa pun jalan yang kamu pilih, termasuk saat kamu memutuskan untuk menyukai laki-laki. Kita nggak pernah peduli soal orientasi seksualmu, karena kita tahu itu adalah bagian dari siapa kamu sebenarnya."

Dimas menghela napas sejenak, mencoba merangkai kata-kata dengan tepat. "Tapi, ada satu hal yang perlu kamu pikirkan dengan serius. Tolong, jaga diri dan tahan perasaanmu untuk Ortiz. Jangan sampai perasaan itu malah membuat keluargamu jadi taruhannya. Apa pun yang terjadi, keluarga itu yang paling penting, kan?"

Krisan terdiam mendengar kata-kata Dimas, merenungkan maknanya. Dia tahu sahabatnya ini berbicara bukan hanya untuk dirinya, tapi juga demi kebaikan semua orang yang terlibat.

Jaka meletakkan gelasnya dan menatap Krisan dengan tegas. "San, aku ngerti perasaanmu, tapi kamu harus mikirin baik-baik. Ortiz itu keluarga kita sekarang, dan kamu harus ingat batasannya."

Dimas menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Tapi, ada satu hal yang harus lo ingat, Krisan. Tolong, jaga diri lo baik-baik. Tahan nafsu lo untuk Ortiz."

Krisan mengangguk pelan, merasa ditegur dengan lembut tapi tegas. "Iya, bro. Aku ngerti maksud kalian. Aku akan berusaha untuk nggak terlalu terbawa perasaan."

Dimas yang sedari tadi menasehati dengan serius, mencoba mencairkan suasana dengan candaan, "Tapi, kalau kamu berhasil bikin Ortiz suka sama kamu juga, itu pasti jadi cerita yang menarik, Bro."

Mereka semua tertawa, tapi Krisan tahu bahwa di balik canda dan tawa malam itu, ada kebenaran yang harus dia hadapi dengan hati-hati. Meskipun perasaannya terhadap Ortiz begitu kuat, dia tahu bahwa hubungan keluarga mereka adalah hal yang paling penting. Krisan harus belajar mengendalikan perasaannya dan menjaga hubungan baik dengan Ortiz, sebagai kakak dan adik yang baru saja mulai mengenal satu sama lain.

Di tengah suasana bar yang mulai semakin akrab, Dimas dan Jaka merasa semakin penasaran. Mereka sudah tahu perasaan Krisan terhadap Ortiz, tapi satu pertanyaan masih menggantung di benak mereka.

"San, ngomong-ngomong, Ortiz juga pecinta sesama jenis nggak, sih?" tanya Jaka dengan nada penasaran, mencoba mencari tahu lebih dalam tentang situasi yang sedang dihadapi Krisan.

Krisan terdiam sejenak, pikirannya langsung melayang ke momen-momen ketika dia melihat ada sesuatu yang disembunyikan oleh Ortiz, sesuatu yang mungkin lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan. Krisan merasa tidak nyaman untuk membahas hal ini lebih lanjut, mengingat trauma yang pernah Ortiz alami dan rahasia yang Ortiz belum siap untuk bagikan.

"Aku nggak tahu, Dim," Krisan akhirnya menjawab, suaranya lebih lembut dan terkesan berhati-hati. "Ada hal-hal tentang Ortiz yang... mungkin dia belum siap untuk dibicarakan. Aku nggak mau terlalu menekan dia soal itu."

Dimas yang menyimak percakapan dengan lebih tenang, mendesah pelan. Dia mengerti bahwa Krisan tidak ingin mengorek lebih dalam tentang hal ini, tapi dia juga tahu ada faktor lain yang bisa memperumit situasi. "Jangan lupa, San, ada Radit yang masih nempel terus sama kamu. Kalau Ortiz sampai tahu, bisa-bisa makin rumit."

Krisan menunduk, merasa terjebak di antara perasaannya yang rumit terhadap Ortiz dan bayang-bayang masa lalu yang masih mengikutinya melalui Radit. Radit, mantannya yang masih tergila-gila dan sulit untuk menjauh, selalu menjadi topik yang sulit untuk dihadapi.

"Aku tahu, Jak. Tapi masalahnya nggak cuma soal Radit. Aku juga nggak mau bikin Ortiz merasa tertekan. Aku cuma mau dia nyaman, entah gimana pun perasaannya terhadapku," Krisan menjelaskan dengan jujur, meski ada sedikit rasa bingung di dalamnya.

Dimas dan Jaka saling berpandangan, menyadari bahwa Krisan sedang berada di persimpangan yang rumit. Mereka memutuskan untuk tidak menekan Krisan lebih jauh malam itu, membiarkannya merenungkan sendiri perasaan dan langkah yang harus diambil ke depannya. Yang jelas, mereka akan selalu ada untuk mendukungnya, apa pun keputusan yang Krisan buat.

Sambil menyesap minuman terakhirnya, Jaka tiba-tiba melontarkan ledekan yang membuat Krisan teringat kembali pada masa lalu yang pernah membuatnya terpuruk. "Ngomong-ngomong soal Radit, masih ingat nggak kenapa kalian putus, San? Itu kan kisah yang... bisa dibilang unik."

Krisan yang sedang dalam suasana hati campur aduk, langsung mengernyitkan dahi. "Jak, serius, jangan bahas itu sekarang," ujarnya dengan nada yang sedikit terganggu, tetapi Jaka, yang sudah mulai terbawa suasana, tidak menyerah begitu saja.

"Kenapa? Bukannya itu salah satu cerita paling konyol dalam hidupmu? C'mon, San, siapa sih yang bisa lupa dengan alasan kalian putus cuma karena Radit ngambek gara-gara kamu lebih milih main basket daripada nemenin dia nonton drama?"

Dimas yang sedang menyesap minumannya hampir tersedak karena tertawa mendengar cerita itu lagi. "Serius, San? Itu alasan kalian putus?" tanya Dimas sambil terkekeh.

Krisan hanya bisa memutar matanya, merasa uring-uringan dengan topik yang dibawa Jaka. "Iya, itu alasan bodohnya. Tapi, kita putus bukan cuma karena itu. Banyak hal lain yang akhirnya bikin hubungan itu nggak bisa lanjut," ucapnya, meski suaranya semakin lemah, pertanda bahwa kenangan itu masih mengusik pikirannya.

Namun, ledekan Jaka terus berlanjut, membuat Krisan semakin kesal. Suasana hati yang semula baik-baik saja perlahan mulai memburuk. Krisan yang tadinya mencoba menahan diri, akhirnya kehilangan kesabaran. "Udah, Jak! Gue nggak mau ngomongin Radit lagi, oke?"

Merasa suasana mulai tidak nyaman, mereka pun memutuskan untuk menyudahi malam itu. Jaka yang masih sadar sepenuhnya, menghela napas panjang dan menyadari bahwa ledekannya telah melukai Krisan. "Oke, oke, kita pulang aja sekarang."

Dimas yang sudah mulai merasakan kepalanya pusing hanya bisa tersenyum tipis sambil berkata, "Baiklah, ini saatnya kita pulang sebelum aku nggak bisa jalan lurus."

Sementara itu, ketika Krisan sudah tak sadarkan diri karena terlalu banyak minum, Jaka melanjutkan pembicaraan dengan Dimas, matanya melirik ke arah Krisan yang terbaring lemah di sofa. Dengan nada serius tapi sedikit bercanda, Jaka berkata, "Kalau dipikir-pikir, yang justru lebih dekat bukan Belinda dan Zaini, tetapi malah seperti perjodohan antara Krisan dan Ortiz."

Dimas, yang tadinya diam mendengarkan, mengangguk pelan. "Iya, gue juga merasakan hal yang sama. Mereka seperti punya koneksi yang lebih dari sekadar calon kakak-adik tiri."

Jaka menghela napas. "Ini yang bikin semuanya jadi rumit. Gue khawatir Krisan nggak sadar kalau perasaannya bisa membawa masalah, terutama saat semua orang mengharapkan mereka jadi keluarga."

Dimas menatap Jaka dengan pandangan penuh pemahaman. "Benar, tapi sekarang yang bisa kita lakukan cuma ada di samping mereka, memastikan mereka nggak bikin keputusan yang mereka sesali nantinya."

Jaka mengangguk, setuju dengan kata-kata Dimas. "Ya, kita cuma bisa berharap Krisan dan Ortiz akhirnya menemukan jalan yang benar buat mereka berdua."

Jaka dan Dimas akhirnya harus membopong Krisan keluar dari bar dan memasukkannya ke dalam mobil. Dengan Dimas yang terhuyung-huyung di kursi penumpang dan Krisan terkapar di belakang, Jaka yang masih cukup sadar mengambil alih kemudi, mengantarkan mereka pulang dengan aman.

Di sepanjang jalan, Jaka merasa sedikit bersalah karena mengungkit masa lalu Krisan dengan Radit, tapi dia juga tahu bahwa Krisan perlu menghadapi perasaannya sendiri, terutama dengan semua komplikasi yang sekarang dihadapinya. Dia berharap Krisan bisa menemukan kedamaian, baik dalam hubungannya dengan Ortiz maupun dengan masa lalunya sendiri.

Keesokan paginya, Krisan tiba di kantor dengan kepala yang masih terasa berat akibat mabuk semalam. Dia berharap bisa menjalani hari dengan tenang, namun setibanya di ruang kerjanya, dia dikejutkan oleh kehadiran seorang pria yang sudah menunggunya. Pria itu tidak lain adalah Radit, mantan pacarnya.

Radit berdiri di sana dengan senyum kecil di wajahnya, mengenakan pakaian kerja rapi dan terlihat begitu santai, seolah tidak ada ketegangan di antara mereka. Krisan, yang masih sedikit pusing, hanya bisa terdiam melihat sosok Radit berdiri di hadapannya.

"Selamat pagi, Krisan," sapa Radit dengan nada yang terdengar akrab namun tetap profesional.

Krisan tidak tahu harus berkata apa. Otaknya masih berusaha mencerna kenyataan bahwa Radit, mantan pacar yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, kini akan bekerja di bawah naungannya. Sebelum Krisan bisa merespons, HRD muncul dan menjelaskan situasinya.

"Krisan, Radit akan bergabung sebagai staf marketing di timmu. Kami yakin dia akan memberikan kontribusi yang besar untuk proyek-proyek mendatang," ujar HRD dengan nada resmi.

Krisan hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya tidak tenang. Pikiran tentang bagaimana ia harus bekerja sama dengan Radit mulai mengganggu, tetapi dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan selain menerima keputusan ini.

Setelah HRD pergi, Radit mendekat dan duduk di kursi di depan meja Krisan. Dengan senyum yang sedikit mengejek, Radit bertanya, "Jadi, masih main basket nggak, San?"

Pertanyaan itu seketika membuat Krisan teringat akan konflik mereka di masa lalu. Radit selalu membenci hobi Krisan bermain basket, dan itu menjadi salah satu alasan mereka sering bertengkar. Krisan menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosi yang mulai mengusik.

"Masih, kadang-kadang," jawab Krisan singkat, berusaha terdengar biasa saja. Namun, di dalam hatinya, dia merasa kesal dengan cara Radit yang seolah-olah menganggap remeh sesuatu yang disukainya.

Hari itu menjadi awal dari tantangan baru bagi Krisan. Bukan hanya harus menghadapi pekerjaan, tetapi juga harus berurusan dengan bayang-bayang masa lalu yang kembali muncul dalam kehidupannya. Radit, dengan segala kenangan pahit manisnya, kini hadir kembali di hadapannya, dan Krisan harus menemukan cara untuk tetap profesional di tengah perasaan yang masih belum tuntas.

Pertemuan pertama Krisan dengan Radit sebagai staf marketing di bawah pimpinannya berlangsung di ruang rapat kecil di kantor. Krisan, yang sudah mendengar bahwa Radit membutuhkan bantuan tambahan untuk menangani beban kerja yang semakin berat, segera memutuskan untuk merekrut Radit ke timnya.

Saat Radit memasuki ruang rapat, Krisan melihatnya dengan penuh perhatian. Radit adalah pria muda yang terlihat serius dan antusias, meskipun ada sedikit kegugupan di matanya. Krisan menyadari bahwa ini adalah kesempatan bagi Radit untuk membuktikan dirinya, dan dia ingin memastikan bahwa Radit mendapatkan dukungan yang tepat.

"Selamat datang di tim, Radit. Saya dengar kamu butuh bantuan tambahan, dan saya rasa kita bisa menyusun strategi untuk mengatasi itu," Krisan membuka percakapan dengan nada profesional namun ramah.

Radit tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Pak Krisan. Beban kerja akhir-akhir ini memang cukup berat, jadi saya sangat menghargai kesempatan ini. Saya siap untuk mengambil tanggung jawab lebih."

Krisan kemudian mengambil beberapa dokumen dari meja dan memberikannya kepada Radit. "Ini adalah proyek-proyek yang sedang berjalan dan beberapa yang perlu kamu tangani. Saya akan mendistribusikan sebagian pekerjaan ini kepadamu agar kita bisa lebih fokus dan efisien."

Radit menerima dokumen-dokumen tersebut dengan penuh semangat. "Saya akan memastikan semuanya berjalan dengan baik. Terima kasih atas kepercayaannya, Pak Krisan."

Krisan mengangguk dan tersenyum kecil. "Saya yakin kamu bisa. Jika ada masalah atau butuh bantuan, jangan ragu untuk menghubungi saya. Saya di sini untuk membantu."

Pertemuan itu berlangsung singkat namun efektif. Krisan langsung terkesan dengan sikap profesional Radit dan keinginannya untuk bekerja keras. Di sisi lain, Radit merasa termotivasi oleh dukungan dan arahan yang diberikan Krisan. Dengan pembagian tugas yang baru, Radit merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan di departemen marketing, sementara Krisan senang telah menemukan seseorang yang dapat diandalkan untuk membantu timnya.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro