Cinta Pertama dan Terakhir - Sherina

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dipersembahkan oleh queen NessaIsnia

--

Melihat tingkah aneh seorang gadis di depanku membuatku terus menggelengkan kepala. Entah terbuat dari apa gadis ini. Ia seolah tak pernah merasa lelah. Apa mungkin ia adalah robot yang batrenya selalu terisi penuh? Namun tak jarang segala polah tingkahnya membuatku merasa kesal. Sering kali aku membentaknya, memintanya untuk diam.

“Selamat pagi, Alvin.” Sapanya tak lupa dengan senyum lebarnya.

Tanpa membalas aku lebih memilih melenggang pergi. Ia terdiam sesaat, setelah itu aku kembali mendengar celotehannya. Lawakannya yang entah kenapa membuat yang lain tertawa.

Keanehannya semakin terlihat saat ia bersama teman seperkumpulannya, yang katanya bernama Alvin Lovers. Sebuah perkumpulan tak wajar, mereka menyebutnya perkumpulan para fans Alvin. Hampir setiap hari mereka akan berkumpul di kantin hanya untuk membicarakan tentang diriku, semua kegiatanku, semua yang ada kaitannya denganku.

Nyaman? Tentu saja tidak. Di saat statusku hanyalah seorang pegawai biasa, bukan anak artis apalagi anak pejabat. Bukan pula lelaki tampan nan kaya seperti yang mereka sebutkan. Tapi mereka selalu mengelu-elukan apapun yang ku lakukan.

Kesal? Itu sudah jelas. Hampir semua aktifitasku mereka mengetahuinya, bahkan mereka lebih hafal dari pada aku. Tak jarang mereka juga hadir di setiap aku bermain futsal atau sepak bola bersama teman-temanku. Mereka akan selalu bersorak menyemangatiku. Membuatku harus menebalkan telinga. Berusaha mengabaikannya.

“Eh, Lisna! Kamu ada cerita apa?” Samar-samar aku mendengar gadis itu ditanya oleh salah satu teman seperkumpulannya.

Karena penasaran aku pun menoleh, ingin melihat bagaimana ekspresi gadis itu.
Dengan antusias dia menceritakan kegiatanku dari pagi hingga waktu istirahat tiba. Dari saat dia menyapaku yang katanya ku balas dengan senyuman, lalu yang katanya aku terlihat keren saat sedang fokus di depan komputer, hingga ia berkata aku terlihat menggemaskan saat tertawa.

Aku tertawa mendengar ceritanya, kapan aku membalas sapaannya dengan senyuman? Lalu aku terlihat menggemaskan saat tertawa? Memangnya aku anak balita?

Meski menambah setres, namun tak jarang juga celotehannya menghilangkan setres. Tak jarang aku tersenyum mendengar lawakan recehnya. Sedikit melupakan kesedihanku.

Tingkat keanehannya memang diluar batas, ia akan selalu tahu apa kegiatanku, seperti saat ini.

Entah disengaja atau tidak, aku bertemu dengannya dilorong rumahsakit tempat Bunda dirawat.

“Kamu ngikutin aku ya?” tanyaku begitu aku berpapasan dengannya.

“Enggak, ini tuh yang namanya jodoh.” Jawabnya dan tentunya senyum lebar yang tak pernah tertinggal.

Ku tatap dirinya dengan penuh curiga. Tak percaya dengan jawabnnya.

“Beneran, Vin. Aku nggak ngikutin kamu.” Sangkalnya mengerti arti tatapanku.

“Eh, tapi, berhubung udah sampai sini, sekalian jenguk ibu kamu, ahh.” Ucapnya enteng lalu membuka pintu ruang rawat bunda.

Aku menatapnya jengkel, bagaimana ia bisa tahu jika yang dirawat adalah bunda?
“Selamat sore, tante.” Sapanya yang langsung mendapat senyuman dari bunda.

“Sore, kamu temennya, Alvin, ya?”
Hanya mendengar pertanyaan dari bunda entah kenapa membuatnya salah tingkah, bahkan ku lihat ada semburat warna merah di pipinya. Memang gadis yang aneh.

“Iya, aku temennya Alvin tante. Kenalin nama aku, Lisna.”

“Aduh kenapa rasanya aku dikenalin sama calon mertua, ya?” Lanjut Lisna yang membuatku melotot, justru membuat bunda tertawa. Wanita memang makhluk yang paling susah dimengerti.

“Alvin! kok nggak pernah cerita kalau ibu kamu lagi sakit?” Tanya Lisna kemudian menatapku dengan raut wajah yang sungguh menggelikan. Seolah ia ngambek dengan kekasihnya.

“Untuk apa aku ngomong? Biar diikutin kamu terus tiap hari? Bahkan tanpa aku ngomongpun akhirnya kamu tahu kan?” ucap ku ketus. Mengabaikannya, aku duduk di samping bunda yang sedari tadi tersenyum.

Baru saja keduanya bertemu tapi Lisna tampak akrab dengan bunda. Senyum bunda yang sempat menghilang kini terlihat kembali.

Keduanya ngobrol seolah aku tak berada diantara mereka. Bunda yang mungkin memang membutuhkan teman untuk ngobrol pun tampak senang sore ini ada Lisna yang menemaninya.

Hingga aku tersadar, hari semakin sore dan itu waktunya bunda untuk istirahat. Aku pun menyuruh Lisna pulang dengan sedikit kasar. Karena memang aku tak pernah bisa bersikap halus padanya. Dan itu membuatku mendapat teguran dari bunda.

“Kalau sama temen nggak boleh seperti itu, mas! Apalagi dia cewek. Saat mas, meminta dia pulang dengan sedikit kasar tadi, mungkin dia terlihat tidak apa-apa namun sebenarnya hatinya terluka.”

“Bunda nggak suka, ah, kalau mas kayak gitu. Kesannya kayak nggak menghargai dia. Biar bagaimanapun dia udah mau jenguk bunda loh, udah mau mendoakan kesembuhan bunda. Harusnya mas berterima kasih.” Tutur bunda membuatku berpikir, mungkinkah aku selama ini memang terlalu kasar padanya?

Namun ku rasa itu wajar. Siapa yang akan nyaman jika semua kehidupannya dicerita-ceritakan. Bahkan artispun punya privasi.

“Tapi bund, dia itu cewek yang pernah aku certain ke bunda.” Balasku masih menyangkal, apa yang aku lakukan adalah benar.

“Yang cewek aneh itu? Yang ketua dari fans club kamu itu?” Tanya bunda yang hanya ku balas dengan anggukan.

“Pernah apa sering?” Tanya bunda lagi. Kali ini aku terdiam. Kini aku baru menyadari, selama ini dia gadis yang sering aku ceritakan ke bunda. Semua polah tingkahnya selalu aku beritahukan ke bunda. Tanpa ku sadari juga, beberapa tahun ini, hari-hariku dipenuhi oleh celotehan dan lawakan gadis ajaib dan aneh itu.

“Tanpa sadar dia juga sudah mengambil perhatian kamu kan, mas?” Tanya bunda. Aku masih terdiam.

“Kejar dia mas! Minta maaf sama dia.” Perintah bunda yang entah kenapa malah ku turuti.
Aku keluar dari kamar bunda dengan berlari, tidak tahu kenapa aku justru ingin mengejarnya. Ada sedikit rasa bersalah setelah mendengar nasehat bunda. Benar apa yang dikatakan bunda, biar bagaimanapun dia adalah wanita. Meski setiap ku bentak ia terlihat biasa tak menunjukkan luka namun dia juga wanita yang hatinya rapuh, perasaannya begitu peka.

Hingga aku berada di luar rumah sakit, tak kulihat Lisna. Mungkinkah sudah pulang? Ingin mengejarnya? Tapi aku tak bisa, aku harus menjaga bunda.

Dengan menunduk aku berjalan kembali ke ruang rawat bunda, ada rasa sedih rasa kesal, rasa frustasi, entah apa lagi rasanya. Sebuah rasa yang belum pernah aku rasakan.

Hingga tak sengaja aku melihat seorang gadis yang tengah duduk di tangga. Ia membenamkan wajahnya, ku lihat tubuh mungilnya bergetar.

“Kau buat aku bertanya. Kau buat aku mencari, tentang rasa ini aku tak mengerti. Akankah sama jadinya bila bukan kamu.” Gumamku.

Ku hampiri gadis itu, dengan memasang wajah cuek, tak ingin terlihat jika aku tengah mencarinya.

“Kamu masih belum pulang? Bukannya tadi udah aku suruh pulang?” Tanya ku ketus.

Tak ku sangka, saat ia mengangkat kepalanya ada sesuatu yang mengalir diwajahnya, cairan bening yang ku yakini air mata itu entah kenapa juga membuatku terluka.

“Hiks. Aku teresat. Aku bingung dimana jalan keluarnya.”
Bisa jadi dia berbohong untuk menutupi perasaannya atau memang begitu kenyataannya, jawabannya justru membuatku tertawa. Kalau saja aku lupa jika dirinya bukanlah mahromku, sudah ku acak puncak kepalanya.

Tanpa mengucapkan kata-kata aku berjalan, menunjukkan jalan yang harus ia lewati untuk keluar dari rumah sakit. Dan tak ku duga juga, aku malah mencarikannya taksi. Menunggunya sampai masuk kedalam taksi, bahkan sempat berpesan pada sopir taksi untuk berhati-hati.

Hari pun berganti, aku tak lagi terlalu ketus padanya, aku sekarang lebih terbuka. Bahkan tanpa disangka kini aku duduk di depan ayahnya. Menjabat tangan ayahnya, berani mengucapkan kalimat qobul di hadapan para saksi.
Dan aku ingat betul nasehat bunda sebelum aku memantabkan diri untuk melamarnya.

“Mungkin justru dia yang terbaik buat kamu, mas.”

Apa yang dikatakan bunda benar, dia yang terbaik, dia yang bisa melengkapiku.

Ku pandang wajahnya yang kini sudah halal untukku. Sungguh baru kusadari, jika sedang diam dia terlihat begitu manis. Senyumnya yang lebar semakin menambah kecantikannya.

Sesuatu yang sempat ku ucapkan. Jauh sebelum aku menerima kehadirannya.
“Kau buat aku bertanya, kau buat aku mencari tentang rasa ini aku tak mengerti, akankah sama jadinya bila bukan kamu.”

Kini aku sudah menemukan jawabannya. senyummu menyadarkanku, “kaulah cinta pertama dan terakhirku.” Ucapku sedikit keras. Agar bisa terdengar olehnya. Tak kusangka pipinya merona, gemas aku dibuatnya.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro