Fix You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

FIX YOU
alizarinlake

Song: Coldplay - Fix You

Senyum pada bibir pria muda itu masih setia merekah tatkala pandangannya tengah menjelajahi rak-rak perhiasan berkelip-kelip itu. Di pikirannya terus berputar, memproyeksikan asa masa depan bersama seorang wanita yang kelak ia bawa untuk membangun bahtera kehidupan bersama-sama. Saling menopang kekuatan guna meringankan beban. Demi mengerucutkan cita-cita bersama. Dengan saling menggenggam erat untuk meraih tujuan.

Di saat kedua matanya menatap sebuah cincin emas yang memiliki kilau permata biru bening, atensinya kembali membayangkan harapan. Di setiap membuka mata, ingin selalu ada wajah yang ia kagumi menyapanya. Tertawa dan menangis bersama. Bertengkar lalu saling memaafkan. Harapan untuk saling melengkapi hingga akhir hayat menjemput.

Begitu asyik mengamati dan mengkhayal, ia bahkan tak hiraukan suara-suara apa pun yang melintas dari pengunjung sekitar. Seolah telinga pun telah terbelenggu kuat oleh daya pikat perhiasan mungil di hadapannya. Bahkan suara decit mobil yang beradu dengan aspal, suara klakson yang memekik binal sekalipun tetap tak sanggup mengalihkan minatnya.

Hingga seorang pramuniaga datang menawarkan jasa pelayanan. "Tuan, ada yang bisa saya bantu?"

Suara normatif pramuniaga yang bagaikan audio siri dari suatu telekomunikasi telah membuat pria muda itu tersentak dari lamunan panjangnya. "Ah! Ya?" Akhirnya, kedua manik cokelat kehitaman si pria muda berlabuh pada adu bincangnya.

"Maafkan saya yang telah mengejutkan Anda. Saya melihat tampaknya Anda sedari tadi tak beranjak dari deretan rak itu, ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

Pria muda itu kembali tersenyum tipis. "Aku ingin melihat cincin yang ini," pintanya sembari menunjuk secara presisi bentuk cincin yang ia inginkan.

Dengan sigap, pramuniaga wanita itu membuka lemari kaca di hadapannya dan memberikan cincin manis itu pada tuan pelanggan. "Silakan, Tuan."

Pria muda itu kini dapat menyaksikan jelitanya cincin yang telah merenggut atensinya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di toko perhiasan tepat di pinggir jalan protokol. Di mana semua warga penduduk kota metropolitan dapat memilih secara strategis dan efisien. Tanpa membuang waktu bisnisnya.

"Zircon," gumam pria muda itu. Ia dekatkan lingkar cincin bertahtakan permata zircon untuk mengamatinya dengan saksama.

"Anda benar, Tuan. Produk untuk cincin itu baru saja datang hari ini. Anda memiliki selera yang bagus, Tuan."

Pria muda itu masih bungkam mengamati detail ukiran cincin hingga kembali bersuara, "Aku ingin ambil yang ini." Tangannya terjulur mengembalikan cincin jelita itu pada si pramuniaga untuk segera dimilikinya.

"Baiklah, Tuan. Apakah ada yang lain? Kami memiliki produk perhiasan baru dengan desain terbatas." Jemari pramuniaga itu bergulir untuk memamerkan setiap perhiasan indah di dalam rak kaca tersebut. Berharap konsumennya turut terhanyut.

"Tidak, terima kasih. Aku ingin cincin zircon itu saja." Pria muda itu tampak tak tertarik untuk mengikuti tawaran persuasif tersebut. Sekalipun perhiasan lainnya itu cukup menggoda untuk disentuh.

"Baiklah, Tuan." Begitu penawaran telah berlalu, si pramuniaga lekas membungkus cincin zircon. Mengurus surat legalitas kepemilikan perhiasan itu dan menjabarkan sejumlah nominal melalui komputer kasir. "Atas nama siapa, Tuan?"

"Cornelia."

Tak lama, pria muda itu segera mengakses kartu elektroniknya untuk menebus perhiasan pilihannya.

"Silakan, Tuan. Perhiasan dan surat resmi kepemilikannya telah menjadi milik Tuan. Terima kasih telah berbelanja di toko kami."

Pada awal pekan tak banyak pengunjung yang memadati toko perhiasan. Hanya beberapa pengunjung yang datang secara silih berganti. Hal itu turut membantunya untuk menghemat waktu dalam pencarian perhiasan. Dengan demikian, pria muda itu menjadi sangat puas mengakhiri destinasi pencarian sebuah cincin bersama senyuman yang tak kalah mengembangnya semenjak memasuki toko perhiasan.

Langkah kaki menggiringnya menuju teritorial ruang parkir kendaraan roda empat. Tangannya merogoh kunci dari balik setelan formal. Begitu mendudukkan diri pada jok kemudi di badan mobil tuanya, ia memasukkan kunci ke kontak untuk menyalakan mesin sekaligus memindahkan tuas persneling ke kiri agar mobil segera melaju. Tak lupa ia tarik gulungan sabuk pengaman dan menguncinya.

Ia telah mempersiapkan segala hal demi memperkuat fondasi materi di masa depan.

Karena baginya, pernikahan tak hanya sekadar ungkapan verbal cinta melainkan membutuhkan rangka yang kokoh untuk menunjang berlangsungnya sebuah rumah tangga, yaitu materi.

Demi kesejahteraan calon istri dan anak-anaknya.

* * *

Rintik hujan terus mengguyur debu dan aroma asam polusi di tengah permukiman penduduk metropolis Kota Luxyr. Sepanjang jalan, mata pria muda itu bergulir sembari mencermati jalur lalu lintas. Seolah tengah mengabsen deretan rumah bergaya koloni yang tersusun rapi. Ia banting roda kemudi memasuki jalanan lebih lengang. Melajukan kendaraan berbodi antik tersebut secara perlahan.

Di antara pepohonan kacang-kacangan, terlihat lampu penerangan jalan mulai menyala satu per satu. Membuat manik pria muda itu mulai menyadari bahwa ia telah menghabiskan hampir dua jam bersemayam di toko perhiasan hingga malam pun menjemput matahari untuk kembali ke peraduan.

Sebelum mencabut kunci dari kontak mobil, ia kembali menatap tas kertas yang setia menyimpan cincin zircon. Terbesit raut ragu mulai menghiasi parasnya. Namun ia kesampingkan prasangka ambigunya dan langsung mencabut kunci bersama dengan melepas sabuk pengaman.

"Aku pulang ...." Suara lirihnya menerpa lembut di saat kakinya menapak pada lantai rumah berkayu itu.

Ia berjalan mengendap-endap demi melancarkan aksi sunyinya.

Dan di sana terdapat sosok wanita tua yang tengah mengolah hidangan hangat. Kepulan asap turut mengitari hingga sebagian tersangkut pada surai kelabu si tukang masak.

Pria muda itu masih juga membungkam segala suara. Langkah kakinya pun sangat ia redam. Ingin ia memberi kejutan pada si wanita tua.

Hampir sampai ....

Tangannya mulai terjulur .... Napasnya kian tersendat akan ketegangan yang tercipta. Bahkan pelupuk matanya sontak melebar secara tak sadar.

Di saat tangannya mengambang di udara ....

"Grander, kau masih terlalu muda untuk menjailiku, Nak."

Sayangnya, pria muda yang telah diketahui bernama Grander gagal total mengelabuhi bibinya.

"Oh, sial!"

"Apa yang kaulakukan!? Ingin membuat bibi tuamu ini kena serangan jantung?" selorohnya sembari menepuk pipi Grander dengan sendok sayurnya yang panas

"Aw! He-hentikan, Bibi! Ini panas!"

"Untuk anak nakal sepertimu harus! Dan kenapa baru pulang sekarang? Lihat, jam berapa sekarang?" celoteh wanita tua itu sembari menghidangkan sup labu hasil karyanya pada mangkuk yang telah ia siapkan di atas meja makan.

Sementara, Grander hanya tertawa di sela-sela ringisan seraya mengusap jejak kemerahan pada pipinya yang masih menuai suhu panas.

Selama si wanita tua menuangkan cairan oranye segar nan panas itu ke mangkuk Grander, manik cokelat kelabunya menjala eksistensi tas kertas tebal di samping kursi keponakannya. Bibir keriputnya menggulung senyum penuh makna tatkala menjumpai sebuah logo khas dari toko perhiasan di tengah tas kertas tersebut.

"Oh, jadi itu yang membuatmu terlambat makan malam?"

Grander hampir tersedak di saat kuah oranye itu merambat di tenggorokannya.

"Apakah gadis itu Cornelia?"

Napas Grander tercekat bersamaan dengan meningkatnya temperatur suhu di sekujur pipi dan telinganya.

"Oh, Anakku~" Tak henti bibi Grander menggodanya hingga Grander tak sanggup menampik kata-kata.

Selesai menyantap hidangan hangat, Grander langsung membantu bibinya untuk mencuci dan merapikan perkakas makan.

"Seperti apa pernikahan itu, Bibi?"

Bibinya seketika meluncurkan kikih mungil. "Jadi, kau benar-benar ingin melamar Cornelia?"

"Menurut Bibi, apakah aku bisa menjaga pernikahan itu selamanya?" Air muka Grander perlahan menebar emosi gundah gulana. Kedua matanya menatap cukup lama sebuah foto kecil di samping meja kabinet dapur. Foto yang menyimpan kenangan bersama ayah dan ibunya. Di saat mereka masih utuh.

"Anakku ...." Wanita tua itu menepuk lembut bahu Grander.

Grander memalingkan atensi kepada bibinya secara utuh.

"Kau pasti bisa lebih baik dari Carol dan Hergan. Bibi yakin!" Kedua tangan keriputnya melayang untuk meraih badan Grander. Lalu memeluknya hangat.

Grander pun terharu dan mendekap balik kepala sepuh itu.

"Biarlah apa yang telah terjadi dengan ayah ibumu dan jadikan hal itu menjadi pengalamanmu kelak. Wanita tua ini akan selalu ada untukmu."

"Terima kasih, Bibi."

* * *

"Pak Grander, buru-buru sekali?" Salah seorang staf menyapanya ketika bersua di lobi perkantoran telekomunikasi.

Namun belum Grander membalas, staf tersebut telah menghilang di balik tembok kaca ruang pegawai. Lalu ia menghampiri meja resepsionis untuk mengisi absensi terakhir dengan menempelkan sidik ibu jarinya pada perangkat elektronik.

"Selamat sore, Nyonya McMalgen," sapa Grander menebar senyum tipis.

"Pak Grander, Anda sudah akan keluar sekarang?" tanya pegawai yang menjaga meja resepsionis.

"Ya." Grander menggulung senyum penuh ambiguitas. "Tolong katakan pada Pak Dean jika rekap kondisi data peralatan tahun ini telah aku kirim melalui email. Pak kepala sedang dinas keluar kota. Jadi pertemuan untuk membahas pembaruan peralatan perangkat keras diundur seminggu."

"Oh, baiklah akan saya sampaikan pada Pak Dean. Selamat berakhir pekan, Pak Grander."

"Kau juga, Nyonya McMalgen."

Akhir pekan adalah agenda yang momentum bagi semua orang termasuk yang memiliki pasangan. Mereka dapat membagi cinta kasih untuk merekatkan hubungan. Hal serupa turut terjadi pada Grander. Pria muda itu begitu usai menyelesaikan pekerjaannya tepat pukul lima sore, ia segera menjangkau kendaraan tuanya untuk meluncur ke suatu tempat.

Senyum lagi-lagi mengukir, membuat perubahan rona pada air mukanya. Pikirannya kembali melayang membayangkan asa. Sesekali manik cokelat pekatnya melirik sekilas pada kotak beludru merah di jok samping. Lalu atensinya kembali fokus pada aspal. Terdengar suara lirih dari sela bibirnya yang bersenandung riang. Bersama deru napas yang ia atur untuk mempersiapkan pernyataan spesialnya nanti. Yang akan mengubah hidupnya di masa depan.

Tentunya, akan sangat berubah ....

* * *

"Hah ...." Grander mengembuskan napas ketiga kalinya sebelum melangkah memasuki klinik gigi di depannya. Mematangkan hati dan pikiran sebelum bertindak.

Sekali lagi.

"Haaah ...."

Dengan lantang, ia memberanikan diri melangkah tegap menerobos pintu masuk utama yang seluruhnya berbahan kaca. Aroma sabun bercampur antiseptik langsung menyusup lubang pernapasannya tanpa perhitungan. Membuat tubuhnya sedikit menuai gemetar sarat rasa gugup.

Lagi-lagi pria muda itu menghela napas panjang seiring langkah kakinya yang kian memendek.

Semakin dekat ....

Dan kedua lensa matanya mulai menjala eksistensi sosok persona cantik. Sosok itu terbalut dengan seragam medis putih asertif. Membaur bersama ahli medis lainnya.

"Dokter Cornelia, jangan lupa besok Sabtu siang setelah makan siang akan ada janji bersama pasien bernama Linda," ucap seorang perawat muda bersama mengambil rekap medis dari tangan Cornelia.

"Oke," tutup wanita muda itu sekali lalu membalikkan badan. Seketika kelopak matanya melebar tatkala menjumpai sosok terkasihnya.

Sama terkejutnya, Grander sejenak lupa bagaimana caranya menghirup oksigen.

"Gra—"

"Cor—"

Keduanya tercekat bercampur menahan tawa geli.

"Kau dulu!"

"Kau dulu!"

Lagi-lagi mereka berucap secara bertabrakan. Hingga kedua bibir itu meluruhkan tawa mungil.

"Baiklah, Pak Grander. Ada yang bisa aku bantu? Apakah gigimu perlu kubersihkan? Atau kau perlu gigi pasangan?" kelakar Cornelia.

Sementara Grander justru yang tak sanggup berkata-kata. Bahkan dengan menatap sosok manis di hadapannya saja membuat lidahnya kelu untuk meluncurkan sepatah suara secara jelas.

"Grander? Apa kau baik-baik saja?" ulang Cornelia. Terdengar nada cemas yang terselip melihat kekasihnya masih mengatupkan bibir dan berdiri canggung.

"Ah, Hem. Ka-kau, kau punya acara malam ini?"

Alis cokelat Cornelia terangkat bersama. "Hm, kurasa tidak."

"Oh, bagus," gumam Grander.

"Apa?" Alis Cornelia sesaat mengernyit akan gumaman ambigu Grander yang tampaknya tak sampai ke gendang telinga secara utuh.

"Jika begitu, maukah kau menemaniku makan malam nanti?" tawar Grander yang sesekali tangan kanannya meremas kotak beludru merah di dalam saku celana formalnya. Bersembunyi tenang dengan meredam gejolak asa.

"Oh, sepertinya menarik. Baiklah, tunggu aku! Aku akan selesaikan lima belas menit untuk membereskan sisa praktik terakhirku hari ini, oke?"

"Ya, tentu," balas Grander. "Jangan terburu-buru."

Cornelia hanya mengacungkan ibu jarinya seraya melangkah semakin jauh.

Selama menunggu wanitanya, Grander kembali melakukan ritual penghafalan untuk pernyataan spesial nantinya. Berjalan ke sana kemari seolah menununggu antrean toilet.

"Pak, Anda baik-baik saja?" Seorang perawat tua tampak cemas melihat tingkah Grander yang tampak seperti kebingungan.

"Ah, aku baik-baik saja. Ha-hanya menunggu Dokter Cornelia." Grander hanya menggulum senyum kikuk.

Perawat tua itu memilih meninggalkan Grander untuk memberikan privasi.

* * *

Kedua lensa mata sewarna langit itu bergulir ke seluruh penjuru ruangan saat kedua kakinya menapak di sebuah restoran klasik ala Longria.

"Grander, apa kau yakin kita makan malam di sini?"

"Apa kau tak suka?" tanya cemas Grander yang justru balik bertanya.

"Bukan. Maksudku, kau tidak suka hidangan laut, 'kan?"

"Tapi kau suka, 'kan?"

Cornelia merasa kedua pipinya menghangat hanya dengan untaian kalimat retoris pendek tersebut.

"Tapi, kau tak akan bisa menikmatinya," tukas Cornelia kesekian kalinya.

"Aku akan mencoba untuk menyukainya."

"Apa kau yakin?"

"Apa yang tidak untukmu?"

"Kau menggodaku, eh?"

"Apakah kita akan berdebat akan hal ini? Perutku sudah menjerit minta diisi dan aku sudah memesan tempat sejak kemarin untuk kita berdua," urai Grander setengah merajuk dengan menggandeng Cornelia menuju meja resepsionis.

Giliran Cornelia yang tak sanggup merangkai untaian kalimat untuk menyanggah. Pun, pemerah pada kedua pipinya semakin pekat tatkala aliran darah telah berkumpul di tempat yang tepat.

"Saya sudah memesan tempat, atas nama Grander Frost untuk dua orang, kemarin Kamis," ujar Grander pada petugas resepsionis.

Begitu Grander memberi kartu identitasnya, pegawai restoran di bagian reservasi langsung melakukan pengecekan pada data komputernya.

"Baiklah, Tuan. Atas nama Grander Frost telah memesan tempat untuk dua orang pada hari Kamis lalu. Silakan ikuti saya, Tuan dan Nona."

Mereka duduk berhadapan pada meja bundar yang diselimuti kain satin putih. Di tengah terdapat vas kecil untuk memberi aksen floral pada table manner. Dua pelayan restoran yang mengenakan rompi hitam dengan cakap langsung menarik lipatan serbet untuk diterjunkan ke pangkuan Grander dan Cornelia. Seorang pelayan yang memakai setelan formal dengan dasi kupu-kupu lekas meminjamkan buku menu hidangan untuk segera mereka pilih.

Tentu saja, Cornelia terharu terhadap pelayanan yang ia dapat.

Wanita itu merasa dirinya ... karena diperlakukan begitu istimewa.

"Grander? Sungguh kau akan makan makanan ini?" gumam amat lirih Cornelia tak enak hati terhadap semua kenikmatan mendadak ini.

"Tentu saja. Kenapa tidak?" jawab Grander begitu ringan.

Mereka pun akhirnya memesan dua hidangan laut yang berbeda serta tak lupa dengan sebotol anggur merah.

"Grander, aku sungguh bingung dengan sikapmu kali ini."

"Benarkah?" tanya balik Grander dengan menyimpan semua kejutan. "Kita nikmati saja makan malam ini. Lagipula aku tidak memiliki alergi dengan memakan seafood."

"Baiklah," jawab Cornelia menatap ragu pada kekasih tercintanya.

Tanpa wanita muda itu sadari, Grander telah mempersiapkan ini semua sejak lama.

Hanya untuk ... malam spesial ini.

* * *

Cornelia ingin rasanya tertawa ketika melihat ekspresi tertekan Grander yang menelan tuna asap itu dengan begitu impresif. Ia sangat mengenal kekasihnya itu. Yang tidak menyukai hidangan laut. Apa pun jenis masakannya. Sekalipun koki berbintang kelas dunia yang mengolahnya. Namun, ia tahan untuk menghargai semua ini. Semua yang Grander lakukan. Hanya demi membuatnya bahagia.

Tentu saja, Cornelia sangat bahagia.

Hanya membutuhkan tak kurang dari setengah jam mereka menghabiskan seluruh hidangan malam itu. Kini, giliran cairan fermentasi anggur melarutkan segala daging yang mungkin masih tersangkut di kerongkongan.

"Apakah kau menikmatinya?" tanya Grander setelah meneguk perlahan larutan merah pekat itu.

"Harusnya aku yang bertanya demikian, apakah kau dapat menikmatinya ketika tuna itu meluncur ke perutmu?"

Grander terkekeh renyah.

"Sungguh, aku tak percaya ini semua. Kau mengundangku ke restoran favoritku. Dan kau, kau memaksakan diri untuk memasukkan tuna itu ke mulutmu. Demi Tuhan, aku tak bisa berkata-kata, Grander!" urai Cornelia ekspresif. "Tapi, terima kasih ...."

Tampaknya, si wanita muda masih belum dapat menerka atas undangan kencan spesial tersebut. Grander biarkan wanitanya menikmati anggur pada gelasnya sejenak. Sembari mengulur waktu, ia pun juga tengah mempersiapkan mental raganya.

Jika saja, ia ditolak.

"Hah ...." Sekali lagi, Grander menghela napas. "Cornelia ...."

Sementara Cornelia yang tengah menikmati gesekan musik klasik yang dibunyikan dari orkestra mini, atensinya hendak berlabuh pada yang memanggilnya.

"Hm?" Kedua mata biru langitnya mendarat tepat pada bongkahan permata biru bening. Yang memiliki warna serupa dengan irisnya. Sontak pelupuknya melebar.

"Menikahlah denganku, Cornelia."

* * *

Hujan kembali mengguyur seluruh ranah Kota Luxyr. Melarutkan seluruh fragmen aktivitas manusia. Meredakan gejolak suhu panas. Meluruhkan segala debu yang menutupi setiap bangunan dan kendaraan. Tak terkecuali pada atap Restoran Longria.

Sesaat wanita itu belum dapat mencerna apa yang telah terjadi di sekitarnya. Terutama momentum di hadapannya. Seolah waktu telah menghentikan rotasinya.

"Cornelia?" Ada gurat emosi cemas bercampur senang ketika ada sekitar lima belas detik, si pujaan hati tak meresponnya.

Akhirnya, Grander kembali membuang napas.

Kali ini bukan untuk memantapkan jiwa raga melainkan emosi yang tengah berkecamuk tak tentu.

"Grander ...," panggil Cornelia.

Manik cokelat pekat Grander kembali terangkat. Menjala sosok wanitanya.

Bukannya menjawab, Cornelia justru balik bertanya, "Kau ... ingin menikah denganku?"

Saat otaknya menjumpai rona senang pada air muka Cornelia, Grander kembali menguatkan harapan yang sempat terjun terombang-ambing.

"Menikahlah denganku. Aku ingin kau menjadi teman hidupku hingga maut memisahkan." Tanpa Grander sadari untaian kalimat itu meluncur begitu saja tanpa kendala berarti. Sayangnya dengan intonasi yang cenderung kaku.

Namun di pendengaran Cornelia ungkapan kaku itu justru terdengar ... manis.

Bibir wanita itu membeku kelu. Antara bahagia namun juga ragu. Tak disangka pria muda di hadapannya, yang dulunya adalah seorang laki-laki pemalu ketika berjalan membungkuk. Kerap memakai setelan yang konservatif, hingga menjadi bahan bulanan oleh teman-teman semasa sekolahnya dulu.

Namun kini ... laki-laki itu telah tumbuh menjadi sosok yang pemberani, tidak lagi berjalan membungkuk. Bahkan posturnya telah lebih tinggi darinya. Massa tubuhnya pun lebih padat. Dan ketika berbicara padanya, Cornelia harus mendongak ke atas. Di balik itu semua, diam-diam Cornelia telah jatuh hati pada sosok yang setia menemaninya baik susah maupun bahagia selama sepuluh tahun lebih. Sejak mereka bertemu pertama kali di masa sekolah menengah pertama. Terus bersama hingga memilih berpisah untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kemudian mereka bertemu lagi dalam kondisi di mana mereka telah memiliki kesiapan jiwa dan raga untuk menjalin sebuah keluarga.

Selama beberapa detik berlalu, kepala Cornelia akhirnya mengangguk.

Ia masih juga tak mempercayai ini semua. Yang telah terjadi padanya.

Hingga ... setetes cairan bening turun melewati kedua pipi meronanya.

"Ya ...."

* * *

Tak perlu menempuh waktu yang lama dan membuang seluruh energinya, Grander telah mengantungi restu dari kedua orang tua Cornelia. Persiapan menikah pun mereka jalani bersama. Bergantian di saat salah satu dari mereka disibuki oleh rutinitas pekerjaan.

Dua bulan berputar, hingga akhirnya mereka telah bersanding bersama. Berpasangan, menghadap Tuhan dan pendeta. Saling mengikat janji untuk saling menyokong kekuatan. Selalu bersama meskipun rintangan hidup siap menghadang silih berganti.

Untuk sehidup semati ....

Hingga maut memisahkan ....

Dan akhirnya mereka telah resmi menjadi sepasang suami istri.

Tawa dari bibi Cornelia terus berbunyi di saat mereka meluncur ke kediaman mereka kelak. Sesekali Grander mengusap punggung tangan kiri Cornelia. Dan sesekali pula, Cornelia menggoda Grander di saat kedua tangan suaminya itu tengah sibuk menggenggam kemudi.

"Kautahu, tak seharusnya kau memaksakan diri untuk menelan udang yang masih memiliki cangkang itu. Kau hampir saja membuatku takut ketika kau tak bisa menelannya."

"Oh ya?"

"Tapi ternyata, kau mengerjaiku. Itu menyebalkan tahu!"

"Hahahahaha ...."

"Hentikan tawamu!" Meskipun intonasi Cornelia berucap tinggi namun air mukanya masih juga memanen rona bahagia.

"Kau tak pernah bilang jika kau akan melamarku. Kukira kau akan menikahi Rania," ujar lirih Cornelia sembari mengamati kebun anggur dari balik jendela mobil.

"Kenapa harus Rania?" Sesekali Grander melirik sekilas istrinya yang baru saja ia ikat beberapa jam lalu.

"Karena kalian selalu bersama?"

Grander terkekeh renyah. "Kukira seorang dokter tak akan berasumsi tanpa bukti."

Cornelia seketika mengerucutkan bibir. "Bagaimana pun juga aku ini perempuan, sudah lama aku menyukaimu tapi kau tampak menganggapku tak lebih dari teman." Sesaat sebelum menyadari apa yang telah ia ucapkan, bibir itu sontak mengatup rapat. Menahan malu.

Namun, untaian pengakuan itu telah menerpa pendengaran Grander.

"Kau?" Sontak Grander menoleh secara utuh. Menatap Cornelia yang telah memalingkan wajahnya ke dataran padang anggur.

"Abaikan! Sepertinya aku terlalu banyak minum tadi," tukas Cornelia tanpa kembali menatap wajah suaminya.

"Oh ya?"

Terdengar suara rem tangan yang diangkat ke atas, membuat Cornelia menoleh terkejut. Otaknya tak sempat mencerna ketika dua bibir itu bersentuhan.

"Selamat datang di Istana, Ratuku."

Setelah bangun dari rasa terkejutnya, Cornelia memalingkan atensi dari suaminya. Sekali lalu menyapu pandang ke segala arah bersama dengan menyembunyikan semburat merah di pipinya. Hingga kedua manik biru langitnya terhenti di sebuah bangunan rumah. Yang tak terlalu dekat dengan pusat perkotaan.

Tak terlalu mewah namun sangat berarti bagi Cornelia.

"Bagaimana?" Air muka Grander tampak ragu. Terdengar dari suaranya yang sedikit bergemuruh. "Jika kau kurang suka, aku bisa merenovasinya."

Atensi Cornelia kembali melandai pada wajah suaminya. Bibirnya menggulum senyum manis.

"Kau bercanda? Aku tentu saja menyukainya! Lagi-lagi kau membuatku terkejut!"

"Di rumah ini kita akan membesarkan anak-anak kita."

Lagi-lagi Cornelia merasakan temperatur pada wajahnya meningkat drastis.

"Y-ya .... Terima kasih, sangat ...."

Rumah klasik ala Skandinavia dengan dua lantai dan satu ruangan bawah tanah. Sepenuhnya berbahan dasar kayu. Untuk menciptakan nuansa hangat karena sebagian musim akan selalu memiliki suhu rendah.

Tubuh Cornelia yang masih terbalut gaun pengantin berjalan perlahan mengitari serambi depan. Seolah ia takut jika dirinya merusak tiap sudut arsitektural hadiah pernikahan dari suaminya itu. Yang entah sejak kapan suaminya telah merencanakan ini semua. Dan yang terpenting lainnya, rumah itu memiliki kebun mini dengan berbagai tanaman hias. Tangannya pun meraih kenop pintu, seketika ia tersentak di saat tubuhnya melayang sekaligus mendarat di gendongan sang suami.

"Grander!?"

"Kemarilah, Ratuku. Akan kutunjukkan apa saja yang ada di dalam Istana Kecil kita ini!"

Menatap wajah Grander yang begitu dekat membuat Cornelia seolah melayang terpanggang. Otaknya seketika membeku dan otot-otot jantungnya menyentakkan aliran darah secara cepat. Sementara, sistem respirasinya pun mendadak macat.

Karena sudah lama ia merasa tak seintim ini dengan sosok Grander.

* * *

Hari demi hari berganti. Semua harapan dan cita-cita akhirnya telah terpenuhi. Namun, Grander merasa belum cukup puas. Itu semua hanyalah sebagian kecil dari segala impiannya. Ia masih memiliki impian lagi. Impian yang lebih besar dan ia pasti akan mewujudkannya. Bersama keluarga kecil tercintanya.

"Grander ..., apakah kau akan memelukku seharian ini?" Tangan sintal Cornelia mengusap-usap salah satu pasang lengan yang mendekapnya posesif dari belakang. "Kita akan terlambat, nantinya."

"Lima menit lagi ...." Sementara, Grander justru menelusupkan wajahnya lebih dalam di sela tengkuk istrinya.

"Ayolah, Tuan Grander. Aku tak bisa bekerja jika kau merengek begini." Tawa mungil terus meluncur di saat Cornelia merasa napas hangat suaminya menggelitik nakal pada kulit leher belakangnya.

Seperti hari-hari biasanya, begitu bangun telah ada sosok wanita yang bersedia menyiapkan keperluan pribadinya. Mulai menyiapkan setelan formal kerjanya hingga sarapan.

Walaupun telah berkali-kali melihat istrinya yang selalu menuangkan sirup maple ke permukaan kue panekuknya, Grander tetap tidak dapat mengalihkan atensi di setiap gerak-gerik istrinya. Sekalipun ia tak pernah jemu akan segala aktivitas istrinya.

Namun bibir Grander menekuk tatkala istrinya lagi-lagi menuangkan cairan putih pekat itu ke dalam cangkir besarnya.

"Tapi Corne—"

"Aku tahu, aku tahu." Cornelia menggulung senyum simpul. "Meskipun kau tak suka susu, tapi kau harus meminumnya. Karena kau berdekatan dengan alat-alat penuh radioaktif."

"Ah, tidak selalu, kautahu." Meskipun bibir itu menggerutu, Grander tetap menghabiskan susunya setelah menyantap seluruh panekuk itu.

Seperti hari-hari kerja lainnya, Grander selalu mengantarkan istrinya bekerja. Setelahnya, barulah roda empat itu menggiringnya menuju destinasi perkantoran telekomunikasi. Di mana ia mendedikasikan dirinya sebagai kepala divisi bagian penanggung jawab operator seluler.

Tak terasa hampir dua bulan mereka menjalani rutinitas bersama. Hingga mereka dikejutkan oleh seorang calon anggota baru. Yang akan hadir.

Awalnya, Grander terkejut ketika dirinya mendapati istrinya masih terlelap. Biasanya pukul enam pagi, istrinya telah lebih dulu beranjak dari alam mimpi. Dan telah siap dengan aroma kue panekuk. Namun, kini Grander-lah yang memberi pengertian untuk menggantikan tugas istrinya. Di pikiran pria itu mungkin saja istrinya lelah. Karena harus bekerja dan mengurus segala kebutuhan pribadinya hingga biologisnya.

"Grander ... kenapa kau tak bangunkan aku?"

Grander terkejut dan hampir menjatuhkan panekuk gosong itu dari wajannya di saat telinga mendengar suara merdu istrinya.

"Ah, hahaha ...."

Cornelia yang mencium aroma menyengat bercampur tepung basah pun menghampiri kompor dapur. Di mana suaminya tengah bereksperimen ria.

"Ah! Jangan lihat! Ini belum matang!" Sontak Grander menghadang tubuh istrinya yang berjalan maju.

"Ke-kenapa? Aku mencium aroma gosong. Kau tak membakar rumah kita, 'kan?" Seloroh Cornelia setengah menggoda suaminya yang panik akan hasil masakannya karena tidak sedap dipandang.

"Du-duduklah! Aku akan membuatkanmu pa-panekuk lainnya."

"Lainnya? Memangnya ada apa dengan yang sudah matang itu?" pancing Cornelia.

"Ini tidak enak! Percayalah!"

"Oh .... Baiklah, aku akan menunggumu."

"Ini susu untukmu! Minumlah terlebih dahulu!"

Cornelia menahan tawa ketika kedua lensa matanya menjala cangkir berisi susu yang berceceran. Sungguh, suaminya ini membutuhkan privat berolah makanan dan minuman. Bilamana Cornelia pergi dinas praktik keluar kota.

Namun saat bibir itu menyentuh dinding cangkir, alis Cornelia refleks mengernyit. Seketika ia jatuhkan cangkir itu dan merasa ada gejolak pada perutnya yang membuatnya merasa mual dan penuh.

Mendengar benturan cangkir pada meja kaca, Grander langsung memalingkan atensi pada istrinya. Seketika tangannya mematikan tombol nyala pada kompornya.

"Cornel, ada apa? Kau baik-baik saja?"

"Entahlah ... pagi ini aku merasa lemas dan seluruh tubuhku seperti mer—" Tiba-tiba Cornelia beranjak menuju bak cuci piring. Terlihat wanita itu memuntahkan seluruh cairan asam manakala perutnya belum terisi apa pun sejak bangun tidur.

"Cornel, kau baik-baik saja?" tanya panik Grander sembari mengusap-usap punggung istrinya. "Kita ke dokter ya?" lanjutnya.

Wajah Cornelia tampak pucat dan letih. Belum sempat mengangguk, tubuhnya hampir terjatuh jika Grander tak menahannya.

* * *

Sementara Grander menatap penuh keingintahuan bercampur rasa cemas, ahli medis tersebut justru menyapu pandang Grander dengan tatapan ringan dan riang.

"Selamat, Pak. Anda akan menjadi seorang Ayah," tutur dokter sepuh itu sembari meraih telapak tangan Grander.

Sesaat otak Grander belum mencerna apa yang baru saja dokter itu tuturkan.

"Pak?"

"A-apa? Benarkah?"

Pun, Grander memanen rona bahagia. Langkahnya segera menghampiri sang istri yang terbaring di ranjang pesakit. Lalu memeluknya erat.

"Grander ...." Cornelia yang masih tampak pucat tersenyum riang. "Benarkah kita akan segera menjadi orang tua?"

Grander mengangguk dan kembali memeluk istrinya.

Meski demikian, Cornelia masih membutuhkan rawat inap. Maka dari itu, Grander pun harus merelakan waktunya untuk mengurus keperluan di pekerjaannya, rumah, lalu istrinya. Namun, hal itu tidak memakan waktu lama. Tak sampai lima hari, Cornelia diperbolehkan untuk kembali pulang. Dan telah mendapat izin dari sang dokter untuk melakukan rutinitas normalnya.

Satu per satu impian Grander terwujud. Sungguh, betapa bahagianya mengetahui bahwa istrinya akan menjadi ibu sekitar enam bulan ke depan. Berarti usia kandungan Cornelia masih cukup rentan. Namun, Cornelia tidak ingin jika hanya berdiam diri di rumah. Ia memaksakan diri untuk tetap membuka praktiknya. Melayani kesehatan dan perbaikan gigi-gigi pasiennya. Hal itu cukup untuk menguji kesabaran Grander yang setiap waktu selalu menanyai kabar Cornelia.

Sore itu, Grander memiliki jadwal luang dan berencana untuk mengajak Cornelia berjalan-jalan di taman kota. Setidaknya membuat seorang ibu hamil agar tidak tertekan akan rutinitas mereka yang cenderung seperti mengulang hal lalu. Akan tetapi Cornelia sedang dalam masa malas untuk menggerakkan tubuh akibat hormon mengandung. Inginnya, ia menghabiskan Minggu sore untuk berbaring dan menonton serial telenovela.

"Ayolah, Cornel. Di luar cuaca sedang bagus-bagusnya. Cukup cerah tidak seperti sore lainnya. Sebelum salju turun, kita manfaatkan untuk menghirup udara hangat," tawar Grander setengah merajuk.

"Hmm ...." Sementara Cornelia justru menjawab dengan meluncurkan suara ambigu. "Kau saja, Grander. Aku sedang ingin tiduran," lanjutnya.

"Bagaimana aku bisa menikmati udara dan alam di luar, jika kau tak ada untuk menemaniku? Kau pasti akan senang. Di sana kita bisa bertemu dengan banyak orang secara santai. Bercakap-cakap macam hal. Mungkin kau bisa menemukan teman lain untuk bergosip."

"Haah .... Oke! Aku akan menemanimu. Tapi, hanya sebentar."

Seketika kedua sudut bibir Grander tertarik ke atas.

* * *

Taman kota yang sebagian pohonnya telah mengering dan bahkan gugur. Meski demikian, tak mengurangi rasa nyaman pengunjung untuk bersenda gurau. Tanpa memikirkan untung rugi layaknya berbisnis. Momentum itu mereka habiskan bersama keluarga.

Sama halnya dengan pasangan suami istri muda. Grander memapah Cornelia yang tampak letih untuk menggerakan tubuh. Mungkin bukan letih melainkan rasa enggan untuk beranjak. Namun, Grander tetap memaksa istrinya untuk berjalan-jalan di taman kota. Menghabiskan sisa waktu untuk bersantai sebelum malam dan esoknya kembali bekerja.

Meski tampak enggan, Cornelia tak menampik jika dirinya terkesima dengan pemandangan hutan mini di tengah kota. Yang biasanya hanya mendapat sajian gedung pencakar langit serta lampu sorot pencekik pandangan mata di saat melakukan praktik sebagai dokter gigi.

Kali itu Cornelia dapat menikmati seluruh penjuru taman itu. Ada pepohonan hijau yang mulai memerah. Udara yang perlahan kering dengan tingkat kelembaban rendah. Kendati demikian, tanpa adanya awan membuat langit dapat membiaskan cahaya matahari menerpa seluruh penghuni alam semesta. Sebagian penduduk pun mengajak sekeluarga sekadar membuang waktu luang berselonjor di rumput basah. Membawa anak-anak yang tengah bermain layang-layang. Ada juga yang memilih mengelilingi taman dengan sepeda. Sisanya mengajak hewan peliharaannya untuk bermain bersama.

"Sudah kubilang, 'kan? Kau tak akan menyesal," goda Grander melihat ekspresi istrinya yang berubah haluan.

"Yah .... Baiklah kau menang, Tuan Grander. Ajak aku sesukamu ke mana pun kauinginkan!"

Grander yang gemas mengecup dahi Cornelia berkali-kali.

Seekor anjing besar tiba-tiba menghampiri pasangan suami istri itu. Sontak atensi mereka berlabuh pada sosok menyenangkan itu.

"Hei .... Kau bersama siapa?" Seolah Cornelia mengajaknya bicara. "Apa ini juga kejutan darimu, Grander?" Tangan sintalnya mengusap-usap gemas dagu anjing itu. Dan binatang mamalia itu meresponnya dengan manja.

"Apa? Tidak. Aku tidak tahu milik siapa anjing ini." Grander tampak menyapu pandang ke seluruh taman kota yang tak terlalu padat itu. Namun tak menemukan hal berarti yang menunjukkan tanda-tanda kehadiran majikan anjing itu.

"Bagaimana jika kita adopsi saja jika tak ada yang punya?" pinta Cornelia setengah merajuk.

Grander hendak menolak namun tak kuasa ketika melihat hasrat kuat ingin memiliki dari sorot pandang Cornelia.

"Baiklah."

"Yeaay! Kuberi nama siapa ya. Gran-grand?"

"Hei?" protes Grander.

"Kan, dia jantan, Grander. Dia juga tampan sepertimu," kelakar Cornelia.

"Kau menyamaiku dengan binatang itu?"

"Ayolah ... aku hanya bercanda."

Anjing itu tampak menggonggong bahagia dan mengangkat tubuhnya untuk menjilat-jilat wajah Grander.

"Hei! Hentikan! Aku sudah mandi tahu!"

Sayangnya bagi Cornelia, aksi kekesalan Grander justru manis nan lucu di matanya. Kemudian arah pandangnya menjangkau deretan penjaja makanan dalam truk. Saling mempromosikan bahwa hidangan yang mereka sajikan sangat lezat. Terdapat food truck yang menjual makanan ringan siap saji diantaranya: hotdog, roti lapis, kentang goreng, ayam goreng, mi bungkus, es krim, salad buah, dan sebagainya. Hormon kehamilannya pun memerintahkan otaknya untuk meneteskan air liur. Pertanda hasrat ingin memakan mulai bekerja.

"Grander, aku ingin roti lapis itu," rajuknya manja.

"Apa?" Grander tampak kerepotan akan tingkah anjing besar itu tak langsung mencerna kehendak istrinya. "Apa kau bilang?"

"Aku mau roti lapis itu yang ada bacon-nya. Belikan, ya?"

"Oke, oke, kau tunggu di sini dan jangan sampai anjing ini merepotkanmu."

"Kau tak perlu salahkan anjing kita ini, Grander!"

"Huh!? Dia belum menjadi anjing kita," ujar Grander sembari melangkah menjauh.

"Grander!"

Begitu tiba di jejeran food truck yang antre mengular, Grander kembali menggerutu. Namun demi istri tercintanya, ia rela melakukan hal membosankan bagi setiap orang. Yaitu menunggu. Sesekali ia kembali melantingkan atensi di mana Cornelia berada. Masih terlihat asyik tengah bermain bersama anjing besar. Tiba saatnya Grander mendapat giliran memesan menu.

"Selamat sore dan selamat datang, Pak. Kami memiliki dua menu khusus untuk sore ini terdiri dari Standard Loaded dan Special Loaded. Anda pesan yang mana?" tawar seorang penjaja food truck sembari menyodorkan buku menu yang beraneka ragam foto roti lapis yang menggiurkan air liur. Meskipun di samping truk terdapat spanduk yang berisi menu lengkap dengan komposisi beserta harga per satuan.

"Oke," gumam Grander mengambil selembar kertas menu tebal itu. "Aku pilih Special Loaded Baked Bacon Burger dua."

"Ada lagi, Pak?"

"Hm ...." Sesekali ia menolehkan pandang pada istrinya teringat bahwa wanita itu menyukai es buah nanas lalu kembali menatap pramuniaga food truck. "Orange Pineapple dua, itu saja."

"Baiklah, Pak, tunggu sebentar."

Lantas, pelayan food truck itu segera meracik potongan sayur dan menggoreng bacon, sementara Grander memilih untuk tetap berdiri tepat di depan gawang loket. Kedua maniknya pun turut terhanyut dengan kelincahan tangan-tangan pelayan memberi saus merah pekat pada isian roti lapis itu. Di pikirannya kembali mengelana untuk mencoba melakukan apa yang dilakukan si pelayan. Barang kali Cornelia menyukainya.

Di saat Grander tengah sibuk memikirkan rancangan masa depan barunya, Cornelia masih setia menunggu. Duduk di bangku taman dengan anjing besarnya. Namun, suatu ketika anjing besar itu berlari menuju ke kerumunan anak-anak. Hal itu membuat Cornelia panik.

"Grand-grand!"

Cornelia pun turut mengikuti langkah lari anjing besar.

Seorang anak kecil tengah bermain piring-piringan pun melemparkan piring itu hingga terbang ke sisi jalan raya. Membuat anjing besar Cornelia tanggap mengambil benda bundar. Pelupuk mata Cornelia menyipit ketika seorang anak kecil turut mengikuti anjing besarnya. Sementara di ujung jalan terdapat truk tertutup berukuran sedang tengah melaju dengan kecepatan tinggi. Relung Cornelia terentak membuat gerak refleksnya segera menghampiri bocah yang masih asyik di tengah jalan raya.

"AWAS!"

Suara ban truk beradu dengan aspal menimbulkan suara decit gesek yang terdengar memekikkan telinga. Bersamaan dengan itu, tangan Grander yang hendak mengambil bungkusan roti lapis itu sontak menolehkan kepala. Seketika matanya melebar banglas di saat otaknya mencerna apa yang tengah terjadi jauh di depannya. Pun, warga berhamburan mengerumuni korban tabrak tersebut. Sebagian warga lainnya turut mengelilingi anjing besar yang tiada berkat menyalamatkan bocah kecil itu. Yang sama-sama tak sempat menghindar.

"Cepat! Seseorang, tolong panggil 3737!"

* * *

Wajahnya teramat ketakutan. Tubuh saling berlumur darah yang salah satunya membawa tubuh berdarah terkapar. Langkah kakinya terseok-seok meninggalkan jejak darah dan tanah basah.

"Siapa pun tolong istriku!" Bersambung napas berkejaran, Grander melontarkan teriakan yang parau.

Begitu memasuki ruang depan rumah sakit, ia telah disambut oleh pelayan medis. Salah satunya langsung tanggap mendorong ranjang pesakit bersama memasang sungkup oksigenasi pada wajah pasien.

"Kumohon! Selamatkan istriku!"

"Tenang, Tuan. Kami akan lakukan yang terbaik!"

Laju cepat Grander menyamai ketiga pelayan medis hingga tiba di ruang perawatan darurat penanganan medis.

"Tenanglah, Pak. Tunggu di luar. Istri bapak akan kami selamatkan."

"Tapi—"

"Mohon kerja samanya. Istri bapak tidak bisa menunggu lebih lama."

Air mukanya menunjukkan kegelisahan yang pekat sembari menunggu tangan-tangan medis tersebut memberi perawatan intensif yang darurat. Sesekali ia meremas kepala di saat pembedahan terjadi. Menumpahkan segala kecamuk emosi yang menggumpal. Pikirannya diliputi rasa bersalah yang tak terbendung.

"Sial! Seharusnya ini tak terjadi, jika aku tak memaksanya ke taman!" Bibirnya mengumpat frustasi. Seketika tangisnya pecah setetes. Terjun membasahi pipi. Hingga perjalanan waktu yang melarutkan endapan emosinya. Menatap kosong tembok pucat dengan tubuh yang terduduk tanpa daya.

Tak lama terdengar langkah kaki menderap yang menghampiri Grander.

"Nak?!"

Seketika ia menoleh pada sosok yang menyerukan namanya. Bahkan tidak ingat bersama di antara tumpukan amarahnya, ia juga memberi kabar kedua mertuanya akan kondisi Cornelia. Mereka berhak tahu.

Terlihat di ujung koridor menapak sepasang pasutri sepuh. Salah satunya, si pria sepuh menatap sengit pada Grander. Namun, si wanita sepuh langsung berhambur memeluk Grander. Menantunya yang terikat gulana begitu dalam.

"Tenanglah, Nak. Semua akan baik-baik saja. Serahkan pada Yang Menggenggam kehidupan kita di sana," bisik wanita sepuh, terisak sembari mendekap Grander yang menatap ayah mertua di hadapannya dengan penuh rasa bersalah.

Tak ayal, ayah mertua menaruh bara kemelut di hatinya di saat anak perempuannya tengah merenggang nyawa di balik tangan-tangan kapabel para ahli medis.

Dalam keheningan, Grander tiba-tiba bersuara, "Ayah, Cornelia tengah mengandung."

Penuturan Grander seketika membuat raut wajah kedua mertuanya mengejang kaku.

"Apa?!" Ayah mertua langsung meremas bahu Grander untuk memastikan apa yang tengah terjadi.

"Tenanglah." Sementara istrinya menahan tangan suaminya sebelum terjadi pertikaian sengit. Mengingat Grander sempat hampir tidak mendapat restu jikalau Cornelia tak merajuk di saat berbicara empat mata pada ayahnya.

Sekitar lima jam berlalu, mereka bertiga tertikam dalam ketidakberadayaan menunggu suatu kepastian tak jelas. Akan nasib hidup mati Cornelia bersama calon anaknya.

Tiba lampu di atas pintu ruang operasi berganti hijau. Menimbulkan bunyi derit pintu terbuka. Memaparkan seorang medis berbaju hijau kebiruan. Bersama atensi ketiga penunggu menghampiri dokter sepuh itu.

Dokter sepuh membuka masker pada wajah dan menepuk bahu Grander yang berdiri tepat di depannya. Seolah memberi kekuatan untuk menyokong batin.

"Maaf ... kami sudah berusaha terbaik yang kami bisa. Namun, Nyonya Frost mengalami kehilangan banyak darah. Usia kandungannya yang masih lemah pun juga telah meninggal di dalam kandungan sebelum Nyonya ditangani."

Grander masih bungkam mencerna uraian mengejutkan yang hinggap pada telinganya. Air mata ibu mertuanya luruh membasahi kedua pipi. Sementara ayah mertua tengah menenangkan sang istri hingga tiba-tiba wanita sepuh itu kehilangan kesadarannya.

* * *

Grander masih menatap hampa ketika tubuh membeku istrinya telah tidur nyenyak dalam kotak peti. Lantunan doa yang bersahutan pun tidak ia hiraukan. Pikirannya masih melayang dan dalam kondisi belum meyakini apa yang tengah terjadi. Para jemaat berdatangan memeluk bela sungkawa. Memberi dukungan moral pada Grander dan kedua orang tua Cornelia. Bibinya yang telah mengasuh Grander semenjak kedua orang tuanya bercerai turut merasakan kepedihan mendalam pada kemenakannya. Ia memilih untuk tetap berpijak hingga semua orang pergi. Mencoba membangun kekuatan hati Grander yang runtuh berhamburan. Bahkan kedua mertua Grander telah meninggalkannya sendirian. Seolah mereka kecewa pada menantunya yang gagal menjaga Cornelia. Putri semata wayangnya.

Begitu tempat sembahyang itu telah sunyi, bibinya menghampiri Grander yang masih mematung di altar pemujaan.

"Grander, pulang dan istirahatlah."

Namun, Grander masih berdiri bergeming di depan pahatan sakral, tak mengindahkan penuturan bibinya.

"Anakku ...," gumam lirih si bibi meraih kedua bahu Grander.

"Bibi, pergilah, biarkan aku sendiri." Grander justru menepis kehangatan yang ditawarkan dan membelakangi bibinya.

Wanita sepuh menghela napas sambil menahan rasa perih dampak apa yang diucapkan Grander. Pun, akhirnya membiarkan kemenakannya itu sendirian di altar.

Sepeninggalnya jemaat dan kerabat, Grander jatuh terduduk lemas di undakan. Tetes demi tetes membanjiri kedua pipinya. Tubuhnya kembali bergemuruh karena menyimpan kecamuk emosi. Meratap nasib dengan masih mengingkari takdir.

"Ke-kenapa!? KENAPA INI SEMUA TERJADI!?" Tiba-tiba ia kembali berdiri dan menghadap pahatan sakral yang memiliki wajah syahdu. "KENAPA KAU CEPAT MENGAMBILNYA DARIKU!? KENAPA?! Aku telah menyembahmu setiap hari tapi kenapa Kaulakukan ini padaku!? Kenapa Kau mengambilnya di saat Kau menyatukan kami?!" teriaknya bebar. Menghujani sumpah serapah pada patung pemilik alam semesta. Hal itu justru semakin membuatnya letih. Tak membuang waktu lagi, ia pun meninggalkan ruang sakral.

Hujan kembali membasahi Kota Luxyr. Kali ini membuat Grander berjalan terseok-seok tanpa asa. Air matanya telah kering namun hatinya masih merana. Tubuhnya pun sudah terlalu basah dipeluk kuat oleh air hujan. Menghabiskan hampir setengah jam berjalan dari tempat altar pemakaman untuk kembali ke rumah. Sesekali ia berhenti di trotoar sembari melamun impian yang telah sirna. Tubuh itu berjalan seolah tanpa jiwa. Beberapa kali kakinya tersandung bebatuan ketika menuju pintu rumahnya. Kembali terantuk anak tangga hingga terjerembab ke lantai kayu basah. Bergumam kesal. Meninju lantai seolah mereka telah membuat dirinya terhempas ke dasar. Terus merantukkan sumpah serapah. Hingga ia merasa lelah dengan sendirinya dan terlelap begitu saja.

* * *

Satu tetes yang tersisa dari air hujan semalam mengalir ke genting lalu berlabuh pada pipi Grander. Perlahan pelupuk mata itu terbuka berat. Lingkar matanya menghitam. Sarat akan tanda-tanda guncangan beban pikir. Ia terentak di saat kesadarannya menyambut kondisi sekitar. Ia terbangun dengan tubuh penuh ngilu. Baru sadar sepenuhnya jika ia tertidur di undakan teras rumah. Dengan posisi tengkurap dan terguyur hujan lebat. Merasa kepalanya teramat berat, ia berjalan gontai memasuki rumah. Dan kembali menghamburkan diri di sofa. Membuat kain sofa basah kuyup. Lalu kedua matanya menyapu pandang situasi dalam rumah. Hanya mendapati perabotan dan tanaman hias.

Tidak ada eksistensi yang bergerak. Maupun bersuara.

Hening ....

Sayup-sayup kicauan burung tiba-tiba menyambar bersama kilau sinar matahari memasuki kaca jendela. Kendati demikian, suasana rumah itu masih tampak muram durja.

Kedua netranya turun pandang dan tak sengaja menjumpai kotak kecil yang tersimpan di rak coffee table. Tangannya merogoh dan membuka kotak merah muda itu. Kedua pelupuknya merentang setelah melihat isinya. Serta terdapat secarik kertas dengan goresan tinta hitam.

Selamat ulang tahun, Grander Sayangku. Semoga semua impian besarmu terpenuhi. Tuhan selalu memberkatimu. Jangan pernah selalu lupa waktu makanmu, meskipun aku pulang terlambat!

Dahinya kembali mengernyit pilu.

Aku mencintaimu, selalu ....

Lagi-lagi air mata tak kuasa ia bendung. Mengalir begitu saja. Meluruhkan butiran memoar bersama istrinya.

Bahkan ... ia melupakan bahwa dirinya telah berulang tahun sehari sebelum kejadian naas itu menjemput Cornelia.

Sebuah jam tangan kayu. Tampak biasa namun amat berharga. Untuk membuatnya selalu ingat kapan jam makan secara tepat.

"BERENGSEK!" Ia berteriak dan melemparkan kotak hadiah itu. Sayangnya, bukan mengobati rindu namun justru semakin terluka. Genangan amarah kembali menguasainya. Kakinya tiba-tiba menendang coffee table hingga pelapis kaca setebal lima milimeter dan vas kecil berisi tulip putih dan kuning terlempar. Pecah ketika mendarat di lantai. Tak sampai di situ, benda-benda di sekitar ia lempar-hantam tanpa rasio. Amukannya beruntut dengan menjambak kain gorden. Lampu berdiri tak luput dari keberingasannya. Seketika ruang tamu itu menjadi bekas medan perang.

"Sialan!" Di saat amarah tengah menguasai, kekuatannya berkumpul menjadi berlipat ganda.

* * *

Dua hari berlalu, suara ketukan menyapa rumah berkayu semi klasik itu. Namun si pemilik satu-satunya terduduk dengan kedua lutut tertekuk. Masih terkurung dalam kenangan kejadiaan naas itu. Otomatis ia enggan menghiraukan sekitar.

"Grander, Anakku?" Terdengar suara sepuh familier menerpa namun tak sampai pada pendengaran Grander. Pria itu masih bersemayam di lantai kamar tidur.

Ketukan pintu kembali berbunyi. Lagi-lagi tak ada jawaban.

Wanita sepuh yang tidak lain adalah bibi Grander menjadi semakin khawatir. Ia pun mengitari halaman rumah untuk memastikan bahwa kondisi Grander tengah baik-baik saja. Di selasar belakang terdapat pintu kaca menuju area dapur, wanita sepuh pun menapak menghampirinya. Ia terka visibilitas di dalam rumah walau kaca rayben menghalangi daya optiknya. Kemudian ia mencoba peruntungan dengan mengetuknya.

"Grander, kau di dalam, Anakku?" Ia ketuk lebih keras lagi. "Grander!?"

Tak lama pintu kaca itu terbuka. Menguraikan entitas si empu rumah dengan segala ketidakjelasannya. Wajah yang teramat letih. Kulit lingkar mata bawah yang kian menggelap. Pipi semakin tirus. Tubuh pun tak lagi berisi. Terlihat pula kaos kusam yang seolah seminggu tak ganti. Serta rambut-rambut tipis yang mulai tumbuh tak terurus di sekitar janggut hingga rahang.

"Astaga, Nak!"

Tak sampai di situ, si bibi dikejutkan dengan suasana sangat tak nyaman dipandang di dalam rumah. Gorden yang sebagian sobek seolah telah terdapat beruang mengamuk. Panci-panci bertumpuk di meja makan dan kompor bersama cairan kental dan menyengat. Para kecoak yang saling berpesta ria di beberapa sudut bersama remah-remah kotoran tengik. Dua hingga tiga kursi tergeletak tak pada tempat. Seperti habis terjadi bencana alam. Namun, si empu rumah tak merasa risau akan kondisi demikian. Ia pun kembali melenggang pergi meninggalkan bibinya seolah tidak ada siapa pun yang datang berkunjung.

"Grander, Anakku ... kenapa kau menyiksa dirimu sendiri hingga seperti ini?"

Pria itu mengambil sebatang rokok yang tergeletak di undakan menuju lantai dua. Lalu tangan kanannya merogoh saku celana untuk mengambil pematik. Begitu mendapati kegiatan baru kemenakannya, si bibi lekas menyambar pematik sebelum membakar ujung rokoknya.

"Bibi tidak suka kau mulai merokok."

Baru saja si bibi melengos pergi hendak menaruh bungkusan kertas plastik. Terdengar suara kompor menyala. Sedikit gemas ketika kemenakannya yang telah kacau itu mengambil opsi menyulut rokok dengan bara kompor. Tak menunggu waktu berlanjut, bibinya kembali merampas batang rokok itu dan membuangnya ke halaman luar.

"Apa mau bibi?!" sentak Grander yang geram karena kegiatan candunya ditahan.

Si bibi seketika tercekat mendapati balasan tak bersahabat dari mulut Grander. Air mukanya tampak sedih dan perih. Meski begitu, ia menghampiri kemenakannya yang kian tak tersentuh. Ia rengkuh paksa tubuh jangkung nan rapuh itu. Mencoba menebar kasih. Mengembalikan kehangatan yang membekukan hati pria muda itu.

"Kenapa kau menjadi seperti ini, Anakku? Bicaralah, bibi tahu kau begitu terpukul atas kepergiannya namun bukan berarti hidupmu berhenti sampai di sini."

Air muka Grander yang sempat menekuk perlahan mengendur. Ia rangkum balik tubuh sepuh itu. Dan terisak kembali. Bagaimana pun juga ia membutuhkan sandaran untuk menopang dirinya yang sedang rapuh. Teramat rapuh.

"Bukankah kau memiliki wanita tua ini yang selalu ada untukmu. Kenapa kau tak percaya pada bibimu ini, Grander?"

Grander semakin menenggelamkan wajahnya pada bahu si bibi. Tak sanggup berucap untuk menampik.

"Cornelia pasti sedih jika melihatmu seperti ini, Grander. Ini bukan akhir dari segalanya, Sayangku. Cornelia pastinya ingin kau hidup bahagia."

Kini, Grander lebih banyak diam dan menurut. Mendengarkan segala petuah tua itu. Duduk di kursi, sementara bibinya tengah merapikan wilayah dapur sebelum terlanjur dihinggapi kotoran yang menjadi korosif. Tangan sepuh itu pun meracik beberapa sayuran ke dalam panci yang telah ia bersihkan hingga wangi. Dan merebusnya untuk menjadi sup hangat di malam hari. Sesekali ia melirik pada Grander yang masih membisu menatap satu titik semu di meja berkaca. Entah memikirkan apa.

Sup buatan bibinya yang senantiasa menculik hormon laparnya kini tak sanggup melakukannya lagi. Hanya teronggok di depan tanpa ia sentuh sama sekali.

"Grander, kau juga harus makan, Sayang ...." Bibinya menatap prihatin persona yang telah ia rawat sejak kecil. Hingga tumbuh menjadi pria yang mampu mandiri. Namun, kini sosok itu seperti dibanting dari ketinggian menara kayangan. Ia sentuh tangan kusam itu untuk meraup minat Grander.

Seperti tertarik magnet, pria itu mulai mengangkat pandangan. Perlahan tapi pasti, tangan itu meraih sendok sup dan memasukkannya ke dalam mulut.

* * *

Seminggu setelahnya, kondisi Grander berangsur membaik. Terutama psikisnya. Meski terdapat sejumput kemuraman yang masih hinggap di wajah, ia tetap kembali meraih hidup dengan bekerja.

"Selamat pagi, Pak Grander," sapa salah satu rekan kerjanya.

Rekan kerja lainnya cukup simpatik dan pengertian dengan tidak mengusik kehidupannya dahulu. Membiarkan dirinya memiliki waktu sendiri. Seperti berjalan datar ke depan. Tanpa ada Grander yang ramah seperti biasanya. Tanpa ada tegur sapa ceria.

Akan tetapi, di balik kebangkitan semuanya, Grander mulai merodi diri dengan semakin menenggelamkan pada tumpukan pekerjaan. Hingga ia mencampakkan sebagian waktu tidur dan makannya. Dampak porsi kerjanya yang sangat banyak dan berdedikasi tinggi menjadikan dirinya mendapat promosi kenaikan jabatan sebagai kepala penanggung jawab tiap divisi.

Melihat kenalannya tampak kasihan dengan pekerjaannya yang kian membelenggu setelah menerima pengangkatan tanggung jawab yang semakin besar pula, salah satu rekan kerja menawarkan Grander untuk bersenang-senang sejenak. Demi melepas penat yang membekap liat.

"Hei, Grander, tidakkah kita merayakan pengangkatan kau sebagai kepala penanggung jawab kita?"

Grander masih bungkam dengan menyibukkan diri bersama deretan rekap data keuangan dalam satu semester yang hendak ia laporkan pada kepala perusahaan.

"Ayolah, Grander! Kau pantas mendapatkannya," goda rekan lainnya yang mendudukan diri di sudut meja kerja Grander.

"Aku tahu di mana lounge yang sedang ramai dibicarakan akhir musim panas ini. Tapi hei, ini memasuki musim gugur."

"Yeah, tidakkah kau kasihan pada bawahanmu ini, Pak Frost?"

"Bukankah laporan ini dapat kau selesaikan esok harinya?"

Rupanya tawaran menggiurkan itu mampu menarik minat Grander. Berhubung kondisi psikis Grander masih tengah terhimpit kenangan masa lalu dan situasi tanggung jawabnya.

"Kalian benar." Grander mengulas senyum normatif pada bibirnya untuk menyanggupi ajakan.

Tersesat dalam kondisi di mana nafsu telah menguasai relung. Demi menanggalkan kesedihan yang masih memenjarakannya. Bersama candu semu. Teguk demi teguk minuman beralkohol telah membasahi sekaligus membakar kerongkongan. Meningkatkan halusinasi euforia sesaat.

Tawa mereka beriringan bersama dentum musik pop dan jazz. Meracuni pikiran Grander yang telah menghabiskan hampir lima batang rokok. Tanpa ia sadari salah satu rekannya telah menukar sebagian besar rokoknya dengan lintingan berisi serbuk marijuana. Perlahan tapi pasti zat candu itu semakin memikat otak Grander. Meskipun belum terlihat jelas efek candu berkelanjutannya.

Pukul tiga pagi, Grander barulah tiba di kediaman. Dengan kepala yang teramat berat dampak dari halusinogen alkohol. Serta sisa kognisi sebelum melayang ke alam mimpi. Kemudian ia merosot terlelap di samping pintu rumah.

Grander tak menyangka jika kedatangannya di lounge bersama rekan kerjanya juga telah membuat kehidupannya semakin kacau. Pekerjaannya mulai terbengkalai acap kali rekannya semakin menggiringnya menjadi semakin sesat. Tak hanya mengenal dunia malam. Melainkan aktivitas ilegal, salah satunya mengkonsumsi berbagai jenis zat candu. Tak lama kewarasan Grander mulai goyah. Menutup naruni dengan mencoba peruntungan menggelapkan dana perusahaan untuk mengkonsumsi marijuana yang kian memupuk zat candu pada tubuhnya.

Dua bulan lebih sebelas hari terlewati tanpa arti yang berharga. Tiba saatnya kejahatan Grander terendus. Ia pun tengah diadili sepihak oleh pimpinan perusahaan berkat saksi mata dan bukti otentik yang dapat mengirim Grander ke bui.

"Aku sudah bekerja selama delapan tahun di sini. Mana mungkin aku menjatuhkan perusahaan ini begitu saja? Akal-akalan saja perempuan itu! Pasti dia iri padaku!" tukas Grander dengan nada suara getir tak stabil.

"Kau masih mengelak sekalipun kau telah melihat dengan mata kepalamu sendiri? Lihat, rekaman suara dan visual ini! Dan cek yang kau tanda tangani sendiri! Serta dana fantastis dari rekening perusahaan lalu mendarat di rekeningmu!"

Walaupun begitu, Grander tetap menepis segala kemungkinan bersamaan tubuh remuk redamnya. Terlihat keringat dingin yang membasahi tubuhnya di balik setelan formal. Dan lajur napas hangat dampak dari suhu tubuh yang melambung.

"Kami sangat kecewa padamu, Pak Grander. Tidak disangka kau tega melakukan ini pada perusahaan yang telah membesarkan namamu."

"Kau, mulai detik ini kami berhentikan dan silakan tinggalkan perusahaan ini selamanya."

Grander yang tertangkap basah pun akhirnya hanya dapat menelan ludah gelisah. Tanpa membereskan barang, ia lebih memilih menggiring kaki menuju parkir. Di dalam mobil ia meninju setir kemudi berkali-kali hingga timbul rona membiru pada telapak tangannya. Dengan napas memburu ia buka dasbor untuk mengambil zat candu favoritnya yang berganti menjadi butiran ekstasi. Ia tegak lima sekaligus. Mengunyahnya seraya menikmati tiap resapan euforia semu itu.

Tanpa ia sadari hari demi hari dosis yang ia gunakan semakin meningkat. Berbanding terbalik dengan stok ekstasinya kian menipis.

Begitu ia kembali pulang, ia lekas mengemasi barang-barang seperlunya. Termasuk jejak identitasnya. Beserta sisa benda-benda candu kesayangannya. Melarikan diri dari kejaran pihak keamanan yang memburu kejahatannya.

Grander mulai bertindak semakin anarkis. Ia mencuri makanan yang ia butuhkan. Membuka plastik dan memakannya di tempat itu juga.

"Hei, Tuan. Kau tidak boleh mengambilnya! Kau harus membayarnya terlebih dahulu!" Hingga sekuriti memergoki aksi gilanya walau tubuhnya berbalut jaket tebal dan topi untuk menutupi area wajah.

Begitu sekuriti mendekat, Grander justru melaju ke arah pria tua itu. Seketika membekap tubuh sekuriti dengan pisau dapur yang baru saja ia curi juga. Ia tengok sekitar secara gelisah, lalu menyembunyikan mayat itu ke rak tersembunyi di lorong toko peralatan itu. Sayang, aksinya terjaring kamera pengawas. Kendati demikian, mereka tak sempat menjangkau Grander bilamana pria itu telah melenyapkan visibilitasnya sendiri. Sedikit terjadi kehebohan di toko itu di saat saksi mata menjumpai mayat sekuriti dan berteriak. Namun, berkat keriuhan itu membuat Grander mudah melenggang pergi.

Dalam pelarian, ia teringat akan sosok tua spesial di hidupnya.

Bibinya ....

Sejenak ia merutuki tindakan bodohnya.

Sekiranya apa yang bibinya pikirkan jika mengetahui dirinya telah semakin lebur?

* * *

Ia telah berjalan sejauh setengah mil. Sesekali ia hancurkan mesin penjual minuman dingin. Guna meredakan sensasi panas dari efek candu yang mulai membakar tubuhnya. Ia mulai merasa tidak sanggup mengontrol kognisi dan motoriknya secara benar. Namun, ia tetap berjalan. Insting defensifnya membuat dirinya mencuri benda-benda sekitar untuk membuat tetap bertahan hidup. Baik itu makanan atau pun pakaian hangat. Dan topi untuk menutupi identitas wajahnya.

Tibalah ia di seberang jalan. Di mana kediaman bibinya berdiri kokoh.

Sejenak ia merindukan kehangatan yang telah ia sia-siakan.

Grander hanya menghela napas kembali mengingat kenangan pedih itu. Kehilangan istrinya justru membuatnya bermusuhan dengan bibi tercintanya.

Ketika kakinya kembali melaju, ia menyadari ada dua unit mobil polisi yang terparkir rapi di depan rumah bibi. Sisa kewarasannya mengurungkan niat untuk berkunjung. Mundur bersembunyi di balik semak-semak. Tak ingin bibi tercinta terlibat. Cukup dirinya saja yang hancur berkeping-keping. Walau berat rasanya ia memutuskan untuk menghilang dari orang-orang terdekatnya.

Selama tiga hari ia terombang-ambing layaknya tuna wisma. Namun, ia masih ingin tetap bertahan di antara keterpurukannya. Sayangnya perut tak bisa diajak kompromi, sementara dirinya sudah tak memiliki uang sepeser pun. Tentunya, kelaparan mendorong bertindak di luar akal sehatnya.

Di saat pagi buta, terdapat mobil kotak dengan jeruji besi dan kaca anti peluru menepi di gudang bank. Terlihat beberapa petugas keamanan yang hendak mengambil nominal untuk diedarkan pada bank cabang kecilnya. Bersama dua petugas keamanan lengkap dengan rifle-nya.

Di ujung gang sempit, Grander tengah mengawasi mobil kotak kokoh itu. Matanya menjadi hijau dampak dari banyak bungkusan kardus besar yang menyimpan nominal fantastis yang hendak mereka bawa. Bibirnya merajut kernyih tipis dengan berbagai ide eksentrik. Grander melipir ke dinding bersama warga sekitar. Adanya pedangan kaki lima membuatnya dapat menyelubungi aksinya.

Begitu mereka lengah, Grander dengan sigap menduduki kursi kemudi dan lekas memasukkan persneling guna memajukan mobil berisi sangat banyak uang itu. Berkat tindakan nekat tanpa perhitungan, tentu pihak polisi yang tengah berjaga dengan mudah mengejar mobil kotak. Meskipun Grander melaju dengan kecepatan tinggi.

Sirine mobil polisi bersahutan nyaring mengajak mobil polisi lainnya membantu mengejar. Mereka yang terbiasa dengan doktrin protokol lekas menghubungi rekan kepolisiannya di ujung jalan untuk menghadang Grander. Hal itu membuat Grander semakin menjadi-jadi dalam mengemudikan mobil. Tak tanggung-tanggung ia serempet dan tabrak siapa pun yang menutup jalannya. Baik mereka hanya kios kecil pedagang kaki lima maupun pejalan kaki. Melanggar area khusus pejalan dan kios kecil. Termasuk wilayah jalan raya bis-bis kota. Pikirannya telah tenggelam dalam refleks insting bercampur kepanikan. Pemukiman cukup padat itu seketika menjadi runyam atas ulah Grander seorang.

Tak sampai di situ salah satu polisi menebarkan perintah melalui pengeras suara di atas mobil. "Siapa pun yang membawa mobil kotak dengan plat nomor AX999 harap berhenti sekarang juga!"

Namun, Grander masa bodoh dengan itu. Ia tetap melaju tanpa memikirkan apa yang terjadi. Berujung pada penglihatannya yang tak fokus membuatnya tak sanggup menguasai kemudi hingga menuruni jalanan curam. Matanya melebar di saat terdapat anak-anak yang bergerombol di hadapannya. Ia banting kemudi namun tanpa sengaja justru memasuki halaman tempat ibadah seketika menerobos ke dalam. Ia semakin histeris dengan menabrakkan diri di altar pemujaan. Hampir saja pimpinan doa yang tengah mempersiapkan pemujaan tertabrak jika Grander tak membelokkan setir ke sisi dinding beton.

Dan pengejaran polisi berakhir sampai di situ. Para polisi telah siaga dengan pistolnya masing-masing.

"Anda telah dikepung sekarang! Harap Anda keluar dengan kedua tangan di atas sekarang juga!"

Tampaknya tak ada tanda-tanda Grander melawan. Ia perlahan turun dari mobil dengan langkah lunglai. Pikirnya, ia sia-sia melakukan segala hal konyol itu. Untuk apa melarikan diri. Toh sudah tak berarti lagi hidupnya.

Debu asap dinding yang sebagian patah membuat mereka tak kunjung menjangkau sosok Grander.

Tak lama Grander berjalan dan berdiri di hadapan semua polisi dan jemaat lainnya yang ketakutan. Akan tetapi salah satu polisi tiba-tiba menembakkan pistolnya hingga mengenai bahu Grander. Desing proyektil membuat keadaan genting menjadi senyap bersamaan tubuh Grander yang terhempas ke lantai.

Sesaat, mata Grander berlabuh pada patung suci berwajah syahdu di atasnya. Sejenak ia memikirkan kematian berujung sepasang mata itu terkatup rapat bersama hilangnya kesadaran.

* * *

Walaupun Grander merupakan pengguna murni zat candu bukan pengedar namun berkat kejahatannya yang berlapis, ia dipenjara minimal 18 tahun hingga seumur hidup.

Ia dapat melihat bibinya menangis tersedu di saat dirinya diadili seadil-adilnya di meja hijau.

"Sudahlah, Bibi. Aku pantas menerimanya."

Bibinya terus mendekap tubuh Grander seolah enggan untuk melepasnya hingga petugas memaksanya berpisah.

Hari itu adalah terakhir kalinya Grander melihat bibinya. Untuk sementara, Grander diisolasi ke dalam penjara khusus dengan kejahatan luar biasa. Dan itu terletak di luar Kota Luxyr. Sangat jauh hingga bibinya tak memungkinkan dapat berkunjung seseringnya.

Setidaknya hal itu setimpal, menurut Grander.

Sendiri ... itu yang saat ini Grander rasakan. Dingin dan kokohnya tembok beton bui cukup membuatnya berpikir ulang jika ingin melarikan diri. Ia mendapat pelajaran berharga di saat dipenjara dan sanksi sosial yang menghantam batinnya.

"Maafkan aku Cornelia ... kau pasti sangat kecewa padaku sekarang ...."

Mendekam dalam penjara juga mendapatkan perawatan khusus untuk membantunya sembuh dari ketergantungan zat adiktif tersebut. Perlahan tapi pasti, berkat kedatangan bibinya yang selalu memotivasi setahun setelah ia mendapat izin menerima tamu.

Melihat bibinya yang semakin sepuh, membuat Grander semakin merasa bersalah. Wanita sepuh itu selalu menggunakan uang pensiun mendiang suami hanya untuk mengunjungi Grander. Yang memakan biaya cukup banyak. Hal itulah yang membuat hati Grander tersentil kuat untuk mengubah sikap.

Hingga tiba di tahun ketujuh, Grander mendapat berita mengejutkan. Setelah membaca secarik surat itu, air matanya kembali berlinang deras. Bibinya yang sudah terlalu sepuh pada akhirnya istirahat untuk selamanya. Satu-satunya sosok yang selalu menemaninya, kini akhirnya meninggalkannya sendirian.

Lagi-lagi sendiri menjadi teman abadinya. Namun, apa yang dirasakan saat itu berbeda dengan kehampaan hati ketika kehilangan Cornelia. Ia pun bertekad bahwa kematian bibinya tidaklah sia-sia. Ia ingin membuat bibinya bangga. Sosok penyayang dan perhatian yang telah mengasuhnya sejak kecil.

Namun seiring waktu berlalu, Grander kembali rapuh dan jatuh. Kesedihannya semakin menjadi-jadi. Ia pun kembali patah asa. Mengingat masa hukumannya masih sangatlah lama. Harapannya sirna di usianya yang kian menua.

Kendati demikian, menjalani hidup jemu di bui justru mengajarkan banyak hal yang berharga untuk selalu bersyukur. Pikirannya mulai mengelola secara matang dan rasional. Bahwa hidup di penjara bukanlah hal yang buruk. Dijatuhkan justru membuatnya harus menjadi kuat.

Tak terasa hampir lima belas tahun ia dipenjara, kelakuan baiknya menambah poin menguntungkan untuk mempersingkat hukuman. Ia mendapat remisi masa tahanan. Lalu dibebaskan dengan masa pengawasan selama setahun. Ia sangat terkejut di saat dirinya merasa tidak pantas hidup dan diterima masyarakat.

Rupanya, ia diberi kesempatan kedua untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Begitu keluar dari penjara, tak lantas membuatnya benar-benar bebas. Ia ditunjuk untuk melakukan pekerjaan sosial meskipun pekerjaan itu cukup rendahan bagi sebagian orang. Yaitu menjadi tukang pengangkat sampah antarkota.

Setidaknya ia bersyukur daripada tidak memiliki pekerjaan sama sekali.

Kini, ia memulainya kembali dari nol. Mencoba mengambil kesempatan kedua untuk memperbaiki diri. Dengan melayani masyarakat. Membuat jalanan kota bersih.

Ia bersama temannya tengah mengemudikan truk sampah. Mengumpulkan sampah-sampah jalanan. Untuk didaur ulang.

Pagi-pagi sekali ia bekerja dengan gesit mengambil tong sampai lalu memasukkannya ke dalam kantong truk sampahnya. Bergilir tiap sudut jalan. Suatu ketika ia tak sengaja menjala sosok yang kesulitan membawa seember berisi bunga-bunga potong segar yang tampak baru saja dipetik. Hendak memasuki sebuah kios kecil. Merasa kasihan ia pun bantu membawakannya.

"Mari kubantu angkat, Nona."

"Eh? Maaf merepotkan. Terima kasih, T-tuan?" sahutnya meragu.

Namun tak disangka, Grander dikejutkan bahwa perempuan itu tuna netra. Tampak dari tangan kanan yang meraba-raba tiang tenda kios dan tangan kirinya yang mengentak-entakkan tongkat ke trotoar. Sementara arah pandangnya seolah kosong lurus ke depan.

Tak mendengar suara yang menyahut, perempuan itu menjadi bingung kemudian berucap, "T-tuan?"

"Ma-maaf, kau ...."

Bukannya tersinggung, perempuan itu justru menyemai senyum hangat. "Iya, saya buta. Maaf, karena saya telah merepotkan tuan. Tapi terima kasih telah membatu saya membawakan ember-ember bunga ini."

Sejenak napas Grander membeku. Dirinya merasa sangat malu dengan apa yang ada di hadapannya. Seorang perempuan buta penjual bunga. Hanya sebatas kemampuan penciuman dan rabanya, ia menjual bunga pilihan konsumen. Ia berjuang gigih seolah keterbatasannya bukanlah halangan.

Hati Grander terenyuh acap kali menjumpai perempuan itu tetap semangat menjual bunga-bunga segarnya walau beberapa pelanggan mencuranginya.

Sementara dirinya yang memiliki segalanya mengapa kurang gigih memperjuangkannya? Jatuh sebentar membuatnya buta dan tersesat meskipun tahu itu bukanlah hal baik.

Ia pun melihat anak-anak kekurangan sekitar yang berlarian ceria. Beberapa di antara mereka pun turut membantu perempuan buta itu berjualan dan mengejek pembeli yang berbuat curang saat membeli. Mereka lebih kekurangan namun tetap berjuang dan mendukung satu sama lain untuk hidup yang lebih baik.

Grander pun menyadari bahwa, menjadikannya tukang pengangkut sampah membuatnya belajar di sekitar bahwa hidup itu harus diperjuangkan meskipun kegagalan dan hambatan selalu menghadang. Pria baya itu menjadi lebih sering mengunjungi altar pemujaan untuk berucap syukur atas berkah dan nikmat yang ia terima. Meskipun itu hanya setetes embun.

"Tuan, datang lagi? Ada bunga yang ingin tuan pilih?"

Grander tersenyum. Setelah sekian lama ia tak lagi merajut senyum, membuat bibirnya bergetar untuk mengulas senyuman sederhana itu.

"Dapatkah kau pilihkan tulip putih dan kuning untukku?" Perlahan tapi pasti hati Grander mulai memperoleh kehangatan yang sempat sirna. Walaupun ia belum menyadari sepenuhnya. Kedamaian yang sempat hilang telah kembali menyapu kalbu.

Kini di hadapan pusara Cornelia, Grander membawakan dua tangkai tulip putih dan kuning yang ia beli dari kios bunga perempuan buta itu. Berdoa dan sesekali menitikkan air mata.

"Sudah lama aku tidak melihatmu, Cornelia. Apa kabarmu di sana? Aku harap kau selalu damai dan bahagia di sana." Grander bercangkung dan tangannya mengusap batu pusara berujung tanah basah itu. "Aku kini mengerti kenapa kau lebih dulu diambil oleh Di Atas. Untuk menguji seberapa pantaskah aku menjadi manusia yang benar-benar bernilai."

Seusai berdoa dan mencurahkan isi hati, Grander berdiri untuk kembali pulang. Di saat berbalik kedua matanya melebar melihat seorang wanita lansia familier dengan kursi roda menghampirinya.

"Gr-grander?!"

"I-ibu?"

Rasa terkejutnya belumlah selesai namun wanita lansia itu menarik tubuh jangkung Grander dan memeluknya erat. Tak di sangka ia berjumpa dengan ibu mertuanya. Setelah belasan tahun lamanya.

"Maafkan ibu, Anakku .... Maafkan kami yang telah menolakmu .... Bagaimanapun kau tetap anak kami ...."

Tangis mereka pecah bersama endapan rindu yang tersampaikan.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro