History

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

HISTORY
KagayakiMiHa

Song: One Direction – History
Genre: Romance

_–_–_

“Kurasa, hubungan ini harus berakhir.”

Aku terdiam. Menaruh kembali cangkir kopi yang tadi kuminum dan bertanya pelan, “A-apa maksudmu?”

“Kurasa sudah jelas.” Ia memalingkan wajahnya. Menatap datar rintik hujan. “Aku ingin hubungan ini berakhir.”

Aku membelalakkan mataku. Mengeratkan tangan pada tepi gaun biru tua selutut ini dan mengatur napas. “Kenapa?” Aku bertanya dengan nada bergetar, menengadahkan wajahku yang sempat tertunduk dan ... tidak. Air mataku jatuh. "Kenapa kau ingin hubungan ini berakhir?"

Ia tetap menatap rintik hujan. Mengembuskan napas dan menjawab, "Kurasa kita tidak lagi cocok. Dan mungkin, keputusan ini yang terba--"

"Setelah sembilan tahun kita bersama?" Aku sedikit membentak lalu bersandar pada sofa cafe ini, berusaha meredam emosi yang perlahan mencuat. "Aku tak mengerti, dan mungkin akan selamanya seperti itu. Kita sudah bersama sejauh ini, kita sudah melewati berbagai rintangan yang menghalangi. Lalu apa?" Aku mengembuskan napas lirih. "Kau dengan mudahnya berkata kita tidak lagi cocok dan mengakhirinya, begitu?"

Ia mengangguk.

Aku tertawa tertahan. Memalingkan wajahku kepada hujan, sosok yang sedari tadi ia pandang. "Aku tidak bisa menerimanya. Jangan berharap aku akan berkata 'ya' lalu dengan mudah melupakan semuanya."

"Lalu apa yang kau inginkan?" Hening sejenak. "Aku pun tidak bisa memberimu harapan bahwa hubungan ini akan bertahan."

Aku menggigit bibir. Menghapus kasar air mata yang kini mengalir. "Aku hanya ingin bersamamu. Apakah itu berlebihan?"

"Sebenarnya tidak." Ia meraih wajahku, membuatku menatap kedua mata teduhnya. Mata cokelat madu yang biasanya menatapku dengan bahagia. "Tapi, apakah kau ingin hidup dalam kebohongan? Apakah kau ingin aku berpura-pura mencintaimu?" tanyanya datar.

Aku menggigit bibirku lagi. Menggeleng pelan, lalu tertunduk dalam.

"Lihat?" Ia melepaskan kedua tangannya yang hangat dari kedua pipiku. "Kurasa ini memang yang terbaik, dan kuharap kau bisa menerimanya."

Aku terisak. Ia kembali memalingkan wajahnya.

Oh, sungguh. Haruskah hubungan ini berakhir seperti ini? Setelah sembilan tahun kami bersama. Setelah ribuan rintangan dan kesulitan yang kami hadapi. Ia meminta hubungan ini berakhir hanya karena tidak cocok?

Bagaimana mungkin aku menerimanya?

Bagaimana mungkin aku menghapus jutaan kenangan yang kami ukir bersama?

Kupikir kami memilikinya. Memiliki sebuah fondasi kuat yang akan memperkukuh hubungan ini. Sebuah ikatan kuat yang akan selalu mengikat kami bersama.

Lalu apa ini?

Apa yang kudapatkan setelah berjuang selama ini? Sebuah akhir tidak bahagia?

Aku tertawa lirih. Membiarkan suaraku menggema di dalam cafe dengan kami sebagai pengunjung satu-satunya.

"Sudah kubilang, aku tidak akan berkata 'ya' untukmu," ucapku yang membuatnya sontak menatapku terkejut. "Perasaanku kepadamu sudah tertancap dalam. Kau tidak mungkin mencabutnya. Bahkan, waktu pun tidak bisa membuatnya menghilang.

"Kenangan bersamamu selama ini pun tidak akan bisa pudar. Jika aku ingin melupakannya, berarti aku harus menghapus ingatanku selama sembilan tahun. Membiarkan sembilan dari 25 tahun kehidupanku ini terisi oleh kehampaan."

"Viona ...."

"Dengar, dengan ini kurasa kau tidak perlu meminta persetujuanku lagi. Kuharap kaupaham." Aku tertunduk. Menautkan kedua jemariku sembari menghirup napas dalam. "Silakan pergi jika kaumau," ujarku pelan.

Ia pun berdeham dan aku tidak mau melihat lagi wajahnya. Sudah cukup, aku akan menahan diri untuk tidak menengadahkan wajahku, menatapnya dengan berurai air mata, dan berkata bahwa kalimat terakhir tadi adalah kebohongan.

"Terima kasih. Biarkan aku yang membayar makan malam ini." Hening sejenak. "Maafkan aku, Viona."

Setelah berkata itu, aku mendengar langkah kakinya perlahan mulai menjauh. Meninggalkanku. Memburaikan hatiku.

Saat ini, hatiku sangat hancur dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Kupikir kami akan kuat.

Kupikir kami akan selalu menggenggam satu sama lain.

Aku menengadah. Memandang sendu hujan yang turun malam ini.

Benar kata pepatah. Ketika hujan turun, maka sejuta kenangan akan kembali terputar. Mengukir senyuman, atau mungkin memahat kesedihan.

Itulah yang kurasakan. Memori tentang kami terputar jelas dan aku menikmatinya sembari tersenyum.

Sembilan tahun lalu, ketika seorang remaja lelaki yang manis mengungkapkan perasaannya padaku dengan sembilan surat yang ia tulis sendiri. Aku masih ingat, tulisannya tidak rapi sama sekali, tapi aku dapat melihat kesungguhannya. Setiap rangkai kata di sana berisi tentang ketulusan, tentang kejujuran ... dari sosoknya yang masih berumur enam belas tahun.

Dan akhirnya aku menerimanya. Ia pun tersenyum senang, berlarian keliling sekolah dan menimbulkan keributan yang tak akan pernah kulupakan.

Hubungan kami pun berjalan tanpa halangan berarti selama tiga tahun. Sebenarnya ada beberapa halangan yang membuat kami bertengkar cukup hebat. Namun, akhirnya kami dapat melewati itu semua karena saling percaya.

Kemudian, tibalah hari kelulusan dan di situlah rintangan terberat yang harus kami jalani.

Ya, ia memutuskan untuk kuliah di luar negeri. Hal yang wajar karena ia adalah salah satu siswa terbaik yang mendapatkan beasiswa di universitas ternama di Inggris.

Aku ingat hari itu. Hari di mana aku menangis dan ia pun terlihat sedih. Namun, ia meyakinkanku. Meyakinkan bahwa hubungan ini akan bertahan walau sejauh apa pun jarak yang memisahkan kami.

Aku pun mengangguk. Lalu senyuman terukir di bibir kami.

Setelah empat tahun memendam rindu, akhirnya ia pulang. Aku menunggu selama lima jam di bandara dan terkejut bukan main ketika melihatnya yang sudah jauh lebih tampan dari empat tahun silam.

Ia jauh lebih tinggi, tapi senyumannya yang mirip anak kecil itu masih tersungging di bibirnya.

Lalu setelah itu, kami pun menjalani hubungan ini selama dua tahun dan akhirnya harus pupus sampai di sini.

Sungguh, memori indah yang tak bisa kulupakan. Tapi menyakitkan untuk dikenang.

Aku pun tersenyum kala hujan ini mereda. Menghapus jejak air mataku yang rupanya telah mengering entah sejak kapan dan menghirup aroma tanah sehabis hujan yang kusukai.

Sembilan tahun.

Kurasa aku dapat menerima kenyataan ini--semoga saja. Kenangan kami akan selalu menemani hari-hariku dan aku akan hidup di atasnya. Berjalan perlahan, mencoba bertemu dengan hidup baru.

Aku pun bangkit dan menepuk gaunku beberapa kali. Mengembuskan napas dan mulai melangkah untuk meninggalkan cafe ini.

Tapi di ambang pintu, listrik di cafe ini tiba-tiba padam. Membuatku menggerutu karena gelap yang tiba-tiba menyergapku. Namun, sebuah suara--tidak, nyanyian--itu membuyarkan konsentrasiku.

Aku berbalik, merasakan sumber suara itu di belakangku. Seketika, kegelapan itu beralih menjadi terang kembali. Memperlihatkan sosok yang tadi meninggalkanku bersama dengan orang-orang terdekat kami di belakangnya yang sedang memegang lilin--sumber penerangan saat ini.

Aku pun terdiam. Membekap mulut dan membiarkan air mataku berjatuhan. Semua orang di sana menatapku tersenyum, terutama pria itu. Ia menyunggingkan senyum khas anak-anaknya. Memangku sebuah gitar dan memetiknya perlahan. Menciptakan alunan musik yang tenang dengan suaranya yang cukup merdu itu.

"You and me got a whole lot of history
We could be the greatest thing that the world has ever seen
You and me got a whole lot of history
So don't let it go, we can make some more, we can live forever

So don't let me go
So don't let me go
We can live forever
Baby don't you know
Baby don't you know
We can live forever."

Ia menghentikan nyanyiannya. Menyerahkan gitar itu ke adik laki-lakiku, kemudian berjalan dan berlutut di hadapanku.

"Viona, kurasa hubungan ini harus berakhir," ucapnya sembari tersenyum lebar.

Aku membelalakkan mataku. Namun, ketika ia mengeluarkan sebuah kotak dengan cincin berlian dari saku jasnya, aku mengerti maksudnya. Aku mengerti arah pembicaraan ini.

"Kurasa hubungan bernama pacaran ini harus berakhir dan ...," ia terdiam sejenak, kulihat wajahnya yang gugup dan aku pun tertawa pelan, "ma ... maukah kau mengubah hubungan ini menjadi lebih baik? Maukah kau hidup bersamaku selamanya?"

Aku sudah mengangguk sedari tadi. Namun, sepertinya ia ingin menyelesaikan kata-kata yang mungkin sudah ia siapkan sedari dulu.

"Viona.” Ia mengembuskan napas perlahan. “Maukah kau menjadi istriku?"

Wajahnya bersemu merah, tapi suaranya terdengar mantap. Tidak ada keraguan di sana, dan matanya menyiratkan ketulusan yang selalu kulihat.

"Iya, Daniel." Aku tersenyum lebar. "Aku bersedia."

_–_–_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro