Ibu Terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Songlit : Andmesh-Hanya Rindu.
Oleh :Tafansa

Lembayung senja terbenam perlahan, meninggalkan dunia dan menyisakan kenangan. Dapat kuingat dengan jelas wajahnya tatkala foto itu terpampang di layar ponsel.

Wajah wanita yang menurutku cantik, raut wajah dengan senyum memesona yang selalu kusuka. Seorang wanita tegar nan hebat yang telah mendampingiku selama belasan tahun, kini hanya bisa kulihat dari kertas kaku penuh warna.

Andai waktu dapat kuulang. Namun, takdir tetaplah takdir, ketentuan-Nya telah diatur. Sebenarnya aku dapat kembali ke masa lalu, tetapi hanya dalam bentuk kenangan tempo dulu, tidak dengan raga. Diri ini hanya bisa membawa pikiran ke ruang nostalgia ....

Satu bulan yang lalu ....

"Tio," panggil wanita berkulit sedikit keriput.

Tentu aku menoleh, menatap pahlawan di hidupku. Senyumnya sungguh menenangkan raga, membuat aku bahagia. Menarik napas panjang ....

Andai dia bukan ibuku.

Wanita yang kini aku tatap adalah ibuku, sosok yang telah melahirkan dan merawatku selama belasan tahun. Perhatian yang telah dia berikan melebihi sepanjang masa, amat tidak terhingga.

"Belum tua tetapi sudah pikun, kamu pakai sepatu tapi lupa mengenakan tali sepatu," ucap Imelda—ibuku, seraya jari telunjuk mengacung ke bawah.

Sontak aku menoleh ke sepatu, wajah datar seketika terukir. Bodohnya aku. "Sepatu ini kan, menggunakan perekat, tidak bertali."

Ibuku tertawa, pemandangan yang semakin indah di kala dia bahagia. Wanita yang sudah berumur itu mendekat, tangan mengelus lembut kepalaku seraya berkata, "Sudah sana berangkat, sekolah yang benar."

---<0>---

Kembali di waktu sekarang, di mana aku masih termenung di ujung kasur, ketika air mata mengalir membasahi pipi. Hancur hati ini melihat semua gambar diri.

"Ibu ... kuingin saat ini engkau ada di sini," ucapku lirih diiringi tangis.

Isak tangis kian menjadi, hati kian teriris. Dari lubuk hati terdalam, aku ingin sampaikan kepada Tuhan. "Walau hanya sebentar, aku mohon kabulkanlah."

Segala cara telah aku coba untuk hidup tanpa kehadiran sosok ibu, meski selalu berakhir nihil, selalu tiada hasil. Sulit kuhapus kenangan bersamanya, justru kini semakin melekat.

Aku mohon Tuhan! Hanya sebentar ... aku ingin bertemu pahlawan yang telah membesarkan pemuda lemah ini. Aku payah Tuhan, tanpa ibu aku tidak berdaya.

Maafkan aku, Ibu. Anakmu tidak seperti yang diharapkan, tidak kuat seperti yang kamu ingingkan. Tanpa daya meringkuk di pojok kamar, bukan hanya itu, anakmu sedang menangis!

Tio hanya tidak bisa menerima kenyataan tatkala kamu harus pergi, padahal kala itu anakmu ini bisa saja menghentikan kematianmu. Seharusnya aku yang mati!

Tanganku gemetar mengingat detik-detik sebelum ibu meninggal, pisau tertancap merusak kulit dan daging, darah mengalir dengan deras dari tubuh. Seharusnya aku yang mati!

Aku ingat ketika tubuh ibu menggeliat kesakitan, lalu berakhir dengan sebuah hentakan di kala sakaratul maut berakhir. Kenapa bukan aku yang mati?

Andai pisau itu tertancap di tubuhku bukan di perutmu, pasti sekarang kita masih bisa bercanda dan tertawa bersama. Seharusnya pemuda hina ini yang mati!

Jika saja saat itu kamu tidak menolak cintaku, Ibu! Andai saja! Pasti kamu masih berada di sini.

Maafkan aku, Ibu. Telah menyusahkanmu, sudah membuat repot akan tingkahku. Maafkan aku banyak menyakitimu, termasuk rasa sakit dari pisau yang tertancap di perutmu kala itu.

Sungguh kini aku menyesal. Bukannya aku tidak menerima kenyataan ....

"Aku hanya rindu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro