Pecundang Yang Sesungguhnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku melihatnya. Pria gendut pendek berkulit kecoklatan dengan tatanan rambut layaknya pria tahun sembilan puluhan. Dia memakai pakaian dinas dengan kepala yang sedikit dia angkatkan keatas layaknya seorang penguasa. Dia menghampiri seorang gadis. Gadis itu Mita sahabatku!

Senyum diwajahnya semakin melebar, kekehan darinya pun terdengar menyeramkan. 'Bukankah tidak ada yang berani melawanku, aku bisa berbuat apapun yang kumau' kalimat itulah kira-kira yang bisa kutangkap dari senyum yang ada diwajah kecoklatan guru itu. Dan kemudian senyum meremehkan diwajah pria gendut itu  memudar tergantikan dengan wajah garangnya yang benar-benar terlihat menakutkan bagi murid yang ada dalam kelas itu.

Meja didepan Mita tiba-tiba dipukul dengan kerasnya. Rasa kaget para penghuni kelas sangat terlihat. Pandangan semua teman-teman sekelas ku tertuju pada guru garang tersebut. Kebiasaan, pikir ku. Pria yang mereka anggap guru tersebut kadang kala suka semena-mena, seperti menarik rambut teman ku yang tidak memperhatikannya saat bicara di depan kelas, menampar murid yang melakukan hal diluar kehendaknya atau mencela sesuatu yang tidak sesuai dengan perintahnya.

Pria tua ini pun begitu mesum.Terlihat dari apa yang sering diucapkan disela-sela kemarahannya dan juga saat-saat yang dia sebut bercanda. Apa yang dilakukannya tak mempedulikan baik buruknya bagi orang yang menerima tindakan kejamnya itu. Dan alasannya karena dia seorang guru. Bukankah seorang guru seharusnya mencontohkan kebaikan, pikirku.

"Dimana tugas yang ku berikan minggu lalu?" Guru itu bertanya pada Mita dengan tatapan seperti monster yang ingin melahap mangsanya.

Guru bertubuh gemuk itu kembali memukul meja dengan begitu kerasnya. "Hei, bodoh apa kau tidak dengar apa yang ku katakan. Apa kau bisu sampai-sampai tidak bisa menjawab pertanyaanku?!" Teriaknya sambil menatap bengis gadis berkacamata yang ku sebut sahabat ku itu, yang ada tepat ada dihadapannya. Sekarang aku benar-benar kasihan pada Mita.

"Sa-sa-saya lupa pak, maaf." Jawab Mita dengan terbata-bata.

"Lupa kau bilang!! Kau tidak pernah lupa membawa kedua telingamu itu, tapi kau lupa membuat tugas dariku! Kau tidak tahu diri, bagaimana mungkin kau tidak membuat tugas yang ku berikan. Kau seperti memandang rendah diriku. Kau pikir siapa dirimu. Kau hanya murid sialan bodoh, tidak tau malu." Bentak guru berseragam itu dengan wajah yang terkesan galak dan mengerikan. Guru tersebut terus saja mengomeli teman ku itu dengan kata-kata pedasnya yang sudah diluar batas.

Sungguh, aku tidak terima dengan apa yang diucapkan pria dengan wajah garang itu. Ini keterlaluan. Aku tau teman ku--gadis berkacamata itu salah karena tidak membuat tugas yang dia berikan. Tapi tidak seharusnya dia menyatakan hal rendah tersebut. Dia tidak punya hak mencela temanku, meskipun dia seorang guru.

BUKKK

Suara dobrakan meja yang ku lakukan tadi cukup membuat perhatian para penghuni kelas beserta guru garang itu tertuju kepada ku. Aku tau ini sangat tidak sopan, tapi perlakuan guru garang itu tidak dapat ditoleransi lagi, menurutku. Apa yang dia lakukan itu tidak benar.

"Cukup! Bapak tidak seharusnya menyatakan itu padanya. Bapak pikir Bapak siapa berani berucap kasar dan melakukan perbuatan seenak Bapak. Bapak menyatakan dia tidak tahu diri, tapi nyatanya Bapaklah yang keterlaluan. Bapak menafsirkan diri Bapak sebagai sosok malaikat, tapi nyatanya sebaliknya. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia, jangan terlalu memposisikan diri bapak sebagai manusia yang tidak memiliki dosa. Bapak hanya berani menyatakan ini pada kami, bagaimana jika bapak menyatakan apa yang bapak nyatakan ini pada wali murid atau kepala sekolah? Bapak tidak berani bukan. Itu menyimpulkan jika Bapak adalah seorang pecundang, pengecut yang beraninya menindas yang lemah." Entah kekuatan dari mana yang tiba-tiba merasuk dalam diriku. Uneg-uneg ku keluar begitu saja bagai kentut yang tak dapat ditahan.

Jantungku masih berdegub kencang setelah apa yang ku lakukan, menumpahkan semua kekesalan yang telah lama ku simpan langsung kepada orangnya. Sumpah serapah ku kepada orang yang ku anggap pecundang yang telah menyakiti teman ku cukup membuat bapak terdiam sambil menahan emosi yang mendalam kepada muridnya yang berani berkata kurang ajar padanya, yakni diriku. Senyum kelegaan terlukis di wajah ku. Aku merasa senang dan menang dari ketakutanku yang selama beberapa bulan ku pendam ini. Aku benar-benar merasa bahagia saat ini.

Namun waktu bagaikan berjalan mundur kembali dimana saat aku hanya bisa duduk menatap teman ku yang masih dimarahi oleh guru itu. Menatap drama kehidupan yang tak ku sukai ini. Nyatanya aku terlalu jauh berkhayal tentang apa yang akan ku lakukan tanpa berani sedikitpun melakukan sesuatu terhadap perilaku seseorang yang ku anggap salah. Aku tidak membela teman ku sama sekali, lebih tepatnya tidak bereaksi apa-apa ketika temanku di sakiti begitu kasarnya. Aku tidak melakukan apapun saat pria yang ku sebut guru itu melakukan hal yang keterlaluan. Aku hanya diam ditempat saat guru itu melakukan kekerasan fisik yang begitu keterlaluan dan melewati batas. Sungguh sangat melewati batas, pikirku.

Aku meringis. Aku merasa apa yang diperbuat guru itu tidak pantas dilakukan. Aku merasa dia terlalu semena-mena. Aku merasa dia tak pantas disebut seorang guru yang seharusnya memotivasi murid-muridnya. Aku merasa... ah. Bahkan aku tidak pantas menilai dirinya, memaki dia yang ku anggap pengecut. Tapi nyatanya akulah yang pengecut. Aku diam saat dia melakukan semua itu, ketidak benaran itu.

Aku tersenyum kecut, berpikir tentang apa yang seharusnya ku lakukan namun tidak ku lakukan sama sekali. Nyatanya aku hanya seorang penonton yang tak punya keberanian membela apa yang seharusnya ku perbuat. Dan yang lebih menyesakkan, aku membiarkan ketidakadilan yang dialami oleh teman-teman ku dan juga diriku terjadi begitu saja, tanpa ada pembelaan yang dilakukan oleh diriku yang mengetahui apa yang terjadi, ketidakbenaran serta ketidaksukaan yang ku pendam ini. Pria gendut dengan perlakuan kasarnya, dia seorang pengecut. Dia melakukan hal yang semena-mena pada orang yang tidak berdaya. Dia menyerang orang-orang dengan berlebihan dan tidak tahu diri. Dia telah melewati batas. Dia benar-benar pengecut, pecundang tidak tahu malu, pikirku.

Tapi keadaan menyatakan diriku seorang pengecut. Tidak punya kebenarian. Nyatanya akulah pecundang yang sesungguhnya.

***


theWWG
Motivasi saya:
Ingin mendapatkan ilmu menulis, mendapat berbagai tips kepenulisan, benar-benar mempelajari ilmu kepenulisan juga menjadikan tulisan saya lebih bermanfaat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro