Fee-ka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

A moment to slow down and appreciate the good things in life

_______

      Berdiri beberapa meter di atas tanah, menikmati sungguhan atap-atap yang diselingi pepohonan dan tanaman hias, disejukkan semilir angin senja yang mulai menampakan keemasannya pada garis horizontal di depan sana. Denaya, gadis yang rambutnya diikat satu menyandarkan diri pada tiang balkon lantai dua rumahnya, menumpukan wajah pada satu tangan, memakukan matanya mengamati keindahan warna senja dan cerahnya langit. Angin yang berhembus dingin memberikan keteduhan pada hatinya. Dia sangat menikmati itu, ditambah alunan instrumen piano yang dia temukan di platfrom Youtube.

      Di belakang tubuh gadis itu, di depan jejeran tanaman sukulen dan bunga anggrek, tergeletak pisau sculpture yang tipis dan tajam, juga secangkir minuman berwarna biru pekat yang terbuat dari bunga telang. Denaya membalikkan tubuhnya, menatap lama dua benda di atas meja di samping sofa single hitam yang selalu dia duduki.

      Apa yang terjadi setelah kematian? Aku bukan membicarakan tentang kenampakan di akhirat, aku membicarakan mereka yang masih hidup di bumi. Jika membahas kehidupan setelah kematian, sudah banyak ayat yang menjelaskan itu. Aku penasaran setelah seseorang meninggal, apakah arwahnya benar-benar masih ada di bumi selama empat puluh atau seratus hari kematiannya seperti kata orang? Bisakah si Arwah melihat siapa yang menangisi dan siapa yang bersyukur atas kepergiannya dari atas?

      Pikirannya enggan berhenti melontarkan pertanyaan.  
  
      Bermenit-menit lamanya Denaya memandang pisau sculpture. Membayangkan ujung runcingnya menembus kulit, kemudian ditarik hingga membentuk segaris darah yang perlahan mengalir. Menyakitkan tentu saja, tetapi bagi sebagian orang itu menyenangkan dan menghidupkan jiwa yang mati.

      “Woy!”

      Panggilan itu berasal dari seberang rumahnya. Denaya kembali menyandarkan tubuh pada tiang balkon, melambaikan tangan pada sosok laki-laki di balik jendela kamar. Anak itu memasukkan diri ke dalam kamar, lalu muncul di balkon rumahnya, sama-sama saling bertukar pandang tanpa ada bingkai yang menghalangi. Laki-laki itu melirik ke belakang tubuh Denaya.

      “Masih mau bunuh diri?”

      Denaya menggeleng sambil tersenyum. Paling nggak untuk saat ini, batinnya.

      “Mau temenin di rumah, nggak? Sepi, nih!” teriak Denaya.

      “Jangan pernah nanya kayak gini ke cowok lain, tanggapan mereka pasti beda,” ujar laki-laki itu, “tunggu sebentar, gua ke sana sekalian anterin kue buatan nyokap.”

      Laki-laki itu kembali masuk ke dalam rumah. Denaya harus segera menyambut tamu undangannya. Gelas berisi minuman sari bunga telang dia bawa serta ke dalam, meninggalkan pisau sculpture dan kekacauan tanah liat yang berada di lantai. Niatnya menyelesaikan gantungan kunci hari ini juga menghilang, berkutat dua jam lebih membentuk sebuah daun membuat tubuhnya butuh sedikit perenggangan dan mengistirahatkan otak sejenak. Lagi pula, hari sebentar lagi malam. Dia akan melanjutkannya besok.

      Di ruang tamu, segelas Cappucinno dengan granula yang dibentuk menyerupai orang tersenyum disuguhkan untuk si tamu undangan yang sedang menutup pagar. Dari pantulan kaca terlihat seloyang kue di tangan kiri tamu tersebut. Denaya meletakkan minuman yang dia buat berseberangan dengan gelas miliknya yang sudah meneteskan embun dari es batu yang mulai mencair.

      Gavin, laki-laki berambut gondrong yang mengikat setengah rambut dan membiarkan beberapa helai rambut pada sisi sampingnya bergelantungan datang meletakkan seloyang kue yang di atasnya berisi lelehan keju menutupi seluruh permukaan kue. Laki-laki yang sudah Denaya kenal sejak kecil langsung menyesap minuman yang dia buat.

      “Nyokap buatin kue khusus buat lu, tuh.” Gavin tampak acuh memberitahu, dia sibuk bermain game, sedangkan Denaya seperti biasa memilih membaca Webtoon.

      Tidak banyak pembicaraan yang terbuka pada menit awal bertamu, selalu begitu. Menunggu Gavin menyelesaikan satu atau dua ronde permainan, barulah laki-laki itu akan menurunkan HP-nya, tetapi hal itu tidak berlaku bagi Denaya. Dia akan merasa aneh jika tidak melakukan apapun. Dia tidak mau pertanyaan-pertanyaan menguras pikiran merasuki otaknya bila tidak menyibukkan diri.

      “Gua nggak tahu harus bersyukur atau nggak,” Denaya melirik Gavin. Sepertinya belum ada satu ronde permainan, tumben sekali anak itu sudah buka suara.

      “Kenapa?”

      “Gua hampir kehilangan lu,” Manik Denaya mencari celah guyonan dari laki-laki yang enggan mengenyahkan pandangannya dari layar HP. Tidak ada. “Hari itu, yang gua lihat cuma raga lu, sedangkan di dalamnya kosong melompong.” Denaya tidak tahu pada lembar halaman berapa dalam sejarah hidupnya yang sedang disinggung Gavin. “Satu detik, satu detik yang bakal nentuin rumah ini diisi duka atau musik sesuai mood penghuninya.”

      “Terus?”

      “Lu ngerti nggak, sih, maksud gua?” kesal Gavin. “Hari itu bukan cuma gua aja yang jantungan lihat lu main pisau di pergelangan tangan lu sambil senyam-senyum sendiri, tapi lunya nangis. Adek sepupu gua, nyokap, beberapa tetangga, lu dipanggil nggak nyahut, rumah lu kunci. Semua orang jantungan gara-gara lu!” Tatapannya nyalang meski tangannya terus bergerak melawan musuh dalam permainannya.

      “Bukan itu maksud gua, apa yang bikin lu nggak bersyukur?”

      Gavin tidak langsung menjawab, maniknya masuk menyelami netra Denaya, membuat Denaya sedikit salah tingkah dan mengubah arah pandangannya kembali membaca setiap panel dalam layar HP dengan tidak fokus.

      “Lu,” Denaya sabar menunggu bibir Gavin kembali terbuka, “karena lu masih hidup,” Denaya tidak tahu harus bereaksi bagaimana, “Dengan kepribadian yang nggak gua kenal.”

Victory.

      Suara itu terselip di tengah keheningan. Gavin menurunkan HP-nya, memandang Denaya lekat-lekat hingga Denaya merasa risih.

      “Gua kangen lu yang dulu.”

      “Tapi gua ngerasa gua yang sekarang jauh lebih baik.”

      “Ya, emang, lebih bijak, dewasa, cuma ‘kan gua tumbuh bareng jati diri lu yang lama, jati diri sebelum masalah-masalah itu datang ke lu.”

      “Emang gua yang lama gimana?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro