[01]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis itu mengamati seragam yang ia kenakan saat ini. Blazer berwarna navi yang menutupi kemeja putih yang melekat pada tubuhnya. Pita tipis yang melingkar di kerah kemeja dan rok senada dengan blazer, ikut menyempurnakan penampilannya pada pagi hari yang bahagia ini.

Tentu! Tidak ada alasan bagi gadis berlensa mata huzelnut untuk tidak bahagia. Sebab, saat ini, ia akan menempati sekolah baru, setelah lulus dari Sekolah Menengah-ia akan menjadi murid sekolah lanjutan atau sekolah menengah umum, hingga akan berlanjut ke perguruan tinggi.

Bahkan, ia-Viola Dickson-telah merancang hal-hal yang ingin dilakukannya di masa remaja menuju pendewasaannya ini. Termasuk, ia yang akan berusaha untuk mempertahakan prestasinya selama bersekolah dan ingin terus membanggakan kedua orangtua dan keluarganya.

Itulah yang akan dicapainya.

Terlihat, gadis cantik berkulit putih dengan perawakan cukup tinggi, menuntun kedua kakinya menuruni tangga, sembari memegangi tasnya. Lebih tepatnya, Viola akan menuju ke ruang makan-tempat ayah, ibu, kakak dan kakak iparnya berada.

"Selamat pagi, adiknya Vanko," ucap seorang pria yang mengenakan jas dengan dalaman kaos hendak meninggalkan meja makan untuk ke suatu tempat. Bahkan dengan usilnya, pria bernama lengkap Vanko Dickson terlebih dahulu mencubit kedua pipi itu dengam gemas saat berpapasan yang kemudian langsung berlari setelah melakukannya.

"Dad! Mom!" pekik Viola dengan kesal. Berjalan ke meja makan seraya memegangi pipinya yang ia yakini akan memerah-mungkin sudah memerah.

Sang ayah-Victory Dickson dan sang ibu-Aileen Mercier, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat interaksi dua anak mereka. Terlebih bagi untuk putra sulung, Vanko, yang telah menikah dengan pujaan hatinya dan dikaruniai seorang putra berusia 5 tahun. Terus saja menggoda si bungsu, Viola, yang memang berjarak 12 tahun dengan dirinya.

"Kakakmu memang seperti itu. Abaikan saja, dan ke sinilah, Baby. Kau harus sarapan untuk segera ke sekolah barumu. Bukankah, ini hari pertamamu menjadi murid kelas satu?" kata Aileen yang mengingat Viola tentang hal itu.

Ia yang masih kesal, mencoba untuk tenang dan duduk di kursi tepat berhadap dengan kakak iparnya---Sachi Martinez, yang tidak lain adalah istri dari Vanko. Sungguh, Sachi masih memikirkan alasan kenapa kakak iparnya yang cantik itu, ingin menjadi istri dari pria menyebalkan seperti Vanko?

Vanko memang tampan dan menawan, tetapi sikapnya yang menyebalkan, membuat Viola mencoret dua poin utama itu. Ouh, bahkan Viola baru sadar jika sang kakak telah memiliki seorang anak lelaki. Untung saja, sang keponakan tidak seperti ayahnya. Lebih suka mengamati dan tidak banyak tingkah. Semoga terus seperti itu.

"Viola, kau harus bersikap baik dengan teman-temanmu, nanti," ucap Aileen yang mencoba memberikan pencerahan pada si bungsu. Dengan kilat, membuat Viola mengangguk hormat.

"Itu sudah pasti, Mom! Bahkan, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk berusaha mempertahankan prestasi dan berusaha mendapatkan jabatan sebagai Ketua Kelas," balas Viola dengan bahagia.

Aileen, Victory dan Sachi tersenyum bahagia. Ikut merasakan kobaran itu, tetapi sepertinya, tidak berlaku dengan Vanko yang baru kembali dengan membawa sebuah map. Vanko tertawa mendengar tutur kata si bungsu.

"Lucu sekali kau, Viola. Kau ingin menjadi ketua kelas? Memangnya, kau bisa bertanggung jawab kepada orang lain? Soalnya, sejak dulu kau tidak pernah bisa bertanggung jawab kepada dirimu sendiri!" timpalnya sembari duduk di samping Sachi.

Sontak, membuat Sachi menyenggol sang suami untuk tetap diam---seharusnya tidak berujar untuk membuat Viola cemberut---seperti sekarang ini.

"Mom, Dad! Lihat Kak Vanko! Dia sangat menyebalkan, padahal usianya tidak terlalu muda lagi. Entah kenapa, Kakak Ipar Sachi ingin menikahinya?" ucapnya dengan sebal. Secara paksa, memakan sarapan yang ada di hadapannya.

"Hei, hei anak kecil! Ucapanmu perlu disaring dulu. Lagipula, aku memang benar. Kau belum bisa bertanggung jawab dengan dirimu sendiri, dan kau malah sok-sok'an ingin menjadi ketua kelas? Apa kau tidak tahu bagaimana besarnya tanggung jawab menjadi ketua kelas?" tanyanya sembari berdecak.

Sachi yang melihat itu, sontak memberi pemahaman pada Vanko yang sungguh cerewet---cukup berbeda saat pertemuan pertama mereka jika diingat. "Tidak, jangan berdebat di pagi hari."

Namun, Vanko mengabaikannya. Malah, pria itu kini menatap nyalang ke arah adiknya. Begitupun dengan sebaliknya.

"Begini saja, Kak. Kita membuat taruhan!" ujar Viola yang memberi penawaran. Aileen dan Victory yang melihat interaksi adik-kakak itu, hanya memilih menjadi pengamat. Berbeda dengan Sachi, yang mencoba membuat Vanko untuk tidak meladeni Viola, tetapi Vanko seakan menutup telinganya.

"Perjelas taruhan itu!"

Viola mengangguk. "Ini soal tanggung jawab. Kesepakatan di mana aku akan berusaha menjadi ketua kelas di kelasku, nanti. Memang, aku belum pernah menjadi ketua kelas saat sekolah kemarin. Namun, tidak menutup kemungkinan aku bisa mendapatkannya. Untuk itu, jika aku bisa menjadi ketua kelas, Kakak harus mengabulkan satu permintaanku. Bagaimana?"

Vanko tidak keberatan. Ia menyukai jika adiknya bersemangat seperti ini. Lagipula, taruhan itu tidak buruk juga. Bahkan, ia bisa merasakan kekalahan pada diri Viola, sehingga ia langsung mengangguk. "Asalkan tidak aneh, aku setuju saja. Begitupun dengan sebalik, ya, jika kau tidak berhasil!"

Viola langsung menggeleng dengan senyum yang kini terukir licik. "Aku pasti bisa! Siapkan dirimu, Tuan Vanko Dickson untuk menerima kekalahan!"

***

Di dalam mobil pribadi ayahnya, Viola mencoba berpikir atas taruhan yang dibuat. Berharap, ia bisa menjadi pemenangnya. Lagipula, Viola sangat yakin jika bisa memenangkan taruhan itu dan membut kakaknya menyadari jika ia bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan orang lain.

Sembari menatap layar ponselnya yang tengah menampilkan sebuah percakapan grup, Viola memberikan instruksi pada sang supir yang kerap disapa Pak Hans untuk mempercepat mobil.

"Pak, ini hari pertamaku menjadi murid tahun ajaran baru. Sangat tidak baik, jika aku datang terlambat," ujarnya, membuat Pak Hans langsung menambah kecepatan.

Viola pun kini memejamkan mata. Kepalanya agak pusing, dan makin bertambah kala mendengar suara bising telepon yang tentunya bukan miliknya. Itu adalah milik Pak Hans yang belum berniat untuk menjawab panggilannya.

Viola langsung meloloskan helaan napas. "Pak, jawab panggilannya! Siapa tahu panggilan itu sangat penting!" pinta Viola.

Pak Hans sebenarnya tidak ingin melakukannya, sebab ia tengah mengemudi. Akan tetapi, perkataan Viola memang benar. Sehingga, ia langsung merogoh ponselnya untuk menjawab panggilan itu. Akan tetapi, sangat disayangkan saat ia yang telah menekan tombol dan membuatnya terhubung, ponselnya tiba-tiba saja terjatuh di bawahnya.

Dengan mempertimbangkan beberapa hal, Pak Hans melakukan pekerjaannya dan mengambil ponselnya yang tidak lain panggilan dari Tuan Vanko, secara berbarengan. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana ke depannya saat Pak Hans tidak memerhatikan jika ada pengendara di depannya dan ia tidak sempat untuk menghentikan mobil yang sedang dikemudikannya dengan tepat waktu.

Alhasil, terjadi kecelakaan kecil yang membuat Viola mendelik, sangat terkejut. "Pak Hans! Apa yang kau lakukan?" tanya Viola yang sangat khawatir dan takut.

Bagaimana jika si pengendara itu terluka parah?

Oh, ayolah! Hari ini bahkan hari pertama Viola menjadi murid kelas satu di Sekolah Lanjutan, tetapi kenapa berakhir seperti ini?

Viola sontak keluar dari mobilnya untuk memastikan, berbarengan dengan Pak Hans. Keduanya pun langsung menemukan eksistensi seorang lelaki yang sedang memperbaiki posisi sepedanya . Sepertinya, tidak ada yang terluka parah, tetapi Viola ingin bertanya.

"Em, apa kau baik-baik saja? Maksudku, apa ada yang terluka?"

Mendengar pertanyaan tersebut, membuat lelaki itu menoleh ke arah Viola dan Pak Hans dengan tatapan datar---belum berminat untuk memberi balasan.

Viola pun terpaku. Menurutnya, lelaki di hadapannya sangat tampan dan mempesona. Viola bahkan dapat merasakan aura dingin dan misterius dari lelaki yang hanya memandang ke arahnya.

Tidak tahan dan mencoba mengerti, Viola langsung merogoh dompet dari dalam tas yang ia kenakan. Bertanya-tanya, berapa yang harus ia berikan kepada lelaki yang tampak baik-baik saja, tetapi ia harus bertanggung jawab.

Tidak menghitung jumlahnya, Viola langsung mengeluarkan beberapa lembar poundsterling dan menyedorkannya pada lelaki tersebut. "Ini, sebagai permintaan maaf. Sungguh, aku tidak bisa mengantarmu berobat jika memang ada luka dalam, karena ini hari pertamaku sekolah. Terimalah!"

Akan tetapi, lelaki tampan itu hanya menatap datar ke arah Viola. Demi apapun itu, Viola tidak dapat memahami maksud diam dan tatapan dari lelaki yang tidak ia ketahui namanya itu.

"Apa masih kurang?" tanya Viola dalam hati. Tidak ingin telalu memperpanjang masalah ini, Viola langsung mengeluarkan semua uangnya dari dompetnya dan kembali menyedorkannya ke hadapan lelaki itu.

Kenyataannya, lelaki itu langsung mengambil uang tersebut. Tanpa mengeluarkan satu suku kata ataupun tersenyum. Viola mendadak heran, tetapi ia tidak ingin membuat dirinya pusing dengan hanya memikirkannya.

"Baiklah, kalau begitu, tanggung jawabku sudah selesaikan? Sebelumnya, aku ingin meminta maaf, karena ulah dari supirku dan uang ini, kau bisa menggunakannya---"

"Aku tidak butuh uangmu," ucap lelaki itu tanpa ekspresi sembari menaruh semua lembar uang itu di atas telapak tangan Viola. "Dan harus kau ketahui, tidak semua hal bisa diselesaikan dengan uang!"

Lantas lelaki itu kembali pada sepedanya, bersiap untuk mengayuh ke tujuannya entah ke mana. Sikap lelaki itu, sungguh membuat Viola tertegun dan berdecak. Kedua bibirnya ingin memaki.

"Hei! Aku---aku---akh! Sudahlah!"

Viola pun langsung kembali ke dalam mobil setelah menghentak-hentakkan kedua kakinya. Ia kesal, padahal niatnya hanya ingin membantu dan bertanggung jawab.

"Tuhan, jangan biarkan aku bertemu dengan lelaki itu. Jadikan hari ini sebagai pertemuan terakhir."

Tbc.

| S P A R K L E |

***

Halo, kali ini aku menulis cerita untuk menjadi pembuka tahun 2021. Semoga tetap menghibur untuk kalian dan di samping itu! Cerita ini ikut andil dalam Kelas Kompetisi Nulis yang diadakan oleh KampusAwan agar aku bisa lebih produktif lagi untuk menamatkan cerita.

Sebelumnya, Sparkle adalah series dari Dickson Series (tentunya bisa dibaca terpisah). Ada tiga kisah yang berhubungan yang telah tamat di akun wattpadku yaitu; SPARK (kisah kedua orang tua Vanko dan Viola), Twinkle-Us (kisah Vanko) dan terakhir yang masih on-going---SPARKLE (kisah Viola).

Regards,
Jnurpriyanti18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro