I : Life as We Know It

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jakarta, 1 Desember 2016, 16:25

Stop
Don't move so fast
Slow down
Let this feeling last
Relax
It's alright
The star let it guide us through the night

"Jangan lupa, bawa payung hari ini."

Begitu bunyi pesan dari ponsel Gemilang Sastradireja. Tentu saja, ia tidak membawa payung hari ini seperti yang diingatkan oleh pesan suara yang ditinggalkan oleh ibunya 4 jam yang lalu. Seperti biasa, Gemi terlalu malas untuk melihat ponsel miliknya. Bukan karena alergi, ia tahu editor kesayangannya akan membredelinya dengan segudang pertanyaan tentang naskah yang sedang ia kerjakan.

Jakarta diguyur hujan sore ini, tetes air di jendela mengaburkan lampu-lampu kendaraan yang berhambur di jalanan ibu kota. Suara mesin diesel dari mobil Gemi masih menderu menunggu untuk diistirahatkan.

Sandra: Gem, ngapain di dalem mobil gak turun-turun? Masih idup kan?

Gemi tertawa kecil melihat notifikasi chat di ponselnya. Ia mematikan mesin mobil dan beranjak dari kenyamanannya. Ia membuka jaket denim miliknya untuk menutup kepalanya agar tidak kehujanan. Gemi pun berlari ke arah cafe yang terlihat mulai sibuk oleh pelanggan yang baru berdatangan.

"Gemi! Sini di deket jendela aja," seru perempuan yang melambai di arah jam 10. Gemi mengusap embun dari lensa kaca matanya sambil berjalan ke arah suara tersebut.

"My god Gemilang, lo kalo keluar sama gua tuh rapihan dikit kek. Kalo difoto berdua malu-maluin tau gak," ujar perempuan itu.

"Sandra, kurang rapih apa gua?" sahut Gemi melihat tampilannya.

"Ya not bad, kalo lo cuma keluar buat beli rokok di warung," jawab Sandra.

Menurut Gemi jaket denim dengan kaos stripes uniqlo yang beranak pinak di lemarinya, celana pendek hitam, dan sandal birkenstock yang ia pakai adalah kombinasi yang cukup rapih hanya untuk sekedar menyesap kopi di sebuah cafe.

"Ya gua kerja di rumah jadi buat apa gua harus rapih-rapih," sanggah Gemi.

"Iya tapi lo kan ketemu gua di luar. Lo tuh kayak cowok yang udah nyerah sama pacaran makanya dandan sekedarnya kalo keluar-keluar. Gimana kalo ternyata calon pacar lo yang selanjutnya lagi duduk di seberang kita?"

Gemi melihat ke seberang meja mereka, dilihatnya seorang ekspatriat paruh baya sedang menikmati cheesecake di mejanya. "Selera gua masih yang muda San," canda Gemi.

"Metaforikal Gemi. So how was life?"

"Pretty much the same. Dikejar-kejar deadline, apalagi?"

"Belom mau punya pacar?"

"Come on San, tiap keluar sama gua itu aja yang ditanyain. I love myself and that's enough for me."

"Gua penasaran aja perempuan kayak apa yang bikin lo berpikir dua kali sama omongan lo barusan. Kita makhluk sosial Gemi, lo gak bisa 7 hari dalam seminggu cuma di dalem kamar. You are more than a writer Gem."

"Hidup bukan cuma cinta-cintaan San. Gua gak mau terjebak di hubungan medioker yang sehari-hari cuma nanya lagi apa atau udah makan, ngajak makan keluar, nonton bioskop, sesekali berkunjung ke rumah dengan senyum palsu berkedok keramahan, dan bertahan di lingkaran yang menjemukan dengan alasan kenyamanan."

"Gem, Gem, you and your words. Gak semua hubungan kayak gitu."

"Yeah but most of them. You have to admit, most girls are shallow and dumb."

"You said yourself, most, not all of them."

"Ya kalau gua ketemu sama yang bukan 'most of them' buat apa gua menutup sama kesempatan itu? I'd dare god to show her right now opening that cafe door.

Mereka berdua melirik ke arah pintu, nampak sosok yang mereka kenal. Perempuan itu pun melambai ke arah meja Gemi dan Sandra lalu bergegas menghampiri.

"Gemilaaang, Sandraaa, i miss you guys so much," seru perempuan itu.

"Dineee.. Akhirnya kita bisa kumpul bertiga lagi kayak waktu SMA!" sahut Sandra. Gemi pun tersenyum kecil menyambut pelukan sahabat-sahabatnya.

"Gimana New York Din?" tanya Gemi membuka percakapan. Dine pun menjawab pertanyaan Gemi dengan penuh antusias. Ketiga sahabat itu pun larut dalam percakapan seputar kehidupan mereka masing-masing. Sandra tahu, ada yang berbeda dari Gemi setiap Dine ada di sekitarnya.

Be careful with what you asked for Gemi.

Bandung, 1 Desember 2016, 16:31

"Hai mbak Carissa, hot pumpkin latte?" ujar sang pramusaji menyambut perempuan yang baru saja masuk ke dalam cafe.

"Hahahaha.. Segitu seringnya ya? Iya mas."

"Ya kan sekalian usaha mbak hehe.. Tapi rumor-rumornya mbak mau pindah ke Jakarta ya?"

Carissa hanya membalas pertanyaan itu dengan sebuah senyum antusias. Ia pun beranjak ke sebuah meja kosong di dekat jendela dan mengambil ponselnya dari dalam tas.

Carissa: Gua udah sampe nih, udah pada dimana?

Belum ada jawaban dari group chat sahabat-sahabatnya. Tak sadar, hujan mulai turun dari langit Bandung sore itu. Carissa pun melihat ke arah jendela, memandangi langit Bandung di sore hari untuk terakhir kali sebelum ia harus meninggalkan kota kesayangannya.

***

A/N: Akhirnya menulis lagi. Maaf ya, cerita yang lain belum jadi kulanjutkan. Apa ya, i need a new start. Udah nyoba buat melototin sambil jungkir balik naskah-naskah yang dulu dan benar-benar stuck. Mudah-mudahan dengan mulai baru lagi bisa bikin pikiran agak lancar. I hope you guys like the new story and the new plot. Let's see how it goes. Semoga bisa commit dengan ini.

Regards,

Cosmological

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro