10. It's Sound Like a Song

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Juna jelas-jelas memikirkan perkataan Julie meski sudah tiga hari berlalu. Kadang-kadang hatinya terusik, apa memang dirinya sejahat itu sampai-sampai Julie demikian kecewa? Salah Juna tidak jujur dari awal tentang pekerjaannya di boyforent. Juna mengacak rambut frustrasi setelah kelas selesai lebih cepat.

Selama kelas Pak Hanung berlangsung, Juna sesekali mencuri pandang ke arah Julie. Ceweknya—bukan, tapi mantan—sudah enggan melihatnya lagi. Bahkan Julie sengaja duduk di kursi paling depan  pojok kiri kelas. Jarak yang sangat jauh dengan Juna.

"Jun, minta tolong dicek, dong. Ini susunan acaranya udah bener, nggak?" Sebuah kertas terjulur di hadapannya. Bersamaan dengan kemunculan Danny.

"Emangnya Hakka nggak ngecek lagi, Bang? Bukannya kemarin udah?" Meski mood sedang jeleknya nauzubillah, Juna tetap menerima dan bersikap profesional.

Dia tidak mau Danny menegurnya karena malas-malasan dan alasan utama rasa malas itu kegalauannya.

"Udah, kok. Aku cuma mau memastikan."

Juna membaca sesaat susunan acara untuk Camp Seni yang diselenggarakan oleh BASMI. Setelah semuanya sesuai dengan kertas lain yang diberikan oleh Hakka tempo hari, Juna segera menyerahkan kepada sang rekan.

Belum sempat cowok jangkung itu beranjak dari sisi podium auditorium, kedatangan Julie, Winnie, dan Dea menyita perhatian. Cewek-cewek itu bergerombolan seraya cekikikan. Entah hal lucu apa yang tengah Winnie ceritakan sampai-sampai Julie terlihat tertawa renyah.

Sebagai cowok yang masih sangat menyayangi seorang Julia Renora Harris, Juna ingin sekali mendekatinya. Kalau bisa, ia akan memonopoli Julie seharian sampai mendapatkan maaf.

Akan tetapi, ucapan Julie tiga hari lalu masih melukai perasaannya. Jangan, deh. Aku akan mengganggu dia dan membuang-buang waktunya. Juna resah sendiri. Kalau dilihat-lihat, Julie tampak demikian santai setelah kejadian hari itu.

Ah, benarkah dia memang sangat ingin lepas dari Juna? Sebahagia itukah Julie bisa mengakhiri hubungan dengan Juna?

"Bang Juna!"

Teriakan itu menyita atensi Juna. Dipa terlihat berdiri di ambang pintu auditorium.

"Ada yang nyari, Abang," imbuhnya dengan suara sedikit keras.

Sempat ia melihat Julie celingukan ketika suara Dipa terdengar. Bahkan saat Juna turun dari podium, Julie meliriknya sesaat. Hanya sekian detik, sampai cewek itu kembali mengobrol dengan Danny dan Dea.

"Siapa?" tanya Juna.

"Pacarmu, lah."

"Pacar?" Juna mengingat-ingat. Beberapa waktu lalu, Julie sudah memutuskan hubungan mereka. Sudah pasti status Juna sekarang adalah jomlo, lalu bagaimana bisa tiba-tiba punya pacar?

"Alana. Aku dengar-dengar kalian pacaran. Gimana sama Kak Jul? Putus, ya? Wah, pro juga kamu, Bang." Dipa terkekeh beberapa saat sebelum Juna menghantam bahunya dengan pukulan pelan.

Enggan menanggapi Dipa lebih lama, Juna beranjak menghampiri Alana yang berdiri di anak tangga teras auditorium. Cewek berkemeja cokelat itu memunggunginya.

Kalau sampai Julie melihat kedatangan Alana, makin sedikit kesempatan Juna untuk bisa memperbaiki hubungan mereka. Namun, Juna juga tidak enak mengusir cewek itu.

"Hai, Al. Tumben ke sini," sapa Juna. Ia mendadak waswas. Padahal tidak sedang berbuat hal buruk. Sial, kenapa rasanya kayak takut kepergok selingkuh?

"Kak Juna!" Alana memekik riang. "Ya, ampun! Aku susah banget, deh, ketemu Kakak di jurusan. Iya, sih, kesepakatan kita udah berakhir. Tapi, aku ke sini mau tagih janji Kak Juna."

Kedua alis Juna bertaut heran. "Janji apa, ya, Al?"

"Umm ...." Alana menengok ke sekeliling untuk beberapa saat. "Tapi, Kak Juna kayaknya lagi sibuk, ya?"

"Nggak, kok. Ngomong aja."

"Itu loh, Kak. Tawaran aku buat ikut ke Gili. Kak Juna bisa, nggak? Anggap aja aku berterima kasih karena Kak Juna udah bantu aku selama ini."

Juna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kalau ditanya mau pergi atau tidak, ya jelas sekali pengin. Namun, mengingat hubungannya dan Julie diambang kehancuran—atau malah sudah hancur—Juna jadi mikir-mikir lagi.

Kalau pun mereka benar-benar putus, Juna tidak mau Julie makin membencinya karena terus-terusan dekat dengan Alana setelah hubungan mereka berakhir.

"Kak?" tegur Alana.

Juna belum sempat membuka mulut ketika kedua netranya menangkap kehadiran Winnie dan Julie. Kedua cewek itu keluar dari pintu yang lain di sisi kiri auditorium. Tidak ada cara menghindar, sepasang mata Julie sudah menangkap kehadiran Alana di depan Juna.

Kedua gadis itu berjalan mendekat. Bahkan Winnie bersiul menggoda mereka berdua. Batin Juna berisik mengumpati kebodohannya. Julie jelas-jelas terlihat tidak suka dan melengos begitu saja.

"Sori, Al. Kayaknya aku nggak bisa ikut."

"Yahhh, tapi aku pengin Kak Juna ikutan."

Juna mengulum senyum tipis. "Maaf, ya. Lain kali aja. Aku ada urusan penting, jadi nggak bisa ikutan." Cowok itu menatap kepergian Julie dan Winnie. "Aku permisi dulu."

Kali ini Juna merasa harus membicarakan masalah mereka. Ia mengejar langkah Julie dan Winnie sebelum keluar dari gedung kampus. Syukurlah kedua gadis itu berhasil terkejar.

Juna langsung berdiri di hadapan keduanya membuat Winnie memekik kaget. Sementara Juna berusaha mengatur napasnya. Tetap menatap Julie yang terlihat sinis.

"Jul, ayo bicara sebentar!" pinta Juna.

"Nggak bisa. Ini udah sore, aku mau pulang."

"Aku yang antar nanti."

Julie tetap kukuh menggeleng sambil menggandeng lengan Winnie. Membiarkan sepasang mata rekannya menatap heran.

"Jul, ayolah. Bentar aja."

"Aku nggak mau, Juna!"

Sejak kapan Julie menjadi keras kepala? Juna selalu mengenalnya sebagai Julie yang ceria dan tidak pernah sekeras ini. Ia menatap Winnie yang masih berdiri heran, tidak paham dengan situasi yang terjadi.

Susah payah Juna memberi kode lewat gerakan mata agar Winnie menyingkir dari sana dan membiarkan Julie sendirian. Namun, Winnie tetap berdiri keheranan.

"Apa, sih? Aku nggak paham kamu mengedip begitu, Jun!" Winnie akhirnya angkat suara. "Ada apa ini? Jul, kamu ada masalah sama dia?"

"Ya ampun!" Juna mengacak-acak rambutnya. Cewek satu ini kenapa kurang peka banget, deh?

"Nggak, kok. Ayo, kita pulang!" ajak Julie seraya menarik tangan Winnie.

Sayang sekali, Juna tidak akan semudah itu membiarkan dirinya lolos. Bahkan Juna rela menatap Julie dengan penuh permohonan. Entah wajahnya memang terlihat demikian memelas, sepersekian detik kemudian ... Julie meminta Winnie menunggunya di area parkir auditorium.

Juna merasa sedikit lega dan mengekor tatkala langkah Julie menuntunnya ke arah halaman gedung rektorat di sisi kiri yang sedikit sepi. Mereka berdiri di bawah pohon palem yang ditanam berjejer jarang di sana.

Sekian detik terlewat, tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir keduanya. Juna masih sibuk mencari kalimat yang tepat. Ia menghela napas dan menatap Julie yang berdiri tampak enggan memandangnya. Mungkin sekumpulan mahasiswa di depan sana lebih menarik daripada wajah Juna.

"Jul ...."

"Aku atau dia?"

"Hah?" Juna mengerjapkan mata sesaat. "Maksud kamu?"

Julie berdecak sebal. "Kamu pilih aku atau Alana? Pilih aku atau dia?"

Oh! Mengapa mendadak terdengar seperti sebuah nyanyian, ya?

"Kenapa tiba-tiba menyuruhku memilih?"

"Oh, nggak bisa? Oke, biar aku kasih saran. Kamu pilih Alana aja. Lagian kita sudah putus."

Putus! Juna ingin sekali meneriaki kata itu. Kata yang mengganggu pikirannya sejak Julie kukuh ingin mengakhiri hubungan mereka. Apa tidak ada sepercik keinginan Julie untuk memberikan kesempatan padanya?

Jelas-jelas Juna juga harus menjelaskan. Namun, Julie tampak tidak peduli dengan penjelasan itu. Atau memang ... Julie sungguh ingin semuanya berakhir?

"Jul, aku dan Alana itu nggak pacaran. Aku cuma bantu dia." Juna berusaha mendekati Julie. "Tolong, dengarkan aku dulu, ya."

"Terserah, deh. Aku nggak peduli sama urusan kamu dan Alana. Selingkuh ya, selingkuh aja. Ngaku!"

"Astaga!" Suara Juna sedikit meninggi membuat cewek di hadapannya kaget. "Jul, kamu bener-bener, ya! Berapa kali aku bilang, aku nggak selingkuh! Tapi, kamu nggak mau memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Okelah ... kalau kamu memang ingin putus, aku turuti kemauan kamu. Kita putus, Julie."

Ia berbalik meninggalkan Julie yang terlihat tampak syok. Bahkan enggan menanggapi ketika Julie meneriaki namanya.

"Junaaa! Kembali ke sini dan tarik ucapan kamu!"

Ia tetap berlalu bersama rasa kecewa.


Hi, Onders!

Gimana kabarnya? Puasa lancar nggak? Hehehe. Ga kerasa sudah bagian sepuluh, tinggal dikit lagi tamat karena seperti Danny dan Yosa, cerita ini akan memiliki part yang sedikit, nggak sampai dua puluhan^

Terima kasih sudah membaca, sampai ketemu hari Jum'at😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro