HE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-Manusia hanya ada untuk menghibur kami- Yufal

Gadis itu lagi-lagi tersenyum ceria hari ini.

"Ayo oper ke sini, Mira!"

"Jebol langsung ke gawang ya, Vir!"

Bersama dengan teman-teman yang sepertinya teman sekelasnya, Mira tampak menikmati waktunya berolahraga di lapangan belakang sekolah. Penuh keringat, tampak letih, berkali-kali harus membetulkan letak kacamatanya, tapi tampak bahagia luar biasa, adalah pemandangan yang setiap hari selama beebrapa hari ini selalu mampir di pandangan Yufal, entah di sudut matanya atau tepat di hadapannya.

Bukannya Yufal selalu memerhatikan, tapi senyum perempuan itu jadi yang paling banyak berseliweran di sekelilingnya. Apalagi jika bukan karena perempuan itu senantiasa berkeliling menjadi mulut dari OSIS SMA Yusvi, menggantikan ketua OSIS periode sekarang yang lebih banyak ditakuti daripada dihormati.

Sebuah dinamika yang unik, jika Yufal boleh berpendapat. Tapi justru kontradiksi itu—dua pribadi yang bertolak belakang namun saling bekerja sama dalam hirarki langsung itu—tampak menarik di matanya.

Dua polar kekuasaan yang saling bekerja sama bukan ha lasing bagi Yufal. Hal itu sudah biasa ia saksikan di kampung halamannya. Pada akhirnya, ia menemukan sesuatu yang mengingatkannya pada tempat asalnya dan tidak terasa begitu asing, karena itulah ia suka mengamati dua kakak kelas itu.

Apalagi ketika sang gadis berambut keriting dengan kacamata persegi itu sedang sangat terbuka dan sangat rentan. Mudah untu dipermainkan dan dikelabui sampai ia puas.

Setiap matsyan senang manipulasi dan rahasia, karena itulah Yufal tidak bisa mengabaikan mangsa yang begitu empuk di depan mata. Yufal senang melihat senyum polos gadis itu. Dan ia lebih senang jika senyum polos nan naif itu tertuju untuknya, kepadanya, dan karena dia. Dan seperti yang semua orang tahu, seorang gadis dengan senyum paling polos, biasanya menyimpan lebih banyak rahasia.

Tentunya kekompakan antara sang gadis yang adalah wakil ketua OSIS dan sang ketua OSIS yang terkenal jutek, bukannya tanpa batu dan asam garam. Pastinya dua pribadi yang bertolak belakang itu memiliki sisi negatif yang ditutupi. Sebuah aib, kekesalan, uneg-uneg yang ingin diceritakan. Apa pun.

Dan Yufal selalu siap menampung semua informasi itu. Siap menambahkannya ke dalam koleksi pribadi informasi yang hanya dirinya yang bisa akses.

Karena kau tidak akan tahu kapan rahasia akan berguna di suatu hari nanti.

***

Upacar apenerimaan murid baru telah usai, tapi adrenalin yang Yufal rasakan belum berakhir. Ia masih menikmati nyanyian bulan purnama yang terang benderang di angkasa, menyambut dirinya dan segenap angkatan baru dari kelas Biru di sekolah istimewa ini.

Sekolah percampuran antara makhluk daratan dan lautan.

Sekolah yang dikhususkan untuk anak-anak Lautan dan anak-anak Daratan yang terpilih. Dengan satu tujuan: untuk melindungi pakta perdamaian antara daratan dan lautan. Agar tidak ada lautan yang menyapu daratan ataupun warga daratan yang mengeksploitasi lautan berlebihan.

Pertarungan dingin antara anak-anak dewi Danua dari lautan dan anak-anak manusia terpilih sebagai anak-anak pewaris Pratiwi dari Daratan.

Banyak anak Danua yang menemukan prospek hidup di daratan tidak menarik, terutama bagi Matsyan karena mereka memiliki masa hidup sedikit lebih panjang dibanding manusia biasa. Tapi Yufal punya pendapat berbeda.

Tapi sekarang Yufal justru beristirahat di tengah koridor sekolah.

Sendirian menginstirahatkan kaki barunya yang terasa letih.

Baru beberapa hari ia merasakan memiliki dua kaki ini dan sudah merasa akan menghilangkannya malam ini. Tepat setelah upacara penerimaan murid baru.

"Capek...." Gumamnya letih.

Siapa yang sangka berjalan dengan kaki jauh lebih melelahkan dan menyusahkan ketimbang ekornya di lautan. Staminanya terkuras habis padahal belum satu jam ia berjalan.

Yufal membuat catatan untuk tidak mengikuti semua kegiatan yang berhubungan dengan lari atau kegiatan menyusahkan seperti ini di kemudian hari.

Dari belakang, lembut berembus angin yang sejuk. Yufal bergidik. Ia masih belum biasa merasakan angin di kulit manusianya. Kulit yang terasa halus, tidak licin, dan memiliki sirkulasi yang jauh lebih aneh dibanding dirinya di daratan.

Yufal meraba belakang lehernya, merasakan air di sana. Ia berkeringat.

Yufal tertawa, mengingat hari pertama ia di darat dan hampir mengira ramuannya habis karena ada air keluar dari tubuhnya.

Untunglah saat itu ia sedang tidak bersama orang asing. Jika ada yang dengar, rahasia itu bisa mereka gunakan untuk mempermalukan dirinya di masa depan.

Samar-samar, aroma bunga tercium. Yufal menengok ke belakang, melihat air mancur dengan patung dewi Danua berdiri di tengah-tengah taman terbuka, tempat pohon besar berdiri. Dahan-dahannya bergesekan dan menimbulkan simponi malam yang syahdu.

Yufal tersenyum. Kedua matanya tertutup, menikmati semilir angin. "Benar juga...." Gumamnya.

Udara dan daratan agak susah dijajaki, tapi melihat bebungaan, pepohonan dan langit biru yang luas membentang beserta awan dan bulan, lalu dapat melihat air mancur taman dalam sekolah ini dengan tenang di malam hari, ia rasa semua rasa lelah ini setimpal.

Eh, tunggu sebentar!

Tiba-tiba Yufal membelalak kaget. Ia melihat sekeliling. Mengedarkan pandangan ke lorong yang tampak lebih luas, lebih panjang, langit-langit cembung yang tampak lebih tinggi, dan taman dalam dengan air mancur yang mengalir deras di malam hari.

Air mancur taman dalam!

"Tadi aku bukan ada di sini....." Yufal ingat betul ia hanya melangkah beberapa meter dari aula utama, sengaja mengambil jalan memutar sendirian hanya karena ingin istirahat tanpa ketahuan kakak kelas maupun panitia setelah lelah berdiri berjam-jam utuk proses inagurasi. "A-ah, benar juga!"

Yufal baru ingat peraturan yang tadi dibacakan di proses inagurasi.

Jangan berkeliaran di sekolah sendirian pada malam hari.

Mendongak, Yufal melihat sulur-sulur cahaya mengalir di sepenjuru sekolah, dalam setiap celah batu, dalam setiap jengkal tanah dan batu yang menopang bangunan sekolah.

Karena sekolah ini dapat bergerak di malam hari. "Kekuatan Pratiwi."

Pratiwi yang bisa mengendalikan ruang dan objek sesuka hati dalam wilayah mereka. Sekolah ini adalah wilayah Pratiwi, jadi Yufal ada dalam belas kasihan anak-anak Pratiwi jika tidak ingin tersesat. Sekarang ia sedang dipermainkan oleh sekolah hidup ini.

Ah, sial.

Yufal melirik kanan dan kiri. Kedua kakinya masih sedikit sakit, tapi sekarang bukan waktunya untuk ribut atau mengeluh. Jika sampai ia membuat masalah di hari pertama, rencana persona yang ingin ia bangun di sini harus mengalami perubahan dan ia tidak mau berbuat sejauh itu.

Lelaki itu pun melirik kanan dan kiri. Semua arah koriddor kosong.

Harus ambil jalan yang mana?

Haruskah ia berjalan? Atau malah sebaiknya diam saja menunggu bantuan?

"Hei, kamu yang di sana!"

Yufal terdiam mematung. Ia melirik kanan, kiri, dan depan, memastikan tidak ada orang lain yang ada di sana selain dirinya. Rupanya memang tidak ada. Sementara panggilan itu dari belakang.

Sungguhan memanggilnya kah?

"Kamu anak baru, kan?"

Mendengar pertanyaan itu, Yufal pun berputar ke belakang, menghadap pemanggilnya yang ternyata, tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya. Tepat di belakangnya. Yufal terlonjak.

"Ah!" Karena keterkejutannya, tubuh Yufal oleng dan kehilangan keseimbangan. Untuk menambah buruk suasana, ia lupa sekarang ia ada di darat. Tidak ada air yang menahan tubuhnya. Hanya ada udara kosong yang akan membiarkannya jatuh terjerembab dengan keji. Ekornya pun tidak ada. Ia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya dengan cepat seperti saat di laut.

Ia akan jatuh.

Kecuali, ia tidak pernah jatuh.

Pada kenyataannya, Yufal tidak pernah jatuh ke lantai.

Karena tangan yang hangat itu menariknya tepat waktu.

"Hampir aja!" Suara perempuan Suara yang ringan, tapi terdengar begitu lega. "Kamu nggak apa-apa?"

Saat itu, Yufal bisa merasakan dua energi yang saling berlawanan, bertubrukan dalam satu sentuhan. Danua dan Pratiwi. Lautan dan Daratan. Tidak begitu menyenangkan merasakan dua energi bertolak belakang ini bersentuhan di tubuhmu.

Apalagi jika mengingat kulit manusianya belum terbiasa menerima reaksi sentuhan fisik. Ia tidak biasa menerima kontak yang terasa seperti arus air yang mengalir cepat ke seluruh tubuh seperti ini. Rasanya mengganggu, meski tidak semengganggu dinginnnya gletser es. Tapi anehnya ... walau ia tidak biasa ... Yufal mendapati dirinya tidak bisa melepaskan kontak itu. Tidak sampai ia berdiri tegap.

Dan bertatap muka dengan gadis berambut keriting berkacamata yang menolongnya. Gadis mungil yang tingginya mungkin hanya setinggi torsonya itu memakai blazer dengan dua tanda garis di pundaknya. Kakak kelas. Dan dari pin hitam yang ia kenakan, dia adalah panitia.

Ah, Yufal mengingatnya.

Gadis itu datang bersama para panitia inti tadi. Kalau tidak salah, ia memperkenalkan dirinya sebagai wakil ketua OSIS sekolah ini. Wakil ketua OSIS yang baru.

"Saya nggak apa-apa ... Kak Mira."

Gadis itu anehnya, justru mengerjap heran. "E-eh? Kamu kenal namaku?"

Yufal merapihkan penampilannya dan kembali berdiri tegap. "Tadi ada sesi perkenalan, kan? Saya ingat Kakak berdiri di sebelah ketua OSIS, jadi gampang diingat."

"O-Oh, benar juga, ya. Sekarang aku Wakil Ketua OSIS." Gadis itu, Mira, malah tersenyum simpul dengan wajah tersipu. Meski hanya untuk sesaat. "Eh, bukan! Aku ke sini bukan buat itu!"

Kemudian kontak yang hangat itu berakhir ketika tangan itu lepas darinya. Dengan sangat cepat. Gadis itu dengan cepat menegurnya.

"Kamu ngapain di sini sendirian? Saya beneran kaget pas denger ada yang hilang dari daftar murid baru!"

Yufal terdiam. Tadi Mira menggunakan "aku" tapi sekarang pakai "saya". Entah karena memang ia tidak konsisten atau memang gayanya seperti itu.

"Saya tadi mau istirahat sebentar, Kak," ujar Yufal. Ia menunduk menatap kedua kakinya. Sampai sekarang, ia belum terbiasa tidak melihat ekor di sana. Alih-alih hanya ada sepasang kaki yang sangat mungil dan pendek jika dibandingkan dengan ekor aslinya. Belum lagi dengan kecepatan larinya yang benar-benar payah di daratan. "Kaki saya kayaknya agak lecet."

"Ah...." Pemahaman seolah turun ke kepala kakak kelas itu. "Oh, ya, benar juga,"

Yufal sedikit terkejut saat kakak kelas itu mengiyakan. Ia kira Mira akan menasihatinya untuk jangan mengeluh atau semacamnya, seperti kakak-kakak kelas di aula tadi, entah itu sesama Matsyan atau Manusia.

Tapi keheranan itu tidak ia tunjukkan di permukaan. Semuanya ia simpan di balik senyuman ramah dari seorang murid baru yang polos dan belum tahu apa-apa.

"Pasti capek, ya, disuruh berdiri dua jam tanpa istirahat. Berdiri tegap lagi." Yufal menjadi semakin tertarik. Topik ini mengarah ke topik yang ia sukai: rahasia. Pendapat pribadi yang tidak dikatakan ke siapa pun selain diri sendiri di saat sepi.

Tapi kakak kelas ini justru mengungkapkannya dengan mudah.

Entah ini keberuntungan atau apa, tapi Yufal siap memanfaatkannya, memerahnya sampai tetes terakhir. Kakak kelas yang begitu naif dan polos tidak datang setiap hari.

"Kalau kamu capek begitu, bilang aja," Mira berkata. "Aku nggak jamin ada yang bakal nolong, tapi setidaknya kalau ngomong bisa bantu kamu ngilangin stress sedikit. Mungkin malah, bakal ada yang banyak ikutan istirahat juga."

Meski Yufal yakin itu tidak mungkin karena siapa yang akan mengizinkan banyak orang istirahat di saat upacara inagurasi berlangsung?

"Terima kasih sarannya, Kak."

Mendengar terima kasih yang formal itu, Mira hanya tersenyum cerah. Seperti layaknya orang bodoh—ehem—orang baik. Manusia-manusia baik.

"Sama-sama. Aku juga baru tahun ini jadi senior, jadi kalau aku ada salah, jangan ragu tegur aku, ya!"

Yufal hanya membalas kata-kata itu dengan satu anggukan. "Saya usahakan, Kak."

Bukan sebuah janji. Bukan pula sebuah kesepakatan. Tapi gadis di hadapannya tersenyum puas pada kata-kata kosong tanpa jaminan itu. Yufal tersenyum tulus untuk pertama kalinya.

Ia menemukan Manusia yang menarik di sini.

"Ayo, kita mungkin harus ke UKS dulu obtain lukamu. Ayo pegang tangan aku kalau nggak mau kepisah dan kesasar tambah jauh." Mira mengulurkan tangan tanpa ragu. Tapi Yufal hanya menatap tangan itu. "Kamu disasarin sekolah ini, kan? Mohon maklum, ya, sekolah ini suka nggak begitu ramah ke anak-anak Danua."

Dan rupanya Mira bukan orang yang begitu bodohnya. Ia tahu kalau ia anak Danua. Pasti berkat inagurasi dan kontak fisik tadi. Benturan energi bukan sesuatu yang bisa dilewatkan dengan mudah, bahkan bagi orang gila sekalipun. Dan satu peraturan yang sepertinya harus diingat Yufal dan tidak sengaja dibocorkan Mira tadi.

Ia harus bersama Mira untuk bisa keluar dari labirin hidup SMA Jalesviva Jayamahe. Artinya, ia butuh seorang anak Pratiwi jika ingin tidak tersesat.

Ini bisa jadi merepotkan.

"Baik, Kak." Yufal pun meraih tangan Mira dengan senang hati, melewati koridor sekolah yang sepi, berdua saja.

Namun benak Yufal tidak berhenti bekerja. Ada banyak informasi yang ia sudah kumpulkan malam ini hanya dengan interaksi bersama kakak kelas ini saja. Satu orang saja. Di belakang Mira, Yufal tersenyum.

Ia sudah menemukan mainan baru.

***

Atau seperti itulah yang ia kira.

Sampai semakin hari setelah hari kenaikan kelasnya ke kelas dua, Mira semakin menjauhinya. Mungkin karena Mira sudah kelas tiga dan persiapan untuk PKL—Praktik Kerja Lapangan—semakin dekat, mereka tidak lagi punya banyak waktu untuk mengobrol. Yufal juga naik ke kelas dua dan mengurus beberapa hal di klub dan aktivitas outdoor yang menyita waktu.

Itu wajar.

Seharusnya itu wajar.

Tapi ada sesuatu yang mengganjal di dadanya setiap kali Mira berpaling lebih dulu darinya. Setiap kali Mira waspada dan melihatnya seperti binatang buas yang harus dijauhi. Tempo malam pun juga. Saat ia hanya akan bermain-main, saat ia hanya ingin menarik Mira ke dalam air dan mengajaknya berenang bersama, ia malah menunjukkan reaksi ketakutan. Emosi semacam itu akan beresonansi dengan seluruh kekuatan Pratiwi yang mengalir di sekolah dan akhirnya menjadikan Yufal sebagai ancaman.

Apa diam-diam Mira menganggapnya sebagai ancaman?

Yufal tidak mau memikirkannya.

"Ah, ya, Risa, aku pinjam catatan kamu yang tadi dong!"

Suara itu membuat Yufal tersadar dari lamunannya. Ia menatap ke depan, melihat orang yang sedang ia pikirkan, berjalan tepat ke arahnya. Gadis yang memenuhi pikirannya beberapa hari ini, tapi tidak pernah menatapnya tepat di depan mata.

"Kak Mira."

Ketika nama itu bergulir dari lidahnya, Yufal bahkan belum memikirkan apa yang inign ia katakan. Ia rasanya begitu ingin mengucapkan nama itu sekali lagi. Satu kali saja. Mendapat perhatiannya. Dan senyumannya lagi.

"Ah, ya, siang, Yufal." Mira menyapanya.

Dan hanya itu.

"Risa, jadi gimana?" Dengan cepat, perhatian Mira kembali ke teman di sampingnya. Tidak lagi mengindahkan Yufal dan malah bisa berjalan melwatinya tanpa menoleh sekali pun. Tanpa berkedip.

Seolah ia memang tidak penting di mata Mira. Sama sekali tidak penting.

Yufal merasakan sesuatu menekan dadanya. Berat sekali.

Itu bukan yang ia inginkan. Sapaan singkat, senyum singkat yang bahkan tidak mencapai mata, kata-kata formal yang bahkan tidak terdengar senang sedikit pun ... tidak, bukan itu yang ia inginkan.

"Kak Mira?" Sekali lagi Yufal memanggil. Kali ini ia berputar.

Dan tanap sadar, tangannya meraih pergelangan tangan Mira.

Sementara waktu di sekelilingnya melambat, pikiran Yufal beradu. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari Mira? Kenapa ia meraih tangan gadis itu tanpa pikir panjang dan malah menghentikannya?

Ia adalah Matsyan, Mira adalah Manusia. Sudah jelas tidak mungkin dan tidak diizinkan mereka untuk menginginkan lebih dari sekadar rekanan yang bisa saling bekerja sama. Tapi ... tapi Yufal ingin Mira menganggapnya lebih.

Yufal menginginkan Mira untuk melihatnya lebih lama. Menatapnya lebih lama. Tanpa bisa berpaling darinya. Terbuka sekali lagi kepadanya. Seperti saat mereka pertama kali bertemu di malam hari di koridor itu.

Seperti saat Mira pertama kali melihat wujud matsyan-nya.

***

Semua kekuatan pelindung dari Danua telah lepas dari kolam. Yufal yang sudah merasa cukup menikmati waktunya melepas penat karena terus menerus dalam wujud Manusia, akhirnya bisa merasakan kelegaan untuk pertama kalinya minggu ini.

Sayangnya kelegaan itu tidak berlangsung lama.

Seseorang sedang memandanginya. Mengawasinya.

Yufal menengok ke atas, tepat ke arah tatapan itu berasal. Dan di sana ia melihat seseorang yang tidak asing ... tapi sangat tidak diduganya ada di sini.

Yah, setidaknya ia bukan orang berbahaya atau orang yang perlu ia hapus ingatannya jika memergokinya di sini.

"Malam, Wakil Ketua OSIS," sapa Yufal seraya melambaikan tangan. "Kok ada di sini? Di mana Uti?"

Sosok Mira melangkah menuruni tangga undakan dan mendekati kolam yang telah berubah kembali jernih, menampilkan satu matsyan yang sedang menikmati waktunya dan bersandar di tepi kolam. "Izin mendadak, dia nggak enak badan tadi ngakunya, dan nyuruh aku untuk jaga di sini,"

"Ah, ya juga. Tadi dia kelihatan pucat sekali. Sakit apa dia?"

Mira sudah sampai ke ujung tangga dan melangkah mendekati pinggiran kolam. "Maag-nya kambuh, bukan perkara susah karena ditangani cepat,"

Jawaban-jawaban yang biasa. Nada dan percakapan yang biasa. Ketenangan yang biasa. Tapi jika melihat dua orang yang sedang bicara, jelas tidak ada yang biasa-biasa saja dari semua ini. Satu adalah pemangsa, satu adalah mangsa. Sebuah hubungan predasi yang alami. Jika saja Mira tidak memakai sumbat telinga malam ini dan Yufal memutuskan untuk iseng menggunakan suaranya untuk memikat Mira, semua akan selesai.

Hubungan predasi mereka akan terpenuhi.

Satu kedamaian mungkin akan terusik.

Yah, karena satu risiko merepotkan itulah, Yufal mampu menahan dirinya untuk tidak menyerang saat ini.

Tidak bahkan ketika mata kurang ajar Mira tidak henti menatapnya tanpa berkedip.

"Liatin saya, ya?" Yufal bertanya dengan percaya dirinya. Di bawah air, ekornya berayun-ayun kencang. "Kenapa? Apa saya keliatan cantik?"

Mira tersenyum tipis. "Semua kaum kalian emang cantik dan tampan."

Makna yang terkandung dalam pujian itu tidak membuat Yufal senang. Ia sedang disamakan dengan matsyan lainnya yang entah berjumlah berapa di lepas lautan sana.

"Tapi saya beda, lho. Setiap matsyan berbeda, sama seperti manusia yang berbeda satu sama lain."

"A-ah, bukan maksud aku nyinggung," Mira terlonjak dan mundur sejengkal. "Maaf kalau udah bikin kamu tersinggung."

"Nggak juga, sih, sebenarnya," Yufal menyahut dengan santai. "Aku cuma agak keganggu kalau ditatap begitu."

"Ma-maaf kalau udah bikin nggak nyaman." Yufal mengangkat sebelah alis. Minta maaf lagi? "Tapi kalau boleh tau ... emangnya aku natap kamu kayak apa?"

"Gimana bilangnya ya? Hm ... kak Mira menatap saya kayak saya ini benda aneh yang dipajang." Yufal berkata jujur. Ketus. "Ada banyak matsyan di sekolah ini dan nggak semuanya sebaik saya kalau ditatap begitu."

Mira tampak benar-benar menyesal. "Aku akan camkan nasihat itu," ujarnya. "Maaf kalau bikin nggak nyaman, aku cuma merasa ini luar biasa."

"Luar biasa?" Sekali lagi Yufal keheranan. "Karena saya tampak berbeda?"

Itu setidaknya jawaban klise yang pernah diterima oleh Yufal. Karena ia tampak cantik, tampak menawan dalam wujud apa pun, sama seperti yang dikatakan banyak manusia kepadanya. Padahal wujudnya dan spesiesnya ada ratusan di lautan. Mereka saja yang belum pernah menjelajah laut dalam, sampai-sampai melihat dia sebagai makhluk cantik. Padahal kalau mereka menjelajahi bagian laut yang itu, mereka tidak akan bilang "cantik" kepada para penghuninya.

Sebuah bentuk kepalsuan. Sebuah muslihat untuk menutupi ketakutan yang nyata terjadi dalam hati.

"Itu juga," ujarnya jujur dan Yufal sudah mengeluh dalam hati. "Tapi sejujurnya aku nggak kepikiran sampai sana kok."

"Hah?"

"Bukannya ngobrol beerdua begini, tanpa saling membunuh dalam sekali pandang, mengobrol santai," Mira mendekat lagi dan baru berhenti ketika dia benar-benar ada di ujung jarak aman. "Itu juga udah luar biasa, kan? Nggak perlu sampai lihat penampilan juga?"

Gadis itu berhenti di jarak yang sejengkal saja lebih jauh dari maksimal jangkauan tangan Yufal. Mira rupanya tidak sepenuhnya lengah.

Meski tidak memperhitungkan juga kalau Yufal bisa saja keluar dari kolam dan menyambarnya. Persetan dengan batas jangkauan lengan yang Mira jadikan acuan/

Untungnya, Yufal tidak sedang merasa ingin melakukannya malam ini.

Dan kata-kata Mira tadi membuatnya sedikit tertegun. Tidak memandang fisiknya, tidak memuji sekadar apa yang ia lihat, malah memuji apa yang ia rasakan sekarang. Padahal belum tentu apa yang ia rasa sekarang timbal balik dengan lawan bicara.

Bisa saja Yufal menganggap ini tidak nyaman, kan?

Yah, pada akhirnya itu urusan masing-masing individu. Bukan urusan satu sama lain yang bisa saling digerecoki.

"Jadi, Kak Mira nggak takut sama saya?" Yufal memutuskan untuk menggoda lagi. Untuk kali terakhir.

"Takut, dong." Yufal nyaris menyemburkan tawa saat mendengar jawaban yang begitu ajaib keluar dari mulut tenang Mira.

Namun tawanya tertelan kembali saat Mira malah dengan santainya berjongkok. Posisi yang tidak menguntungkan untuk langsung berlari jika ada bahaya. Apalagi bahayanya datang dari depan.

"Saya juga bukannya berani-berani amat, kok. Saya juga bisa takut," ujarnya. Mira bertopang dagu dengan santai. "Tapi cuma karena takut, bukan berarti saya harus lari dari masalah, kan?"

Tidak lari dari masalah? Didengar bagaimana pun, itu aneh. Tadi Mira bilang ia takut, kan?

Ah, tidak, siapa yang akan bilang ia ketakutan dengan wajah dan senyum seperti itu?

Yufal tersenyum. Ia menemukan gadis yang benar-benar menarik.

"Benar, kadang ketakutan itu harus dihadapi," Yufal mengiyakan, lalu kembali ke tengah kolam. "Tapi sebaiknya Anda hati-hati sama sesuatu yang Anda takuti, lho, Wakil Ketua OSIS. Kadang apa yang dikatakan insting untuk dijauhi dan ditakuti itu ada benarnya."

***

Apa Mira sekarang takut padaku?

Pikiran buruk itu membuat Yufal membeku.

Tidak, ia tidak menginginkan itu. Tapi ia pun tidak bisa mengelak, ia sosok yang sebaiknya ditakuti.

Ia sudah biasa ditakuti. Ia bahkan senang jika orang-orang lari ketakutan. Itu membuat mereka bisa diperas informasinya dengan mudah. Tapi jika Mira ... melihatnya menjauhi Yufal, rasanya benar-benar tidak menyenangkan.

Tiba-tiba tangan Yufal terempas.

Mira menepis tangan Yufal yang memegang pergelangan tangannya. Dengan kasar sampai Yufal tertegun dibuatnya.

"Ah, ma-maaf," Seolah baru menyadari kesalahannya Mira meminta maaf, meski permintaan maafnya dan penyesalannya ... tidak tampak setulus biasa. "Saya nggak sengaja. Saya kira siapa tadi. Kamu nggak apa-apa?"

Mira ber saya-kamu sudah biasa. Di luar urusan pribadi, ia akan memanggil semua orang di sekolah seperti itu.

Yang tidak Yufal duga adalah dampak kata-kata itu baginya.

Tekanan di dadanya terasa semakin berat.

"Ada apa, ya, Yufal?" tanya Mira. "Apa ada yang bisa saya bantu?"

Tidak suka. Yufal benar-benar tidak suka perasaan ini. Tangannya terasa kebas karena baru saja ditepis terang-terangan. Dadanya sesak. Amarah memenuhi kepalanya seperti benang-benang kusut yang terus bertumbuh.

Dulu Mira tidak seperti ini.

Dulu Mira hangat kepadanya.

Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Siapa yang membuatnya jadi begini? Apa penyebabnya? Sejak kapan? Kenapa cara bicara dan tingkah lakunay berbeda dari yang ia kenal dulu? Ini jelas bukan perasaannya saja, kan?

"Nggak, nggak ada apa-apa. Kalau Kakak sibuk, saya juga nggak mau ganggu. Selesiakan dulu aja pekerjaannya, Kak Mira," Yufan menjelaskan sembari tertawa canggung. "Ah, dan lagi, saya lupa tadi mau ngomong apa. Nggak usah dipikirin, ya."

"Oh.... Oke, oke."

Dengan satu salam perpisahan itu, mereka berdua berpamitan dan berpisah jalan. Yufal menjadi yang paling pertama meninggalkan tempat itu dan tidak pernah menoleh lagi ke belakang. Ia yang lebih dulu menoleh ke depan dan tidak pernah kembali.

Ia merasa yakin dengan keputusannya, bahwa pergi dari Mira akan membuat sesak di dadanya mereda.

Namun ia salah.

Sesak itu justru semakin menjadi. Seolah ada akar yang tumbuh di dadanya, memangsa seluruh dirinya dari dalam dan bertumbuh terus menerus. Menghalangi pernapasannya. Menghalangi akal sehatnya dari memikirkan keputusan yang benar.

Di tembok sudut sekolah yang sepi, tubuh Yufal melorot ke lantai. Ia menyugar rambut frustrasi. Keirngat mengucur membasahi kulit kepalanya. Air yang sangat asing. Kulit yang terasa sangat asing karena terlalu sensitif pada suhu dan sakit. Ia tidak pernah terbiasa dengan perasaan-perasaan ini.

Dan ia tidak suka ketika sadar, perasaan-perasaan di dadanya semakin tumbuh dan berkembang banyak. Ia benar-benar tidak suka.

Yufal memegangi dadanya sendiri, merasakan jantung manusianya berdetak cepat seperti gemuruh gunung berapi bawah laut. Kuat dan dalam. Itukah penyebab sesak di dadanya? Ataukah ada penyebab lain?

Yufal tidak pernah mengerti.

Ia menutupi mukanya dengan dua tangan. Wajahnya tenggelam di antara dua lekukan lutut. Tangannya masih memegangi dada seragamnya. Mencoba meredakan sakit di dalam sana, walau berakhir sia-sia.

"Perasaan ... apa ini?" Perasaan yang menyesakkan dada ini ... perasaan yang begitu menyiksa ini ... apa kiranya?

Tidak ada yang tahu. Sampai hari berakhir dan berganti, jawaban tidak pernah datang kepada Yufal.

***

A/N:

Akhirnya two shots Splash selesai!

Hurrrahhhh!!!

seneng banget akhirnya bisa namatin satu cerita lagi walau cuma two shots. Rasanya lega. masih belum bisa nulis yang berat-berat dulu. Paling yang ringan-ringan begini, tapi akan saya usahakan untuk nulis lagi nanti. 

Dengan ini, Splash two shots tamat, ya. Entah akan saya bikin seri panjang atau nggak. kalau ada waktu ya bikin, kalau nggak ya, nanti aja.

karena seperti yang kalian lihat, karya ini kayak cuma fever dream aja. Gimana kalau aku bikin kisah merman? kisah merman di luaran wattpad kan biasanya menjurus ke hal-hal yang 18++ tuh, nah sekarang saya mau kasih kisah yang rada angsty alias sedih soal dua dunia yang nggak bisa bersatu ini.

Ini satu universe bareng dengan karya saya yang lain? Hmmm ... mungkin.

Oke, akhir kata see you in next story. Keep healthy and safe guys. Ciao!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro