bab VIII - IX

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

VIII

Lulus kuliah, saya pikir hidup saya baik2 saja. Saya mulai magang sejak sebelum lulus dan mendapat pekerjaan sebagai arsitek di sebuah proyek yang lumayan besar selepas lulus.

Soal hubungan saya dengan pasangan ... saya berpikir, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
Saya tau diri, kalau saya tidak mungkin menikah dengan pasangan saya yang transgender, dan buat saya nggak masalah.

Saya pilih single sambil terus mencintai dia. Saya percaya reinkarnasi, hidup manusia nggak akan lama, saya bisa sabar menunggu kehidupan kita berikutnya buat menikah.

Bagi saya malah justru ada bagusnya, saya bisa selalu dekat dengan papa mama karena nggak perlu menikah, dan bisa menjaga mereka kalau nanti mereka menua.

Ya menurut saya sih, hidup saya bahagia dan tentram.

-----------

Saya nggak pernah menyangka, kalau rencana saya itu harus porak poranda hanya karena 'komunitas mulut beracun' disekitar keluarga saya, menggangap bahwa wanita yang tidak menikah itu, statusnya mirip seperti kriminal, bagi mereka itu aib besar untuk keluarga.

Kalau mau dibilang, siapa yang membuat saya lebih trauma, 'kelompok rasis' waktu SMP atau 'kelompok mulut beracun'?. Jawabannya adalah yang terakhir. Apalagi, mereka itu orang dewasa bukan lagi anak kecil!

Kelompok mulut beracun ini sudah mulai getol menjodoh2kan saya sejak saya masih 13 tahun. Seringkali mengkritik Oma yang selalu membela saya, seperti keputusan Oma membiarkan saya kuliah arsitektur yang menurut mereka seharusnya jangan pilih kuliah yang susah2 karena nanti kalau lulus sudah ketuaan dan nggak laku lagi.

2010 adalah tahun paling sedih bagi saya. Di tahun itu, pasangan saya pindah ke luar negeri dan kami mulai menjalani Long Distance Relationship.
Di tahun yang sama, Oma yang sehat walafiat, yang paginya masih masak buat cucu2nya, malamnya masih bisa nonton televisi sambil bercanda, ketika beliau pergi tidur ... beliau nggak pernah bangun kembali.

Dan semenjak Oma meninggal dunia, saya bagaikan kehilangan perisai yang selalu melindungi saya. Kelompok ini makin berani. Bahkan di pemakaman Oma, mereka bukan menyampaikan bela sungkawa malah 'memarahi' mama, mereka bilang mama tidak bisa mendidik anak, karena Oma meninggal duluan sebelum sempet dikasih buyut.

Dan ketika Papa bercerita dengan bangga 'Anak saya ini meski perempuan tapi nurunin sifat pekerja keras saya, dia mandiri dan nggak pernah lagi pake duit saya lagi sejak lulus kuliah' ... Mereka mencibir dan memarahi Papa, kata mereka 'Percuma Pak kalau belum nikah, harusnya Bapak ngarahin anaknya biar cepet menikah, perempuan mau sampe kapan kerja terus!'

Kadang saya bingung, saya salah apa sih sama mereka? sampai mereka tega berbuat begini ketika saya sedang berkabung?
Saya selalu sopan tiap bertemu mereka, nggak pernah mencuri atau minta uang mereka, nggak pernah menyakiti mereka juga!. Memang saya menikah atau nggak apa untung ruginya buat mereka?

IX

Saya bekerja full time, jadi waktu saya lebih banyak dikantor. Saya nggak pernah menyadari bagaimana komunitas beracun ini terus menerus 'menyerang' mama ketika saya nggak disampingnya.

Saya baru tau ketika mama yang rada gaptek meminta tolong saya menghapus beberapa foto kiriman salah satu temannya dari ponsel, kata mama memorinya jadi kepenuhan.

Salah satu teman mama, sebut saja 'Tante Spam', hampir tiap hari mengirim 10-20 foto2 ke mama, mulai dari foto wedding anaknya sampai foto cucunya tanpa diminta. Disertai chat2 seperti
'Kapan donk anakmu nikah kayak anakku nih?
'Liat nih lucu kan cucuku ... Payah kamu belum punya cucu!'. Atau , 'Anakmu sok sih! kebanyakan pilih2, makanya nggak laku2' (padahal boro2 pilih2 pria, saya cuma pernah pacaran sekali, itupun dia yang milih saya)

Atau 'Tante Sihir', yang pernah jodohin saya dengan pria yang jauh lebih tua ketika saya masih 19 tahun, dan memaksa mama menikahkan saya setelah lulus kuliah. Ketika itu mendiang Oma sayalah yang jadi penyelamat, beliau bilang 'Sudah susah kuliah, biarlah cari pengalaman kerja dulu'. Tante Sihir yang dulunya manis langsung berubah jadi pahit, bahkan selalu mengatai mama saya 'Tuh anak lu belum laku juga kan? Sengaja saya kutukin emang biar jadi perawan tua, salah sendiri dulu nggak mau sama yang saya pilihin!'

Tapi diantara semua tante mulut beracun itu. 'Tante Raflesia' yang paling parah, tante ini selalu membanggakan profesi kedua putrinya sebagai 'istri simpanan'. Setiap bertemu mama, dia selalu bilang 'Mendingan kayak anakku kan? Hidup enak, daripada anakmu kerja debu2an di proyek, makanya belum laku'

Sehabis bertemu Tante ini, saya selalu mengingatkan mama 'Ma, jangan didengerin, mama ingat dulu papa pernah hampir direbut perempuan jahat seperti anak2 tante itu dan mama ingat kan gimana hancurnya perasaan kita? Untung papa nggak kerebut'

Dan masih sangat banyak lagi tante2 maupun om2 lainnya yang juga terus menerus menusuk mama dengan perkataan mereka.

Mama nggak pernah membantah atau membalas karena takut dianggap nggak sopan.
Bahkan mama sering mengingatkan saya 'Kamu harus selalu senyum dan sopan ya sama mereka, soalnya kamu nggak laku, kalau kamu nggak sopan nanti mereka bilang ... oh pantesan nggak laku, judes sih!'

Sayapun nggak boleh menolak atau menghindar untuk bertemu mereka karena kata mama 'Nanti mereka bilang ... oh pantes nggak laku, sombong sih! ga mau ketemu orang!'. Jujur, dimasa itu saya merasa diperlakukan bagai 'sand sack tinju'.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro