Second Tale - Sang Penulis 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tanpa terasa, sebulir air mata lolos begitu saja dari sudut mata kanan sang pemilik rumah. Segera ditundukkannya wajah, berusaha menyembunyikan apapun yang ingin disembunyikan. Walaupun dirasanya percuma.

"Ra … Rara … kalau aku bisa, dengan segala kemampuan yang aku punya, aku tuh kepingin ngambil semua luka dihati kamu. Kita kenal juga nggak sebentar Ra. Kamu juga tau, Aku sama Astri udah nganggep kamu kayak adik kami sendiri"

Pria itu berhenti sejenak. Menegakkan posisi duduknya, dan selembut mungkin berusaha melanjutkan untuk mengutarakan maksud. " … udah 21 tahun Ra, manusia punya batas. Aku tau, nggak kayak kami yang bisa hidup lama, manusia punya tubuh kasar yang bisa menua. Dan mungkin, dengan mengalami kematian, akan menghapus sedikit rasa sakit di hati kalian. Tapi, hati manusia tercipta berbeda dengan kami. Hati kalian bisa sembuh Ra, tapi, cuman hanya dengan kemauan dari kalian, itu semua bisa terjadi. Ayo sini … ngomong sama mas mu ini"

Dalam diam, tangis sang pemilik rumah pecah tertahan. Kepalanya semakin menunduk. Beberapa kali terlihat berusaha menghapus air mata dengan ujung kain hijabnya.

Dalam isak, sang pemilik akhirnya berucap, "Aku kangen Mama … "

Raut sang pria terlihat melembut, ikut merasakan apa yang dirasa oleh Rara. Ia bisa merasakan dengan sangat jelas, emosi wanita yang sedang berbicara dengannya saat ini. Seperti apa perihnya, seperti apa sakitnya, dan berstnya beban yang dipikul karena menahan diri dalam mengingat kembali masa-masa kelabu itu. Namun, di sepertiga malam ini, pria itu sebisa mungkin ingin menuntaskan semua apa yang harus diluapkan oleh adiknya ini.

Pria itu pengajukan sebuah kata, berharap agar Rara mengatakan apa yang harus diutarakan. "Terus? …"

"Aku … aku nggak tau harus nata perasaan ini kayak apa…" dalam isaknya, Rara berusaha jujur.

"Sakit nggak rasanya?" Shu terus bertanya.

Gadis itu mengangguk.

"…Ra… kamu masih inget kata-kata dari Hirota-sensei? Salah satu guru kamu?"

Masih menunduk, Wanita itu mengangguk beberapa kali dalam isak tangisnya.

"Kamu masih dendam sama orang-orang itu?" Pria itu bertanya.

Rara mengeleng perlahan.

"Kamu yakin?"

Setelah beberapa saat tak merespon, akhirnya Rara kembali menggelengkan kepalanya pelan.

Shu menghela nafas panjang. Terbesit sedikit rasa kecewa di dalam dadanya. Namun ia tau, ini adalah sebuah reaksi yang wajar. Dia tak bisa melakukan apa-apa mengenai hal itu. Namun ia tak menyerah.

"Kamu masih inget alasan kamu nulis buku?" Shu kembali bertanya.

Wanita itu mengangguk yakin.

"Kamu tau apa maksudku nanyain itu ke kamu?"

Rara kembali mengangguk.

"Cobak sini, ngomong sama aku, apa maksudku nanya alasan kamu nulis buku?" Shu bertanya dengan intonasi yang selembut mungkin.

Rara mencoba mengatur nafasnya, berusaha sedikit tenang. Kembali mengusap air mata. "Supaya … aku bisa menyampaikan, kalau kebencian, … hanya berujung pada … timbulnya kebencian yang lain…"

Sebuah senyum terbit di wajah pria itu. "Terus … masih inget pesen dari Hirota-sensei?"

Wanita itu mengangguk.

"Apa itu?" Shu terus bertanya, berusaha meyakinkan sang adik.

Rara berusaha sekuat yang ia bisa untuk menjawab "Jangan nulis … soal kebencian … fokus dengan usaha memandang … dan mencari sisi baik... Cintai seluruh makhluk …"

Kali ini, Shu sedikit mengintip kedalam benak sang adik. Dirinya sedikit terkejut ketika ia dengan mudahnya memasuki benak adiknya ini.

Pasalnya, selama ia berkenalan dengan Rara, wanita ini adalah salah seorang manusia yang mampu untuk menyembunyikan dan sangat ahli dalam membuat pertahanan bathin.

Dan Shu semakin terkejut ketika dirinya mendapati sesuatu disana.

Ternyata Rara sengaja mempersilahkan Shu untuk masuk kedalam benaknya begitu saja. Mempersilahkan dirinya dengan suka rela membaca, apa-apa yang sebenarnya difikirkan oleh sang pemilik rumah. Sebuah sikap menerima, dan sebuah pernyataan pemberian maaf.

Sebuah senyum tulus merekah diwajah Shu. "Ra … aku percaya kamu bisa melalui ini semua. Sebuah luka nggak bakal hilang kalau cuman berusaha dilupakan. Aku sepakat dalam hal ini sama kamu. Maaf kalau aku udah sedikit salah sangka…"

Kali ini, walau masih menangis, Rara memberanikan diri untuk menatap sang kakak dan tersenyum. "Kan kamu, kak Astri, dan tante Sarah yang ngajarin, kalau semakin berusaha lupa, kita bakal semakin keinget. Cuman dengan menerima dan ikhlas melepas semua … kita bisa terbebas…"

Wanita itu terdiam sejenak, menghapus air matanya. " … to be freed, is to let go … right brother?"

Shu tersenyum semakin merekah. Melihat wajah sembab adiknya, dan setelah menyadari apa yang sedang dilakukan oleh adiknya saat ini, Ia membalas perkataan wanita itu dengan anggukan lembut. "Makasih kamu udah mau maafin aku soal sedikit salah salah sangka tadi. Kamu udah mulai pinter nge-reverse tindakan ya, dasar adik yang usil"

Wanita itu menggeleng pelan, senyum nya tulus. "Enggak, aku yang harusnya minta maaf, dan berterima kasih sama kamu. Makasih dah ngingetin aku sama tujuan awal ku nulis. Makasih…"

"Hahaha, makasih juga udah ngingetin kalau aku yang ngajari kamu soal 'nulis sebagai bentuk usaha berdamai dengan masalalu'. Hahaha… makasih Ra…"
Pria itu sedikit merasa malu.

Setelahnya, kesunyian kembali terasa. Sayup-sayup terdengar suara seruan-seruan doa dari pengeras suara sebuah surau kecil.

"Oke!! Kayaknya udah waktunya aku balik. Bentar lagi subuh. Jangan lupa buat selalu bersyukur Ra. Cuman dengan itu, hati kamu bisa sembuh. Oke?" Shu berdiri dari duduknya. Bersiap untuk pergi.

Rara ikut berdiri. Sesekali masih terlihat berusaha menghapus bekas-bekas air mata. "InsyaAllah Shu. Oh iya… kira2 kapan kamu bisa ngelepas kalung kamu?"

Shu sedikit terkejut. Lalu di sentuhnya bandul kalung yang di kenakannya. Sebuah simbol, yang diketahui oleh para pencari kebenaran sebagai sebuah "Ankh"

"Oh? Ini? Emangnya kenapa Ra?" Shu berusaha mencerna maksud dari pertanyaan Rara.

Rara hanya mengedikkan kedua pundaknya. "Nggak tau, kepingin nanya aja. Abis dengerin kamu ngingetin aku soal bersyukur, terus liat kalung Ankh kamu, jadi penasaran. Kira-kira enapa ya, the great El-Ma'at, masih belum bisa move on?"

"Oi oi!!! Asem!! Gak kamu, gak Vira… nyinggung-nyinggung masalahku sama Astri. Awas lo ya…"

Wanita itu menunduk, tapi kali ini menahan tawa.

"Gini Ra… ku kasih tau sesuatu. Kalung ini, selalu kusimpan, bukan karena aku nggak bisa move on. Tapi… supaya aku bisa selalu mengingat, kalau aku sama sekali nggak ada apa-apanya kalau udah dihadapkan dengan takdir dan ketetapan-Nya. Ngerti?!" Dengan penuh semangat, tapi masih dengan intonasi yang lembut, pria itu berusaha mengutarak alasannya.

"Iyaa… iyaaa aku tau…" Rara ternsenyum usil.

"Oh iya Ra. Sebelum aku pergi, aku juga mau ngingetin kamu soal dua masa lalu kamu yang lain. Soal orang yang 21 tahun yang lalu nolongin kamu, tapi berakhir jual kamu di rumah pelacuran. Aku harap, kamu juga udah merelakan apa yang mereka lakukan ke kamu. Walaupun, aku juga tau, sama sekali nggak gampang buat memaafkan, tapi, aku cuman kepingin nurani kamu kembali sehat Ra. Aku, Astri, dan setiap anak yang udah kamu bantuin, bakal siap untuk bantuin kamu"

Kedua mata wanita itu melebar. Raut wajahnya terlihat sedikit marah "Shu!! Aku tuh nggak pernah nolongin siapapun!! Kalian lah, atas ijin Tuhan, satu-satunya orang yang nolongin diri kalian sendiri. Harusnya tuh aku yang malah terimakasih. Kalau Tuhan nggak nemuin aku sama kalian, aku nggak bakal bisa sampai kayak sekarang. Bisa hidup bersua dengan tenang sama si kecil"

Shu tersenyum. "Bukankah itu gunanya temen Ra?"

Rara kembali tersenyum. Ia menyadari dengan penuh maksud dari jawaban sang kakak.

"Oke! Aku balik dulu. Moga-moga aja pas balik, si Vira dah bangun..."

Rara menjawab dengan menunjukkan  ibu jari yang terangkat.

Shu tersenyum. Ia memasukkan tangan kirinya ke dalan saku celana, lalu menunjukkan telapak kanan kearah Rara, "Assalamu'alaikum Ra"

Rara membalas tersenyum, "Wa'alaikumussallam"

Dan dalam sekejap mata, sang pria lenyap tak berbekas.

Rara melangkah masuk kedalam rumah, mengunci pintu depan, dan berjalan menuju kearah kamar mandi untuk mengambil air wudhu, dan bersiap melakukan ibadah malam.

Dalam doanya, sama seperti malam-malam yang lain di bulan yang sama setiap tahun, ia mendoakan semua jiwa yang menjadi korban pada peristiwa kelabu pada 21 tahun yang lalu. Memohonkan ampun kepada Tuhan, semua orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Dan memintakan berkah atas anggota keluarga yang ditinggalkan.

Tak lupa, ia minta agar selalu ditunjuki jalan yang lurus, agar selalu bisa bersabar dan bersyukur. Dan melakukan semua hal dengan ikhlas, selalu melakukannya dalam nama-Nya.

Dan doa Rara yang terakhir sungguh menohok saya sebagai sesosok yang menghadirkan kisah ini didepan anda semua para pembaca. Membuat saya mengingat kembali tujuan saya menyampaikan kisah ini, bahwa bukan semata-mata hanya untuk mencari makan.

Semoga Shu tidak menjadikan hal itu sebagai bahan olok-olok ke saya nantinya.

Baiklah.

Ijinkan saya mengakhiri kisah kali ini dengan menyampaikan bahwa, memaafkan memang tidaklah mudah, tetapi, setidaknya, fikirkan tentang apa yang sudah Tuhan berikan kepada kita. Dan jangan membuat segala hal yang telah diberikan-Nya kepada kita, terbuang sia-sia.

Memaafkan, adalah satu-satunya jalan, untuk menebus bagian dari hati kita yang hilang karena telah tersakiti.

Jalani setiap hari dengan penuh kesadaran, bahwa sebetulnya, Tuhan tak pernah meninggalkan kita.

Yesterday just the "past"

Tomorrow is a "mystery"

But today, is a gift. Thats why, its called "present".

Vira out!

(17/05/2019)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro