Third tale - Hari Pertama Kali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Singkat cerita, aku berhasil lulus SMA dengan nilai sangat memuaskan. Plus, berhasil lolos seleksi beasiswa penuh untuk berkuliah di salah satu universitas negeri unggulan, pada jurusan yang memang sudah kuimpikan.

Kegemaranku menonton film animasi, membaca komik, dan kegemaranku bikin sketsa, secara tak langsung menumbuhkan minatku pada dunia seni desain. Pada saat aku harus menentukan pilihan jurusan, aku mengambil bidang studi Desain Komunikasi Visual sebagai salah satu pilihan. Dan ketika menjalani tes ujian masuk desain, ternyata hasil tes tulis kemampuan akademik dan gambarku termasuk dalam kualifikasi penerima beasiswa.

Kujalani awal masa-masa ospek—yang menurutku menyebalkan—dengan membuat masalah dengan seorang kakak tingkat.

Hari pertama, waktu itu adalah hari sabtu. Dan ketika apel pagi yang dimulai jam 7 tepat, salah seorang teman datang terlambat beberapa menit untuk menghadiri apel pagi. Seorang kakak tingkat akhirnya memberi hukuman kepada kami para mahasiswa baru untuk melakukan sepuluh kali push up. Semuanya. Tanpa terkecuali. Sebuah bentuk solidaritas kata mereka. Jadi, ndak cuman satu orang aja yang kena hukum. Semua harus ikut merasakan penderitaan.

Dan ketika semua akan melakukan, aku hanya berdiri, memasang sikap menolak.

Bukannya aku tak mampu melakukan push up. Sebagai anggota ekstra kurikuler Tae Kwon Do semenjak dari SMP hingga lulus SMA ―kakak yang menyarankan. Cewek harus bisa melindungi diri kata kakak― push up sepuluh kali adalah perkara ringan. Tapi, adalah suatu keputusan yang ndak bisa kuterima, ketika kami mahasiswa cewek yang sedang mengenakan seragam ospek kemeja putih dan rok hitam selutut, untuk melakukan push up. Sungguh tak bisa kuterima.

Seorang kating cowok berteriak dengan lantang tepat di depan wajah, menanyakan kenapa aku tak turut turun bersama dengan teman-teman. Apakah aku seseorang yang egois?. Begitu tanyanya.

Sungguh saat itu rasanya ingin sekali menendang kakak yang penampilannya urakan dengan rambut gondrong awut-awutan, mengenakan kaus distro yang ditutup dengan jas almamater, dan celana jeans yang robek disana sini. Ku ingin menendangnya tepat pada lehernya, sehingga dia sesak nafas dan berhenti berteriak. Udah nafasnya bau pula. Ah, tapi tak kulakukan. Disamping aku saat ini sedang mengenakan rok, aku juga ingin segera menyelesaikan permasalahan ini tanpa kekerasan.

Ku utarakan kepada kating itu dengan sopan, kalau, bukannya aku egois. Tapi, melakukan push up bagi kami yang cewe saat sedang mengenakan rok adalah hukuman yang berlebihan.

Adu argument kami berakhir singkat, dengan konklusi mengubah hukuman menjadi melakukan squat row (lompat jongkok) sebanyak sepuluh kali. Dan disaat itu juga, emosiku sudah tak bisa kutahan. Ku tatap wajahnya nyalang dan kuutrakan dengan sedikit agak menggeram, "maaf ya kak, telinga kakak nyambung ke otak nggak sih? Aku nolak hukuman push up gara-gara kita yang cewek sekarang lagi pakai rok! Kok malah ngasi hukuman squat row!! Keknya Ada masalah sama kepala kakak ya!!"

"OI MABA GOBLOG!! AKU SENIOR DISINI!! SUSAH BANGET SIH NURUT SAMA ATURAN!?" Lagi-lagi dia berteriak di depan wajah ku. Dan kali ini posisinya lebih dekat.

Amarah udah nyampek di ubun-ubun. Dengan kedua tangan masih terkepal di samping badan, sekuat tenaga ku benturkan jidatku tepat kearah hidungnya.

Sedetik kemudian dia tampak terhuyung kebelakang beberapa langkah sambil memegangi hidungnya. Ku acungkan telunjuk kearahnya, "Heh kating sinting! Aturan mana yang ku salahi pas aku belain temen cewe disini?! Atau mungkin kakak emang benernya mesum ya?! Kepingin liat kita-kita yang cewe rame-rame jongkok?! Iya?!"

Dan saat aku sudah mulai bisa meredam emosi, aku sudah mendapati banyak sekali kakak tingkat yang berusaha melerai kami karena si 'gondrong mesum' berusaha merangsek maju untuk entah mau membalas atau apa.

Apel pagi hari itu berakhir dengan salah satu kating cewek menyeretku untuk pergi dari lapangan jurusan dan menyarankanku untuk menenangkan diri di dalam secretariat Hima, dan meninggalkanku sendirian disana. Dalam kesendirianku di sana, aku akhirnya sadar, kalau dalam peristiwa tadi, aku sudah kehilangan kacamata.

Tak lama kemudian kating cewek tadi kembali bersama dengan seseorang kating cowok. Saat mereka masuk, aku seperti pernah ketemu sama kakak yang cowok. Tapi dimana ya?.

Wajah mereka tampak tersenyum berseri.

"Oh, ini jagoan kita hari ini?" Seru yang cowok.

Sontak aku berdiri sambil mengepalkan tangan. Bersiap menerima apapun yang akan dilakukannya.

Kakak yang cewek tersenyum, "Dek, tenang dulu. Ini Fauzan. Yang bertanggung jawab di seksi medic. Aku bawa dia kesini untuk meriksa kondisi kamu."

Fauzan? Kok kayak pernah denger ya? Itu yang terbesit dikepala ku saat itu.

"Kenalan lagi deh, aku Fauzan. Dan ini rekan ku Ratih. Kami sama-sama bertanggung jawab di seksi medic." Ujarnya dengan logat jawa yang lumayan kentara, sambil menawarkan jabat tangan.

Eh sebentar? Kenalan lagi? Fauzan? Logat jawa?

Itulah yang ada dikepalaku, sampai sebuah memory terpampang disana, "Mas Fauzan Jogja?!"

Mas Fauzan tersenyum semakin lebar, "Lauren Solo? Iya kan?"

"Lho? Udah pada kenal ya kalian," kak Ratih mendekat kearahku sambil membawa kotak P3K. Kemudian kak Ratih terlihat mengeluarkan sebuah benda dari kantung jas almamaternya. "Sorry ya, aku telat nyelametin kacamata kamu."

Kulihat kacamata ku yang sudah remuk tak berbentuk. Mungkin tadi terjatuh, dan terinjak banyak kaki saat keributan ndak penting tadi terjadi. Helaan nafas tak bisa kuhindari saat kuterima bangkai kacamata kesayangan yang udah nemenin aku selama 5 tahun.

"Oke, coba sekarang kamu duduk La, boleh kupanggil Lala?" Kak Ratih menyentuh kedua pundakku, membimbingku untuk kembali duduk di sofa.

"Iya kak. Gapapa. Aku emang kalau dirumah dipanggil Lala." Jawabku.

"Coba hadep sini, kuperiksa jidat kamu." Kak Ratih mendekatkan wajah untuk memperhatikan lebih lekat jidatku. Sejenak kemudian dia menoleh kearah mas Fauzan. "Gak ada luka luar, cuman merah. Tapi ya, kemungkinan bakal memar. Gimana Jan? Bisa kamu Bantu betulin?"

Aku saat itu hanya bisa mengerutkan dahi. Betulin? Dipikir bodi motor?

Tapi kulihat mas Fauzan malah tersenyum, dan berjalan mendekat kearah sofa dimana aku dan kak Ratih duduk. "Ku coba deh Ra".

Kak Ratih kemudian berdiri menjauh. Mas Fauzan mendekat, kemudian duduk di sebelahku menggantikan kak Ratih. Mas Fauzan mengulurkan tangan menawarkan jabat tangan, "Tadi salaman ku belum kamu terima." Ia melakukannya dengan masih tampak tersenyum.

Kubalas jabat tangannya, "Lala."

"Fauzan." ia menjabat tanganku, lalu mendekatkan wajah, berusaha mengamati lebih dekat.

Reflek, aku menjauhkan wajah.

"Santai aja La, percaya sama kakak. Ojan tuh paling jago kalo soal ginian. Tenang aja, dia gak bakal aneh-aneh kok. Dia kan nggak doyan cewek." Kak Ratih berusaha menenangkan ku setelah melihat reaksiku.

Eh? Ojan?

"Asem kowe!! Aku nih masih normal Ra!" Balas mas Fauzan, tapi tetap dengan pandangan masih terpaku pada jidatku. Kemudian dia melanjutkan obrolan, "Tadi kejadiannya gimana sih? Ini lumayan lebar loh merah nya. Trus tadi kulihat si korban juga darahnya keluar banyak banget waktu dibawa ke ruangan medic."

Korban? Wait? Kok aku jadi ngerasa kayak divonis sebagai pelaku kriminal ya?

"Beneran deh Jan, tadi tuh keren abis sih. Gara-gara si Jokab teriak-teriak di depan mukaknya si Lala nih, akhirnya cewe keren didepan kamu tuh ngasih Headbutt ke Jokab pas dihidungnya. Hahaha." Kak Rara bener-bener kelihatan bersemangat nyeritain kejadian tadi.

Setelah mendengarkan kak Rara tertawa, mas Fauzan kembali menoleh kearahku, "Lhah! Kok kamu nggituin si Jokab?"

"Mas, sebenernya kepinginku sih malah nendang kepalanya. Tapi berhubung aku lagi pakek rok nih, yaudah, sundulan maut aja udah cukup sih." Kepalingkan wajah untuk meredam dan menyembunyikan rasa yang masih sedikit kesal.

Kak Ratih melebarkan mata, "Sundulan maut!? Nendang kepalanya?! Serious? Kamu nih beneran keren deh. Oke, mulai sekarang aku ngefans sama kamu!!!"

"Heh! Kok malah dipuji! Apapun alasannya, aku ndak setuju dengan tindakan kekerasan!" Ujar mas Fauzan dengan nada penuh penekanan.

Seketika aku menoleh kearah mas Fauzan, "Menolak kekerasan? Bahkan untuk mencegah tindakan mesum!?" Ku tatap matanya setajam yang aku bisa.

"Mesum? Sik bentar, Ra! Ceritain yang bener! Tadi waktu apel si Jokab ngapain sih? Jangan sampe ada tindakan yang bisa bikin kita dikasi SP sama rektorat lho!!" Mas Fauzan kini melontarkan pandangan mata sama tajamnya dengan ku, tapi kearah kak Ratih.

"Jadi gini Jan ..." Kemudian kak Ratih mulai menceritakan semua hal yang terjadi, dengan ke-detail-an yang bikin aku kagum. Dimulai dari cerita soal temen angkatanku yang terlambat, Trus hal yang hanya terjadi antara aku dan si 'gondrong mesum' yang rupanya dipanggil mereka dengan nama Jokab, sampai nama para kakak tingkat yang mengambil tindakan setelah semuanya menjadi berantakan.

Kemudian mas Fauzan terlihat menutup wajahnya dengan telapak tangan Kiri. Lalu setelah membukanya kembali, ia menatapku datar, dan terdiam untuk beberapa detik. Membuat suasana ruang secretariat terasa canggung.

"Kenapa mas? ..." Aku memilih untuk menjadi orang yang memecah kebisuan saat itu, "... Sekarang dah tau, siapa yang bakalan jadi korban?"

Mas Fauzan mengeryit, "Tapi ya masak harus pakai kekerasan sih?"

"Harus lah! Siapa yang ndak jengkel mas, diteriakin 'Goblog' di depan mukak. Pertahanin pendapat, tapi pendapatnya gak masuk diakal. Udah gitu napasnya bau! Masih untung loh aku pake kepala. Kalo pake kaki, dah pasti masuk rumah sakit tuh orang mesum." Aku membalas pendapatnya, yang kuakui, saat itu aku memang berfikir menggunakan emosi.

Mas Fauzan mendengus kesal, "Iya La, dia masuk rumah sakit. Tapi kamu masuk kantor Polisi."

Aku mengangkat alis. Bukannya ndak sependapat sama mas Fauzan, cuman, aku sedikit terkesima dengan kegigihannya dalam berpendapat 'jangan pakai kekerasan kalau nyelesein masalah'.

"Udah, mukaknya gak usah bingung. Sini. Aku minta ijin buat nyentuh dahi sama kepala kamu. Boleh?" Mas Fauzan ngucapin itu dengan masih memasang wajah datar.

Aku melirik sejenak ke arah kak Ratih. Kulihat dia memebentuk senyum lembut sambil mengangguk. Mengisyaratkan kepadaku kalau semua akan baik-baik aja.

Aku kembali melihat kearah mas Fauzan, "iya deh mas. Gapapa."

"Oke. Sebelum itu, aku minta tolong, kamu lepas dulu iketan rambut kamu."

Aku menurutinya. Kulepas ikatan rambut, ku gerai rambutku ke belakang.

"Permisih ya." Ucapnya sebelum menyentuhkan kedua hari telunjuknya untuk menyingkirkan beberapa helai rambutku yang menjuntai kedepan.

Kemudian kulihat dia menyentuhkan ibu jari kanan miliknya tepat di tengah batas garis rambut di dahiku, dan memberi area itu sebuah tekanan lembut.

Sementara dengan ibu jari Kiri, ia menekan lembut di area tepat ditengah antara dua alis. Dilakukannya selama bebarapa detik, kemudian melepas kedua ibu jarinya dari dahi ku.

Lalu diletakkannya secara bersamaan kedua ibu jarinya beberapa centi diatas alisku, memeberi sedikit tekanan sambil mengeser lembut kearah samping kiri-kanan sampai pada area temple, diam sejenak disana beberapa detik, lalu mengangkatnya.

Dan mas Fauzan mengakhiri semua dengan melakukan sesuatu menggunakan ujung-ujung tiga jari: telunjuk, tengah, dan manis dari tangan kanannya, ia mengusap tepat di area yang kugunakan untuk melakukan 'sundulan maut' , sebanyak tiga kali. Sambil memejamkan mata dan bibir yang tampak merapal sesuatu?

Tapi yang mengejutkan adalah, sedetik setelah ia melakukan itu, seluruh area dahi ku terasa seperti dialiri perasaan hangat selama beberapa saat.

"Hwa! Bisa gitu ya?" Pekik ku sambil memegangi dahiku dengan takjub.

"Keren kan La?" Kak Ratih terlihat mengacungkan jempol nya kearahku. Aku pun membalasnya dengan mengangguk antusias.

"Dah. InsyaAllah ndak lebam-lebam amat. Oke. Aku mau balik ke ruang medic sebentar, mau nengokin si Jokab, trus ntar kesini lagi ..." Mas Fauzan berdiri dari duduknya. "... Kamu jangan kemana-mana La, ada yang mau kuomongin sama kamu ..."

Mas Fauzan kemudian menoleh kearah kak Ratih, "... Ra, tolong temenin Lala disini ya."

"Oke Ojan sayang." Kak Rara menjawab singkat.

Setelah mas Fauzan keluar, kak Rara langsung bergerak dan menghempaskan dirinya tepat disebelah ku, "Gimana? Masih sakit?"

Aku menggelengkan kepala, sambil kembali mengikat rambut. "Tapi benernya sih, kalo cuman kayak tadi, aku gak masalah kok. Sakitnya ndak seberapa kak."

Kak Ratih tersenyum, "Gini La. Mungkin, setelah ini bakal ada evaluasi khusus untuk kasus mu. Sebenernya tadi tuh cuman skenario La. Taktik yang kita susun untuk memancing individu-individu yang punya inisiatif lebih untuk membela teman, atau paling enggak, membela diri. And you did it! Splendidly!!" Terus kak Ratih tertawa. "... Tapi tenang aja, kamu bakal kubelain kok." Kulihat kak Ratih tersenyum tulus.

"Oke kak. Makasih." Hanya itu yang bisa kuucapkan.

Walaupun sebenernya aku sama sekali tidak takut akan segala konsekwensi yang bakal ku tanggung karena melakukan tindakan tadi pagi, tapi, melihat ketulusan yang di tampak kan oleh kak Ratih, membuatku tak bisa berkata apa-apa lagi selain "terimakasih".

"Eh La, tukeran nomer WA yuk! Mau?", ajak kak Ratih. Menyadarkanku kembali dari lamunan kecil.

Kuanggukan kepala sembari ngambil hape dari saku rok, Trus ngasiin hapenya ke kak Ratih.

Kulihat kak Ratih mulai mengetikkan nomor, Trus melakukan panggilan ke nomor nya sendiri.

Tak lama kemudian disusul dengan senyuman kak Ratih yang lebar saat ia melihat kearah layar ponsel miliknya. Dan mengembalikan ponsel milikku.

Tak lama kemudian, mas Fauzan kembali masuk kedalam ruang secretariat, lalu duduk pada sofa tunggal. Lalu menghela nafas Berat.

"Kenapa Jan? Susah ya?" Kak Ratih bertanya, sambil menampakkan wajah usil. Aku sampek hampir aja ketawa liat mukaknya. Kek nya asik juga nih temenan sama senior yang satu ini.

"Ngumpat-ngumpat gak jelas anaknya. Dan ku stop mulutnya pas mau mulai bawa-bawa warna kulit." Balas mas Fauzan ke kak Ratih.

Yang mana secara langsung membuatku naik pitam. Padahal emosiku tadi udah bener-bener membaik lho. Sambil kutunjukkan senyum terbaikku, aku berseru, "Oh! Mau bawa-bawa isu rasial? Gak terima gara-gara aku sipit? Ayo sini aja!! Dikiranya takut apa!?"

"Waduh! Salah ngomong aku kayaknya. Wes bocah sing iki atos pisan koyo ngene!! Wes, ngene wae La, kowe tak terke mulih wae. Mengko Surat e tak urusne lewat klinik e institute. Omahmu ningendi?" (..., bocah yang ini juga ikutan keras kayak gini!! udah gini aja La, kamu kuantar pulang aja. Nanti suratnya kuurus lewat kliniknya institute. Rumahmu dimana?). Mas Fauzan menampakkan raut wajah yang serius.

"Ndak usah mas, kalau emang harus pulang, Aku bisa pesen ojek. Aku ngerti kok kalau kelakuan ku yang tadi memang berlebihan, tapi aku nggak bakal minta maaf. Aku nggak salah." Ku balas pertanyaan mas Fauzan. Kemudian aku berdiri, melihat kearah kak Ratih, "Makasih ya mbak soal yang tadi. I really appreciate it. I truly do."

Kak Ratih ikut berdiri sambil tersenyum, yang tak lama kemudian mas Fauzan pun ikut berdiri sambil bertanya, "Kamu mau kemana?"

Kuangkat alisku, "Ambil tas, trus keruang medic. Mau ketemu sama si gondrong mesum. Sekalian nge-clear in masalah."

"Wah wah!! Gak gak!! Gak usah!! Tas mu tadi udah kuambil. Sekarang udah di pos depan. Ayo ku anter!" Mas Fauzan kali ini terdengar memaksa.

Dengan sikap tenang, aku bilang ke mas Fauzan, "mas Fauzan kok yakin, tas yang mas ambil itu tas punya ku?"

"Ransel Polo merah marun, dengan gantungan resluiting warna hitam, ada tulisannya 'Laurentia' di gantungan kunci nya? Itu tas yang sama yang kamu pake waktu pergi ke Solo kan?", mas Fauzan menjawab dengan tenang. Dan sukses bikin aku agak jengkel.

"Yaudah. Ayo pulang!" Kataku dengan Nada yang sengaja kubikin terdengar ketus kearah mas Fauzan.

Lalu kutatap kak Ratih, "Mbak, aku duluan ya."

Kak Ratih membalas dengan senyuman dan satu anggukan. "Ntar malem WA an sama aku ya."

Akupun mengangguk setuju.

Dan kami berjalan keluar dari ruang secretariat kearah sebuah pos jaga di samping pagar gedung jurusan. Namun saat baru aja aku dapat beberapa langkah, kudengar mas Fauzan sedikit berteriak memanggil namaku dari arah belakang. Ingin rasanya aku mengumpat. Aku udah Capek diteriaki hari ini.

Namun, rasa marahku terasa hilang seketika, saat ku berbalik, dan mendapati mas Fauzan tersenyum kearahku, "Kamu tunggu aku di pos ya! Mas Pa'i udah ku kasih tau soal kamu. Aku mau ambil motor dulu. aku cuman sebentar kok. Oke?".

Masih lelah dengan 'teriakan', tapi entah kenapa hatiku senang. Aku akhirnya hanya membalas dengan anggukan, lalu kembali membalikkan badan dan berjalan kearah pos.

Sesampaiku di pos, seorang petugas security terlihat melangkah keluar dari pos jaga sambil melihat kearahku. Wajahnya terlihat sangat kaku. Tipikal wajah-wajah seorang petugas keamanan. Kumisnya tebal. Alis mengerucut ke bawah di tengah dahi. Matanya melihat penuh selidik. "Mbak Lala?"

"Eh? Anu ... Iya pak. Saya Lala. Laurent". Aku masih inget banget. Hari itu aku beneran gugup waktu pertama kali ketemu sama security kampus yang ini.

Dan seketika setelah aku meng-konfirmasi pertanyaannya, secara tiba-tiba, wajahnya tersenyum. Semua berubah menjadi begitu hangat. Sikapnya, ekspresinya, Cara bicaranya.

"Woh, silahkan duduk sini mbak. Di kursi sini aja lho. Biar gak kepanasan. Mas Fauzan biasanya ga lama kok orangnya. Ayo mbak, monggo, silahkan," pak security nya mempersilahkan. Dan memang sinar matahari sudah terasa mulai mencubit kulit.

Akupun mendekat kearah kursi kayu panjang yang terletak sejajar dengan salah satu sisi dinding pos, dan mulai duduk. Sambil tersenyum kearah bapaknya, aku menyempatkan mata untuk melirik name-badge miliknya. Rifai. Oh ... Ternyata itu namanya.

Setelah melihat bapak security itu duduk pada sebuah kursi kayu tunggal, aku menyodorkan tangan, "Kenalin Pak, saya Laurent."

"Oh, iya mbak. Tadi udah dikasih tau sama mas Fauzan. Saya Rifai. Tapi anak² sini manggil saya pak atau mas Pa'i. Hehe ..." Pak Pa'i menyambut jabat tangan ku. Lalu wajahnya terlihat seperti sedang teringat akan sesuatu. Kemudian ia melepas jabat tangan, "... Oh iya mbak, sebentar."

Pak Pa'i masuk sejenak kedalam kubik pos yang cuman berbentuk persegi dengan luas kira-kira 3x3 M², kemudian bapaknya keluar sambil menenteng sebuah tas ransel yang sangat ku kenal. "Ini mbak. Silahkan diambil."

"Waaah, makasih pak. Maaf merepotkan." Ku ambil tasku dan menaruhnya di lantai tepat di depan kakiku.

Pak Pa'i terlihat kembali tersenyum lebar. Senyuman paling tulus setelah punya kak Ratih. Hari ini aku banyak dapat senyuman bagus! , "Mbak nya ndak ngerepoti sama sekali kok. Saya kalo sama mas Fauzan tuh udah plek, deket banget. Sering main futsal. Juga bantuin acara² agustusan. Kadang juga bisa sampe bikin masakan itali lho mbak. Dia tuh jago masak. Sering mbantu-mbantu. Malahan, pas istri saya lahiran, yang bawa ke klinik bidan tuh mas Fauzan. Lhawong sayanya pingsan begitu liat darah, wahaha..."

Oke, pak Pa'i ternyata orang yang lucu. Bahkan kalau tertawa, derajat taraf ke-lucu-an nya meningkat. Kumisnya bisa terlihat naik-naik lho pas diujungnya. Gaya ngobrolnya yang ternyata bisa dengan tiba-tiba berbelok ke arah cerita lain juga menambah kelucuannya. Ndak sadar, aku ikut tersenyum ketika mendengarkan cerita beliau.

"Lha itu orangnya. Monggo mbak." Kata pak Pa'i sambil menunjuk ke sebuah arah. Kuarahkan pandangan kesana, dan mendapati mas Fauzan yang sudah menunggangi sebuah motor tua, dan terlihat sedang mengendarainya meluncur mendekati pos ini.

"Ini mbak, monggo dipake. Tadi mbaknya kesini dianter ojek to?", kata pak Pa'i sambil menyodorkan sebuah helm.

aku sedikit terkejut. Masak sih pak Pa'i mengingat semua orang yang lalu-lalang keluar-masuk gedung ini?. Dan kalo emang kaya gitu, berarti orang ini bener-bener keren lho!.

"Udah mbak, ndak papa. Dipinjem aja dulu."
Pak Pa'i berusaha untuk kembali meyakinkan aku. Dan ... Akhirnya ku terima tawaran beliau.

"Makasih pak. Nanti saya titipkan ke mas Fauzan ya? Saya ndak akan pernah lupa sama kebaikan pak Pa'i." Ndak sadar, aku balas pak Pa'i pakai bahasa resmi. Setelah ku pakai helm, dan mengambil tas ransel, menaikkannya ke punggungku, pak Pa'i menepuk pundakku lembut.

"Mbak nya ndak usah kaku-kaku sama saya. Saya diajari mas Fauzan untuk suka bantuin orang. Jadi, mbak nya kalo butuh apa-apa jangan sungkan sama saya." Beliau mengucapkan itu semua dengan senyuman terbaik yang pernah aku lihat seumur hidup.

Tapi tunggu, bentar, mas Fauzan ngajarin?

"Pak Pa'i, aku minjem helm nya dulu yo, sebentar kok. Ini abis nganter, nanti langsung balik kampus lagi kok." Aku lumayan kaget waktu tiba-tiba kalimat ini terdengar. Tiba-tiba aja mas Fauzan udah ada dibelakangku.

"Kok suara motornya gak kedengeran sih mas?" Protest ku.

"Lha wong sepedanya ku tuntun, belum ku starter." Balasnya, sambil mengeluarkan sesuatu dari tas ransel yang dibawanya. Sebuah lipatan kain. Sepertinya, itu kain pantai. Kemudian mas Fauzan memberikan kain itu bersama dengan satu benda lain, sebuah jacket. "... Tuh pake La."

Kulihat mas Fauzan mulai menaiki motor dan mengayuh pedal starter.

Aku mulai mengenakan jacket yang diberikan, lalu mulai memanggul ranselku. "Trus, ini kainnya buat apa mas?"

Kemudian kudengar suara motorna mulai meraung. Dari atas motornya, dia menoleh kearahku, "Kamu ini umur berapa sih La? Tadi pagi marah-marah gak karuan gara-gara rok, tapi pas dikasi kain buat dibonceng naik motor, kamu nggak tau kainnya buat apa!?"

"Umurku 16 tahun mas. Emang ini dipake buat apa?" Balas ku, sambil nunjukin kain yang masih terlipat.

"Hah?! 16tahun!!? Sing nggenah kowe!!? (Serius kamu !!?)," mas Fauzan sedikit berteriak, lalu mematikan kembali motornya.

Suara berikutnya terdengar dari arah pak Pa'i, "itu dipake buat nutupin kaki mbak. Biar ndak keliatan, gitu."

Aku berpikir sejenak, lalu kemudian mulai memahami maksud mereka berdua. "Oh, ndak usah make ini juga ndak papa sih. Rok ku lumayan panjang kok. Nih, sedikit dibawah lutut. Ntar bonceng duduk miring aja."

"Sik, sebentar. Kamu bilang umurmu tadi berapa? 16? Kok iso udah kuliah?" Mas Fauzan terdengar seperti seseorang yang sedang protest akan sesuatu.

"Unh, aku Aksel dua kali mas. SMP sekali. SMA sekali." Jawabku.

"Dan tinggi mu udah segitu?" Lanjut mas Fauzan.

"Anu mas, keturunan dari mendiang papa mungkin. Beliau tinggi nya 189." Itu adalah ukuran peti papa dikurangi tebal kayunya. Dan sejenak membuatku sedih, mengingat moment terakhirku bersama dengan beliau.

"Oh, maaf La. Aku ndak tau." Mas Fauzan terlihat bersimpati.

"Ndak papa mas, mas kan belum tau. Yaudah, gimana nih? Jadi nganterin aku pulang?" aku mencoba mengganti topik.

"Jadi lah ..." Mas Fauzan mulai menyalakan mesin lagi. "Pake kainnya. Bonceng duduk ngadep depan aja. Aku ndak jago bonceng miring. No excuse!"

Aku menghela nafas. Kubuka lipatan kain pantai yang diberikannya, setelah aku naik, kubentangkan kain, dan menutupkannya di area paha sampai kebawah lutut, lalu duduk di jok. "Udah mas."

"Pak Pa'i, tak mangkat dhisik ya! (Aku berangkat dulu ya?)" Ucap mas Fauzan sebelum berangkat.

"Ndang di ulehne mas, anak e uwong kuwi. Ati-ati ning dalan. Jo ndelereng nyawang spion terus mergo nggonceng cah ayu!" Pak Pa'i berpesan ke mas Fauzan. Dan entah kenapa, mendengar pesan itu, wajahku rasanya memanas. Dan entah untuk alasan apa, aku ndak kepingin membubuhkan terjemahan untuk kalimat itu. Maafkan aku para pembaca.

Dan untuk siapapun yang mengetahui artinya, kalian kularang untuk mengetikkan terjemahannya pada kolom komentar! Please!. (Walaupun aku yakin, pasti selalu ada diantara kalian yang gatal untuk mengetikkan. Ah, sudahlah. Terserah kalian saja)

Baiklah, mari kita kembali ke cerita.

Perjalanan itu kami tempuh dalam diam. Mas Fauzan sama sekali tak membuka pembicaraan. Aku pun begitu. Selama perjalan, kuhabiskan waktu dengan memeluk tas ransel yang kuletakkan ditengah antara aku dan mas Fauzan, memfungsikan tas ku untuk menimpa kain agar tidak tersingkap karena angin. Dan entah semenjak kapan, aku sudah tenggelam dalam fikiranku sendiri, berfikir, jika sudah sampai rumah nanti, aku bakal ngapain.

Dirumah pasti sepi. Ini hari sabtu. Kakak sampai jam dua siang masih di kantor, dan biasanya setelah itu pergi ke gereja sampai jam 7-8 malam.

"Ini Trus belok mana La?" Suara mas Fauzan menarikku dari lamunan.

"Ntar di depan ada gapura warna coklat mas. Masuk ke perumahan. Nanti deretan sebelah kanan nomor 12. Rumah kecil pager item tembok krem." Tutur ku.

"Oke sip!" Mas Adam kembali memacu motor pada kecepatan menengah.

Dua menit kemudian kami telah sampai. Kulepas dan kukembalikan kain dan jacket pinjaman dari mas Fauzan, "Makasih mas udah nganterin pulang. Dak mampir minum dulu?"

Ia turun dari motor, sambil memasukkan jacket dan kain kedalam ranselnya, "Iya deh, aku mau ketemu sama ibu mu. Sekalian njelasin duduk perkara kenapa kok kamu hari ini pulang awal."

"Anu mas, sama kayak papa, mama udah ndak ada. Aku tinggal cuman sama kakak. Dan ... Jam segini biasanya Kakak juga belum pulang." Setelah kukatakan itu, raut wajah mas Fauzan terlihat sendu.

"Yaudah kalo gitu. Aku langsung balik kampus aja. Ndak boleh ada dua orang manusia beda kelamin sendirian dalam ruangan. Haram. Maaf ya." Mas Fauzan mengucapkannya sambil menampakkan wajah yang mengharap maklum.

"Oh iya mas, ndakpapa. Aku yang maaf kalo gitu. Makasih buat semuanya. Aku ndak bakal lupa." Kuucapkan dengan tulus.

"Santai aja La. Udah jadi tugasku sebagai senior. Aku balik kampus dulu deh. Ketemu hari senin ya. Jangan lupa tugas-tugasnya. Jangan sampai bikin masalah lagi sama senior." Ucapnya dari atas motor yang mesinnya sudah mulai menyala.

Aku mencoba tersenyum, "Selama ndak ada yang mulai, ku pastiin aku bakal jaga sikap kok mas. Tenang aja. Oh iya mas! Hampir lupa!", ku lepas helm yang dari tadi ternyata belum ku lepas. "... Ini punyanya pak Pa'i."

"Ya Allah, aku juga hampir lupa. Yawes, aku duluan La. Bye!"

Kulihat mas Fauzan menjauh sampai hilang setelah ia belok diujung tikungan.

Aku mulai melangkah masuk mendekat ke pintu rumah setelah mengunci pagar. Namun kulihat pintu pagar garasi dalam dalam keadaan sedikit terbuka.

Mencoba mendekat dan kudorong. Aku mendapati ada dua buah motor terparkir didalam. Salah satunya kukenali sebagai milik Kakak. Sedang yang satu lagi, aku tak mengenalnya. Mungkin Kakak sedang ada tamu.

Tapi saat akan kubuka pintu ruang tamu, pintu itu dalam keadaan terkunci. Dan setelah aku berhasil masuk menggunakan kunci milikku, dan berencana melangkah menuju ke kamar Kakak yang terletak dibelakang, saat akan mengetuk pintu, dari jarak yang masih agak jauh, kulihat pintu kamarnya sedikit terbuka.

Dan semakin membuatku ragu untuk mengetuk, ketika samar-samar kudengar suara suara lirih seperti dua orang yang mengobrol dengan pelan dan agak berbisik.

Oh tidak!, peristiwa seperti apa lagi yang akan melengkapi hari ku yang sudah terasa lumayan kacau ini.

Ingin rasanya aku mengurungkan niat untuk menyapa Kakak, dan langsung menuju kamarku. Namun rasa penasaran telah memakan logika ku. Dan tanpa kusadari, kedua kakiku sudah mengantarkanku tepat di depan pintu kamar Kakak yang tertutup tak sempurna.

Disela jarak yang sedikit terbuka diantara pintu dan kusen, aku bisa melihat Kakak sedang duduk di tepi kasur dengan wajah yang terlihat lelah, dengan seorang pria tampak sedang menggenggam salah satu tangannya, dengan lembut membelai punggung tangan kakak.

Ingin aku masuk dan menyapa keduanya, namun segera kuurungkan niat itu, ketika terdengar mereka melakukan percakapan,

"Gimana Nat? Suka?." Pria itu bertanya dengan nada penuh kelembutan.

Suara itu diucapkannya agak lirih. Dan yang membuatku total ingin mundur adalah saat kusadari pakaian kakak saat itu, dan jawaban kakak yang mengejutkan. Kakak cuman mengenakan kaus kedodoran dan celana pendek rumahan tiga perempat. Kakak menatap lembut lelaki itu sambil tersenyum dan menganggukkan kepala.

Dan seketika itu pula, aku segera mendapatkan gambaran, atau mungkin setidaknya sebuah dugaan, mengenai apa yang telah mereka lakukan. Atau tidak? Entahlah

Segera aku membalikkan tubuh. Kurasakan jantungku berdegup kencang. Lututku terasa lemas. Hatiku hancur. Tapi aku tak tau kenapa.

Saat beberapa detik kemudian aku sudah bisa menguasai diri dan ingin beranjak pergi, kudengar sang pria mengatakan lagi sesuatu. Dan tanpa sadar, aku kembali menoleh untuk melihat.

"Kamu keliatan capek Nat ..." Dengan satu tangan, pria itu membelai lembut kepala kakak, "... Maaf kalau aku tadi keterlaluan, kamu nggak papa ta?"

Dan untuk kedua kalinya, jawaban dan reaksi kakak membuatku terkejut.

Kakak memandangi wajah pria itu nanar, senyum nya semakin tulus. Lalu menjawab, "Ndak papa, kan aku yang ijinin kamu."

Kemudian kakak mentautkan kedua tangan nya kebelakang tengkuk pria itu, dan perlahan menarik pria itu kearahnya, perlahan wajah mereka mendekat.

Mampus!

Dan sebelum terjadi sesuatu yang kupikir akan terjadi, aku menguatkan lutut, dan perlahan pergi beranjak dari sana menuju ke kamarku dan mengunci pintu nya dengan pelan. Sebelum sesuatu akan terjadi lagi, aku tak ingin menyaksikan apapun itu.

Didalam kamar, aku mencoba untuk meresapi apa yang sedang kurasakan saat ini.

Aku marah, tetapi aku juga memaklumi. Aku sedih, tapi salah satu sudut hatiku mengatakan kalau aku harus merasa senang untuk kakak.

Aku ingin kakak bahagia. Aku ingin kakak juga bisa menikmati hidupnya. Aku ingin kakak untuk bisa merasa bahwa dia juga berhak atas waktunya sendiri. Aku tak ingin kakak terus menghabiskan waktu nya untuk selalu menghawatirkan diriku.

Tapi ...

Aku tak ingin kakak direbut oleh siapapun. Aku tak ingin kakak pergi.

Aku ingin ...

Aku ingin kakak selamanya hanya menjadi punyaku. Terus bersama sebagai satu-satunya kakak yang kusayang.

Namun aku juga menyadari, aku ndak boleh egois.

Disana, didalam kamarnya, kakak sedang bersama dengan seseorang. Yang jika kusimpulkan dari ekspresi kakak dan sikapnya, seperti nya kakak benar benar menyayangi pria itu.

Dan walaupun aku mendapatinya di saat dan moment yang sangat tidak tepat untuk seseorang yang masih di posisi seumurku, aku juga melihat pria itu sepertinya orang baik. Terlihat dari salah satu sikapnya yang terasa peduli dengan kakak. Sikapnya terasa tulus, dan terasa sekali kalau dia bener-bener menjaga kakak.

Tapi, Arrgh ...

Moment nya itu lho!

Kuacak-acak rambutku, dan kubenamkan wajah ke tumpukan bantal.

Sepertinya mentally, aku belum siap untuk menyaksikan adegan semacam itu. Masih bisa kurasakan perasaan dongkol. Dan sampai beberapa menit semenjak aku beranjak pergi dari pintu kamar kakak, jantungku masih belum bisa tenang lho.

Dan sepertinya, sampai kapanpun, aku harus bisa hidup dengan ingatan mengenai kejadian tadi. Karena otakku rupanya menolak untuk menuruti diriku untuk melupakan, atau seenggaknya berusaha menerima kejadian tadi sebagai sebuah kewajaran.

Wait, wajar!?

For goodness sake, kakak belum nikah sama orang itu! Gimana bisa wajar!!?

Atau ...

Sebenernya itu sudah sangat wajar di masyarakat saat ini? Dan karena aku nya aja yang terlalu kuper, jadi ndak paham soal hal-hal begituan? No no no!

Dilihat dari manapun, aku ndak bisa nggangep kegiatan mereka sebagai sebuah kewajaran. Ndak akan!

Ah entahlah. Saat itu kuakhiri ke galauan hatiku dengan sikap menerima hari, dimana aku untuk pertamakali melakukan tiga hal dalam hidup.

Untuk pertama kalinya aku membuat perkara dengan orang lain dan melukainya.

Untuk pertama kali aku berbicara intense dengan lawan jenis, dan berakhir diantar pulang olehnya.

Dan untuk pertama kali, aku menyaksikan adegan dewasa, dan secara live!, dan pelaku nya adalah kakak ku sendiri!.

Oke. Sepertinya bukan cuma tiga hal. Ah, aku malas menghitungnya.

Dan tepat sepuluh menit setelah peristiwa 'mengintip kakak sendiri', lagi-lagi! Untuk pertama kalinya! Aku mendengar suara kakak sedikit berteriak, memanggil sebuah nama. Nama seorang pria. Dan sukses bikin aku menutup kedua kupingku dengan bantal.

Oh tidak!! Bisa kulihat dalam pejaman mataku, masa-masa remajaku telah perlahan pergi meninggalkan diriku. Duh! Kenapa harus sekarang!? Kenapaaaa!!??

Dan kalian tau? Hari itu kakak sama sekali tak tau kalau semenjak pagi aku sudah pulang. Bahkan sampai kakak pergi keluar lagi, dan kembali saat hari sudah petang. Dan dengan wajah yang begitu riang.

Aku hanya bisa berharap ke siapapun pasangan kakak, walaupun cuma bisa kuucapkan dalam hati, tolong, siapapun pria yang saat ini sedang menempati hati kakak, jagalah kakakku. Jagalah dia sepenuhnya, dan terus buat kakakku bahagia bersamamu.

Err, maksudku bukan merujuk pada kegiatan kalian saat itu. Duh! Otakku!! Kenapa kamu ndak bisa lupain kejadian itu!! Damn!!

Bahagiakan kakakku. Dan aku berjanji ndak akan pernah mengusik kisah kalian.

Tapi, sekali aja aku tau kalau kamu ngecewain kakak, akan kupastikan hidupmu tak lagi punya masa depan!! Siapapun kamu, kau pasti tau apa maksudku!.

Dan akhirnya ...

Hari itu, menjadi sebuah hari yang kububuhi dengan predikat 'Hari dengan rekor peristiwa pertama kali terbanyak'. Ah, terlalu panjang. Mungkin akan lebih tepat kalau kusebut 'Hari pertama kali'.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro