Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kemaren malah lumayan banyak yang melanggar rules. Tapi aku tetap update untuk menghormati yang udah vomen sehingga hasilnya di atas target yang aku tetapin. Untuk selanjutnya, mohon ikutin rules, ya. Rules-nya berlaku sampai ceritanya tamat. Nggak perlu nagih, cukup vomen aja. Untuk para pencari typo, yang di wattpad emang versi mentah. Tulis langsung update, jadi pasti nggak nyaman untuk pencari kesempurnaan. Aku nggak akan memperbaiki versi wattpad karena swasunting dan revisi akan dilakukan di laptop aja setelah ceritanya kelar. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**

Prita tahu kalau dia harus melepaskan diri dari Erlan. Siapa yang memulai ciuman itu tidak terlalu penting, yang penting adalah bahwa dia yang harus memisahkan diri lebih dulu. Dia akan kehilangan muka kalau Erlan yang duluan mendorongnya menjauh. Kalau itu sampai terjadi, hanya bunuh saja yang akan bisa menyelamatkan harga dirinya.

Hanya saja, sial, si Robot ini tahu bagaimana cara mencium perempuan. Prita menyukai cara Erlan menggerakkan bibir di atas bibirnya sendiri. Caranya memprovokasi sehingga Prita membuka mulut tanpa merasa terpaksa. Laki-laki itu beraroma mint, bukan cabai, seperti omongannya yang pedas. Jadi alih-alih memisahkan diri, Prita mengeratkan kuncian di leher Erlan, karena kakinya seperti kehilangan kekuatan untuk menyanggah tubuhnya. Baiklah, untuk sekarang, persetan dengan harga diri. Jelas sekali kalau bukan hanya dia sendiri yang menikmati ini. Tidak ada tanda-tanda kalau Erlan akan mendorongnya untuk membuat jarak. Laki-laki itu malah menarik Prita sehingga tubuh mereka benar-benar merapat. Meskipun tidak ingin mengakuinya, ini adalah ciuman terbaik yang pernah Prita dapat. Dari mantan tunangan yang sekarang sudah tidak punya hubungan apa pun dengannya. Ironisnya adalah, mereka sama sekali tidak pernah seintim ini saat masih bersama.

Mereka terus berciuman untuk beberapa waktu, sampai Prita kemudian mendengar dehaman yang disengaja. Astaga, dia dan Erlan tidak lagi hanya berdua di tempat itu! Terengah, Prita buru-buru mendorong dada Erlan. Dia mundur beberapa langkah, melebarkan jarak. Ini-sangat-memalukan. Dia tidak berani menoleh ke pintu masuk untuk melihat siapa yang sekarang sudah bergabung dengan mereka.

Erlan juga berdeham, dia menyentuh punggung Prita sejenak sebelum bergerak menuju pintu yang sekarang dibelakangi Prita. Ya, setidaknya ada orang yang jelas tidak tahu malu di antara mereka.

"Sudah datang, Yo?" tegur Erlan. Nadanya setenang biasa, seolah beberapa detik lalu mereka tidak tertangkap basah berciuman sepanas itu. Prita benar-benar ingin mengutuknya, tetapi tidak tahu harus menggunakan kata apa, karena kata 'robot' rasanya tidak cocok lagi untuk menggambarkan Erlan. "Yuk, masuk."

"Ini sudah masuk kok, Pak." Seseorang yang dipanggil 'Yo' itu tertawa canggung. "Maaf jadi ganggu."

"Ini Prita." Erlan seperti tidak mendengar permohonan maaf tamu itu. Prita mulai familier dengan pengabaian laki-laki itu pada percakapan yang tidak menarik minatnya.

Prita menarik napas panjang berulang-ulang, mencoba mengatur denyut jantung yang sempat menggila. Dia berharap rona di wajahnya sudah menghilang saat akhirnya berbalik untuk melihat laki-laki yang sudah menginterupsi kecelakaan bibir antara dia dan Erlan.

"Hai," Prita mengulurkan tangan. "Prita."

Laki-laki muda itu tergesa menyambut uluran tangan Prita. Usianya pasti masih pertengahan dua puluh. Tampangnya yang menarik terlihat ramah. "Satrio, Mbak. Panggil saja Yoyo, seperti Pak Erlan."

"Yoyo arsitek yang akan mengerjakan gedung ini," jelas Erlan. "Aku sengaja minta dia datang sekarang biar bisa langsung diskusi soal revonasi kayak gimana yang kamu mau."

Prita benar-benar kagum dengan pengendalian diri Erlan. Tidak ada salah tingkah atau gestur lain yang menyatakan ketidaknyamanan seperti yang sekarang dirasakan Prita. Fokus laki-laki itu benar-benar luar biasa.

"Saya... saya belum lihat keseluruhan Gedung sih." Prita merasa benar-benar bodoh. Dia mungkin sudah berkeliling di sedung ini, sampai di lantai atas kalau tidak terlibat insiden tadi.

"Kalau gitu, kita lihat-lihat dulu, jadi Mbak Prita bisa memikirkan konsep yang diinginkan." Yoyo mengamati ruangan superluas kosong tempat mereka berdiri. "Luas bangunannya sekitar 30 x 20 meter persegi, ya?" Dia seperti menghitung dalam hati. "Tiga lantai, jadi 1.800 meter persegi. Sulit cari tempat strategis seperti ini di pusat kota Jakarta."

Melalui ekor mata, Prita melihat Erlan keluar dari gedung. Dia memilih mengabaikannya dan mengikuti Yoyo yang berkeliling.

"Saya mau kantor dan showroom di lantai bawah." Fokus... fokus...fokus. Jangan pikirkan laki-laki di luar sana.Ini bukan saat yang tepat. Jangan terdistraksi. "Di depan full kaca. Jadi tembok dan pintu lipat itu harus dibuka semua."

"Baik, Mbak." Yoyo membuat catatan di iPad-nya. Dia juga mengambil beberapa gambar. Mereka baru saja akan bergerak ke lantai atas saat Erlan muncul kembali dan berjongkok di dekat kaki Prita. "Kebesaran dan pasti bukan selera penggila fashion kayak kamu, tapi pasti lebih nyaman daripada sepatu konyol itu." Dia meletakkan sandal laki-laki yang pasti dia ambil di mobil.

Prita mengarahkan bola mata ke atas. Tidak bisa komentarnya dibuat sedikit lebih enak didengar, ya? Ah, tapi kalau lebih enak didengar, itu pasti bukan Erlan. Prita tidak membantah karena berkeliling naik turun tangga dengan sepatu yang dipakainya sekarang jelas tidak nyaman. Dia tidak suka berada di pihak yang kalah seperti ini, tapi tidak mungkin ngotot sekarang, apalagi di depan orang asing.

"Kalian naik duluan, aku nyusul." Erlan meraih sepatu yang sudah dilepaskan Prita sebelum berdiri, dan kembali keluar.

Mereka lantas berkeliling di lantai atas. Prita mengungkapkan konsep yang diinginkannya, dan Yoyo mencatatnya. Erlan hanya mengikuti, tidak terlalu banyak bicara.

"Jadi lantai diganti semua ya, Mbak?"

"Kamar mandi di atas, yang nantinya jadi kamar saya dibongkar total.

"Pantri di lantai 2 untuk karyawan. Dan dapur yang lebih besar di atas."

"Baik, Mbak."

"Lift-nya jangan terlalu kecil, ya." Erlan akhirnya bersuara.

"Pakai lift, Pak?" Yoyo balik bertanya.

"Pilihan sandal dan sepatunya kebanyakan konyol. Sulit naik tangga, apalagi kalau harus naik beristirahat di lantai 3. Ngantuknya yang terasa di bawah, malah hilang kalau naik tangga. Dan ruang produksi kan di lantai 2, biar gampang dibawa turun."

Prita mendelik. Dia tidak sebodoh itu mau berkeliling dalam tempat kerjanya denga high heels dan stiletto.

Diskusi yang lumayan panjang itu akhirnya selesai juga, dan Yoyo kemudian pamit. Prita mendesah. Ini saatnya. Akan sangat canggung seandainya Erlan memutuskan membahas soal ciuman yang mereka lakukan tadi. Namun, sampai mereka dalam perjalanan kembali ke rumah Prita, laki-laki itu tidak mengatakan apa pun. Seolah tidak ada yang pernah terjadi di antara mereka. Prita benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kepala Erlan?

Apa memang sebaiknya tidak usah dibahas saja? Tapi hal seperti itu tidak mungkin dianggap angin lalu juga. Hanya saja, tidak mungkin Prita yang mengungkitnya lebih duluu. Apa yang harus dikatakannya? Menuduh Erlan menciumnya lebih dulu? Kalau laki-laki itu mengelak dan berbalik mengatakan jika dia hanya menyelesaikan apa yang Prita mulai, seperti saat waktu dia mencium Erlan di depan Bastian tempo hari, bagaimana? Mengerikan.

Tanpa sadar Prita mengerang. Kenapa dia harus memakai sepatu itu tadi? Benda itu sudah pasti segera masuk museum karena keberadaannya mengingatkan akan nasib buruk.

"Kenapa?" tanya Erlan tanpa menoleh. Lebih baik begitu, karena Prita yakin ekspresi wajahnya pasti mencerminkan perasaannya yang galau, meskipun sudah berusaha ditutupi..

"Tidak apa-apa," jawab Prita cepat. Ke mana kemampuannya bersikap sarkastis? Badai ciuman tadi ternyata ikut menyapu sebagian akal sehatnya.

"Gambar dan contoh bahan dari Yoyo akan aku teruskan ke kamu kalau nanti sudah aku terima email-nya."

"Oke."

"Desain Yoyo pasti cocok untuk kamu. Dia masih muda, tapi sangat berbakat."

"Tentu saja." Prita tahu Erlan tidak mungkin asal memilih orang.

"Kamu mau membicarakan yang tadi?" Erlan akhirnya mengucapkan kalimat itu setelah Prita yakin mereka tidak akan membahasnya.

Prita menggunakan kesempatan itu untuk membela harga diri. "Bukan aku yang mulai!" walaupun dia tidak yakin, tetapi menyangkal lebih dulu akan menyelamatkan harga dirinya.

"Iya, aku tahu," sambut Erlan kalem. "Aku juga ada di sana tadi. Ingat?"

Prita mendelik. Ya Tuhan, laki-laki ini memang sangat menyebalkan.

**

Semoga vomennya tembus lagi, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro