Lima Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Settingan laptop berubah, dan karena pakai bahasa Inggris, dia terus mengecek ejaan dan mengubahnya seenaknya sendiri. Jadi maafkan kalau banyak typo. Belum sempet aku utak-atik buat kembaliin ke settingan awal. Mana aku gaptek. Bisanya ngetik doang. Hiksss. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess...

**

Prita mengarahkan bola mata ke atas saat mendapati Erlan ada di meja makan ketika turun dari kamarnya. Di hadapan laki-laki itu ada secangkir kopi yang masih mengepul. Dia sibuk dengan tablet di tangannya. Tidak terkoneksi dengan dunia luar.

Prita menggeleng-geleng. Ya Tuhan, orang itu pasti tidak normal. Tengah malam tadi dia turun mencari kudapan dan sayup-sayup mendengar suara percakapan Erlan dengan ayahnya. Dan sekarang laki-laki itu sudah berada di rumahnya lagi dengan penampilan serapi biasa. Apakah dia tidak butuh tidur seperti manusia lain? Ah, Erlan kan robot. Tentu saja tidur tidak ada dalam kamusnya. Dia bisa mengisi baterai sambil melakukan pekerjaan lain. Di mana kira-kira tempat colokannya? Jelas bukan di belakang leher, karena kalau ada di situ, Prita bisa melihatnya dengan jelas. Punggung, pinggang, atau malah paha? Bagian itu selalu tertutup. Cocok untuk menyembunyikan lubang tempat mengisi baterai.

"Kamu sudah merangkap satpam sekarang?" Prita mengambil tempat di depan Erlan. Seorang asisten muncul dan meletakkan secangkir teh hijau di hadapan Prita, dan segera menghilang secepat kedatangannya yang tanpa aba-aba. "Gaji jadi wakil Papa di kantor masih kurang, ya?" Meskipun kekanakan, Prita lumayan menikmati menjadikan kedudukan Erlan sebagai olok-olok. Hanya kepada laki-laki itu dia sering menyebut-nyebut soal uang dan kedudukannya sebagai anak Johny Salim. Untuk membuatnya merasa terintimidasi, tetapi Prita sendiri tidak pernah merasa taktiknya berhasil. Erlan tidak pernah tertarik menanggapi konfrontasi yang dia tawarkan.

Erlan terus menekuri tablet, tidak ada tanda-tanda kalau dia mendengar Prita.

"Nggak perlu menjilat seperti ini, kamu toh tahu kalau Papa nggak punya kandidat lain untuk menggantikan dia."

Tidak ada reaksi.

Prita menyesap tehnya. "Kamu dan Papa itu pasangan yang cocok," dia masih terus mencoba mengusik Erlan. "Selalu punya waktu untuk pekerjaan. Tapi Papa masih mendingan sih. Dia tahu bagaimana harus menikmati hidup. Kalau kamu, apa yang kamu kerjain saat weekend? Menganalisis pencapaian kinerja perusahaan? Keliling Indonesia buat cari lahan baru? Kedengarannya menyenangkan. Kerja, kerja, dan kerja. Saat menyadari dan menyesali kamu nggak menghabiskan waktu cukup banyak untuk bersenang-senang, waktu itu kamu mungkin sudah bongkok dimakan umur. Kasihan." Ya, keterlaluan, Prita juga tahu, tapi kediaman Erlan membuatnya kesal.

Kali ini Erlan mengangkat kepalanya. Tatapannya terlihat bosan. "Kamu harus berusaha lebih keras kalau ingin membuatku kesal. Jadi sebaiknya nggak usah buang-buang waktu untuk mencoba menjadi orang yang menyebalkan. Lebih baik kamu mengurus acara yang menjadi tanggung jawab kamu."

Sialan. Alih-alih berhasil membuat Erlan tersinggung, sekarang Prita yang sebal. "Aku tahu apa yang aku kerjakan. Aku berkoordinasi dengan Mbak Uchy. Kami sudah sepakat tentang banyak hal."

"Semoga bukan sepakat soal gosip," gumam Erlan, cukup untuk tertangkap telinga Prita.

Prita mendelik. "Lihat saja hasilnya nanti. Aku juga akan bertemu dengan Ardhian untuk—"

"Kamu nggak perlu bertemu orang TV," potong Erlan. "Itu gunanya kita membayar EO dengan harga mahal, supaya kita nggak perlu bergerak sendiri. Hanya perlu mengawasi."

"Apa salahnya ketemu Ardhian? Mungkin saja dia punya ide menarik yang bisa dipakai untuk acara kita."

"Kita sudah punya ide sendiri, tidak butuh masukan dari orang luar. Ini acara rutin, kalau ada yang baru, itu kamu, karena kamu baru kali ini terlibat."

Prita jadi penasaran, apakah Erlan berkebun cabai rawit di dalam perutnya? Karena semua kata-kata yang keluar dari mulutnya beraroma pedas. Semua orang yang berada langsung di bawah garis komandonya pasti mimpi buruk setiap malam.

"Jangan lupa, kalua bukan karena Ardhian, kita nggak mungkin bisa mendapatkan Felis Aliandra sebagai pengisi acara," kata Prita tidak mau kalah.

"Tanpa Felis Aliandra, acara kita tetap akan meriah," sambut Erlan dengan raut bosan yang konsisten. "Orang datang karena Johny Salim, bukan karena siapa yang mengisi acara. Kalau mau melihat penyanyi, mereka bisa ke konser. Atau malah bisa mengundang mereka secara pribadi untuk menghibur saat mereka makan malam di kebun belakang rumah mereka."

Prita menelengkan kepala, terus menatap Erlan. "Kamu nggak suka Felis Aliandra?" Itu tidak masuk akal. "Suaranya bagus banget. Dia juga cantik gitu." Ardhian terkenal sebagai pemburu perempuan cantik sejak dulu. Dia hampir mendapatkan semua yang dikejarnya. Catatannya hanya kotor karena pernah ditolak Becca. Jadi kalau Ardhian mengikat diri kepada seseorang, kualitasnya pasti luar biasa.

Erlan tidak menjawab. Dia hanya menggeleng-geleng bosan, lalu kembali menekuri tablet. Sepertinya dia lebih tertarik pada benda itu daripada percakapannya dengan Prita.

"Laki-laki normal pasti menganggap Felis Aliandra itu cantik banget."

"Kamu mau kembali pada teori bahwa aku nggak normal?" Erlan menanggapi tanpa mengangkat kepala. "Aku pikir kamu nggak mau membahas itu lagi."

Dasar manusia jadi-jadian. Giliran bicara banyak, isi kalimatnya menyebalkan semua. Prita buru-buru mengangkat gelasnya, memilih memutus interaksi. " Ini salahku yang nggak belajar dari pengalaman. Seharusnya aku nggak mengajak kamu bicara. Bisa merusak mood." Dia bermaksud meninggalkan meja makan saat ayah dan ibunya datang. Ini benar-benar ujian di pagi hari. Prita kembali duduk.

"Kamu nggak mau ikut?" Johny Salim bertanya kepada Prita setelah menyerahkan tasnya kepada salah seorang asisten yang ada di situ.

"Mau ke mana?" Prita balik bertanya. Pantas saja si Robot datang sepagi ini, ternyata mereka mau pergi.

"Ke Jogja. Mau lihat lokasi di sana. Katanya ada masalah. Ikut saja, kamu bisa makan gudeg di sana. Nggak lama kok. Daripada tinggal di rumah saja weekend gini, kan?" Johny Salim menoleh ke arah Erlan. "Pilot kita yang ikut siapa?"

"Pak Agus, Pak," jawab Erlan. "Dia saya hubungi semalam dan saya minta stand by di Halim pagi ini supaya kita bisa langsung berangkat."

"Baguslah." Johny Salim kembali ke Prita. "Ikut?"

Prita tidak akan ikut bersama si Robot. "Mbak Sarti juga bisa bikin gudeg enak, Pa. Nggak perlu keluar rumah, apalagi harus ke Jogja segala kalau cuman mau makan gudeg. Daripada jalan, aku mendingan tiduran saja di kamar."

"Kamu nggak keluar sama Becca?" tanya Yura. "Biasanya kan sama dia kalau Weekend."

"Sama dia kalau Ben ada kerjaan, Ma. Sekarang Ben lagi lowong. Becca pasti lebih senang jalan sama tunangannya daripada sama aku, kali."

"Kamu sih, coba kalau nggak membatalkan—" Yura menghentikan kalimatnya. "Nggak apa-apa, lupain aja. Memang sudah nggak ada gunanya diomongin sekarang."

Terlambat. Prita langsung cemberut. Ibunya benar-benar keceplosan tidak kenal tempat. Mengatakan hal itu di depan Erlan hanya akan membuat laki-laki itu tahu kalau dirinya masih menduduki urutan teratas dalam daftar calon suami yang diinginkan orangtuanya.

Ayah Prita yang menyadari suasana sudah rusak lantas berdiri dan menepuk pundak Erlan. "Kita sebaiknya berangkat sekarang. Mondar-mandir ke sana kemari memang lebih cocok dilakukan laki-laki seperti kita."

Prita langsung menekuk wajah setelah ayahnya dan Erlan pergi.

"Aku dan Erlan itu sudah nggak ada hubungan apa-apa. Dan akan terus seperti itu. Sebaiknya Mama move on deh."

Yura ikut cemberut. "Harapan Mama itu urusan Mama sendiri. Kamu juga nggak usah ikut campur. Doa Mama itu tujuannya ke Tuhan, bukan ke kamu."

"Nggak semua doa dikabulkan, Mama tahu itu."

"Seenggaknya Mama berusaha. Lagian nggak ada tahu juga kan, doa mana yang mau diijabah?" Yura menarik cangkir tehnya mendekat. "Kamu sebaiknya balik ke kamar, atau cari kerjaan lain yang lebih berguna daripada mendebat Mama. Mama nggak mau mood Mama rusak gara-gara kamu."

Prita berdecak. Mood-nya sendiri sudah berantakan sejak tadi karena terlibat obrolan tidak berfaedah dengan si Tuan Robot. Hidup sungguh tidak adil.

Ponsel yang Prita letakkan di atas meja tiba-tiba berdering. Dia meraih dan melihat nomor tidak dikenal muncul di layer. Biasanya dia tidak melayani nomor tanpa identitas, tetapi karena suasana hatinya sudah telanjur jelek, dia menerima panggilan itu.

"Halo?" sambutnya datar.

"Prita, ini beneran elo, ya?" suara itu terdengar familier.

"Iya. Maaf ini dengan siapa, ya?"

Orang di ujung telepon tertawa. "Ya ampun, sombong banget lo. Ini gue, Ardhian. Gue dapet nomor lo dari Mbak Uchy."

Prita ikut tertawa. "Halo, Playboy, lo masih sejelek terakhir kita ketemu?" Ya, setidaknya dia masih bisa menikmati tawa bersama teman lama di telepon.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro