Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Makasih untuk voment-nya yang tembus 3K, ya. Dan aku akan sangat menghargai kalau pembaca menghindari komen, "Lanjut", "next", dan berbagai kata bernada perintah lainnya. Juga, "kok pendek dan dikit banget, sih?" yang pendek dan dikit banget ini ditulisnya jauh lebih lama daripada saat dibaca aja. Oke, hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess...

**

Erlan tahu kalau Prita tersinggung dengan apa yang dikatakannya, tetapi dia tidak berniat meralat ucapannya. Perempuan itu harus belajar menerima kenyataan dan kejujuran yang pahit. Seumur hidup, dia pasti sudah terbiasa dengan sanjungan, puja-puji, dan jilatan dari semua orang yang ingin dekat dengannya. Orang-orang yang menginginkan sesuatu sebagai timbal balik. Priita memang sudah belajar banyak dari kejadian yang melibatkannya dalam pembunuhan Bernard beberapa bulan lalu, tetapi dia harus tetap diingatkan kalau dalam hidup, kesenangan dan kekecewaan itu selalu beriringan, saling bergantian mengisi hari.

Erlan juga bisa membaca kalau proyek ulang tahun perusahaan yang memberi Prita tanggung jawab besar pertamanya sejak pulang ke tanah air adalah usaha Johny Salim untuk mendekatkan mereka kembali. Erlan sedikit bersimpati kepada laki-laki itu, karena tahu persis jika rencananya tidak akan berjalan sesuai keinginannya. Dia dan Prita tidak akan kembali bersama. Pertunangan mereka dulu adalah kesalahan. Syukurlah Prita mengerti itu sehingga akhirnya memutuskan hubungan mereka.

Dulu Erlan benar-benar tidak menduga Prita akan menerima pertunangan mereka, dan sempat ketar-ketir saat melihat usaha Prita mendekatinya, setelah sempat menjaga jarak juga. Bukan mendekati dalam arti menyodorkan diri, tetapi Prita berusaha membuat mereka akrab. Orang seperti Prita jelas bukan tipe orang yang akan menyodorkan diri ke mana-mana. Erlan juga tahu kalau Prita menerima ide pertunangan itu lebih karena tidak mau membantah orangtuanya, bukan karena jatuh cinta kepadanya. Perempuan itu sudah terbiasa tinggal di luar negeri, jadi sudah bertemu dengan banyak laki-laki yang secara fisik dan pembawaan jauh lebih menarik daripada dirinya sendiri. Prita pasti memutus rantai petualangannya dengan menerima laki-laki yang disodorkan orangtuanya dengan alasan yang menjadi justifikasi semua anak di dunia. Berbakti kepada orangtua.

Jadi, Erlan sama sekali tidak menyalahkan Prita saat perempuan itu akhirnya merasa bosan, karena itulah yang dia harapkan sejak awal. Prita yang memutuskan hubungan mereka, karena tidak mungkin Erlan yang melakukannya. Dia sudah belajar menjadi laki-laki sejati. Laki-laki yang memegang teguh semua kata dan janji yang dia ucapkan. Dia sudah berjanji kepada Johny Salim untuk menerima Prita sebagai tunangan (karena yakin prita menolak), dan dia tidak akan melanggar janji itu. Jadi Prita lah yang harus mengambil alih tugas itu. Erlan hanya membuka jalan dengan menjaga jarak, sehingga Prita tidak tahan kepadanya.

Hanya saja, Prita kemudian terlibat kasus Bernard. Sedikit banyak, Erlan merasa bertanggung jawab karena Prita tidak mungkin akan bermain api dengan orang lain, kalau dia memberi sedikit saja perhatian. Tidak ada perempuan yang suka diabaikan. Tentu saja tidak Prita Salim yang terbiasa menjadi pusat perhatian.

Lalu, mengapa Erlan berkeras membuat Prita merasa jengkel kepadanya? Karena sudah jelas orang seperti Prita Salim tidak dilahirkan untuk bersanding dengan dirinya. Johny Salim tidak memilih orang yang tepat untuk anak perempuan semata wayangnya itu. Dia hanya kenal Airlangga Sutanto di permukaan, tetapi tidak tahu orang seperti apa sebenarnya dia. Prita Salim berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik. Bukan dirinya.

Dia punya gen jelek dalam dirinya. Ada dalam cetak biru DNA-nya. Ayahnya mewariskan sifat itu. Erlan pernah berpikir jika dia jauh lebih baik daripada ayahnya. Dia orang yang bisa mengendalikan diri. Dia pernah percaya itu. Sampai dia lepas kendali. Dan seperti ayahnya, dia juga bisa memukul orang secara membabi-buta dan berdarah dingin tanpa merasa menyesal. Sekali saat menghajar seseorang yang mencoba melecehkan Felis, dan sekali saat berhadapan dengan preman yang dibayar untuk mengintimidasi Johny Salim saat bersengketa dengan lawan bisnis terkait pembebasan lahan pembangunan apartemen. Saat itu Erlan sadar, bahwa jauh di dalam sana, dia sekelam ayahnya. Prita Salim yang hidupnya berwarna merah jambu itu tidak boleh rusak di tangannya. Erlan juga belum lupa bagaimana dia ikut memukuli Lucca, padahal waktu itu mereka sudah berada di kantor polisi. Intinya, dia tidak sepenuhnya bisa mengendalikan diri, meskipun ingin. Bagaimana jika suatu saat nanti Prita harus bernasib seperti ibunya saat kendali dirinya lepas?

"Ayah kamu dulu nggak kayak gitu," dulu ibunya sering mengulang kalimat itu setelah dipukuli dan ayahnya pergi meninggalkan bilur dan luka-luka. "Dia penyayang, makanya Mama mau menikah dan ikut dengan dia."

Ayahnya berubah. Bagaimana kalau dia juga berubah suatu saat nanti, saat kemarahan mengambil alih? Johny Salim adalah penyelamat Erlan, dan anaknya sebaiknya dibuat menjauh, sejauh-jauhnya sebelum menjadi korban. DNA bukanlah sesuatu yang bisa diperbaiki. Erlan tahu, dari segi genetik, dia cacat perilaku.

"Kita akan meeting dengan EO besok. Kamu mau kita bertemu mereka di luar, atau di kantor saja?" Erlan kembali membuka suara setelah sekian lama diam. Dia menoleh sesaat dan melihat Prita masih terus melihat keluar jendela, enggan memandangnya.

"Terserah kamu,' jawab Prita malas. "Bosnya kan kamu. Secara struktur organisasi, aku jauh berada di di bawah."

"Jangan lupakan fakta kalau kamu anak Pak Johny." Erlan bisa merasakan kemarahan yang simpan Prita untuknya, meskipun perempuan itu menutupinya. Ya, Erlan tahu dia pantas menerimanya setelah kata-katanya yang kasar dan terkesan menyerang tadi. Wajar sekali sikap Prita kali ini berbeda dengan apa yang ditunjukkannya semalam, saat menyergapnya dengan ciuman hanya untuk menunjukkan bahwa dia gay di hadapan Bastian. Meskipun itu mengejutkan, tapi Prita tampak lucu dengan sikap sok tahunya itu. Apalagi saat dia tampak salah tingkah dan buru-buru kabur. Jarang-jarang dia menunjukkan sisi dirinya yang seperti itu. Prita Salim yang normal adalah perempuan percaya diri dan suka menyindirnya, meskipun dia akan tampak sopan, meskipun berjarak kepada orang lain. Seperti sikap yang juga dulu ditunjukkan kepadanya sebelum peristiwa Bernard.

"Aku anak biologis Papa." Prita tetap tak menoleh. "Tapi kita berdua tahu kalau kamulah yang akan memegang kendali usaha Papa."

"Kalaupun akhirnya seperti itu, perusahaan itu tetap akan jadi milik kamu. Pak Johny yang memiliki mayoritas saham. Aku tetap hanya jadi pegawai kamu."

Kali ini Prita tertawa sinis. "Kedengarannya bagus. Aku meunggu saat-saat aku bisa menyuruhmu melakukan apa pun hanya supaya kamu terlihat konyol."

"Aku nggak akan pernah terlihat konyol," balas Erlan. Dia tahu kalau seharusnya dia diam saja, tetapi membantah Prita terasa seperti hiburan. "Aku bukan tipe orang berkeliling mencium orang lain hanya untuk membuktikan sesuatu yang tidak ada."

Prita menoleh cepat. "Kita sudah sepakat untuk nggak membahas itu lagi! Peristiwa itu tidak ada. Tidak pernah terjadi!" Dia menepuk dahi. "Astaga, seharusnya aku tahu kalau laki-laki beneran nggak bisa dipercaya!"

"Aku nggak menyinggung kamu." Erlan sengaja tidak melihat Prita. Dari nadanya yang sebal, dia tahu perempuan sudah kembali bersemangat melawan. Rasa bersalahnya sedikit berkurang. "Aku hanya memberi contoh."

"Kamu pikir umurku 5 tahun? Aku tahu persis apa yang kamu maksud."

"Hei," Erlan memutuskan mengalah. "Kita akan sering berkomunikasi mulai sekarang. Kita nggak akan menghasilkan banyak hal bagus kalau hanya menghabiskan waktu berdebat dengan hal-hal kecil seperti ini."

"Bukan aku yang mulai!" sentak Prita.

"Baiklah, aku minta maaf." Erlan tahu dia yang harus mengucapkan kalimat itu lebih dulu. Prita memang benar saat mengatakan bukan dia yang memulai perdebatan. "Tapi karena kita akan bekerja serius, aku harap kamu berhenti bermain-main dengan Orlin dan Bastian. Mereka sama sekali nggak cocok. Dan kalaupun mereka akhirnya saling tertarik, biarkan itu jadi keputusan mereka berdua. Jangan ikut campur."

"Kamu sudah berapa kali jatuh cinta?" tanya Prita, melenceng dari topik Bastian dan Orlin.

"Maksud kamu?" Erlan balik bertanya.

"Kalau lihat sikap kaku kamu, aku yakin kamu belum pernah jatuh cinta. Mengapa aku harus mendengar saran dari orang yang nggak tahu apa itu cinta? Aku yakin Bastian dan Orlin akan cocok. Mereka hanya butuh sedikit dorongan untuk menyadari itu."

Erlan hanya bisa menggeleng-geleng. "Setidaknya, tunggu sampai acara kita selesai supaya fokusmu nggak teralihkan. Bastian dan Orlin nggak akan ke mana-mana kalau kamu masih bersemangat menjodohkan orang."

"Dijodohkan itu nggak terlalu buruk." Nada Prita juga ikut turun. "Memang nggak berhasil sama kita, tapi belum tentu gagal sama Bastian dan Orlin juga. Setiap orang punya garis tangan berbeda."

"Terserah kamu. Aku hanya nggak mau kamu kehilangan fokus. Kalau kamu ingin kelihatan lebih daripada sekadar Prita Salim di mata orang-orang, ini saatnya. Jangan mengacaukannya."

Prita melengos. "Nggak usah mengajari. Aku tahu apa yang aku lakukan."

Erlan mengedik. Percuma mendebat. Hanya akan membuat mereka kembali saling menyerang seperti anak-anak. Untunglah gedung kantor mereka sudah kelihatan. Rasanya perjalanan pulang ke kantor lebih cepat daripada saat pergi ke restoran tadi. Aneh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro