Tiga Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti biasa, minim editan, ya. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaessss....

**

Macet belum pernah membuat Erlan sekesal ini. Pesawatnya di-delay beberapa jam sehingga dia terlambat sampai ke Jakarta. Biasanya dia menikmati perjalanan keluar daerah melihat perkembangan cabang perusahaan, tetapi tidak kali ini. Seharusnya dia kembali kemarin dari Makassar, tetapi tertahan ada masalah dengan pembebasan lahan. Pemilik lahan terdiri dari beberapa orang, dan mereka tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan perusahaan. Erlan terpaksa harus mengadakan pertemuan dengan mereka untuk menyelesaikan masalah itu, karena pimpinan cabang di sana tidak berani mengambil keputusan sebab harga yang diminta pemilik lahan di atas plafon yang ditetapkan.

Erlan meninggalkan Bastian yang menjemputnya di bandara, menyuruhnya memesan taksi karena dia bermaksud langsung menuju ke rumah Prita. Perempuan menyebalkan yang sengaja tidak mengangkat atau membalas pesannya dari tadi pagi. Hari ini Erlan belum melihatnya karena Prita tidak ke butik, sehingga dia tidak bisa dipantau melalui CCTV di ponselnya.

Dia mengerti kalau Prita kesal karena dia sudah menyanggupi untuk datang bersama ke pernikahan Becca, tetapi kemudian memutuskan menunda kepulangan karena harus menyelesaikan masalah di Makassar.

Tentu saja Erlan tidak bermaksud melanggar janjinya. Dia berpikir tetap akan bisa ke acara Becca meskipun baru bisa pulang hari ini. Makassar-Jakarta hanya 2 jam penerbangan. Dia punya waktu yang cukup untuk istirahat sebelum menjemput Prita. Yang tidak diantisipasinya adalah delay tadi. Dia sudah mencoba mencari penerbangan lain, tetapi tidak menemukan yang lebih cepat. Jadi dia terpaksa harus menunggu meskipun dongkol setengah mati.

Seperti yang sudah diduga Erlan, baik Prita maupun kedua orangtuanya sudah tidak ada di rumah. Mereka sudah ke hotel tempat resepsi pernikahan Becca dan Ben diadakan. Erlan tidak punya pilihan selain mampir di mal untuk membeli pakaian sebelum menyusul ke tempat resepsi. Dia tidak mungkin kembali ke apartemennya untuk berganti pakaian. Sama dengan tidak mungkin memakai jeans yang sedang dikenakannya untuk ke pesta pernikahan. Pakaian yang ada di koper kecilnya di bagasi juga sudah kotor semua.

Memikirkan kemungkinan Prita benar-benar marah kepadanya sangat tidak nyaman. Bagaimana kalau Prita yang menganggap hubungan mereka tidak lebih daripada sekadar permainan itu sudah membosankan? Bukankah Prita memang selalu menyebutnya sebagai laki-laki yang membosankan? Untuk apa perempuan secantik dan semenarik Prita bertahan? Ada banyak laki-laki lain di dunia ini yang bersedia menggantikan tempatnya menjadi permainan Prita. Pikiran itu membuat Erlan memukul setirnya kuat-kuat.

Sesaat kemudian dia tersadar. Dia mengembuskan napas pelan-pelan. Baru saja dia melakukannya lagi. Lepas kendali. Dia begitu mudahnya lepas kendali hanya karena memikirkan kemungkinan kehilangan Prita. Bagaimana kalau dia lepas kendali saat berhadapan dengan Prita dan menyakitinya? Prita bukan perempuan lemah yang penurut saat diberitahu tentang sesuatu. Alih-alih seperti itu, Prita tahu persis bagaimana memancing emosinya. Dia tipe orang yang akan melakukan dan mengatakan apa pun yang dia inginkan.

Perlu beberapa waktu untuk menenangkan diri di tempat parkir sebelum Erlan kemudian masuk ke dalam hotel. Dia harus mengitari ball room yang padat, sebelum matanya kemudian menemukan Prita. Perempuan itu sedang tertawa. Tidak ada tanda-tanda kekesalan atau kegundahan dalam ekspresi dan gesturnya. Erlan sama sekali tidak menyukai apa yang dilihatnya. Terutama saat menyadari siapa yang menjadi teman ngobrol Prita. Dia memantapkan langkah mendekat.

**

Memang ada orang yang membiarkan dirinya dikendalikan pekerjaan. Erlan salah satu di antara orang-orang menyedihkan itu, pikir Prita sengit. Laki-laki itu sudah berjanji akan menemaninya ke acara pernikahan Becca dan Ben, tetapi malah menunda kepulangan sehari karena katanya harus menyelesaikan masalah yang muncul di kantor cabang yang dikunjunginya.

Apa gunanya direktur perusahaan di sana digaji kalau tidak bisa menyelesaikan masalah yang menjadi tanggung jawabnya? Prita yakin Erlan tinggal karena tidak menganggap janjinya terlalu penting untuk ditepati. Kalau dia sepenting itu bagi Erlan, laki-laki itu akan melakukan apa pun supaya tidak mengecewakannya. Prita kemudian memutuskan mengabaikan panggilan telepon dan pesan Erlan. Kalau laki-laki itu tidak menganggapnya penting, mengapa dia harus bersikap sebaliknya? Bisa-bisa dia curiga kalau Prita sudah main hati dalam permainan physical attraction ini. Itu memang benar, tetapi Prita tentu saja tidak akan mengakuinya kalau perasaan Erlan masih tak terbaca. Dia kompetitif, dan tidak ingin kalah dalam permainan yang dimainkannya.

Prita memisahkan diri dari kedua orangtuanya setelah masuk dalam ball room. Ardhian yang ternyata hadir juga menarik sikunya, sehingga Prita membatalkan langkah menuju pelaminan. Memang lebih baik memberi selamat belakangan saja karena tamu sedang padat-padatnya. Mustahil bisa mengucapkan sesuatu lebih daripada kata selamat dengan antrean yang mengular seperti itu.

"Lo diundang juga?" Prita mengikuti Ardhian yang mengajaknya menjauhi antrean undangan menuju pelaminan.

Ardhian tertawa. "Sayangnya bukan Becca yang ngundang gue. Mertua dia notaris perusahaan kami."

"Tunangan lo mana?" tanya Prita lagi. Ardhian tidak mungkin mengajaknya ngobrol kalau dia punya pasangan yang harus diperhatikan.

"Lagi ada tur di S'pore. Risiko punya pasangan penyanyi tenar ya gini ini, dia ke mana, gue ke mana. Kadang-kadang mau ketemuan saja harus cocokin jadwal. Eh, gue sudah pernah ngomongin ini, ya?"

"Lo curhat ya, Bang?" ejek Prita.

"Sialan!" Tapi tawa Ardhian terdengar lagi. "Mau gimana lagi. Udah telanjur cinta ini. Lo sendiri kok nggak bawa bodyguard lo itu?"

"Siapa?" Prita pura-pura tidak mengerti. "Oh... Orlin? Dia nggak ikut karena gue ke sini numpang ortu."

"Lo beneran," Ardhian mengulang, mempertegas. "Maksud gue... bener-bener sudah putus sama Airlangga?"

Prits mengarahkan bola mata ke atas. "Untuk ukuran laki-laki yang sudah punya tunangan cantik, lo kedengaran kelewat kepo sama urusan asmara gue."

Ardhian meringis, tapi gesturnya tidak nyaman. "Ya, gue konyol sih karena ngakuin ini, tapi kalau Airlangga sudah terikat sama elo, kemungkinan dia balikan sama Felis akan lebih kecil sih. Gue bisa lebih santai dan nggak cemburuan lagi setiap kali dia menghubungi Airlangga dan ngobrol di telepon."

Tentu saja ini tentang Felis. Prita hampir memukul kepala karena bisa sempat lupa tentang lingkaran yang menghubungkan Erlan, Pelis, dan Ardhian. "Felis Aliandra kan sudah memilih elo. Kenapa harus insecure gitu?" Ini bukan kali pertama mereka bicara tentang hal itu, membuktikan kalau kecemasan Ardhian tidak mengada-ada. Prita menunjuk laki-laki di depannya dari atas ke bawah. "Lihat diri lo. Lo punya semua yang perempuan mau dalam diri laki-laki untuk dijadikan pasangan. Lidah gue akan sariawan karena ngomong gini, tapi lo cakep dan mapan."

Ardhian mengedik. "Mapan. Itu yang bikin Felis dulu memilih gue ketimbang Airlangga. Beberapa tahun lalu, Airlangga memang bukan apa-apa dibanding gue, dan Felis belum sesukses sekarang. Tapi keadaannya sudah beda. Felis secara finansial sama sekali nggak tergantung gue lagi. Airlangga juga bukan orang yang sama seperti dulu lagi. Kalau Felis memutuskan kembali pada Airlangga, sulit membujuknya untuk berubah pikiran."

"Menurut lo, kemungkinan mereka balikan masih ada?" Prita sama sekali tidak suka dengan pertanyaannya, tetapi dia benar-benar ingin tahu.

"Ikatan mereka lebih kuat daripada sekadar mantan sih. Gue nggak tahu apa Airlangga pernah cerita ini sama lo, tapi dia dan Felis sudah sama-sama sejak kecil. Bagi Felis, Airlangga itu satu-satunya keluarga yang dia punya, terlepas statusnya sebagai mantan. Jadi sulit juga buat gue ngelarang kalau dia menghubungi Airlangga. Gue hanya mencoba menghindarkan mereka bertemu. Gue sudah pernah ngomongin itu sama Airlangga."

"Beneran?" tanya Prita takjub. "Trus Erlan bilang apa?" Dia sebenarnya agak terganggu dengan cara Ardhian menyebut Erlan, tetapi enggan memperbaikinya lagi. Ardhian pasti sudah lupa kalau Prita pernah memintanya menyebut Erlan, alih-alih Airlangga.

"Dia bilang, itu harus gue omongin sama Felis, bukan dia. Gue percaya sih sama dia. Komunikasi mereka pasti selalu dimulai Felis. Jadi lo ngerti kan kalau gue lebih suka seandainya Airlangga sudah terikat sama elo?"

Prita menepuk lengan Ardhian sambil tertawa pelan. "Gue nggak percaya harus dengerin curhat galau lo di kawinan Becca. Mengapa nggak lo ajak Felis nikah aja. Kalau kalian sudah nikah, lo nggak perlu khawatir kehilangan dia lagi, kan?"

Ardhian ikut tertawa, meskipun tak terlihat senang. "Lo pikir gue belum coba?"

"Dia nggak mau?" tebak Prita.

Ardhian menggeleng. "Pernikahan akan membatasi dia. Dia sedang menikmati pekerjaannya. Gue sudah—"

Prita masih menunggu kelanjutan kalimat Ardhian yang terhenti saat merasakan ada tangan yang hinggap di bagian bawah punggungnya.

"Pesawatnys delay," suara Erlan menyusul. Laki-laki itu sudah berdiri di dekat Prita.

Prita sudah tahu soal delay itu dari pesan yang dikirim Erlan. Pesan yang sengaja tidak dibalasnya. Dia tidak merespons Erlan. Suasana yang tadinya cair dengan Ardhian mendadak kaku.

Dua laki-laki dalam hidup Felis Aliandra. Untuk kedua kalinya, Prita merasa terjebak di antara mereka. "Gue ke pelaminan dulu, ya," pamit Prita kepada Ardhian. "Becca bisa ngamuk kalau nggak lihat gue datang. Kapan-kapan lo main ke butik gue lagi deh. Kita bisa ngobrol lebih lama."

"Pasti."

Prita berbalik, kembali masuk dalam antrean. Dia tahu Erlan mengikuti persis di belakangnya, tetapi tidak berniat mengajak laki-laki itu bicara. Dia berharap Erlan yang lebih dulu membuka percakapan, lebih daripada sekadar berita tentang delay tadi, tetapi laki-laki tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya ikut bergerak perlahan mengikuti antrean yang nyaris tidak maju-maju.

Setelah hampir 15 menit paling lama dalam hidup Prita karena kebisuan yang tercipta di antara dirinya dan Erlan, mereka akhirnya sampai di depan pengantin. Prita menyalami Ben sebelum memeluk Becca erat.

"Congrats, Bec. Gue beneran ikut bahagia untuk lo berdua."

"Cepetan nyusul, ya." Becca memberi isyarat dan mengerling kepada Erlan. "Eh, jangan langsung turun," cegahnya. "Kita foto bareng dulu. Bakalan aneh kalau album foto kawinan gue malah nggak ada foto sahabat-sahabat gue yang lebih jelek daripada gue," candanya.

Sebenarnya Prita hendak menolak. Dia tidak ingin berada satu frame bersama Erlan di foto pernikahan Becca, karena tidak mungkin menyuruhnya menyingkir saat mereka berfoto. Rasanya bakal aneh melihat foto itu setelah hubungan mereka berakhir, karena kemungkinan besar, itulah yang terjadi. Sebelum Erlan ke Makassar, dan Prita berkunjung ke apartemen laki-laki itu, dia jelas-jelas melempar kode tentang hubungan mereka, tetapi Erlan sama sekali tidak menanggapinya. Itu suatu pertanda yang terabg-benderang.

Setelah sesi foto itu selesai, Prita kembali memeluk dan mencium Becca sebelum turun dari pelaminan. Erlan masih terus mengikuti di belakang. Tanpa suara. Dasar tidak peka. Benar-benar menyebalkan! "Kamu nggak perlu maksain datang ke sini," Prita tidak tahan diam lebih lama. Jiwa perempuannya yang nyinyir butuh pelampiasan. "Becca ngundang aku, bukan kamu."

"Ben juga mengundang aku." Erlan sama sekali tidak mengerti sindirannya. Ini sama sekali bukan tentang siapa mengundang siapa.

"Aku mau duduk." Prita tidak berniat melanjutkan. Dia menuju bagian VVIP, tempat kedua orangtuanya duduk. Meja untuk mereka sudah disiapkan.

"Kamu lapar?" Erlan terus membuntuti.

"Apa?"

"Kalau nggak lapar, kita bisa pulang duluan, kan? Biar aku yang pamit sama Pak Johny dan Bu Yura."

Prita mendelik. "Kamu nggak bisa minta izin pulang duluan tanpa bikin mereka curiga. Lagian, ini nikahan sahabatku. Aku nggak bisa pulang sebelum acaranya selesai."

"Tadi sudah foto, kan?"

"Bukan masalah fotonya, tapi—" Prita berbalik. Dia baru saja menemukan cara untuk membungkam Erlan. Dia tersenyum manis. "Aku nunggu wedding bouquet-nya dilempar. Mungkin aku yang ditakdirkan buat nangkap."

"Itu mitos."

"Kita lihat saja nanti. Hubungan serius dengan seseorang kelihatannya jauh lebih menarik daripada hanya bermain physical attraction sama kamu."

Seperti dugaan Prita, Erlan memang terdiam. 

**

Kita akan bermanis-manis di part depan sebelum masuk konflik utama, ya. Jadi, tetap bagi vomen biar cepet di-update. makasih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro