Tiga Puluh Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Makasih untuk responsnya yang bagus banget. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Buku sketsa itu tidak ada di mana pun. Prita sudah mencarinya di rumah dan juga di butik. Nihil. Padahal di sana ada gambar yang sudah disiapkannya sebagai pilihan untuk kliennya. Mereka sudah bicara melalui telepon beberapa hari lalu dan sepakat membuat janji temu besok. Klien itu adalah seorang host talk show terkenal. Jenis klien yang bisa memberikan rekomendasi kepada orang lain tentang jasa Prita. Promosi mulut ke mulut di kalangan selebriti sangat membantu mendatangkan klien lain, terutama karena Prita memang menyasar kalangan atas sebagai pelanggan. Dia menawarkan kualitas dan eksklusivitas. Orang-orang yang datang ke butiknya adalah jenis orang yang tidak berpikir soal jumlah uang yang dikeluarkan untuk mendapatkan sebuah gaun. Karena itu, pelanggan-pelanggan pertamanya adalah kolega dan teman-teman ibunya sendiri. Akhir-akhir ini mulai banyak selebriti yang mendatangi butik. Terutama karena gaun malam rancangan Prita untuk beberapa orang artis yang hadir di acara Festival Film Indonesia mendapat perhatian para mengamat mode dan membahasnya di beberapa majalah wanita, maupun tabloid online. Penampilan para artis itu pun menuai banyak komentar positif saat posenya memakai gaun rancangan Prita di-posting di sosial media mereka. #PritaSalim mendatangkan pengikut lebih banyak di Instagram Prita juga.

Dering telepon menghentikan kegiatan Prita membongkar kembali tumpukan buku di atas mejanya. Erlan. "Halo?" Prita menjempit ponselnya dengan pundak supaya tetap menempel di telinga. Tangannya mulai memasukkan barang-barang dalam tas besarnya. Dia menyerah pada buku sketsa itu. Mungkin saja ada di butik, tetapi dia melewatkan saat mencarinya.

"Kamu belum sampai di butik." Erlan tidak bertanya. Dia menegaskan pernyataannya.

"Aku sudah bilang kalau aku nggak suka kamu pantau pakai CCTV gitu!" seru Prita sebal. Mereka sudah pernah membicarakan ketidaknyamanan Prita karena telepon Erlan saat laki-laki itu kebetulan melihatnya keluar dari butik tanpa memberitahu lebih dulu. "Aku bukan tawananmu."

"Kamu sudah di jalan?" Erlan seperti tidak mendengar protes Prita.

"Aku masih di rumah." Prita mendesah. Percuma mengomel kepada Erlan, karena seperti biasa, laki-laki itu punya kemampuan mengabaikan omelan yang luar biasa. "Ada apa?" Tidak biasanya Erlan menghubunginya di waktu seperti ini. Biasanya dia menelepon saat jam makan siang, atau menjelang pulang, untuk memastikan Prita kembali ke rumah atau tinggal di butik. Biasanya Erlan akan menyusul ke butik kalau Prita memang memutuskan menginap. Mereka akan makan malam bersama, ngobrol sebentar, sebelum Erlan akhirnya pulang ke apartemennya sendiri.

"Buku sketsa kamu ketinggalan di apartemenku," jawab Erlan. "Baru aku lihat tadi."

"Astaga!" Prita melepas tasnya. Dia menegakkan tubuh dengan memegang ponsel dengan cara yang benar. "Pantesan kemarin aku cari di butik nggak ketemu. Ini telat ke butik karena lagi nyari ulang, takut terselip."

"Bukunya aku bawa ke kantor. Kalau kamu butuh sekarang, bisa suruh Orlin buat datang ambil. Tapi kalau nggak buru-buru mau kamu pakai, aku bisa anterin nanti malam saat aku ke butik. Aku ada 2 meeting di luar kantor, jadi baru bebas sore."

"Aku akan suruh Orlin ke kantor kamu sebentar. Bukunya taruh di meja kamu, atau titip di sekretaris kamu." Tiba-tiba sesuatu berkelebat di benak Prita. "Atau titip sama Bastian saja. Nanti Orlin aku suruh ngambil ke dia."

"Kenapa sih kamu keras kepala banget?" tanya Erlan dengan nada bosan yang sudah sangat biasa didengar Prita. "Orlin dan Bastian nggak butuh bantuan kamu kalau memang saling tertarik. Bukunya aku taruh di atas mejaku. Suruh Orlin ambil di sini. Dia nggak akan ketemu Bastian, karena Bastian akan ikut meeting makan siang denganku."

Bibir Prita mengerucut sebal, meskipun tahu Erlan tidak akan melihatnya. "Kamu beneran nggak asyik dan—"

"Membosankan," sambung Erlan. "Iya, aku tahu. Sampai nanti malam."

Prita menatap ponselnya yang sudah diputus Erlan. Ya, laki-laki itu memang tidak asyik dengan sikapnya yang terkadang kaku, tetapi dia tidak membosankan. Prita tidak akan jatuh cinta kepada orang yang membosankan.

Prita memasukkan ponselnya ke dalam tas sambil tersenyum. Hubungannya dengan Erlan jauh lebih baik setelah laki-laki itu menceritakan masa lalunya. Dia sudah lebih banyak bicara dan terbuka. Prita tahu Erlan butuh waktu untuk membawa hubungan mereka ke tahap berikutnya. Dia tidak keberatan menunggu. Seperti kata Becca, Erlan tipe laki-laki yang suka menebar pesona di mana-mana. Kalau mereka tidak bersama, sudah dipastikan kalau Erlan sibuk dengan urusan pekerjaan.

Menjelang makan siang, prita menyuruh Orlin menyiapkan mobil. Dia berencana makan siang di luar. Mereka sudah berada di perjalanan menuju restoran saat Ardhian menelepon.

"Halo?" komunikasinya yang terakhir Ardhian terjadi beberapa minggu lalu, di resepsi pernikahan Becca.

"Hai," sapa Ardhian hangat. "Gue ganggu, ya?"

"Nggak kok. Gue lagi jalan, mau cari makan."

"Sendiri?"

"Bareng Orlin." Prita tertawa. "Nyokap gue masih lumayan parno, jadi ya, gitu deh."

Ardhian ikut tertawa. "Mau makan di mana? Kalau nggak jauh dari lokasi gue, kita bisa makan bareng."

Prita menyebutkan restoran tujuannya. "Lagi pengin yang Jepang-Jepang gitu."

"Gue susulin, ya. Gue lumayan dekat kok."

Makan bersama Ardhian sambil ngobrol sepertinya lebih baik daripada bersama Orlin saja. "Oke. Gue juga masih lumayan jauh. Di sini lumayan macet. Lo mungkin malah duluan sampai ke sana."

"Ya udah, gue yang nunggu kalau duluan sampai."

Memang Ardhian yang lebih dulu sampai di tempat itu. Laki-laki itu melambai saat melihat Prita dan Orlin di pintu masuk.

"Mbak," Orlin menyentuh lengan Prita. "Saya makan di tempat lain saja, ya. Kali aja Pak Ardhian mau ngobrol berdua saja dengan Mbak Prita. Saya malas jadi pajangan. Nanti saya jemput lagi kalau makannya sudah selesai. Boleh ya, Mbak?"

Tidak enak menolak Orlin yang memelas. Memang tidak nyaman untuknya bergabung dengan Ardhian yang hanya Orlin kenal sambil lalu. "Jangan jauh-jauh. Biar saya nggak lama nunggu kalau mau pulang."

Senyum Orlin langsung mengembang. "Siap, Mbak."

"Asisten lo nggak ikut makan?" tanya Ardhian saat Prita duduk di depannya.

"Katanya nggak mau makan di sini." Prita meletakkan tasnya di kursi kosong di sebelahnya. "Tumben menghubungi gue pas makan siang gini. TV lo udah dijual dan lo jadi kurang kerjaan?"

Ardhian tertawa. "Hari ini gue agak mellow sih, jadi pengin nyari temen ngobrol yang nggak bahas kerjaan. Lagi pengin nggak produktif sehari, sebelum sibuk lagi besok."

"Mellow kenapa? Jadwal lo nggak pernah cocok sama tunangan lo itu?" tebak Prita. "Itu bukan berita baru, kan? Kok mellow-nya baru sekarang? Gue kira lo nggak keberatan berhubungan kayak gitu. Deket tapi serasa LDR."

Ardhian meringis. "Tadi Felis datang ke kantor gue. Dan...," Ardhian memberi jeda. "She dumped me."

"Dia... apa?" Prita tidak bisa menahan keterkejutannya. "Kalian ribut soal apa?"

"Bukan dengan aku," geleng Ardhian. "Dia memang nggak terlalu cocok dengan Mama dan kakak aku. Mereka sama-sama keras, jadi perbedaannya meruncing. Ini bukan yang pertama kali mereka beradu pendapat, tapi baru kali ini Felis beneran minta putus. Biasanya dia hanya mengancam."

"Kenapa lo ngasih tahu gue soal ini?" Prita merasa Ardhian punya maksud tertentu dengan mengajaknya makan siang. Ini bukan pertemuan iseng antara dua orang teman lama.

"Airlangga." Ardhian mendesah. Senyumnya yang mengembang terlihat dipaksakan. "Felis akan kembali kepadanya. Dia tempat Felis pulang."

Hati Prita mencelus. Tentu saja. "Maksud lo apa?"

"Lo bisa saja bilang sudah nggak ada apa-apa di antara kalian, tapi kelihatannya nggak begitu. Jadi gue hanya ngasih tahu supaya lo siap-siap dengan gangguan Felis. Dia nggak jahat, dia hanya keras kepala dan selalu berusaha mendapatkan keinginannya. Sifat itu yang bikin dia ada di posisinya sekarang."

Prita terdiam, masih berusaha mencerna kata-kata Ardian.

"Kalau lo memang sudah resmi sama Airlangga dan Felis nggak bisa masuk di antara kalian, gue yakin dia nggak punya pilihan selain kembali ke gue. Hanya gue dan Airkangga laki-laki dalam hidup Felis. Jadi kalau dia nggak bisa dapatin Airlangga karena sudah memilih elo, nggak peduli sejelek apa pun hubungan dia dengan nyokap dan kakak gue, dia tetap akan kembali."

Prita menatap Ardhian prihatin. Masalahnya, dia tidak yakin Erlan akan memilih dirinya dibandingkan dengan Felis yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sekian lama. Prita hampir tidak pernah pesimis, tetapi kali ini perasaan itu begitu kuat menyergap.

**

"Lin, mampir di kantor Papa, ya," ujar Prita begitu Orlin memutar kunci kontak. "Ada yang saya mau ambil di sana." Sudah telanjur keluar, jadi sekalian saja mengambil buku sketsanya di ruangan Erlan. Lebih baik menyibukkan diri dengan pekerjaan daripada merasa khawatir memikirkan bagaimana reaksi Erlan seandainya Felis meminta kembali padanya.

Atau Erlan sudah tahu? Bisa saja Felis sudah menghubungi laki-laki itu sesudah mengakhiri hubungannya dengan Ardhian. Atau, dia malah meminta pertimbangan Erlan sebelum memutuskan Ardhian. Bisa saja, kan?

Prita menggeleng-geleng, berusaha menghilangkan pikiran itu dari kepalanya. Tidak mudah. Sampai akhirnya Orlin berhenti di pelataran parkir Tower Salim Grup, berbagai skenario bercampur aduk dalam benaknya. Tidak ada satu pun dari skenario itu yang menyenangkan.

"Ssya nggak akan lama." Prita membuka sabuk pengaman. "Kalau nggak mau nunggu di mobil, kamu bisa masuk di lobi."

Prita naik lift khusus eksekutif yang sepi untuk ke ruangan Erlan. Dia tidak memberitahu laki-laki itu kalau dia datang, karena tahu Erlan sedang meeting di luar bersama Bastian. Prita hanya perlu mengambil buku sketsanya dan langsung kembali ke butik.

Sekretaris Erlan tidak ada di tempatnya saat Prita sampai di depan ruangan laki-laki itu. Dia pasti memanfaatkan kepergian bosnya untuk keluar makan siang lebih lama. Tangan Prita ysng hendak membuka pintu tertahan. Pintu itu tidak tertutup rapat. Bukan itu yang paling mengejutkan. Suara Erlan terdengar dari dalam. Apakah dia sudah selesai meeting? Atau pertemuan itu malah dibatalkan?

"... jangan datang di kantor kayak gini," potongan kalimat itu masuk dalam telinga Prita. Erlan bicara dengan siapa? Siapa yang tidak boleh datang ke kantornya?

"Abang hanya bisa ditemuin di kantor jam segini. Sore nanti aku harus terbang ke Manado, ada pertunjukan di sana. Aku harus ketemu Abang sebelum aku pergi."

Abang. Ya, siapa lagi yang bisa memanggil Erlan dengan sebutan seperti itu kalau bukan Felis Aliandra? Bahkan suaranya saat bicara pun terdengar merdu. Entah mengapa, sesuatu dalam hati Prita terasa retak. Ini akhirnya. Permainan Physical Attraction itu sudah mencapai ujung. Mungkin tidak ada salahnya mengintip sejenak untuk memastikan chemistry antara Erlan dan Felis, sehingga dia bisa menerima kekalahannya dengan lapang.

Prita mendorong pintunya perlahan. Tidak perlu celah lebar karena Erlan dan Felis segera masuk dalam garis pandangnya. Kedua orang itu berdiri berhadapan, saling menatap. Felis Aliandra lantas menghilangkan batas itu saat bergerak mendekat dan mengalungkan lengannya di leher Erlan. Dia berjinjit saat menempelkan bibirnya kepada bibir laki-laki itu.

Mereka berciuman! Prita mundur beberapa langkah. Dia melihat terlalu banyak, lebih daripada yang dia inginkan.

Wow, ini penutupan ysng dramatis, pikir Prita dalam perjalanannya kembali ke bawah. Lebih dramatis daripada dalam adegan film roman receh sekalipun. Berapa banyak perempuan di dalam kehidupan nyata melihat lski-lski yang dicintainya mencium perempuan lain? Dia yakin tidak banyak.

Erlan tidak mengkhianatinya, karena apa pun yang dia lakukan dengan Felis Aliandra tidak bisa dikategorikan sebagai penyelewengan. Sejak awal hubungan mereka tidak jelas. Prita tahu dia yang memaksakan diri. Permainan dengan Erlan adalah idenya. Bisa dikatakan dia setengah memaksa laki-laki itu menyetujuinya. Jadi kalau ada yang harus disalahkan dalam kasus patah hatinya ini, itu adalah dirinya sendiri. Dia yang mencari masalah dengan hatinya. Ya, hebat memang! Bravo!

**

Gaess... aku sekarang lagi di bandara nih, mau liburan ke Bromo. Aku bela-belain update sambil nunggu pesawat karena respons kalian yang bagus. Jadi kalau kalian pengin baca update-an sementara aku keliling liburan seminggu ini, vomennya beneran harus bikin aku baper dan merasa bersalah kalau nggak nulis dan update. Kalau emang beneran vote bisa pecah, sepecah-pecahnya, aku akan nyempetin nulis di hotel sebelum tidur setelah jalan-jalan seharian.

Hari ini aku transit dan jalan-jalan di Makassar, sebelum lanjut ke Surabaya. Kali aja ada yang mau mit ap dan ngasih makanan. Hehehehe...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro