Bab 1. Pertemuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di hamparan hutan yang dipenuhi pepohonan, seorang gadis cantik tergeletak di atas tanah yang dipenuhi dedaunan kering. Rambutnya yang panjang, bergelombang, dan berwarna oranye cerah seakan menyala saat terkena sinar matahari, membuatnya tampak seperti terbuat dari cahaya sendiri. Perlahan ia membuka mata, mengerjap beberapa sambil menatap ke arah langit. Pepohonan yang tidak terlalu rindang membuatnya bisa melihat langit biru. Terik matahari menyinari kulit putih porselennya yang sedikit kotor akibat terkena tanah. Ia menatap ke sekeliling sebelum akhirnya bangun sambil menepuk-nepuk dress putih yang dikenakannya, berupaya menghilangkan tanah yang menempel.

"Ini di mana?" tanyanya entah pada siapa. Ia berjalan tanpa arah, berusaha untuk mencari tahu keberadaannya. Namun, berjam-jam ia berjalan dan hanya pepohonan yang ia temui. Ia merasa putus asa. Banyak sekali pertanyaan yang ada di otaknya, tetapi tidak tahu harus bertanya pada siapa.

Di tempatnya berdiri, hanya terdengar suara kicauan burung dan suara pohon bambu yang bertabrakan karena tertiup angin. Selama berjan-jam ia terus berjalan. Tanpa ia sadari, langit biru cerah tadi sudah berganti menjadi gelap. Walau tidak merasa lelah, gadis itu berhenti berjalan. Hari sudah malam dan ia hampir tidak bisa melihat apa yang ada di depannya. Ia pun memutuskan untuk naik ke sebuah pohon besar yang ia gunakan sebagai tempat untuk merebahkan diri.

Gadis itu menatap ke atas, memikirkan banyak hal. Namun, sekeras apapun ia berpikir, ia tidak menemukan jawabannya. Haruskah ia menyerah? Pikirnya. Ia menarik napas, lalu mengembuskannya dengan kasar. Bertepatan dengan rasa kantuk yang menyerang, ia melihat ada cahaya yang bergerak-gerak. Ia mengurungkan dirinya untuk tidur, lalu melompat ke bawah dan akhirnya tersungkur. Kakinya terluka oleh ranting pohon yang ada di bawah, tetapi ia tidak menyadari hal itu karena ia tidak merasakan rasa sakit.

Gadis cantik itu terlalu fokus pada cahaya yang masih bergerak-gerak. Letaknya tidak jauh darinya. Ia mendengar suara langkah kaki yang menandakan ada banyak orang yang berlari. Haruskah ia senang karena ada manusia di tempat itu? Ia hendak berlari menuju sumber cahaya tersebut. Namun, seseorang menabraknya dengan begitu keras sehingga mereka berdua terjatuh.

Dalam kegelapan, gadis itu tidak bisa melihat dengan jelas makhluk yang menabraknya. Ia mendengar suara rintihan yang berasal dari orang tersebut. "Kamu nggak papa?" tanya gadis itu sambil mengulurkan tangannya.

"Cepet pergi dari sini," kata orang itu. Napasnya masih terengah-engah karena habis berlari. Ia hampir kehabisan tenaga sehingga untuk bangun pun ia kesusahan. Terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat dan itu membuatnya semakin panik. "Cepet pergi!" serunya tanpa sadar. Ia tidak ingin melibatkan orang lain dalam hal ini.

Seolah mengerti dengan kepanikan orang yang di depannya, gadis itu menunjuk ke atas pohon. "Ayo sembunyi di sana," ajaknya sambil menarik tangan orang itu agar berdiri. Kemudian, ia memanjat pohon itu dengan mudahnya. Setelah sampai di atas, ia mengulurkan tangan untuk membantu orang itu. Mereka memanjat semakin tinggi sehingga ketika orang-orang yang membawa senter itu tidak menyadari keberadaan mereka dan terus berlari menjauh.

"Makasih," ucap orang itu sambil menghela napas lega. Ia menatap ke bawah dan menyadari posisi mereka begitu tinggi. Kepalanya langsung pusing karena berada dalam ketinggian sekitar 9 meter. Hampir saja ia terjatuh karena oleng. Untungnya gadis itu dengan sigap memegangnya. Dengan bantuan cahaya bulan, bisa ia lihat dengan samar kecantikan gadis yang berada di depannya itu. Ia perhatikan rambut oranye dan dress yang dikenakan gadis itu dengan lekat-lekat.

"Itu makhluk apa?" tanya gadis itu yang masih terheran-heran. Kemudian, tatapannya juga beralih ke orang yang masih ia pegang tangannya. "Kamu juga apa?"

Alih-alih menanyakan namanya, gadis itu malah bertanya ia makhluk apa. "Panggil aja Bharga," katanya singkat. Ia merasa tidak nyaman ditatap lekat-lekat oleh gadis di depannya itu.

"Bharga?" tanya gadis itu dengan kebingungan. Ia baru sadar, dirinya tidak memiliki panggilan. Ia tidak ingat namanya. Saat baru bangun, ingatannya seperti kosong. Semuanya terasa samar dan tidak jelas. "Aku nggak punya nama," ucapnya pelan sambil menunduk.

Keifer Bhargavio, cowok yang badannya lebih besar dan lebih tinggi dari gadis itu menunduk untuk bisa melihat wajah gadis itu. Ada seorang gadis cantik di tengah hutan saja sudah terasa aneh. Sekarang ia mengetahui fakta bahwa gadis itu tidak memiliki nama. Bulu kuduk cowok itu langsung berdiri, merinding saat membayangkan bahwa gadis di depannya ini bukanlah manusia. "Kamu ... kamu bukan hantu, kan?" tanya Bharga dengan suara bergetar.

"Hantu? Makhluk apa itu?" tanya gadis itu dengan ekspresi polosnya.

Bharga berdecak kesal. Ia malas berbicara dengan gadis itu. "Ayo turun," katanya ketika menyadari bahwa orang-orang yang mengejarnya sudah tidak ada di dekat sana. Tidak ada suara langkah kaki maupun kilatan cahaya yang berasal dari senter, itu menandakan bahwa orang-orang itu sudahh pergi jauh.

"Kamu nyasar?" tanya Bharga ketika mereka sudah di bawah.

"Aku nggak tahu. Aku bingung. Aku nggak tahu ini di mana. Aku nggak tahu aku siapa. Aku nggak punya ingatan apapun," jelas gadis itu yang hampir menangis karena perasaannya campur aduk. Ia merasa bingung, takut, kesal, penasaran, dan berbagai perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Apa yang terjadi pada dirinya?

Bharga juga ikutan bingung. Ia sendiri juga masih kesusahan. Ia tidak bisa membantu gadis itu. "Rumahku ada di deket sini. Kamu bisa tinggal untuk malam ini," kata Bharga. Ia pun mengajak gadis itu untuk pergi ke sebuah rumah yang cukup besar untuk ia tinggali.

Di tengah hutan yang terpencil ini ada sebuah rumah yang cukup besar. Rumah yang dibangun khusus untuk Bharga tinggali. Rumah yang menjadi tempatnya tinggal sejak kecil. Rumah yang seperti penjara karena dijaga ketat oleh banyak orang. Bharga hidup tanpa kebebasan. Kebebasannya direnggut karena ia menyandang status pewaris tunggal. Jika bisa memilih, ia ingin hidup seperti orang lain, tanpa perlu menyembunyikan wajahnya dari dunia luar.

"Manusia jahat." Tangan Bharga terkepal erat ketika melihat banyak tubuh yang sudah tidak bernyawa tergeletak di lantai yang dingin. Ia baru ingat bahwa ia membawa orang lain di belakangnya. Ia tidak bisa membiarkan gadis itu melihat pemandangan mengerikan itu. Namun, sudah terlambat karena gadis tanpa nama itu sudah melihatnya.

"Manusia? Mereka membunuh? Manusia membunuh manusia lainnya?" tanya gadis itu dengan tubuh bergetar karena terkejut. Ia tidak menyangka ada makhluk sekeji itu.

"Kita sepertinya ga bisa tinggal di sini," ucap Bharga.

Ini adalah saatnya ia keluar dari penjara. Orang-orang itu sudah mengetahui wajahnya. Tidak ada yang perlu ia tutupi lagi. Semakin ia tinggal di tempat yang sepi akan semakin bahaya. Ia harus pergi dari hutan yang menjadi tempat tinggalnya selama belasan tahun itu. Ia harus mencari perlindungan karena semua penjaganya di sini sudah dibunuh oleh orang-orang jahat itu. Berada di sini bukanlah pilihan yang bagus.

"Kita ke kota," ajak Bharga.

Bharga mengajak gadis itu untuk masuk terlebih dahulu ke dalam rumah. Mereka perlu membawa persiapan untuk dibawa selama perjalanan. Bharga tidak tahu berapa lama ia bisa mencari jalan keluar untuk pergi ke kota. Ia perlu membawa perlengkapan seperti P3K, makanan, dan perlengkapan lainnya.

Setelah semua siap dalam satu ransel besar, Bharga menggandeng tangan gadis itu dan mengajaknya untuk segera pergi. Malam itu adalah malam terpanjang mereka. Sudah berjam-jam berjalan, tetapi mereka belum juga menemukan jalan keluar.

"Masih kuat?" tanya Bharga.

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum lebar sambil melihat tangannya yang terus digenggam oleh Bharga. Entah mengapa ia menyukai dan merasa nyaman ketika tangannya digenggam. Hangat, itu yang ia rasakan.

Bharga terheran-heran karena gadis itu bahkan tidak terengah-engah sepertinya. Napasnya terdengar sangat normal walaupun mereka sudah berjalan sangat lama. Karena ia sudah merasa sangat lelah, ia memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon.

"Bharga lelah?" tanya gadis itu.

Bharga memiliki ego yang tinggi. Tidak mungkin ia mengakui bahwa dirinya lelah di depan seorang gadis. "Enggak. Kita makan dulu," katanya sambil membuka resleting tasnya dan mengeluarkan beberapa makanan instan.

Mereka berdua duduk di bawah pohon sambil menyantap makanan itu. "Ini apa? Enak sekali," ujar gadis itu.

"Itu coklat," jawab Bharga. Cowok itu makan sambil memperhatikan gadis asing yang duduk di sampingnya. "Kamu perlu nama. Boleh aku namain kamu?" Bharga hanya bingung harus memanggil gadis itu dengan sebutan apa. Membuatkan nama untuk gadis itu sepertinya pilihan yang bagus.

"Boleh," sahut gadis itu dengan antusias.

"Stasia. Nama kamu sekarang ... Stasia," kata Bharga. Stasia, nama itu terdengar cocok untuk gadis berparas cantik yang memiliki rambut oranye itu.

***

To Be Continue...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro