Bab 3. Penjelasan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bharga tersenyum pedih ketika tiba yang menyambutnya hanyalah para pelayan yang bekerja. Di mansion yang mewah dan besar itu hanya dihuni oleh kakeknya dan para pekerja. Ia memikirkan betapa kesepiannya Byantara tinggal di sana tanpa keluarga. Bharga adalah satu-satunya keluarga yang tersisa, tetapi Byantara mengirim Bharga jauh dari sisinya demi melindungi nyawa satu-satunya keluarganya yang tersisa.

"Ma, Pa, lindungi kami ya dari sana," ucap Bharga pelan sambil menatap foto kedua orang tuanya yang terpajang di ruang utama. Ia merindukan kedua orang tuanya yang sudah meninggal belasan tahun lamanya. Tepat sebelum Bharga terkurung di hutan itu.

"Itu siapa?" tanya Stasia.

"Itu mama dan papa aku," jawab Bharga.

Stasia mengangguk. Ada banyak hal yang tidak ia ketahui karena tidak memiliki ingatan. Namun, ia berusaha mencerna, memahami, dan beradaptasi dengan kehidupannya. Ia tidak ingin menyusahkan Bharga karena baginya Bharga terlihat sangat kasihan. Hanya dengan melihat Bharga, ia tahu betapa menderitanya hidup Bharga.

"Bharga, aku pengen tahu cara manusia hidup," kata Stasia, memecahkan keheningan yang berlangsung beberapa saat.

Bharga sontak menoleh. Keinginan Stasia diluar nalar. Memang ada orang yang ingin belajar cara hidup? Bharga rasa hanya Stasia. "Maksud kamu beradaptasi?" tanya Bharga. Ia pun juga perlu beradaptasi karena ia baru melihat dunia luar. Ia bahkan belum pernah menggunakan alat elektronik semenjak berada di hutan. Yang ia lakukan hanya belajar lewat buku. Hanya teori saja yang ia tahu. Prakteknya mungkin akan lebih sulit.

"Aku pengen tahu banyak hal," kata Stasia.

Bharga mengangguk mengerti. Pertama-tama, yang mereka perlukan adalah ponsel. Ia ingin beradaptasi terlebih dahulu sebelum pergi ke sekolah. Takutnya malah ia terlihat seperti orang tolol karena tidak tahu apa-apa.

"Stasia, kaki kamu." Bharga baru menyadari kalau kaki Stasia berdarah. Terlihat cukup parah karena ada banyak darah yang telah mengering, tetapi Stasia tampak tidak menyadarinya. Bharga bertanya-tanya dalam hati. Kapan gadis itu terluka? Bagaimana bisa gadis itu berlari saat kakinya sedang terluka?

"Luka?" Stasia berjongkok dan memandangi kakinya yang darahnya sudah mengering.

Bharga segera mengambil kotak P3K yang ada di dalam tasnya. Ia menyuruh Stasia untuk duduk di sofa terlebih dahulu. Penampilan mereka masih sangat kucel, membuat para pekerja tidak bisa untuk tidak memperhatikan mereka. Tatapan penasaran mendominasi, tetapi Bharga abaikan saja karena tidak penting.

"Ini pasti sakit banget," ucap Bharga sambil membersihkan darah di kaki Stasia. Namun, anehnya tidak ada luka di sana, hanya ada darah yang mengering.

"Bagaimana rasanya sakit?"

Pertanyaan konyol. Bharga tidak merespons karena pikiran fokus pada kaki Stasia yang berdarah, tetapi tidak ada luka. Ia berusaha berpikir positif, mungkin kaki gadis itu tidak sengaja menyentuh darah hewan yang terluka.

Wanita paruh baya yang datang menghampiri mereka. "Saya sudah menyiapkan kamar untuk Tuan dan Nona. Pakaiannya juga sudah siap," katanya.

Bharga hanya mengangguk dan mengajak Stasia ke lantai dua. Mereka masuk ke kamar yang berbeda, tetapi tetap bersebelahan. Kamar Stasia terdapat beberapa pakaian yang sudah disiapkan oleh wanita tadi. Semua terasa asing untuk Stasia. Banyak hal yang perlu ia ketahui untuk bisa beradaptasi dengan kehidupannya.

(Kamar Stasia)

(Kamar Bharga)

Stasia mendekat ke arah cermin, menatap dirinya sendiri yang jauh dari kata rapi. Rambut oranye yang panjangnya melebihi punggung itu tampak kusut dan dressnya sangat kotor, terdapat beberapa robekan karena terkena ranting. Stasia merasa dirinya sangat jelek. Ia pun memutuskan untuk segera membersihkan diri di kamar mandi. Butuh waktu yang lama untuknya mandi karena banyak peralatan yang tidak ia mengerti. Dengan bermodal otak-atik secara asal, akhirnya Stasia selesai mandi.

Pakaian yang disiapkan semuanya terlihat cantik, tentu lebih cantik dari dress putihnya yang compang-camping. Ia memilih asal dan memakainya. Setelah selesai memakai dress hijau pastel pilihannya, Stasia segera keluar untuk mencari Bharga. Ia masuk ke kamar Bharga, tetapi tidak ada Bharga di sana. Kemudian, ia melihat ke lantai satu, rupanya Bharga sedang mengobrol bersama kakeknya.

Stasia tersenyum ceria, hendak menghampiri Bharga. Saking bersemangatnya, Stasia berlari menuruni tangga hingga kejadian buruk menimpanya. Stasia jatuh menggelinding di tangga dalam waktu sekejap. Bharga, Byantara, dan para pekerja tentu sangat terkejut melihat hal itu. Yang semakin membuat mereka terkejut adalah Stasia bangun dengan sendirinya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Stasia!" Bharga menghampiri Stasia yang sudah berdiri dengan senyum lebar. Rambut oranye gadis itu masih basah sehingga tetesan-tetesan air itu membasahi dress bagian punggung gadis itu.

"Aku nggak papa," kata Stasia.

"Nggak papa gimana? Kamu jatuh dari atas sana, pasti sakit sekali. Vio, panggil ambulans," kata Byantara yang terlihat khawatir dengan Stasia. Jatuh menggelinding di tangga bukanlah hal remeh. Takutnya terjadi sesuatu dengan kepala gadis itu, gegar otak misalnya.

"Enggak sakit kok, Kakek," kata Stasia yang masih tersenyum.

"Kamu beneran nggak ngerasain sakit?" tanya Bharga.

Stasia mengangguk, lalu duduk di sofa. "Rasanya sakit itu bagaimana?" Untuk kedua kalinya Stasia bertanya. Namun, rasa sakit itu tidak bisa dideskripsikan kepada orang yang tidak bisa merasakan sakit.

Bharga menekuk alisnya, lalu mencubit lengan Stasia dengan lumayan keras. Namun, tidak ada reaksi yang menandakan gadis itu kesakitan. Padahal Bharga sudah yakin bahwa ia mencubitnya dengan keras. Ada yang salah dengan Stasia. Manusia mana yang tidak bisa merasakan sakit.

"Kita ke rumah sakit ya? Atau panggil dokter saja?" saran Byantara. Ia tidak bisa tidak peduli ketika ia melihat sendiri bagaimana Stasia terjatuh tadi.

"Aku enggak kenapa-napa kok," kata Stasia berusaha menenangkan Byantara agar tidak khawatir.

"Kalau kamu ngerasa pusing, bilang ya," ujar Bharga yang baru saja mengambil hairdryer. Kemudian, ia pun berdiri di belakang Stasia.

"Mau ngapain?" tanya Stasia.

"Keringin rambut kamu," kata Bharga. Sementara Stasia hanya diam saja dan membiarkan Bharga mengeringkan rambutnya. "Panas nggak?" tanya Bharga. Panas? Apalagi itu? Stasia tidak tahu rasanya, jadi ia hanya menggeleng saja.

"Vio," panggil Byantara. Hanya kakeknya yang memanggil Bharga dengan nama Vio. Katanya agar lebih simpel.

"Kenapa, Kek?" tanya Bharga yang masih fokus mengeringkan rambut Stasia. Rambut gadis itu cukup tebal dan panjang sehingga memakan waktu untuk mengeringkannya.

"Kalian belum cerita, kalian kok bisa kenal?" tanya Byantara penasaran.

"Jadi-"

Stasia menyela Bharga yang hendak menjelaskan. "Jadi, siang itu aku bangun dan ada di hutan itu. Terus, aku putusin buat jalan aja, tanpa arah. Sampai malam tiba, ada cahaya gerak-gerak. Tiba-tiba aku disruduk sama Bharga. Terus kami manjat pohon buat ngumpet karena ada makhluk jahat yang kejar-kejar Bharga. Terus, Bharga ngajak ke rumahnya, di sana ada manusia-manusia yang udah meninggal. Jadi kenal Bharga deh," jelas Stasia panjang lebar. Tak lupa dengan senyuman yang melekat di bibir merah muda alaminya.

"Dia nggak punya ingatan. Stasia, itu nama yang aku kasih, Kek," tambah Bharga yang sudah selesai mengeringkan rambut Stasia. Ia pun segera merapikan hairdryer itu, lalu menaruhnya di tempat semula.

Byantara menatap khawatir ketika mendengar Stasia tidak memiliki ingatan. Namun, tidak mudah juga baginya menerima orang asing untuk tinggal di sisi Bharga. Banyak ketakutan yang membuat Byantara selalu was-was dengan orang lain. Ia takut bisa membahayakan cucu semata wayangnya.

"Jadi, kapan aku mulai sekolah?" tanya Bharga. Ia sudah membayangkan kehidupan sekolahnya akan semenyenangkan apa. Bermain dengan teman, belajar di kelas, kerja kelompok, dan masih banyak yang ingin Bharga lakukan. Ia cukup sering membaca novel tentang anak sekolahan dan itu benar-benar menyenangkan.

"Ada banyak berkas yang perlu di urus. Jadi, kemungkinan seminggu lagi," jawab sang kakek.

Bharga mengangguk. Seminggu adalah waktu yang cukup untuknya beradaptasi dan belajar hal-hal yang sedang tren. Namun, masalahnya apakah Stasia bisa?

***

To Be Continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro