DELAPAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malem :)

.

.

.

.


Donghae memijat pelan pelipisnya kemudian menempelkan punggung pada sandaran kursi yang didudukinya. Sedari tadi kepalanya berdenyut, pusing menatap kumpulan berkas di atas meja yang tak kunjung surut meski sedari sore ia mengerjakan.  Malam sudah larut, tetapi seakan tak peduli, Donghae kembali mengambil satu bendel berkas yang berisi tentang perubahan aturan perusahaan. Beberapa aturan tetap sama namun tak sedikit pula yang berubah dan dia harus menelitinya lagi sebelum menyetujui perubahan tersebut. Dan sisanya adalah bermacam berkas tentang kenaikan gaji karyawan dan perpanjangan kontrak para pegawai baru.

Terlalu fokus dalam membaca, dia bahkan tak menyadari bahwa seseorang telah berdiri canggung tak jauh dari meja kerjanya.

"Hyung," lirih sosok tersebut yang membuat Donghae sedikit terlunjak dan menatap tajam pada sosok yang tak lain adalah Minhyuk.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Donghae sembari melepas kaca mata yang sedari tadi bertengger di batang hidungnya.

"A–aku hanya membawa kopi dan beberapa makanan ringan untukmu. Aku tak ingin kau sakit karena melewatkan makan malam," ujar Minhyuk takut-takut sembari menunjukkan nampan yang dibawanya.

Donghae mendengus kesal. "Aku sudah terbiasa seperti ini, jadi tak usah pedulikan aku. Sekarang keluarlah, kau mengganggu kegiatanku," ucapnya tak suka kemudian kembali fokus pada berkas di tangannya.

"Tapi pada akhirnya kau akan sakit jika terus begini. Kumohon makanlah," ujar Minhyuk, dia masih belum menyerah.

Donghae meletakkan berkas ke atas meja dan menatap jengah pada Minhyuk. Sementara yang menjadi lawan bicara terus menatap penuh harap padanya.

"Letakkan saja di situ dan pergilah," jawabnya sembari menunjuk pada salah satu sudut meja kerjanya yang nampak kosong.

Jawaban itu tentu disambut dengan penuh antusias oleh Minhyuk. Dengan semangat bocah itu berjalan mendekati meja sang kakak dan meletakkan semua yang berada di atas nampan ke atas meja.

Entah karena terlalu bersemangat atau tangan Minhyuk yang licin, cangkir yang berada di genggamannya meluncur begitu saja sebelum sempat menyentuh meja.

"Astaga!" pekik Minhyuk saat melihat cangkir beserta isinya tumpah di atas meja.

Buru-buru Minhyuk mengambil kertas yang telah basah dan mengibas-ngibaskannya ke udara, berharap bahwa kertas itu masih dapat terselamatkan dari noda kopi. Namun, hal itu malah memperparah keadaan, karena kertas basah itu sobek menjadi dua bagian, besar dan kecil.

"Yak! Kau! Argh ... apa yang kau lakukan bodoh!"

Donghae berteriak histeris saat menyadari keadaan berkas yang telah ia kerjaan kini basah dan berwarna hitam.

"Ma–maafkan aku, Hyung. Aku ... aku tidak sengaja," cicit Minhyuk saat mendapati raut marah tercetak jelas di paras Donghae.

Merebut kertas di tangan Minhyuk, Donghae berucap, "Tidak sengaja? KAU BILANG INI TIDAK SENGAJA? Sialan! Kau menghancurkan pekerjaan yang sudah kukerjakan nyaris seharian, bodoh!" Dengan geram ia melemparkan kertas tersebut ke muka Minhyuk.

"M–maaf ... maafkan aku." Kata maaf kembali terlontar dari bibir Minhyuk lantaran bocah itu tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Plak!

"Maaf tak akan mengembalikan warna dasar kertas ini, sialan!" ucap Donghae usai mendaratkan satu tamparan keras ke pipi kiri Minhyuk.

Minhyuk tersungkur begitu saja saat mendapat tamparan bertenaga yang kakaknya layangkan. Dipegangnya pipi yang kini terasa panas tanpa berani menatap sang kakak yang berdiri di hadapannya. Jantungnya mulai berdetak tak karuan dan keringat dingin samar-samar terukir di keningnya. Dia takut dibentak, sungguh. Entah apa alasannya, tapi sedari dulu Minhyuk memang takut dengan orang yang bersuara keras, dalam hal ini membentak. Dan sedari tadi Donghae selalu berbicara dengan nada membentak.

"Hiks ... maaf ... maaf, ap-apa yang harus kulakukan?" ujar Minhyuk terbata sementara air mata sudah luruh membasahi pipinya.

"Berdiri," tukas Donghae kemudian.

"Kubilang berdiri! Apa telingamu bermasalah? Mengapa aku harus mengucapkannya dua kali setiap berbicara denganmu?"

"I–iya." Tak mau membuat emosi Donghae semakin memuncak, Minhyuk berdiri dengan takut-takut.

Donghae mencengkeram kerah baju yang Minhyuk gunakan dengan erat hingga membuat anak itu kesulitan bernapas.

"Uhhukk ... H–hyung ...." Minhyuk berusaha untuk melepaskan cengkraman tersebut namun Donghae justru mengeratkannya.

"Adalah kesalahan saat aku harus membawa orang bodoh sepertimu ke rumah ini. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya, aku benar-benar membencimu," ucap Donghae lantas mendaratkan satu pukulan ke ulu hati Minhyuk.

Bocah itu mundur beberapa langkah dan terbatuk sembari memegang bagian perutnya yang terkena pukulan Donghae tadi. Rasa perih dan melilit menyatu, membuat anak itu nyaris terjatuh jika tidak berpegangan pada tepi meja.

"Maafkan aku, Hyung. Hiks ...."

Anak itu beringsut mundur saat Donghae berjalan mendekat ke arahnya. Tatapan yang Donghae layangkan membuat bulu kuduknya berdiri. Ia terus melangkah sampai tidak sadar bahwa punggungnya telah menabrak sesuatu yang tak lain adalah tembok.

Minhyuk tersentak kala tangan kekar Donghae kini bertengger di leher mulusnya. Perlahan tapi pasti, tangan itu mulai beraksi, menghalangi saluran pernapasannya. Tak ada sepatah katapun terlontar dari bibir Donghae, pria itu terus mempererat genggamannya di leher sang adik, membuat anak itu terbatuk beberapa kali.

"H-hyung lepaskan ... Donghae Hyung ... uhhuuk," rintih yang lebih muda sembari berusaha melepaskan cengkraman sang kakak dari lehernya.

Tak menggubris rintihan dari Minhyuk, Donghae justru mempererat cekikan di leher anak itu.

"Sakit?" tanya Donghae.

Tak mampu menjawab, Minhyuk hanya mengangguk sembari berusaha melepaskan tangan Donghae yang masih bertengger di lehernya. Air mata sudah menganak sungai di kedua belah pipi tirus anak itu.

"Kau ... jangan bertindak sesukamu. Apa kau berpikir, jika kau adalah adikku maka aku akan memperlakukan spesial?"

Donghae menyeringai. "Salah, sangat salah. Jadi, jangan membuatku menumbuhkan rasa benci yang nyatanya sudah subur tanpa diberi pupuk," kecamnya penuh penekanan.

Dengan sekali hentakan, Donghae melepaskan cengkeramannya di leher Minhyuk dan membiarkan tubuh sang adik luruh ke lantai dingin.

"Uhhuk ... uhhuukk ... uhhukk ... hiks ...." Minhyuk berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin usai Donghae melepas tangannya. Sebelah tangannya berusaha mengusap air mata yang tak henti-hentinya mengalir.

Sementara di sini lain, Donghae sudah kembali duduk di kursi kerjanya sembari menata berkas yang masih terselamatkan dari tumpahan air kopi.

"Pergilah sebelum aku berbuat lebih, aku muak melihatmu di sini," ucap pria itu dingin tanpa menoleh ke arah lawan bicara.

Minhyuk tahu, kalimat yang diucapkan Donghae bukanlah main-main. Maka sebelum sang kakak kembali tersulut emosi, ia memilih bangkit dari tempatnya duduk dan buru-buru meninggalkan ruangan tersebut.

▪▪▪

Jejak air mata masih tercetak jelas di wajah Minhyuk saat keluar dari ruang kerja Donghae. Beruntungnya malam sudah cukup larut dan penghuni mansion sudah jatuh ke dalam mimpi, sehingga tak ada orang lain yang melihat kondisinya saat ini. Dengan terburu, Minhyuk berjalan menjauh dari ruang sang kakak dan masuk ke kamarnya.

Tubuhnya bergetar seiring dengan rasa takut dan sedih yang menyerbu.  Ia bersandar pada dinding dan dalam detik berikutnya tubuh itu luruh ke lantai diiringi isakan kecil yang keluar dari bibir tipisnya. Dengan perlakuan Donghae tadi, dia semakin yakin jika sang kakak membencinya.

Dibenci, sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi Minhyuk sendiri. Ia sudah terbiasa dibenci, sungguh. Dan semua benci yang orang lontarkan selalu tanpa alasan. Tapi setidaknya dia masih memiliki keluarga kecil yang selalu menyayangi dan mendukungnya, itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia. Akan tetapi, lain hal dengan sekarang karena rasa benci itu datang dari orang yang sangat ia sayang. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Donghae membencinya tanpa alasan yang anak itu mengerti.

"Minhyuk-ah, kenapa kau di situ?" Sebuah suara menyapa pendengaran Minhyuk dan membuat anak itu mendongak.

Wonho terbelalak dan nyaris menumpahkan segelas susu yang di genggamnya saat mendapati kondisi Minhyuk yang bisa dikatakan tidak baik. Ia buru-buru meletakkan gelas susu ke atas nakas dan menghampiri yang lebih muda.

"Astaga, ada apa denganmu? Kenapa menangis?" Wonho berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan sang lawan bicara. Tangannya bergerak hendak menghapus jejak air mata di kedua pipi Minhyuk.

Minhyuk menepis uluran tangan Wonho dan menghapus air matanya sendiri dengan punggung tangannya. Anak itu menatap sendu pada sosok di depannya.

"Hei ... astaga, kenapa bisa seperti ini? Siapa yang melakukannya padamu?"

Belum habis rasa terkejut Wonho karena anak itu menangis, dan kini ditambah dengan adanya bekas kemerahan yang melingkar di leher Minhyuk. Pria dewasa itu menyentuh leher Minhyuk dan mengusapnya pelan.

"Apa yang salah dariku, Hyung?" tanya anak itu tak memperdulikan pertanyaan Wonho sebelumnya.

"Jujur, aku sudah terbiasa dengan kebencian. Namun nyatanya itu tetap terasa sakit saat Donghae Hyung melakukannya. Hiks ... a–aku tak tahu apa kesalahanku. Tapi mengapa Donghae Hyung begitu membenciku? Beri aku penjelasan!" tutur Minhyuk kemudian mengacak rambutnya dengan kesal.

Terjawab, tanpa bertanya dua kali pun, Wonho sudah tahu siapa pelaku di balik kacaunya anak ini. Dalam hati dia mengumpati sikap Donghae yang mulai kelewatan. Direngkuhnya tubuh ringkih Minhyuk ke dalam pelukannya.

"Ish ... aku kesal, sangat kesal. Hiks ...." gerutu Minhyuk di sela tangisnya.

"Sstt ... tenanglah. Kau tidak bersalah. Donghae memang sering berbuat kelewat batas, apa lagi sekarang ia sedang sibuk-sibuknya mengurus perusahaan. Lebih baik kau bersihkan dirimu dan beristirahatlah. Jangan sampai sakit lagi," ujar Wonho menenangkan sembari mengusap pucuk surai Minhyuk.

Minhyuk tak menggubris, anak itu masih sesenggukan dan sesekali menggumamkan kata seperti 'maaf' dan 'apa salahku?'. Wonho harus ekstra sabar untuk menanti bocah itu menyelesaikan tangisnya yang berjalan nyaris satu jam.

Minhyuk menyudahi tangisnya saat dirasa sudah tak ada air mata yang dapat ditumpahkan. Ia pun melepaskan pelukan Wonho dan berjalan ke arah ranjangnya. Merebahkan diri lantas menyembunyikan seluruh tubuhnya ke dalam selimut.

"Pergilah, Hyung. Aku mengantuk, ingin tidur," titahnya pada sosok yang menatap dalam diam.

"Tapi Minhyuk-ah ...."

"Aku tak apa, sungguh. Terima kasih sudah mau memelukku tadi, hangat seperti pelukan bibi. Kumohon pergilah, kau juga butuh istirahat," sergah Minhyuk sebelum Wonho melanjutkan ucapannya.

Dengan berat hati Wonho beringsut meninggalkan kamar sang Tuan Muda. Ia khawatir namun tak berani berbuat lebih ketika Minhyuk sudah menolak keberadaannya.

"Selamat tidur, Minhyukie," ucap pria itu sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu, tak lupa ia mematikan lampu kamar Minhyuk agar sang empu lelap dalam tidurnya.

Minhyuk meremas rambutnya dengan kasar. "Shhh ... aku pusing."

Annyeonghaseyo 🙃

Maaf ya aku mulai khilaf. Mulai nistain bias 😂😂
Ya gitu deh.. nggak seru kalo hidup bahagia2 terus, harus ada ujian biar ntar bahagianya seru. /halah ngomong apa sih-_-/

Gimana kabarnya? Yang dateng di Vheartbeat jantungnya masih sehat? :v

Alhamdulillah aku masih bisa ngontrol jantung sampe sekarang. Mau cerita lagi nihh, kalo aku kenotice sama Hawe dan Kihyun di konser kemaren. Duh, masih kebayang senyum mereka sampe sekarang😭😭😭

Mereka ganteng banget sumpah, mukanya mulus2 semua dan badannya gagah2 semua😭😭. Perfect deh pokoknya. Mereka manusia apa bukan sihh??😭
Tapi seperti yang digambarkan di ff yang sering ku baca. Kalo Kihyun sama I.M itu badannya kecil.. lebih kecil dr member yg lain sih menurutku, tapi Kihyun badannya keliatan lebih berisi dari pada ayem sih 😆. Tapi satu yg pasti, mereka berdua masih lebih tinggi daripada Afgan :v

Pokoknya aku cinta mereka.. udah itu aja

Sekian dari saya. Kalo kepanjangan malah curhat namanya 😂😂

Salam

VhaVictory and porumtal
(03-09-2019)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro