LIMA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf lama updatenya :(

Dan selamat membaca🙃

.
.
.
.
.

Donghae tengah duduk di kursi kerjanya dengan pandangan tajam mengarah pada Minhyuk. Di lain sisi, bocah itu berdiri canggung tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya sekarang. Pasalnya mereka hanya seperti itu sejak memasuki ruangan luas yang dipenuhi berkas tersebut.

"Beri aku penjelasan mengapa kau membolos?"

Mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir sang kakak, Minhyuk sontak mendongak. Dirinya terkejut sekaligus bingung dengan jawaban apa yang harus dia berikan pada kakaknya. Alhasil dia hanya bisa kembali menunduk sambil menautkan jari-jari tangannya.

"Minhyuk, jawab aku!" ucap Donghae penuh penekanan.

Tak ada jawaban, bocah itu masih diam dalam gelisah.

"LEE MINHYUK!" bentak Donghae geram begitu dirinya merasa tak direspon.

"N-nee, aku ... aku ...." gagap Minhyuk begitu Donghae meneriakinya.

"Kau punya mulut, apa susahnya menjawab satu pertanyaan dariku, huh? Kau tidak bisu 'kan? Atau kau tuli?" Donghae berucap masih dengan intonasi tinggi, beruntung ruang kerjanya kedap suara sehingga orang luar tidak dapat mendengar teriakannya.

"T-tidak, aku tidak bisu dan tidak juga tuli, Hyung," cicit Minhyuk dengan suara bergetar, bahkan kini tubuhnya juga ikut bergetar.

"Jika begitu, maka jawab aku!" Kali ini gebrakan meja mengiringi amarah Donghae.

Bentakkan serta gebrakan itu cukup untuk membuat jantung Minhyuk berdetak dua kali lebih cepat. Tubuh bocah itu sudah bergetar akibat rasa takut yang menyelimutinya. Sejujurnya, dia sangat takut dengan orang bersuara keras dan sekarang kakaknya sendirilah yang membentaknya. Dia sendiri tidak tahu jika masalah kecil itu menimbulkan amarah bagi sang kakak.

"Maafkan aku, Hyung. A-aku sungguh tidak berniat untuk membolos," lirihnya kemudian, sekuat tenaga Minhyuk berusaha agar tidak meloloskan air mata.

Donghae mendengkus kasar kemudian berdiri dari kursi yang didudukinya, dan berjalan mendekati sosok Minhyuk yang menunduk semakin dalam seiring dekatnya jarak yang tercipta.

"Aku tak butuh maaf, Minhyuk-ah. Yang kuinginkan adalah penjelasanmu. Jadi, coba jelaskan mengapa kau membolos?" ucap yang lebih tua begitu sampai di hadapan sang adik.

Mendapati sosok kakak berdiri di depannya, Minhyuk mendongakkan kepalanya. Iris coklatnya bertubrukan dengan manik kelam milik Donghae. Sorot tajam dari manik kelam milik Donghae langsung bertabrakan dengan milik Minhyuk yang berwarna kecoklatan. Lagi-lagi Minhyuk menundukkan kepala, tak berani bersitatap langsung dengan si kakak.

Donghae menjatuhkan tangan kananya ke atas bahu Minhyuk dan meremasnya dengan kuat.

"Kau membolos setelah berkelahi, ya?"

Bukan tanpa sebab dia berkata demikian, namun luka di pipi bocah itu membuatnya menanamkan kecurigaan. Sementara itu, Minhyuk refleks memegang sebelah pipinya yang lebam, lupa jika bekas pukulan Jongin masih tercetak cukup jelas di sana.

"Ti-tidak, aku tidak berkelahi, sungguh," tukasnya diikuti gelengan kuat.

Donghae menghela napas dengan kasar kemudian menghempas pegangan pada bahu Minhyuk hingga bocah itu terhuyung ke belakang.

"Kau tahu? Aku sangat benci pembohong dan kau membohongiku," geramnya.

"Tapi, Hyung, aku tidak berbohong. A-aku memang membolos tapi aku tidak berkelahi. Mengapa kau tidak percaya padaku? Aku ...."

"Cukup!" Dengan cepat Donghae memotong kalimat adiknya sebelum bocah itu selesai berucap.

"H-hyung ...." satu bulir air mata terlepas begitu Donghae membentaknya untuk kedua kalinya.

"Aku tidak menyekolahkanmu untuk menjadi seorang pembohong. Berhenti melakukan hal-hal tidak berguna dan belajarlah. Marga Lee melekat pada namamu, dan itu berarti perusahaan juga merupakan tanggung jawabmu. Lihatlah Changkyun, dia bahkan selalu belajar siang dan malam untuk menjadikan perusahaan kita menjadi lebih pesat di masa depan. Jadi, aku tidak mau memiliki adik bodoh dan tidak berguna."

Kata-kata itu telak melukai hati Minhyuk. Membuat air mata di pelupuk mata itu kembali jatuh tak tertahan. Dia sadar jika Changkyun memanglah jauh lebih pandai darinya. Dibandingkan memanglah bukan perkara yang mudah karena pada dasarnya manusia itu berbeda. Hati bocah manapun akan terluka jika dibandingkan dengan anak tetangga. Alih-alih menghargai apa yang ada pada dirinya, Donghae justru membanggakan Changkyun di hadapan Minhyuk, sang adik.

"Menangis tidak akan menyelesaikan masalah, dan jangan harap itu membuatku tersentuh," lanjut Donghae sebelum berlalu meninggalkan ruangan.

Lemas, Minhyuk luluh ke lantai begitu sang kakak keluar dari ruang kerjanya. Degup jantungnya masih jauh di luar kata normal, dan ada luka tak kasat mata telah menggores hatinya. Memeluk kedua lututnya, ia menangis, untuk pertama kalinya setelah sembilan tahun yang lalu. Saat di mana Donghae meninggalkannya bersama keluarga Kihyun, yang nyatanya selalu membawa kebahagiaan untuknya.

▪▪▪


Pagi-pagi sekali Minhyuk sudah tiba di sekolah, tentu saja bersama dengan Changkyun yang kini sudah memasuki kelasnya. Minhyuk pun sama, dia juga sudah duduk manis di dalam kelas dengan buku pelajaran sebagai bahan bacaannya. Sejak kejadian semalam, dia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia akan belajar lebih giat lagi dan membuat Donghae bangga padanya. Setidaknya itulah yang ada di pikiran anak itu untuk saat ini.

"Minhyuk-ah, kupukir kau tidak masuk. Apa perutmu sudah baikan? Maaf, aku terlalu sibuk dengan klub dan tak bisa membantumu."

Kihyun yang baru datang langsung menghujani Minhyuk dengan rentetan kalimat khawatirnya. Bahkan pemuda itu belum sempat menaruh tas yang dia bawa ke bangku miliknya yang berada tepat di depan Minhyuk.

Mengerjap beberapa saat, Minhyuk akhirnya menjawab dengan tergagap. "Eoh ... tidak apa-apa, a-aku sudah baikan."

"Huh, syukurlah kau sudah sehat. Eomma sangat khawatir saat kukatakan jika kau tiba-tiba membolos karena sakit perut." Kihyun berujar dengan tangan menepuk bahu Minhyuk.

Beginilah yang ia suka dari keluarga Kihyun. Perhatian dan kasih sayang yang mereka berikan padanya benar-benar tak terbatas, padahal ia bukan siapa-siapa di sana selain keponakan semata. Ah, lagi, Minhyuk merindukan momen berada di antara mereka.

Brakk!

Bangku yang menjadi tumpuan Minhyuk bergeser menjauh saat seseorang dengan sengaja menendang kaki bangku tersebut. Bukan hanya si pemilik bangku yang terkejut, Kihyun yang masih dalam posisi berdiri di depan Minhyuk pun terlonjak ke belakang karena meja itu mengenai tubuhnya.

"Yak! Apa yang kau lakukan, huh?" geram Kihyun marah.

"Memangnya apa? Kakiku tersandung, tahu?" bantah si pelaku yang tak lain adalah Jongin.

Kihyun berdecih. "Tersandung kepalamu! Kau jelas-jelas menendang mejanya. Kau bisa melukai Minhyuk."

Adu mulut antara keduanya kini sudah menjadi tontonan seluruh siswa yang berada di dalam kelas tersebut. Sebagian geleng kepala karena Jongin yang sudah berulah di pagi hari, dan sebagian menyayangkan sikap Kihyun yang terlalu berlebihan dalam membela Minhyuk.

"Bung, berhenti membela orang lemah ini. Tak ada untungnya, orang sehebat dirimu lebih pantas menjadi temanku dari pada bergerombol dengan anak jalang ini. Tidak berguna dan-" Belum sempat Jongin menyelesaikan kalimatnya, Kihyun sudah melayangkan satu bogeman ke pipi lelaki berkulit agak gelap itu dan membuatnya tersungkur.

"Jaga bicaramu, sialan! Tau apa kau soal dia sampai berkata omong kosong seperti itu?" geram bocah itu hendak melayangkan pukulan lagi, namun ditahan oleh Minhyuk.

"Kihyun-ah, jangan lakukan itu. Kau bisa terkena masalah, dan paman akan di panggil ke sekolah lagi," ujar Minhyuk setengah memohon. Mereka benar-benar sudah menjadi pusat perhatian seisi kelas sekarang.

Kihyun menatap tak suka pada sepupunya. "Aku tidak peduli! Dia mengatakan yang bukan-bukan tentangmu, dan anak-anak satu sekolah pada akhirnya akan termakan oleh omong kosongnya. Kau pikir aku akan diam saat saudaraku diperlakukan buruk?"

Minhyuk bungkam, dia tahu maksud sepupunya ini. Namun, jika seperti ini caranya, Kihyun-lah yang akhirnya dirugikan juga.

Jongin berdiri usai membersihkan darah di sudut bibirnya. "Cih! Aku tahu segalanya tentang dia, dan cepat atau lambat kau akan tahu jika apa yang ku katakan bukanlah omong kosong. Menyedihkan sekali menjadi seorang Lee Minhyuk," tukas Jongin sebelum meninggalkan kelas, tepat saat bel masuk berdering.

Minhyuk lagi-lagi hanya menatap bingung pada Jongin yang sudah pergi dari kelas. Sejak kemarin pemuda itu terus berkata seolah dia tahu tentang dirinya. Sebenarnya apa yang ada di pikiran Jongin?

"Kawan-kawan, segera siapkan buku kalian, Guru Yang akan segera tiba," perintah dari sang ketua kelas memecah keheningan yang tercipta usai kepergian Jongin.

Seisi kelas mulai sibuk dengan kegiatan seperti biasanya, tak terkecuali Minhyuk dan Kihyun.

"Kihyun-ah, maafkan aku." Setengah berbisik Minhyuk berucap pada sosok yang duduk di depannya.

"Lupakan, aku terlalu emosi tadi. Aku yang seharusnya minta maaf," sahut Kihyun sembari meletakkan sesuatu ke atas bangku Minhyuk.

"Itu bekal dari Eomma untukmu, nanti kita makan siang bersama," lanjutnya yang disambut dengan anggukan antusias oleh sang sepupu.

▪▪▪

Changkyun berjalan menyusuri lorong sekolah dengan pandangan tak tentu. Ini jam istirahat, dan semua teman kelasnya pergi ke kantin untuk makan siang. Dirinya pun hendak menyusul, namun malah tersesat usai keluar dari toilet. Dia belum tahu denah sekolah ini selain ruang kelas, toilet dan ruang kepala sekolah.

Dia belum pernah pergi ke kantin karena kemarin dirinya terlalu sibuk membaca materi sampa lupa makan siang. Mau bertanya juga malu, sedari tadi orang-orang selalu menatapnya. Tidak tahu apa yang mereka katakan, namun sekelebat dia mendengar nama Minhyuk disebut saat mereka berbisik. Memang ada apa dengan Minhyuk?

"Hei."

"N-nee?" Changkyun sedikit berjengkit saat seseorang menepuk bahu kanannya.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa seperti orang bigung?" tanya orang itu.

"Jooheon-ssi. Kebetulan sekali," Changkyun menghela napas lega, "aku baru dari toilet dan hendak ke kantin, tapi aku belum tahu letak kantin. Maukah kau menujukkan arah padaku?"

Sosok yang dipanggil Jooheon itu mengangguk semangat.

"Tentu saja, aku juga ingin ke sana. Ayo, sebelum kantin penuh dan kita tidak mendapat tempat duduk," ajaknya kemudian berjalan mendahului Changkyun.

Changkyun pun tak kalah semangat untuk menuju kantin, dirinya sudah sangat lapar sekarang mengingat tadi pagi dirinya hanya memakan sedikit dari sarapannya. Entah hanya perasaan saja atau memang suasana sarapan tadi pagi terasa sangat canggung, karena Donghae tak mengatakan apa pun selama sarapan usai, meski sebenarnya setiap hari begitu tapi atmosfer kala itu benar-benar terasa berbeda.

"Ya Tuhan!" Changkyun mengusap dahinya yang membentur sesuatu dan ternyata adalah punggung Jooheon yang berhenti mendadak.

"Ah! Kita duduk di sana saja," entah sejak kapan sudah ada dua nampan berisi makan siang di kedua tangan Jooheon dan kini pemuda itu sudah bergerak ke arah meja yang dimaksud.

Keduanya kini sudah duduk di tempat yang Jooheon maksud. Tanpa banyak bicara, mereka menyantap makan siangnya dalam diam. Benar-benar terlihat seperti orang kelaparan sehingga tak butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan dalam nampan tersebut.

"Terimakasih, Jooheon-ssi," tutur Changkyun usai makan.

"Sama-sama. Dan omong-omong, panggil saja Jooheon jangan terlalu formal seperti itu. Kita 'kan teman satu kelas," sahut Jooheon sembari meneguk minumnya.

"Bolehkah?"

"Tentu saja boleh, kita juga bisa lebih akrab lagi nantinya," kekeh Jooheon.

Waktu istirahat masih cukup panjang dan keduanya menghabiskan waktu yang tersisa dengan berbincang. Changkyun bukanlah tipe orang yang dapat dengan mudah akrab dengan orang baru namun entah mengapa saat berbicara dengan Jooheon, dirinya merasa dapat dengan mudah mendekatkan diri.

Sekilas Changkyun melihat Minhyuk yang sedang duduk bersama Kihyun. Hanya mereka berdua yang duduk di bangku panjang itu. Changkyun heran, kenapa tak ada siswa lain yang duduk bersama mereka?

"Apa yang kau lihat?" tanya Jooheon sembari mengikuti arah pandangan Changkyun.

"Oh, mereka. Tidak usah heran, memang nyaris setiap hari seperti itu," jelas Jooheon saat tak kunjung mendapat sahutan dari lawan bicara.

Changkyun memalingkan pandangan ke arah Jooheon. "Kenapa?" herannya.

"Aku tidak terlalu tahu bagaimana pastinya. Tapi berdasarkan apa yang kudengar selama ini, Minhyuk Sunbae adalah korban bully," ujar Jooheon yang membuat Changkyun terkejut.

"Kenapa bisa begitu?"

"Tunggu, apa hubunganmu dengan Minhyuk Sunbae? Bukankah kalian berangkat dan pulang bersama sejak kau masuk sekolah ini?" Sebelum menjawab, Jooheon lebih dulu mengutarakan pertanyaan pada Changkyun.

Changkyun mengusap rambutnya pelan. "Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku tinggal bersama keluarganya karena ayah dan ibuku sudah tiada sejak aku kecil. Jadi Minhyuk Hyung adalah kakakku," jelasnya kemudian.

"Ah, seperti itu rupanya. Jadi bisa dibilang kau adalah bagian dari keluarga Minhyuk Sunbae?" tanya Jooheon retoris.

"Eoh. Jadi, lanjutkan ceritamu tadi Jooheon-ah," desak Changkyun tak sabar.

Memasang wajah kesalnya namun Jooheon tetap menjawab.

"Dia sering jadi sasaran bully oleh geng paling nakal di sekolah ini yang ketuanya sendiri satu kelas dengan Minhyuk Sunbae. Parahnya lagi hampir semua siswa sekolah ini ikut merundungnya. Mereka termakan omongan geng Jongin Sunbae dan ikut mengatai Minhyuk Sunbae dengan kata-kata yang menurutku keterlaluan."

"A-apa yang mereka katakan?" Changkyun benar-benar tak percaya jika Minhyuk yang ceria itu mengalami hal tak mengenakkan di sekolah.

"Mereka bilang jika Minhyuk Sunbae adalah sampah, pembawa sial, tidak tahu diri, tidak berguna dan satu lagi. Anak seorang jalang," tutur Jooheon setengah berbisik, takut jika ucapannya di dengar orang selain Changkyun.

Changkyun tak langsung menanggapi ucapan Jooheon, dirinya kembali menatap ke arah Minhyuk yang sedang berbicara bersama Kihyun. Dilihat dari raut wajah yang ditunjukkan nampak seperti orang yang bahagia dan tanpa beban. Siapa yang menyangka jika sebenarnya dia adalah korban bullying?

"Dan satu hal lagi." Jooheon menjeda kalimatnya yang membuat Changkyun menatap ke arahnya.

"Dia tidak punya teman selain Kihyun Sunbae, karena hanya Kihyun Sunbae yang mau berteman dengannya. Kasihan," imbuh lelaki sipit itu.

"Lalu bagaimana denganmu? Kenapa kau tak mau berteman dengannya? Bukankah kau sama saja dengan mereka yang merundung?" tanya Changkyun dengan nada tajam.

Jooheon mengibaskan kedua tangannya di depan Changkyun, "Bukan begitu. Aku mau saja berteman dengan semua orang bahkan Minhyuk Sunbae. Tapi mana mungkin aku melakukannya? Bahkan kita bukan siswa satu angkatan, aku juga tahu tentang dia dari pembicaraan kakak kelas. Lagi pula, Jongin Sunbae tidak akan membiarkan orang yang berteman dengannya hidup tenang. Kihyun Sunbae bahkan sering keluar masuk ruang konseling karena berkelahi dengan Jongin Sunbae," sahutnya bersungguh-bersungguh.

Changkyun menghela napas berat. Dia benar-benar tak menyangka jika Minhyuk mendapat perlakuan begitu buruk di sekolah. Tak punya teman katanya? Yang benar saja. Changkyun sendiri adalah sosok yang pendiam di sekolahnya dulu namun dia tetap memiliki teman, baik yang setia maupun yang hanya memanfaatkan kecerdasannya. Intinya dia punya teman. Tapi ini? Hanya ada satu dan itu adalah sepupunya sendiri yang merangkap sebagai teman sekaligus saudara.

"Changkyun-ah. Kenapa?" panggil Jooheon saat mendapati Changkyun terdiam cukup lama.

Changkyun menggeleng, "Minhyuk Hyung orang yang baik, dia pantas mendapat teman yang baik juga," gumamnya.

Tanpa sengaja pandangannya bertabrakan dengan Minhyuk yang sedang menatap ke arahnya. Pemuda itu melemparkan senyuman hangat padanya, dan dengan senang hati Changkyun membalas senyum itu.

Haii :')

Aku update yaa.. maap kelamaan soalnya bla bla bla (cek aja di bio, aku udah membeo)

Jadi ini lah part di mana masalah demi masalah mulai muncul, kalian udah siapin hati kan buat baca Minhyuk-ssi aku nistakan?😂😂

Semoga suka yaa🙃

Good night everybody, and sleep well okay :)
Mataku tinggal 1 watt? Bentar lagi padam😪


Salam

VhaVictory and porumtal
(28-07-2019)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro