TIGA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Pandangannya menelisik ke sekeliling. Benar-benar menakjubkan, pikir Minhyuk begitu turun dari mobil yang ditumpanginya dengan sang kakak. Beberapa perempuan berseragam serupa langsung menyambut kedatangannya dan mengambil koper yang semula Minhyuk tenteng.

"Eoh, terima kasih," ujar Minhyuk canggung.

Di depannya terdapat Donghae yang sudah melangkah dengan mantap memasuki area mansion. Dengan terburu Minhyuk menyusul langkah sang kakak dan mensejajarkannya. Kini mereka telah memasuki mansion dan Donghae menyuruh Minhyuk untuk duduk di ruang tamu bersamanya.

Tak lama kemudian, datang seorang pelayan yang menyuguhkan minuman dan beberapa camilan. Keheningan tercipta setelah pelayan itu berlalu. Donghae yang sibuk berkutat dengan layar ponselnya dan Minhyuk dengan antusias menjelajah isi ruangan tersebut menggunakan dua netranya.

"Apa kita akan tinggal di sini, Hyung?" Pertanyaan itu ia lontarkan demi menghilangkan kesunyian yang terjadi di antaranya.

Donghae menaikkan sebelah alisnya dan menatap Minhyuk heran. "Jika aku memasuki rumah ini dan semua orang memanggilku Tuan, menurutmu tempat ini milik siapa?"

"Milikmu," cicit bocah itu kemudian, mendengar suara Donghae saja sudah membuatnya salah tingkah.

Kecanggungan dua bersaudara itu terpecahkan dengan kehadiran seorang pria dewasa bertubuh lumayan kekar. Pria itu membungkuk hormat pada mereka.

"Perkenalkan, dia Shin Wonho, asistenku. Dan Wonho seperti yang kukatakan jauh-jauh hari, dia adalah Lee Minhyuk, adikku."

Tak perlu diulang, baik Minhyuk maupun Wonho saling memberikan salam sebagai tanda perkenalan. Wonho dapat melihat, jika tuan muda yang satu ini benar-benar berbeda dari atasannya. Dia dapat menerka watak seseorang meski ini adalah pertemuan pertama.

"Wonho-ssi, bisakah kau antarkan Minhyuk menuju kamarnya dan temani dia untuk melihat-lihat mansion ini. Aku akan bersiap untuk meeting besok pagi-pagi sekali, jangan biarkan orang lain masuk ke dalam ruang kerjaku," papar Donghae lantas beranjak meninggalkan ruangan tersebut.

"Baik, Sajangnim." Wonho menunduk hormat setelah kepergian Donghae.

Wonho tersenyum ramah pada Minhyuk yang menatapnya dengan antusias.

"Mari, Tuan. Kamar Tuan Muda ada di lantai dua," tuturnya penuh hormat kemudian melangkah di depan Minhyuk.

Minhyuk tak menggubris ucapan Wonho namun tetap mengikuti langkah pemuda itu. Matanya kembali berkelana mengikis setiap sudut rumah berukuran besar tersebut. Desain interior sungguh mengagumkan, keindahannya sulit dijelaskan bagi orang awam sepertinya. Namun, Minhyuk berani bersumpah, rumah tersebut sangat indah dan benar-benar mencerminkan kasta pemiliknya.

Setelah menunjukkan letak kamar, Wonho mengajak Minhyuk berkeliling bangunan yang tak bisa dianggap remeh luasnya itu. Jujur, Minhyuk tak sepenuhnya mendengar apa yang pria itu katakan karena sibuk mengagumi keindahan tempat tersebut. Apalagi di belakang mansion itu ternyata ada danau buatan yang ditumbuhi oleh pepohonan rindang. Dia berpikir, apakah kakaknya sangat kaya hingga bisa memiliki rumah seluas dan seindah ini.

"Hei, Hyung. Apa Donghae Hyung selalu seperti itu? Apa dia memang dingin seperti itu? Apa dia juga irit bicara? Mengapa dia tidak pernah tersenyum? Atau dia tidak suka padaku? Heol! Aku sampai sulit bernapas saat duduk berdua tadi, dia seperti es," tukas Minhyuk ketika mereka berdiri di tepi danau buatan tersebut.

Wonho yang baru akan buka mulut untuk menjelaskan rupa danau mendadak bungkam karena dihujani pertanyaan mendadak dari sang tuan yang sedari tadi hanya mengangguk menanggapi penjelasannya. Dia merasa canggung karena Minhyuk sudah memanggilnya 'hyung' padahal mereka baru pertama kali bertemu.

"A–apa maksud Anda, Tuan?" sahutnya tergagap.

"Aku tidak mengerti dengan sikap Donghae Hyung sejak awal kita bertemu. Kita sudah sembilan tahun tidak berjumpa, bukankah seharusnya dia bahagia? Aku saja sangat bahagia ketika dia tiba-tiba datang dan kita akhirnya bertemu, tapi kenapa dia berekspresi biasa saja? Seolah pertemuan ini bukanlah hal penting," ujar anak itu dengan raut berubah murung.

Wonho menghela napas, apa tuan mudanya ini sudah menjadi korban keapatisan Donghae?

"Begini Tuan Muda—"

"Aish ... berhenti memanggilku Tuan! Aku risih, panggil saja Minhyuk. Apa susah?" Kali ini ia berucap dengan bibir mengerucut.

Wonho menganga dengan tingkah Minhyuk. Ekspresi sedih yang baru saja dia saksikan kini beralih menjadi merajuk dan kesal. Lucu sekali tuannya yang satu ini.

Wonho terkekeh. "Baiklah Minhyuk, Donghae Sajangnim memanglah pribadi yang seperti itu. Dingin, tidak peduli dan terkesan kaku. Namun, jika sudah mengenalnya, dia adalah orang yang menyenangkan. Kita hanya perlu bersabar," jelasnya kemudian.

Minhyuk hanya menganggukan kepala mendengar penuturan Wonho. Kini pandangannya menatap lurus ke arah beningnya permukaan air danau. Sinar matahari terpantul jelas di atas air itu, menyilaukan namun indah.

"Ya, semoga saja," lirih anak itu kemudian.


▪▪▪


Hari Minggu berlalu begitu cepat, karena kini Senin sudah menyapa. Minhyuk berdiri di depan cermin dalam kamarnya lengkap dengan atribut sekolah yang biasa ia kenakan. Ia sudah bangun sejak satu jam yang lalu. Hal pertama yang menyambut indra pendengarannya adalah ketukan pintu dan suara salah satu pelayan yang berusaha membangunkan dirinya. Hal ini terasa asing bagi Minhyuk pribadi, karena biasanya Nyonya Yoo akan dengan gamblang memasuki kamarnya dan membangunkan dengan sentuhan kasih sayang. Baru sehari, tetapi ia sudah merindukan suasana keluarga itu. Meski kecil, tapi kehangatan dapat ia temukan di setiap sudut rumah tersebut dan jujur dirinya tak yakin jika akan menemukan hal yang sama di sini.

"Aigoo, kau tampan ya?" ujar bocah itu usai menatap pantulan dirinya di dalam cermin.

Tak mau berlama-lama berkecamuk dalam pikiran-pikiran negatifnya, Minhyuk memutuskan untuk keluar dari kamar berukuran besar tersebut dan turun menuju lantai satu di mana kegiatan sarapan berlangsung.

"Selamat pagi." Sudah kebiasaan jika setiap pagi ucapan itu meluncur dari bibirnya.

Meski masih sedikit canggung, Minhyuk mencoba untuk membuat suasana menjadi sedikit cair. Sarapan di keluarga ini hanya terdiri dari dirinya dan Donghae. Tapi tunggu, siapa dia?

Sesampainya di meja makan, Minhyuk menemukan orang lain yang belum dikenalnya, padahal kemarin Wonho sudah mengenalkannya pada seluruh penghuni mansion. Apa mungkin lelaki kekar itu melewatkan satu orang?

Waktu sarapan berjalan sunyi, bahkan sapaan Minhyuk yang tadi pun sama sekali tak dihiraukan oleh orang-orang itu. Ia tahu, jika saat makan memang tidak dianjurkan untuk berbicara, namun setidaknya ada yang mengucapkan basa-basi seperti 'selamat makan' saja sudah cukup. Lagi, Minhyuk hanya bisa geleng kepala dengan keadaan keluarganya yang sekarang. Heran, apa selalu sepi seperti ini? Donghae mau pun bocah yang belum dikenalnya itu sangat pendiam.

Donghae meletakkan sumpitnya, tanda jika dirinya telan usai dengan makanannya. Tak lama setelahnya Minhyuk dan bocah yang belum dikenalnya pun melakukan hal yang sama.

"Mulai hari ini, kau akan berangkat ke sekolah bersama Wonho. Berhenti menaiki bus dan pulang tepat waktu, aku tak suka orang yang menyia-nyiakan waktunya untuk hal tidak berguna." Kalimat itu Donghae lontarkan pada Minhyuk.

Anak itu tertegun dengan perkataan sang kakak. Kalimat itu bukan sekedar angin lalu, itu adalah perintah mutlak dari seorang Lee Donghae padanya. Jika begitu, artinya dia tidak akan bisa berkeliaran lagi dengan Kihyun usai jam sekolah. Tidak seru sekali, batinnya.

"Tapi Hyung ...."

"Dan, perkenalkan dia Im Changkyun." Donghae memotong ucapan sang adik dan menoleh pada anak di sampingnya.

"Mulai sekarang dia adalah adikmu, anggap saja begitu. Dan dia juga akan masuk ke sekolah yang sama denganmu, kalian berangkatlah bersama," lanjutnya kemudian.

Tanpa menunggu respon dari kedua orang yang lebih muda darinya, Donghae berdiri dari tempatnya singgah dan meninggalkan mereka yang masih terjebak dalam kecanggungan.

"Ayo, kita akan terlambat jika tidak segera." Minhyuk yang pada dasarnya tidak suka terjebak dalam kesunyian terlalu lama akhirnya angkat bicara, tak lupa senyum ramah ia sunggingkan.

"Baik," sahut bocah itu dan dengan patuh mengekor di belakang Minhyuk.

▪▪▪

Baru saja turun dari mobil, Minhyuk sudah berlari ke arah pemuda yang berdiri di depan gerbang sekolah. Siapa lagi jika bukan Kihyun. Sebelum berangkat, dirinya sudah bertukar pesan dengan sang sepupu untuk menunggunya di depan gerbang sekolah. Perlu diingat, hanya Kihyun teman yang ia punya di sini dan mungkin akan bertambah satu.

"Kihyun-ah!" panggilnya bersemangat.

"Ya! Aku tidak tuli tahu! Kenapa berteriak?" kesal Kihyun begitu Minhyuk tiba di hadapannya.

Sedangkan sosok yang menjadi lawan bicara hanya menampakkan cengiran andalannya.

"Siapa dia?" Kihyun baru menyadari jika ada sosok lain yang berdiri di belakang sepupunya.

"Nanti kujelaskan, tapi setelah kita mengantarkannya ke ruang kepala sekolah, oke?"

Baiklah, lagi pula Kihyun tak begitu tertarik dengan orang baru. Alhasil dirinya menyetujui saja permintaan sang sepupu. Mengantar anak baru itu ke ruang kepala sekolah, kemudian berjalan beriringan menuju kelas bersama Minhyuk.

Waktu masih cukup pagi ternyata, sehingga belum begitu banyak siswa yang datang. Cukup melegakan bagi Kihyun pribadi, karena dia tak perlu buang-buang tenaga untuk memaki mereka yang suka menghina.

"Jadi, bagaimana harimu di sana?" Kihyun-lah yang bertanya.

Kini mereka sudah berada di dalam kelas dan menyiapkan buku pelajaran. Beberapa murid yang sudah datang pun melakukan hal yang sama.

"Hariku ... menyenangkan." Dan balasan itu yang Minhyuk berikan padanya.

Kihyun mengernyit heran. "Benarkah? Huh, aku sejujurnya tidak terlalu suka dengan Donghae Hyung," gumamnya yang jelas terdengar oleh Minhyuk.

"Mengapa begitu?"

"Entah, hanya tidak suka saja. Terlihat seperti orang yang membosankan."

"Jangan berpikir yang tidak-tidak. Doghae Hyung orang yang sangat baik, kok," tukas Minhyuk yang membuat Kihyun tak mau membahas lebih lanjut topik tentang sang kakak sepupu.

"Cih ... sejak kapan kau jadi sok rajin seperti ini?" gerutu Kihyun kemudian.

▪▪▪

Waktu berlalu cukup cepat dan sekarang sudah memasuki waktu istirahat. Lagi-lagi Kihyun sibuk dengan aktivitas klubnya yang akan mengikuti olimpiade nasional bulan ini. Dia seorang kapten, maka dirinyalah yang harus bertanggungjawab penuh untuk mengkoordinasikan kerja timnya.

Dan seperti yang sudah-sudah, Minhyuk tak akan pergi ke kantin. Kaki jenjangnya ia langkahkan menuju atap tempat ia biasa singgah. Namun belum genap sepuluh meter Minhyuk melangkah, seseorang merangkul bahunya erat.

"Mau kemana?"

"Kim Jongin, lepaskan!" Tanpa menoleh pun Minhyuk tahu jika empat berandal sekolah itu tengah berdiri di belakangnya.

"Tidak mau, aku hendak melanjutkan permainan yang kemarin. Jadi mari ikut kami." Jogin memberi aba-aba pada ketiga kawannya untuk menyeret Minhyuk menuju tempat tujuan.

"Ya! Lepaskan aku, ish ...."

Berontak pun percuma, jadi Minhyuk lebih memilih untuk pasrah dan mengikuti kemauan Jongin dan entah apa yang akan dilakukan namja itu padanya nanti.

Dan ternyata gudang yang letaknya di sebelah barat gedung olahraga adalah destinasi mereka. Bisa dikatakan tempat itu adalah markas berkumpulnya berandal terkemuka di sekolah itu. Orang tua mereka rata-rata memiliki jabatan yang cukup berpengaruh di dunia pemerintahan maupun industri. Namun, sayang anak-anak orang terhormat itu malah berperilaku layaknya preman tak berpendidikan.

Brugh!

Sungjae yang sedari tadi memegangi lengan Minhyuk kini dengan kasar mendorong bocah itu hingga tersungkur ke lantai gudang yang beruntungnya bersih.

"Aw ... sakit tahu! Bisakah kalian tidak berlaku kasar?" protes Minhyuk setengah kesal lantas berdiri dan membersihkan bagian belakang celananya.

"Lalu apa aku peduli?" balas Sungjae sebagai tersangka yang mendorong anak itu.

"Tentu saja harus, bagaimana jika tadi saat kau mendorong dan itu melukai tulang ekorku? Itu bisa berakibat fatal seperti kelumpuhan bahkan kematian. Apa kau mau masuk penjara karena mematahkan tulang ekor seseorang? Tidak, 'kan?"

Kalimat itu sukses membuat Jongin berdecak kesal dan melayangkan satu pukulan ke perut Minhyuk. Bocah itu kembali tersungkur dengan tangan memegang bagian perutnya.

"Argh ...." ritih Minhyuk begitu mendapat serangan tak terduga.

"Astaga, kau cerewet sekali." Jongin menggerutu sembari mengorek sebelah telinganya.

"Kalian, aku persilakan untuk melanjutkan permainan," titah Jongin yang langsung disambut girang oleh tiga kawannya.

Mau mengelak pun tak mampu. Alhasil Minhyuk hanya bisa pasrah ketika pukulan mau pun tendangan mendarat di tubuh rampingnya. Sakit, tentu saja. Bukan satu atau dua kali mereka melakukan perundungan padanya. Biasanya mereka hanya merundung dengan kata-kata pedas dan sejenisnya, namun akhir-akhir ini meningkat pada kekerasan fisik. Tak ada yang mengetahui kelakuan mereka, baik guru, siswa lain mau pun Kihyun karena Minhyuk selalu menyembunyikan lukanya dengan apik. Apalagi pukulan-pukulan yang Jongin dan kawan-kawan berikan selalu di bagian tubuh yang tertutup kain, semakin mempermudah jalannya dalam bersembuyi.

"Ugh ... cukup," ritihan ini menandakan jika Minhyuk sudah sampai pada batasannya.

Bocah itu meringkuk dengan tangan memegangi bagian perutnya dan beberapa kali terbatuk karena salah satu dari mereka melayangkan tendangan pada dadanya.

"Ka–kalian sudah kelewatan, apa salahku hingga kalian beramai-ramai melakukan ini semua, huh?" Dengan susah payah Minhyuk berucap.

"Entah, hanya senang saja." Sungjae berujar santai kemudian duduk di samping Jongin yang sedari tadi menyinggahkan bokongnya di atas sofa bekas yang masih layak pakai.

"Apa kau tak terima? Mau melawan? Lawanlah, dengan senang hati aku akan melayani." Jinyoung kembali melayangkan satu tendangan pada perut Minhyuk saat anak itu mencoba berdiri.

"Poor boy." Adalah Johnny yang mencibir dengan aksen baratnya yang fasih.

Empat remaja itu kini duduk berjajar di atas sofa usang dengan angkuh. Menatap remeh pada siswa yang terduduk lemah usai mereka lukai. Salah? Tentu saja, namun siapa peduli? Menyaksikan korbannya tak berdaya seperti ini adalah kesenangan tersendiri bagi mereka. Hukum? Tak perlu khawatir karena dengan melemparkan segepok uang, segalanya usai. Keseluruhan dari mereka adalah putra para penguasa. Jadi apa yang perlu ditakuti?

"Hei, kudengar pagi tadi kau datang bersama seorang murid pindahan dan diantar dengan sebuah mobil, apa itu benar?" Jongin berucap setelah terjadi keheningan beberapa saat.

Minhyuk mengernyit, bagaimana dia bisa tahu? Padahal Jongin dan gengnya selalu datang terlambat. Secepat itukah berita menyebar?

"Jangan heran, Bung. Seperti tidak tahu saja bagaimana mulut para gadis di sekolah ini. Kecepatan gosip yang disampaikan melebihi lari seekor singa jika sudah membicarakan sesuatu," seloroh Sungjae yang dihadiahi tawa kawan lainnya.

"Apa lagi sampah sepertimu, sangat bagus dijadikan topik saat jam istirahat." Jinyoung yang bermulut pedas menyahut.

"Oh, that's so rude, man." Johnny yang dasarnya sulit mengucapkan bahasa Korea pun paham maksud teman-temannya hanya bisa tertawa.

Melihat Minhyuk yang masih setia dalam diamnya, Jongin pun berinisiatif untuk kembali berucap.

"Biar kutebak, apa sekarang kau sudah kembali ke keluarga besarmu itu? Dan bocah baru itu adalah anggota keluargamu?"

Jongin lagi-lagi tertawa keras saat melihat ekspresi terkejut yang Minhyuk tunjukkan.

"Jangan heran, aku Kim Jongin jika kau lupa. Tidak ada yang tidak kuketahui. Aku tahu lebih banyak tentang keluarga busukmu bahkan melebihi dirimu. Ck ck ck, aku sangat benci dengan Lee Doghae yang bodoh itu," lanjut Jongin sarkas.

"K-kau tidak berhak menghina kakakku," Minhyuk berucap dengan kedua telapak tangan mengepal erat, dia tidak suka jika orang lain menghina kakaknya.

"Kita lihat saja nanti."

Jongin bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Minhyuk, melayangkan satu bogeman ke wajah tampan itu dan berlalu begitu saja diikuti tiga kawannya.

Minhyuk tak dapat menghidar dan akhirnya pukulan Jongin telak mengenai pipi kirinya dan meninggalkan lebam yang kentara di pipi putihnya.

"Bagaimana ini, ketampananku berkurang," gerutu anak itu sembari mengusap pipinya yang lebam.

Baikkan aku, tiap update kasih poto Oppa, iyalah.. foto Minhyuk ada bejibun di galeriku 😆

Aigoo, yang sayang Minhyuk angkat tangan✋

Sepi peminat pun tetap update, karena aku sayang Minhyuk 🙃

Kemarin ada yang bilang kurang greget, kurang penistaannya.. jawabannya sabar bung, karena belum saatnya saja😂😂

Cerita ini emang nggak segreget Blind, karena aku mau bikin serius tapi santai (kek pelajaran guru kliller)

Dan stay VOMMENT ya😙

Salam

VhaVictory and porumtal
(11-07-2019)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro