03 - Dalam Masalah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hari Senin, hari yang begitu menyebalkan bagi Ashila karena pelajaran di sekolah benar-benar membuat kepalanya pusing. Ia tidak sepandai Genta yang bisa dengan mudah menjawab soal-soal matematika atau bahkan fisika. Pasalnya, hari ini jam pertama setelah upacara adalah mata pelajaran matematika, setelahnya kimia.

Sehabis istirahat, ia akan menemui fisika dan diakhiri dengan bahasa Indonesia. 3 mata pelajaran inti dari jurusannya mampu membuat kepalanya berdenyut sakit, apalagi jika harus ulangan ketiga-tiganya. Bisa mampus dia! Untung saja hari ini tidak begitu.

"Lo harus aniaya gue sekarang, Ray!"

"Hah?!"

Arzia mengibas-ngibaskan kipas yang ia bawa dari rumah, "biar Bu Afi, Pak Andra sama Bu Dian nggak masuk! Gila aja lo, otak gue pecah kalo harus belajar ketiga-tiganya!" katanya menggebu-gebu. Meskipun dia sudah menjelaskan, kedua sahabatnya masih tidak mengerti.

"Do'a orang teraniaya cepat terkabul," jelasnya singkat.

Ashila menggelengkan kepalanya perlahan, ternyata bukan hanya dirinya yang mengeluh melainkan sahabatnya juga.

"Gila lo!" ujar Rayya.

"Bentar lagi juga UAS, materi belum selesai. Emang lo nggak apa-apa? Ntar alasan lagi, nggak dipelajari. Padahal sering berharap guru nggak masuk," kata Ashila dengan kekehan pelannya. Benar kan? Setiap siswa mengharapkan guru tidak hadir, saat mengalami kesulitan mengerjakan soal-soal ujian guru juga yang kena. Guru memang pahlawan tanpa tanda jasa.

"Ya iya sih, tapi kan gue males. Panas, mager pengen rebahan aja. Eh malah dipenuhi oleh hitung-hitungan yang nggak gue ngerti, frustrasi lah Bro! Gila apa?" oceh Arzia penuh semangat membuat Rayya dan Ashila tertawa kecil.

"Ya Tuhan, semoga Arif balik ke kelas membawa berita yang menggembirakan!" kata Arzia menengadahkan tangannya memohon do'a pada Sang Pencipta agar dikabulkan do'anya. Ashila dan Rayya hanya mengamini do'a Arzia saja.

Detik berikutnya, Arif yang mana adalah ketua kelas kembali membawa buku dan peralatan Sang Guru membuat Arzia mendesah kecewa. Rayya dan Ashila tertawa geli, "bentar doang kok, sabar."

Ucapan Ashila yang katanya 'sebentar doang' tidak mungkin Arzia percayai. Hanya saja mereka tetap memperhatikan guru yang sudah memasuki kelasnya dan bersiap untuk memberi materi yang belum dipelajari.

Setengah jam kemudian...

"Ada yang mau ditanyakan?"

"Hari ini Ibu nggak bisa lama-lama ya, latihan soal materi ini dan hari Rabu kita bahas materi terakhir beserta ulangan harian. Jangan lupa kerjakan, selamat pagi dan semangat menjalani hari ini."

"Selamat pagi, Bu."

Arzia tertawa pelan melihat guru Matematika keluar dari kelasnya, tahu seperti ini lebih baik ia menyuruh Ashila saja yang berdo'a. Agar cepat terkabul.

"Pak Andra bilang, hari ini ulangan. Siap-siap," teriak salah satu pengurus kelas membuat Ashila menghela nafasnya. Kenapa harus sekarang?

***

"Aku nggak mau kamu bolos, Genta!"

"Kenapa kamu jadi ngatur? Terserah aku mau ngapain aja, jangan bikin aku nyesel ke sini kalau tanggapan kamu malah begitu!"

Genta yang sedang emosi luar biasa pun melemparkan buku di hadapan Ashila membuat gadis itu tersentak hingga tubuhnya menegang di tempatnya. "Jangan pedulikan hidup aku, ini urusan aku. Kamu, nggak perlu ikut campur!"

"Kamu dengar Ibu, Genta?"

"Bu, sudah berapa kali saya bilang. Saya nggak bolos, seminggu ini saya patuh di sekolah sampai pulang. Kenapa Ibu sangat kekeh menganggap saya memprovokasi mereka? Saya dan mereka berbeda, Bu."

"Mereka membawa nama kamu!"

"Ibu menuduh tanpa bukti!"

Perdebatan sengit antara guru dan murid membuat Bu Kinar menghela nafasnya karena lelah berdebat dengan siswanya. "Ya sudah, kamu buktikan saja bahwa jam sebelas sebelum istirahat kedua kamu kemana dan bersama dengan siapa?"

"Di perpustakaan, bersama-"

"Perpustakaan? Sulit dipercaya, kamu memang pandai tapi Ibu curiga. Kamu tidak pernah ke perpustakaan sebelumnya, kamu membohongi saya?" sela Sang Guru membuat Genta berdecak.

"Bukankah tidak sopan jika memotong pembicaraan orang? Saya belum menyelesaikan penjelasan saya," kata Genta dengan malas. Ia memang sering keluar masuk BK dengan segala permasalahan, tetapi ia tidak terima karena dituduh sebagai provokator sebuah kelompok untuk membolos dan meminum minuman keras di luar sekolah.

"Oke saya minta maaf, lanjutkan penjelasan kamu."

"Saya bersama Ashila, kelas sebelas MIPA dua. Ibu bisa bertanya padanya, setelah keluar dari perpustakaan saya bertemu pak Jeffry di ruang olahraga dan saya bermain basket hingga istirahat selesai."

Genta menatap datar guru yang sedang menelepon seseorang, sepertinya beliau sedang menghubungi guru olahraganya untuk menanyakan kebenaran yang ada. Pikiran Genta tertuju pada seseorang yang seperti menjerumuskannya, "boleh saya tahu siapa saja yang terlibat?"

Pertanyaan Genta langsung diangguki oleh Bu Kinar, beliau menyerahkan selembar kertas yang berisi nama-nama anak-anak yang ditangkap pihak berwajib karena mengadakan pesta minuman keras di saat jam pelajaran masih berlangsung. Genta sempat mengacungi jempol untuk keberanian mereka. "Saya tidak kenal mereka, Dicky tersangka nomor satu di sini. Dia yang paling hebat di jurusannya, dan ibu tahu jurusan saya dan mereka tidak seakrab itu."

"Ya sudah, kamu kembali ke kelas. Terima kasih atas waktunya," kata Bu Kinar yang hanya diangguki singkat oleh Genta.

Genta membuka pintu BK dan di sambut oleh seorang gadis yang menatapnya tajam. Bel istirahat sudah berbunyi 2 menit yang lalu, tetapi kenapa bisa gadis itu berada di sini? Jarak ruangannya dan BK cukup jauh. "Jadi, apa yang bikin kamu repot-repot kemari?"

"Kamu."

***

"Bisa nggak sih sehari aja jangan bikin orang khawatir, aku bingung tau nggak?" kata gadis itu dengan nada kesalnya, Genta terkekeh. Sebelumnya tidak ada yang pernah mengkhawatirkannya seperti sekarang, "kenapa malah senyum-senyum!"

"Aku nggak kenapa-kenapa kok. Bu Kinar lagi kangen aja sama aku, aku nggak salah dipanggil-panggil. Bikin bingung aja," kata Genta dengan tatapan lembutnya.

"Oh ya?" tanya Ashila penuh selidik, pasalnya ia sangat tak suka ketika cowok itu sering keluar masuk ruangan penuh masalah itu.

"Kalau kamu nggak ngomel di perpustakaan waktu itu, mungkin aku akan terkena masalah. Mungkin panggilan orang tua, atau skorsing. Makasih-"

"Udah nggak usah bahas yang itu, ayo kantin. Aku laper," potong Ashila dan segera melangkah mendahului Genta, cowok itu segera menyusul Ashila yang sudah mendahuluinya.

Kantin

Suasana di kantin cukup ramai, tetapi Genta dengan mudah mendapatkan sebuah meja lengkap dengan kursi untuk diduduki. Cowok itu baru saja mengusir adik kelas yang sudah menyelesaikan makannya, tidak ada yang tidak mungkin untuk Genta bukan? Keinginannya pasti terkabul.

Itu bohong.

"Enak banget nyuruh orang pergi," kata Ashila dengan kekehan kecilnya. "Enak ya jadi kamu, apa yang diinginkan pasti dapet."

"Kata siapa? Aku ingin Mama kembali, tapi nggak dikabulkan," kata Genta datar membuat Ashila yang mendengarnya perkataannya cukup terkejut dan penasaran. Hanya saja melihat ekspresi datar cowok itu membuat Ashila memendam dalam-dalam rasa penasarannya.

"Mau makan apa?"

Ashila tersadar, "apa aja, aku makan kok."

"Batu?"

"Ishhh! Ya nggak batu juga," ujar Ashila membuat Genta menahan senyumnya, "bakso aja deh bakso, dari pada kamu kasih batu!" sungutnya membuat Genta mencubit pipinya.

"Uwu anjir."

"Gue juga mau."

"Kapan yak gue gitu?"

Genta yang sadar dengan bisikan-bisikan itu pun langsung mengembalikan ekspresinya seperti semula. Genta berjalan ke arah ibu kantin untuk membeli bakso yang diinginkan Ashila.

Setelah mendapatkannya, Genta kembali dengan membawa air mineral yang tadi ia beli dan semangkuk bakso. "Nih," katanya. Ashila mengangguk dan menerima pesanannya.

"Kamu nggak makan?"

"Aku udah makan jam sebelas tadi, masih kenyang," kata Genta yang diangguki Ashila. Gadis itu memakan baksonya dengan semangat, sampai tidak sadar jika sedari tadi Genta terus memperhatikannya.

Tatapan mereka bertemu. "Kenapa?" tanya Ashila.

"Nggak kenapa-kenapa, kamu cantik."

***

Ashila, Rayya dan Arzia duduk di pinggir jalan seperti orang hilang. Itu karena jemputan Arzia yang katanya akan mengantarkan mereka pulang belum juga tiba, Arzia menghela nafasnya lelah. Rayya dan Ashila hanya setia menemaninya karena mereka akan menumpang, jika tahu begini mereka tidak akan menghabiskan uang saku. Ini semua ulah Arzia!

"Masih lama, Zi?"

Arzia berdecap, "nggak tau nih, Mang Udin nggak sampai-sampai. Hpnya juga nggak aktif, sebel deh! Mana hp gue sekarang udah mati lagi," ocehnya.

Ashila menghela nafasnya pelan, ia juga tidak bisa menyalahkan Arzia yang menyuruh mereka membeli telur gulung di depan sekolah dan menghabiskan sisa uang sakunya. Jemputan Arzia yang belum sampai membuat mereka harus menunggu, sebenarnya bisa saja Ashila menghubungi tantenya atau sepupunya jika ponselnya tidak kehabisan baterai.

Bukan hanya ponselnya, tetapi ponsel Rayya dan Arzia juga. Ashila dan Rayya menikmati telur gulung yang mereka beli, berbeda dengan Arzia yang tampak mondar-mandir dengan plastik berisi telur gulung di tangannya.

"Taksi juga nggak ada yang lewat, udah sejam loh!"

"Ya udah sih, duduk aja duduk. Kali aja ntar ada orang yang baik hati nganterin kita, anak-anak ekskul masih di dalem. Kalo benar-benar nggak bisa, minta tolong mereka," kata Rayya.

15 menit kemudian...

"Kalian kok belum pulang? Nungguin apa?"

"Nungguin orang baik nganterin gue pulang, sial banget sih hari ini! Pasti gara-gara Bu Dian nih, nyumpahin yang enggak-enggak!" cerocos Arzia yang tidak melihat siapa yang sedang berbicara padanya.

"Ya udah, gue sebagai anaknya Bu Dian nganterin kalian pulang. Ayo."

Baik Ashila, Rayya maupun Arzia membulatkan matanya tidak percaya. Di hadapannya berdiri seorang cowok tampan, dia adalah kakak kelas mereka. Arzia tentu saja langsung menyetujuinya, hanya saja terdapat sedikit kebimbangan dalam benak Ashila.

Bukan apa-apa, cowok di hadapannya adalah Dicky.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro