Bab 14 Ibu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Aaarrrggghhh!!!”

Hania seketika berteriak mendapati Kenan tengah memelototinya sesaat setelah ia membuka mata. 

Terkejut bukan main!

“Tidak perlu berteriak.” Kenan bicara dengan santai. “Lebih baik kamu segera bangun dan cepat lepaskan tangan saya sekarang juga.”

Sejenak Hania tertegun setelah mendengar perkataan Kenan. Matanya mulai mengedar, spontan matanya membeliak ketika mendapati dua tangannya begitu erat menggenggam tangan laki-laki itu. Hania seketika bangkit sambil menepis tangan Kenan. 

“Pak Kenan mau ngapain lagi sih?!” ketus Hania. 

Kenan tak menggubris. Ia malah sibuk memijit tangannya yang baru saja ditepis Hania.

“Saya baru saja membantu kamu agar bisa tidur dengan tenang semalaman. Tidak ada kata terima kasih?” sengit Kenan.

“Maksudnya?”

“Ah, benar. Saya tebak, mantan kamu pasti tidak tahu kebiasaan tidur kamu seperti apa?”

“Apaan sih, Pak?”

“Ah, benar juga. Kamu tak mungkin tidur dengannya.” Kenan beringsut merebahkan diri sambil menarik selimut. “Jadi, kalau kamu benar-benar berterima kasih pada saya, tolong jangan ganggu saya tidur pagi ini. Kamu juga tak perlu menunggu saya untuk sarapan.”

“Pak Kenan gak subuhan dulu?”

Kenan tampak salah tingkah. “Saya butuh tidur nyenyak karena semalam saya terpaksa begadang demi kamu.”

“Demi saya? Kenapa? Emang saya ngapain pas tidur, Pak?”

Kenan tak lagi menjawab. Satu tangannya melambai sebentar sebelum ia melindungi seluruh tubuhnya dengan selimut. 

Alhasil, pagi ini Hania tak bisa menikmati waktu sarapan dengan benar. Sama seperti kemarin. Ia penasaran dengan apa yang sudah dilakukan Kenan semalam untuknya sampai laki-laki itu begadang katanya.

Gue ngorok? Masa sih? Ratna gak pernah bilang kalau tidur gue ngorok kok. Terus apa dong yang bikin dia begadang semaleman? Tidur gue kayak cacing kepanasan? Masa sih? Duh … kan … jadi overthinking gue jadinya. Kapan sih dia bangun?”

Hania sudah bolak-balik kamar tempat Kenan tidur lebih dari sepuluh kali. Hanya untuk memastikan laki-laki bangun dari tidurnya. Tepat jam dua belas siang itu, Hania mendapati Kenan di kamarnya sudah dalam posisi duduk di ranjang sambil memelototi ponselnya.

“Pak Kenan udah bangun?”

“Hmm.”

Hania takut-takut mendekat, mengambil posisi duduk di bibir ranjang, sejajar dengan posisi Kenan duduk. 

“Jadi, semalam itu saya ngorok?” tebak Hania. Penasaran banget kenapa Kenan sampai begadang segala demi dia.

Kenan malah terkikik. “Bukan sekedar ngorok.”

“Hah? Masa sih? Ratna gak pernah protes loh kalau gaya tidur saya itu ngorok, Pak.”

“Oh … jadi Ratna sering tidur bareng kamu?”

“Iya. Kenapa gitu?”

“Tidak ada.”

“Apaan sih, Pak? Emang semalam saya ngapain?”

“Ingat kejadian di pesawat yang membuat tangan saya kesakitan?”

“Yaaahhh … lalu?”

“Semalam kamu melakukan hal yang sama.”

“Kenapa?”

“Yang harusnya bertanya kenapa itu saya, Nia. Kenapa kamu tidur sambil menangis?”

“Menangis? Saya?”

“Menangis, meracau tak jelas, menangis lagi dan lagi, memanggil-manggil nama–” Kenan mendadak berhenti bicara sejenak. “Mimpi buruk apa kamu semalam?”

“Mimpi buruk?”

“Ah … sudahlah. Tampaknya kamu memang tidak ingat. Tak perlu diperpanjang. Mulai saat ini saya akan menganggap gaya tidur kamu memang seperti itu dan saya tak akan berkomentar banyak. Pesankan saya makanan. Kita makan siang di sini saja. Saya lagi malas keluar.”

Hania masih belum sepenuhnya puas dengan tanggapan Kenan yang menurutnya begitu ambigu. Tapi, perkataan Kenan juga ada benarnya. Ia benar-benar tak ingat apa yang terjadi semalam saat ia tidur.

Dengan wajah merengut Hania menanggapi, “baik, Pak.”

***

“Ibu kamu …,” Kenan sedikit ragu membahas hal ini sebenarnya, “sudah lama meninggal, bukan?”

“Ya.”

Bukan Kenan tidak tahu hal ini, ia hanya ingin memastikan ingatannya tak salah saja. 

“Kalau boleh saya tahu, apa penyebab kematiannya?”

Kenan bukan sok bersikap detektif. Ia hanya terusik oleh gelagat aneh Hania yang selalu menangis saat tidur sambil memanggil nama ibunya yang sudah meninggal itu. 

“Kecelakaan. Tabrak lari katanya.”

“Katanya?”

Hania hanya membalas dengan anggukan.

“Kata siapa?”

“Bapak.”

“Oh?”

Suasana mendadak aneh. Apalagi Hania yang tampak tak begitu antusias membahas hal ini. Tampak ogah-ogahan. Dari jawaban singkatnya saja sudah tampak jelas.

“Kamu sudah memastikan kebenarannya?” tanya Kenan masih menyelidik. Ia merasa masih ada yang janggal.

“Maksud Pak Kenan, Ibu saya meninggal karena sengaja ditabrak gitu?”

“Mungkin?”

Hania malah tersenyum tipis. “Ibu meninggal waktu saya lagi di sekolah. Pulang-pulang udah dapet kabar Ibu kecelakaan. Banyak yang menyaksikan kecelakaan itu. Gak sengaja ketabrak. Itu loh Pak, supir truk ugal-ugalan.”

“Oh ….”

Hening lagi. Hania fokus pada makanan di meja. Memasang wajah dingin tanpa ekspresi. Seolah pembicaraan tentang Ibunya yang sudah meninggal hanyalah obrolan ringan semata.

“Bagaimana perasaan kamu saat tahu Ibumu meninggal?”

Hania angkat bahu. “Gak tahu. Lupa lagi. Waktu itu saya masih kecil. Cuma bisa bengong dan lihatin orang-orang nangis aja. Belum ngerti kali, Pak.”

“Oh … ya. Ya. Ya. Tapi, sekarang bagaimana? Maksud saya, setelah kamu mengerti arti dari ditinggalkan oleh Ibu?”

“Sedih sih pasti. Tapi, mau gimana lagi? Udah takdir, kan? Ya udah. Jalani aja.”

“Tak ada kendala?”

“Ada … tapi ya udahlah. Udah berlalu ini. Kenapa sih, Pak? Kok mendadak bahas Ibu saya yang udah meninggal?”

Kenan melemparkan senyum. “Apa salahnya saya bertanya tentang mertua saya, Nia? Gak masalah, kan?”

Hania langsung menelan makanan yang baru saja masuk ke mulutnya tanpa sempat mengunyah. “Mertua?”

“Beliau memang mertua saya, kan?”

“Iya sih … tapi ….”

“Kapan-kapan kita berkunjung ke tempat peristirahatannya. Pulang dari sini gimana?”

Selepas itu, Hania tak bicara banyak. Sikapnya justru seperti menghindari bicara dengan Kenan. Saat perempuan itu tengah bermain jet ski kembali di pantai –setelah memberitahu Kenan lebih dulu– sendirian, Kenan memilih menikmati kolam renang yang ada di depan Vila.

“Cari tahu tentang ibunya. Saya ingin tahu seperti apa sosok beliau,” kata Kenan sambil melepaskan earphone di telinga. Sementara matanya lurus memperhatikan Hania dari kejauhan. 

Hania sendiri saat ini mengendarai jet skinya, menatap sekelilingnya dengan tatapan kosong. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Ibunya yang mendadak muncul. 

Kamu harus menyayangi Ibu, Nia ….” kata Ibu sambil mengelus rambutnya. Keduanya tampak sedang tertidur di ranjang. 

“Kamu harus bahagia, Nia ….” kata Ibu padanya yang saat itu sedang memeluk boneka kelinci erat-erat di sebuah taman.

“Mulai besok, kamu harus bisa hidup tanpa Ibu ….” kata Ibu padanya yang saat itu tengah bersiap memasuki area sekolah. 

“Aaarrrggghhh!!!” 

Hania spontan menghentikan jet skinya sambil berteriak untuk mengusir bayangan yang tiba-tiba muncul. Matanya mengerjap-ngerjap beberapa kali sebelum kemudian kepala Hania tertunduk. Nafasnya terdengar terengah-engah. Dadanya mendadak terasa sakit tak tertahan. 

Hania berusaha memutar gagang setir, hendak melajukan jet skinya ke tepi pantai. Tapi, tangannya terasa begitu lemas. Ia mendadak kehilangan kekuatan di sekujur tubuhnya. Hanya mampu tetap duduk di atas jet ski. 

“Hania! Nia!!! Nia!!!”

Suara teriakan tak asing itu yang terakhir Hania dengar. Sampai kemudian pandangannya mulai kabur dan menghitam. 

Gelap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro