Bab 4 Lelucon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bima menaruh kembali lembaran berkas ke hadapan Kenan yang sedang memijit pelipisnya. Tampak sekali laki-laki itu begitu frustasi.

"Jadi, Pak Kenan belum berkata jujur juga sama Bu Hania?"

"Belum. Karena Hania tidak memberikan saya kesempatan untuk bicara jujur tadi. Kamu lihat sendiri bagaimana cerewetnya Hania jika sudah serius, kan?"

"Itu artinya, Bu Hania menganggap serius ajakan Pak Kenan untuk menikah secara KON-TRAK!" Bima sengaja memberikan penekanan di akhir kalimatnya. Saking jengkelnya pada atasan yang super pengecut itu.

"Tak perlu kamu tegaskan juga, Bima. Kamu mau mengolok-olok saya maksudnya?"

"Itu agar Pak Kenan tidak lupa bahwa Bu Hania hanya mengikuti apa yang Pak Kenan lakukan. Ada sebab dan akibat dari semuanya."

"Berisik!"

"Jadi, poin apa yang perlu saya tambahkan?"

"Aaarrrggghhh!!!" Kenan mengacak-acak rambutnya saking frustrasi.

"Bagaimana jika tambahan poinnya adalah hak dan kewajiban Pak Kenan dan Bu Hania yang harus terpenuhi selayaknya suami-istri sungguhan?"

"Maksudnya apa?"

"Terkesan singkat, namun memiliki makna luas, Pak. Yang dimaksud adalah Pak Kenan dan Bu Hania akan menjalani pernikahan kontrak ini seperti pernikahan sungguhan. Tanpa Bu Hania sadari tentunya. Dan ini akan menjadi cara agar Pak Kenan bisa mendekati Bu Hania dengan cara 'halal'. Lalu setelah situasi di rasa membaik, misal Bu Hania akhirnya jatuh cinta dengan Pak Kenan, maka Pak Kenan bisa langsung memutuskan perjanjian ini dan meminta Bu Hania untuk melanjutkan pernikahan tanpa adanya kontrak. Bagaimana?"

Wajah Kenan perlahan memancarkan rona bahagia. "Bisakah seperti itu?"

"Tentu saja. Bahkan ada yang menikah secara kontrak hanya demi keturunan, lalu setelah itu bercerai. Atau yang hanya sekedar untuk memuaskan nafsu belaka dengan dalih berada di perantauan. Jadi, tak masalah jika Pak Kenan mencantumkan tentang hak dan kewajiban layaknya suami-istri sungguhan di surat perjanjian itu. Hal ini biasanya dibuat sebagai perjanjian pranikah, Pak. Sudah banyak pasangan yang memakai perjanjian pranikah ini untuk menegaskan hak dan kewajiban mereka selama menjalani pernikahan nanti sesuai hukum yang benar. Agar tidak ada salah satu pun yang dirugikan di pernikahan nanti. Karena banyak sekali kasus di lapangan, pasangan suami istri yang sudah menikah tak tahu apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka. Contohnya, yang harusnya menafkahi itu suami, tapi kenyataan di lapangan malah istrinya yang bekerja banting tulang. Atau suami ingin memiliki keturunan, tapi istrinya menolak dengan alasan yang tak berdasar."

"Apa mungkin Hania akan menyetujuinya?"

"Nah, itu dia masalahnya. Saya tidak yakin. Tapi, kita bisa lihat nanti saat Bu Hania membaca kembali poin tambahan dari Pak Kenan. Bagaimana, Pak? Pak Kenan akan mencobanya, kan? Kecuali kalau Pak Kenan terlalu pengecut untuk memperjuangkan Bu Hania."

"Enak saja! Tentu saja saya akan mencobanya!"

***

"Maksudnya hak dan kewajiban sebagai suami-istri itu apa, Pak Kenan?"

Hania memang sudah menduga jika dibalik pernikahan kontraknya dengan Kenan, ada tujuan tersembunyi lain yang laki-laki itu sembunyikan. Bukan hanya sekedar ingin menghentikan aksi dijodoh-jodohkan.

Tapi, bagaimana mungkin ini soal keturunan? Mana kalimatnya diperhalus dengan hak dan kewajiban lagi? Dipikir Hania akan dengan mudah dibodohi apa?

"Maksudnya, saya dan kamu akan sama-sama mendapatkan hak dan melaksanakan kewajiban layaknya suami istri sungguhan."

"Biar saya perjelas. Maksud Pak Kenan, Pak Kenan berharap saya memberikan keturunan. Begitu?"

Kenan dibuat kaget dengan perkataan Hania barusan. Ia bahkan tak berpikir sejauh itu memaknai 'hak dan kewajiban suami-istri' yang diusulkan Bima.

Mencuri pandang pada Bima untuk meminta bantuan, Bima malah memberikan anggukan kepala sebagai tanggapan. Benar-benar membuat frustasi!

"Jadi ... maksudnya itu ... eeehhh ... jadi ...."

"Benar. Itu maksudnya, Bu Hania." Bima langsung memotong perkataan Kenan yang mendadak jadi gagap. Kenan langsung melotot padanya namun Bima hanya angkat bahu.

"Oh." Hania membalas dengan nada lemah.

"Tapi, Pak Kenan benar-benar bersedia memberikan uang bulanan untuk keluarga saya sebanyak nominal yang tertera?"

"Ya. Bukan masalah. Uang segitu bukan hal besar, Nia."

"Pak Kenan juga siap tinggal hanya berdua dengan saya secara terpisah dari keluarga saya maupun keluarga besar Pak Kenan?"

"Tentu." Ide Hania satu ini benar-benar membuat Kenan senang sebenarnya. Bukan masalah besar. Banyak rumah milik keluarga Prince yang bisa ia tinggali dengan Hania nanti.

"Dan Pak Kenan juga tak keberatan jika perjanjian kontrak ini akan terputus ketika salah satu pihak merasa untuk tidak melanjutkan pernikahan ini?"

"Ya." Tekad Kenan sudah bulat untuk mempertahankannya selamanya. Bahwa pernikahan kontrak ini akan terputus, lalu dilanjutkan dengan pernikahan sungguhan. Secepatnya! Sampai Kenan yakin Hania memiliki perasaan yang sama dengannya.

"Baik. Kalau begitu, saya setuju dengan semua poin yang Pak Kenan ajukan."

Senyum Kenan seketika terbit. Berbeda dengan Hania yang malah menatapnya dengan wajah kusut. Begitu juga dengan Bima yang juga sama-sama memasang wajah kusut ke arah Kenan sambil memegangi ponselnya.

"Pak, Pemimpin ada di ruang kerja Pak Kenan sekarang."

Hania dan Kenan yang mendengar itu seketika saling bersitatap tajam.

***

"Kamu pikir pernikahan itu sebuah lelucon?"

Laki-laki rambut beruban itu menyerbu Kenan sambil menggebrak meja. Menunjuk muka Kenan sesekali dengan tatapan jengkel. Pak Rahwana tampak begitu murka.

"Mau ditaruh dimana muka keluargamu ini? Huh! Pecat asistenmu itu! Berikan dia imbalan setimpal dan kirim dia ke luar Negeri secepatnya. Jangan biarkan perempuan itu menginjakkan kakinya di Negara ini lagi."

"Kehidupan pribadi Kenan biar Kenan yang mengatur semuanya, Pah."

"Apa maksud kamu? Kamu membuat malu keluarga dengan keputusan kamu itu. Asistenmu itu tak selevel dengan kita."

"Permisi. Kenan masih ada kesibukan lain."

"Papah tidak akan merestui pernikahan kalian, Kenan!"

"Kenan tak akan meminta restu Papah. Papah cukup hadir di pernikahan kami. Sisanya biar kami yang urus."

"Lancang kamu, Kenan!"

"Dan, Pah. Berhenti memperlakukan Kenan seperti anak kecil yang harus selalu menuruti perkataan Papah. Sama seperti Papah yang mengabaikan perasaan Kenan dengan menyakiti Mamah. Kali ini abaikan juga Kenan dan biarkan Kenan memilih jalan kehidupan Kenan sendiri."

Kenan keluar dari ruangan itu sambil melepaskan jasnya. Melucuti dasi yang menggantung di leher yang semuanya ia jatuhkan begitu saja ke lantai. Diikuti Bima yang memunguti satu per satu barang-barang miliknya.

Langkah Kenan berbelok ke area tangga. Sesaat setelah menuruni beberapa anak tangga, laki-laki itu terduduk sambil memegangi dadanya yang mendadak sesak. Bima yang melihat itu segera berbalik arah, pergi meninggalkan Kenan sendirian entah kemana.

Tak beberapa lama kemudian, Hania muncul dengan raut wajah khawatir. Segera memberikan Kenan beberapa butir pil dan sebotol minuman. Kenan langsung meneguknya tanpa bicara.

"Perlu saya panggilkan Dokter Brian sekarang juga?"

Kenan menggeleng sambil menyandarkan punggung di dinding. Menatap Hania yang berdiri dengan wajah khawatir di depannya lekat-lekat.

"Ternyata untuk bisa menikah denganmu, banyak yang harus saya lewati," kata Kenan dengan napas terengah-engah. Tampak kesusahan mengurai kata namun berusaha tetap bicara.

"Harusnya Pak Kenan sudah memprediksinya." Hania merebut botol minuman yang sudah habis dari tangan Kenan. "Masih mau melanjutkannya? Saya tidak keberatan dengan konsekuensinya jika Pak Kenan mau membatalkannya sekarang."

Kenan tersenyum sinis. "Jangan asal bicara. Kamu tak akan pernah sanggup menghadapi konsekuensinya jika pernikahan kita sampai batal. Dan sepertinya pernikahan kita harus dipercepat, Hania."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro