27. Pengorbanan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"P-pernikahan?" Bibir Megan yang pucat bergerak dengan kaku. Sekarang Megan tak yakin apakah berada di ambang kematian lebih buruk dari sebuah pernikahan.

Bibir Mikail menipis dengan tajam menangkap reaksi yang ditampilkan oleh Megan. Seolah pernikahan yang telah mereka jalani di masa lalu adalah hal terburuk yang ada di hidup Megan. Dan sekarang ia menyodorkan hal terburuk itu di hadapan Megan. Yang tak diberi pilihan selain menelan semua keburukan itu mentah-mentah.

Hati Mikail benar-benar tergores dengan keras. Amarah bergemuruh di dadanya. Menerjang-nerjang dinding dadanya dengan keras. Dan satu-satunya orang yang lebih berhak menerima semua luapan emosinya hanyalah Megan. Satu-satunya dan hanya Megan seorang.

Akan tetapi, ia menekan dalam-dalam kemarahan di dadanya. Menekannya kuat-kuat. Demi kewarasannya.

"Kenapa? Kau tak suka?" Mikail melemparkan pertanyaan itu dengan sengit. "Kiano adalah segalanya bagiku, Megan. Aku tak akan mempertaruhkan keberuntunganku dengan membiarkanmu masuk ke dalam hidup kami hanya sebagai sebuah singgahan."

Megan masih bergeming. Hatinya mendadak goyah. Pernikahan, itu adalah sebuah kesempatan yang diberikan oleh Mikail. Kesempatan yang ia inginkan. Tetapi setelah kesempatan itu dibentangkan di hadapannya, sekarang hanya ada rasa takut yang menggetarkan hati Megan.

Ia sudah menghancurkan pernikahannya dan Mikail satu kali dan luka serta dampaknya masih harus ia tanggung hingga detik ini. Megan benar-benar tak yakin akan sanggup menghadapi kehancuran keduanya.

"Kau bersekongkol dengan Nicholas untuk menerobos di hidup kami yang dipenuhi ketenangan. Rela menikah ataupun menerima kesepakatan dengan Nicholas. Siapa yang bisa menjamin kau tak akan bersekongkol dengannya untuk merebut anakku dariku, Megan? Aku tak memercayaimu."

"Hanya inilah satu-satunya jalan paling aman bagiku dan Kiano yang bisa kuberikan padamu. Jadi ... putuskan sekarang juga, Megan. Kau ingin maju atau enyah dari hidup kami?"

Hati Megan serasa diremas oleh pilihan kedua. Dan pilihan pertama tak lebih baik dari pilihan kedua.

"Seberapa banyak penyesalanmu tak akan mengembalikan waktu dan membuatmu memutuskan pilihan yang lain. Atau berpikir pilihan yang lain mungkin lebih baik bagimu. Kenyataaannya, kau meninggalkan kami dan sekarang kau mengemis untuk kembali masuk ke kehidupan kami. Ini bayaran yang kau tanggung. Kau bisa menganggap pernikahan ini sebagai hukuman atau apa pun itu, aku tak peduli. Dan aku tak akan peduli seberapa besar derita atau sakit hati yang mungkin akan kau tanggung, aku sama sekali tak bertanggung jawab. Yang kupedulikan hanya sosokmu, yang sudah terlanjur diketahui oleh putraku."

"Aku bisa memutuskan menyakitinya satu kali, demi kebaikannya dan menikahi siapa pun untuk memenuhi peranmu di hidupnya. Kau tahu aku lebih dari sekedar mampu untuk melakukan itu semua, Megan. Tapi ... sialnya apa yang dirasakan Kiano padamu, tidak bisa dia dapatkan dari wanita mana pun yang bisa kudapatkan dengan mudah."

Kening Megan berkerut, mencerna kalimat Mikail sekali lagi. Wanita hamil itu, juga Sharron Matteo. Bukankah mereka adalah wanita yang sudah Mikail nikahi? Apakah Mikail menyembunyikan pernikahan itu dari Kiano? Megan berhenti ikut campur tentang kehidupan Mikail. Berhenti mengorek keluarga bahagia yang Megan lihat di ruang kerja Mikail pada hari itu.

"Darah memang lebih kental dari air. Dengan segala hal yang kumiliki saat ini, aku mengaku kalah pada kalimat sentimentil itu. Apa pilihanmu, Megan?"

Megan mengerjap, kembali mencerna kalimat Mikail dan menjilat bibirnya yang kering meski seluruh permukaan wajahnya masih lembab dan dipenuhi jejak-jejak air mata.

"Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan, Mikail." Suara Megan begitu lirih, nyaris berupa cicitan.

Mikail terdiam, matanya memicing. Mengelupas setiap ekspresi di wajah Megan satu persatu. Masih sama seperti yang ia lihat terakhir kali. Kesombongan yang masih ia ingat dengan jelas di benaknya tujuh tahun lalu, sekarang tak berjejak sama sekali. Hanya ada keputus asaan dan kepasrahan yang begitu menyedihkan. Ujung bibir Mikail berkedut ketika rasa iba memanjat naik ke dadanya. Megan sama sekali tak berhak untuk satu pun perhatian darinya.

"Pernikahan?"

Megan menelan ludahnya, tetapi gumpalan di tenggorokannya masih mengganjal di sana. Sebelum kewarasannya kembali dan ia memutuskan pilihan yang lain, sepertinya hanya ini satu-satunya jalan baginya untuk kembali ke kehidupan Kiano.

Satu anggukan tipis Mikail cukup sebagai jawaban ya. "Sebaiknya keputusanmu tak berubah sampai besok pagi, Megan. Meskipun kau tak sungguh-sungguh tahu apa yang kau putuskan."

Kedua mata Megan membelalak sempurna ketika mencerna kalimat Mikail. "B-besok? Apa maksudmu, Mikail?"

Mikail yang sudah bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, menahan langkahnya lalu memutar wajahnya ke samping. Menyeringai melihat wajah Megan yang sudah tidak bisa lebih pucat lagi.

"Ya, kita akan menikah besok. Managermu akan membantumu mengurus dan seseorang akan menjemputmu besok pagi. Aku tak berani berharap lebih dengan kedatanganmu tapi suasana hatimu sedang baik sehingga masih mau meluangkan waktu untuk omong kosongmu ini. Semua keputusan masih berada di tanganmu."

"T-tapi ..."

"Jangan katakan apa pun, Megan. Aku tak sungguh-sungguh mengharapkan apa pun darimu, juga dari jawabanmu saat ini. Kita lihat saja besok."

Megan menelan ludahnya. Menatap punggung Mikail yang bergerak menjauh dari pandangannya. Meninggalkan Megan yang masih termenung duduk di pinggiran tempat tidur. Tetapi kemudian pria itu berhenti di ambang pintu yang sudah setengah terbuka karena panggilannya.

Mikail menunggu sejenak.

"Hanya satu hal yang tak pernah kusesali dari pernikahan kita, Mikail." Megan memberi jeda sejenak di antara keheningan yang membentang di antara mereka. "Aku memutuskan untuk menerima kesepakatan yang kau tawarkan. Yaitu melahirkannya ke dunia ini."

Mikail tak bereaksi. Pria itu bergeming di tempatnya selama beberapa saat, kemudian benar-benar menghilang dari kamar Megan.

Pernikahan?

Sekali lagi benar Megan mengulang satu kata yang terasa begitu membebani pikirannya.

Bagaimana sebuah pernikahan, sebagai simbol awal hidup bahagia. Menjadi sebuah awal dari kekacauan yang menggila. Meski Megan sendiri tak menampik ada banyak kenangan indah yang masih tertanam begitu dalam di ingatannya. Tetapi saja pembicaraan yang berkembang menjadi sebuah pertengkaran lebih banyak lagi.

Tuntutan, rasa bosan, dan pertengkaran yang menekan dan menyudutkannya.

'Kau hamil?'

Mikail membanting benda pipih itu ke hadapan Megan dengan kemarahan yang menguar dari tubuh tinggi pria itu. Sedangkan tubuh Megan terduduk di sofa, dengan kepala menunduk dalam dan pundak yang bergetar oleh tangisannya.

'Jadi karena ini kau menghindariku selama beberapa minggu ini?'

Megan masih terisak. Isakannya semakin dalam dan kuat, kedua telapak tangannya menangkup seluruh wajahnya yang sudah dibanjiri air mata.

'Kau mengetahui satu bulan yang lalu dan kau sengaja menyembunyikannya dariku. Apa yang sedang coba kau rencanakan di belakangku, Megan?'

Megan tak menjawab. Menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pilu.

Mikail melangkah maju, menangkap kedua pundak Megan dan mengangkat wanita itu berdiri dengan kedua kakinya yang melemah. Menggoyangnya dan memaksa wajah Megan menatapnya. 'Katakan, Megan?'

'A-aku ... aku tak siap menjadi seorang ibu, Mikail.'

Mukut Mikail menganga. Kehilangan kata-kata akan jawaban Megan yang sunguh konyol. 'Kau tidak siap?'

Megan terisak lagi.

Mikail mendorong tubuh Megan, sehingga jatuh kembali ke sofa dengan keras. Sebelum kemudian suara amarahnya bergema memenuhi seluruh ruangan. 'Kau tidak siap dan berencana menggugurkannya di belakangku, begitu?'

Isakan Megan berubah menjadi tangisan. Dan menjadi rintihan ketika tiba-tiba rasa saki menusuk di perutnya.

Mikail yang dikuasai amarah, menggusurkan kelima jemarinya di rambut kepala dengan gerakan yang kasar. Membalikkan tubuhnya demi meredakan amarah yang masih bergelora di dadanya. Tetapi berapa kali pun ia mencoba, perbuatan Megan jelas tak termaafkan. Hingga di antara usahanya tersebut, tiba-tiba rintihan Megan mengalihkan perhatiannya. Mendengar suara rintihan yang tidak bisa.

Mikail membelalak terkejut, melihat tubuh Megan yang meringkuk dengan kedua lengan memeluk perut.

'M-mikail, p-perutku.'

Megan mengerjap ketika ingatan itu kembali muncul di benaknya. Saat itu ia mengalami pendarahan yang cukup banyak, nyaris keguguran jika Mikail terlambat membawanya ke rumah sakit.

Megan juga masih ingat permohonan Mikail yang menginginkannya mempertahankan kehamilan tersebut. Dan setelah keluar dari rumah sakit, tak ada apa pun permintaannya yang tidak dikabulkan oleh Mikail. Bahkan perceraian mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro