31. Keputusan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Langkah Mikail sempat tersendat ketika menghampiri Megan yang duduk di kursi di ujung lorong. Kepala wanita itu tertunduk, menatap telapak tangan yang berlumur darah.

"M-mikail?" Suara Megan terdengar serak dan begitu lemah. Bibirnya juga terlihat begitu pucat, dan wajahnya terlihat lebih tirus sejak terakhir bertemu wanita itu kemarin. Bahkan seharusnya wanita itulah yang dirawat di rumah sakit setelah percobaan bunuh diri konyol itu. Bukannya menunggu sepupu sialannya.

Mikail sendiri tidak tahu bagaimana persisnya Nicholas bisa masuk ke rumah sakit. Tetapi dari pengawalnya, sebuah informasi singkat bahwa sepupunya itu yang menyelamatkan nyawa mantan istrinya cukup mengejutkan mengejutkannya. Itulah sebabnya Megan sangat setia menunggu di depan rumah operasi selama enam jam lebih.

Wajah wanita itu dipenuhi derai air mata. Dengan penampilan yang berantakan. Perban yang melilit pergelangan tangan Megan terlihat mengintip di balik lengan panjang blazer yang wanita itu kenakan. Beberapa bercak darah juga masih menghiasi ujung pakaian wanita itu.

Hati Mikail serasa tersentil melihat betapa kacaunya Megan yang selalu tampil sempurna di depan kamera, karena pria lain. Akan pengaruh pria lain bagi wanita itu. Dan sungguh, ia benci emosi itu masih memengaruhinya.

Juga, satu pertanyaan yang mengganggu sejak Jelita menghubunginya beberapa saat yang lalu. Untuk apa Megan menemui Nicholas setelah kesepakatan pernikahan yang ia tawarkan pada wanita itu?

Apakah Megan menolaknya?

Ck, seharusnya ia tak perlu meragukan kelabilan wanita itu. Megan jelas lebih memilih melarikan diri daripada harus menghadapi pernikahan mereka. Hukuman itu terlalu berat bagi wanita selemah Megan.

Dan sialnya, memikirkan penolakan itu membuat amarah di dada Mikail merebak tak terkendali. Sekali lagi merasa dikecewakan oleh wanita itu.

"K-kau di sini?" Megan bangkit berdiri, menghadap ke arah datangnya Mikail.

Mikail menekan dalam-dalam emosinya, menampilkan ekspresi wajahnya sedatar mungkin. Tanpa emosi secuil pun.

"Nicholas. D-dia..."

"Aku tahu," penggal Mikail.

Mulut Megan seketika terkatup dapat. Tatapan tajam Mikail membekukan bibirnya. Membuat wanita itu tertunduk dalam-dalam oleh rasa takut.

"Jadi kau menolak kesepakatan yang kutawarkan?"

Wajah Megan seketika terangkat dengan cepat dan menggeleng keras. "Tidak."

Mikail terdiam. Kerutan tersamar di antara alisnya. Ia pun dibuat terkejut dengan penentangan akan pertanyaannya.

"Aku akan menikah denganmu."

Mikail masih terdiam, mengamati raut wajah Megan.

Kepucatana kembali merebak di wajah Megan melihat Mikail yang masih terdiam. "K-kau ... a-apa kau berubah pikiran?"

Mikail sengaja membuat Megan menunggu dengan gugup. Ketika kegugupan di wajah wanita itu sampai pada Puncak batasnya, Megan melangkah mendekat. Menyentuh lengannya dengan tangan wanita itu yang bergetar hebat dan air mata yang mulai pecah di kedua matanya yang sejernih madu. Masih jernih seperti yang ia ingat di benaknya. Sangat jelas dan.... aroma tubuh Megan yang tak pernah ia lupakan meski wanita itu mengenakan parfum yang berbeda.

"Kenapa kau berubah pikiran, Mikail? Apa aku melakukan kesalahan yang membuatmu berubah pikiran?" Air mata Megan terurai. Genggaman tangannya pada lengan Mikail menguat, bergerak-gerak seolah ingin menyadarkan Mikail.

Mikail tetap terdiam. Satu-satunya kesalahan yang dilakukan oleh Megan hanya lah berpaling darinya. Ia pernah berjanji bahwa Megan akan menyesali keputusannya. Dan sekarang, wanita itu benar-benar menyesali keputusan wanita itu sendiri. Kepuasan yang teramat besar memenuhi dadanya, tetapi... luka hati dan derita yang Megan dapatkan pun ikut meremas hatinya. Lebih besar dari yang Mikail inginkan.

"M-mikail?" Sekali lagi Megan menggoyang goyangkan lengan Mikail. "Kumohon bicaralah. Kesalahan apa yang kulakukan kali ini? Dan apa yang harus kulakukan untuk memperbaikinya? Aku akan melakukan apa pun untuk memperbaiki sikapku padamu."

Seringai yang gelap tertarik di salah satu ujung bibir Mikail. Kemudian wajah pria itu tertunduk dan salah satu alisnya terangkat. Menatap tangan Megan yang menahannya dan raut permohonan yang begitu kental di wajah basa wanita itu. "Apa pun?"

Megan tahu satu kata itu akan merenggut segala hal yang tersisa darinya. Dan tak ada apa pun yang tersisa untuknya. Tapi ia tak peduli. Hanya ini satu-satunya kesempatan yang bisa ia gunakan untuk memperbaiki apa yang sudah ia hancurkan.

Satu anggukan kecil cukup sebagai jawaban untuk segala hal yang bisa Mikail ambil dari Megan. Seringai licik tersamar di ujung bibirnya.

"Kau bersungguh-sungguh dengan keputusanmu?"

Tepat sedetik Mikail menyelesaikan pertanyaan, detik berikutnya Megan mengangguk dengan cepat.

Mikail melepaskan lengannya dari genggaman Megan, berganti memegang kedua pundak wanita itu dan membiarkan seluruh wajah mantan istrinya mengarah kepadanya. Memberikan seluruh perhatian wanita itu hanya untuk dirinya.

Salah satu tangannya bergerak naik, menyeka basah di bawah kelopak mata Megan satu persatu. Kemudian turun lagi, mengusapkan ibu jarinya di sepanjang bibir bawah Megan yang pucat dan kering, juga memerah karean terlalu sering wanita itu gigit. Ujung bibir Mikail berkedut, menelan ludahnya.

"Sekarang bersihkan dirimu dan pulanglah. Kiano ingin menemuimu sebelum kita menikah besok. Kau tak mungkin menakutinya dengan darah yang mengotori pakaianmu, kan?"

Megan mengangguk dengan patuh, kelegaan mengaliri tenggorokannya seperti udara yang memenuhi seluruh paru-parunya.

"Pergilah, seseorang akan menunggumu di depan lobi dan memenuhi kebutuhanmu sebelum kembali pulang."

Sekali lagi Megan mengangguk, Mikail memutar tubuhnya. Mendorong dengan lembut untuk melangkah pergi. Megan pun berjalan dengan langkahnya yang perlahan.

"Mikail?" Megan kembali berbalik setelah mendapatkan beberapa langkahnya.

Mikail hanya menatap wanita itu.

"B-bisakah kau menghubungiku saat operasi Nicholas selesai?"

Mikail masih terpaku, kejengkelan menggores hatinya tetap pria itu tak akan membiarkan Megan menangkap gurat emosinya sedikit pun. Memberikan satu anggukan hanya karena wanita itu berhenti memikirkan Nicholas dan tak sungguh-sungguh akan mengabari apa pun tentang Nicholas.

"Aku akan menghubungi kedua orang tuanya. Sekarang pikirkan dirimu sendiri. Dia sudah ada yang mengurusnya."

Megan mengangguk lagi. membalikkan tubuhnya dan melanjutkan langkahnya.

Lama Mikail masih tertegun menatap punggung Megan yang bergerak menjauh. Hingga menghilang di ujung lorong.

***

Seorang pria dengan setelan serba hitam yang rapi segera menyambut kemunculan Megan dengan ramah dan sopan di depan pintu putar rumah sakit. Pria itu membawanya ke sebuah hotel, mengantarnya ke salah satu kamar yang ada di lantai paling atas. Hanya untuk mandi.

Mikail terkadang memang bisa menjadi berlebihan. Tetapi ketika memikirkan Kiano, tentu saja semua ini tidak berlebihan. Mikail pasti tak ingin penampilannya membuat putra mereka ketakutan.

Setelah mandi, Megan melihat kantung pakaian dan sandal yang diletakkan di sofa. Megan pun tak menunggu lama untuk mengganti pakaiannya. Keluar dari hotel setengah jam kemudian dengan penampilan yang lebih segar.

Sepanjang perjalanan ke apartemen, Megan tak berhenti memikirkan Nicholas. Tetapi karena Mikail adalah sepupu Nicholas, pria itu pasti akan menjaga Nicholas dengan baik. Megan juga yakin Mikail pasti sudah menghubungi keluarga Nicholas. Nicholas dikelilingi oleh banyak orang yang menyayangi pria itu. Berbeda dengan dirinya.

Pikiran Megan pun teralih dan memikirkan pertemuannya dengan Kiano. Dan mendadak pikirannya diselimuti kegugupan. Kedua tangannya yang saling meremas di pangkuannya, bergetar dengan hebat. Ia benar-benar diserang kegugupan yang besar.

Tanpa terasa, perjalanan terasa begitu singkat. Kini kecepatan mobil berkurang dan memasuki halaman gedung apartemennya. Perjalanan naik ke lantai apartemennya juga terasa sangat singkat. Jantung Megan berdebar dengan kencang. Berhenti di depan pintu apartemennya. Menarik napasnya beberapa kali hingga benar-benar berani dan membuka pintu apartemen.

Begitu ia mendapatkan langkah pertamanya, Megan langsung melihat kedua pengawal Mikail yang berdiri siaga di dekat tempatnya berdiri. Menandakan bahwa Kiano masih ada di dalam apartemennya.

Sambil melangkah menyeberangi ruang tamunya yang luas, pandangan Megan mengedar ke setiap sudut ruangan. Mencari keberadaan sosok mungil tersebut dan pencariannya berhenti di kursi pantry.

"Tante cantik," panggil Kiano dengan suaranya yang polos.

Megan membeku di tempatnya berdiri. Melihat Kiano yang melompat dari kursi pantry kemudian menghambur ke pelukannya hanya dalam hitungan detik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro