43. Menemui Nicholas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Megan terdiam membaca nama Nicholas di layar ponselnya. Menarik napasnya dalam-dalam sebelum menggeser tombol hijau dan menjawab panggilan tersebut. Suaranya berhasil keluar tanpa getaran sedikit pun. "Ya, Nicholas?"

Megan tak langsung mendengar jawaban dari seberang. Dalam keheningan tersebut, Megan masih bisa merasakan kemarahan Nicholas saat menemui pria itu di rumah sakit. Sehingga berpikir Nicholas benar benar tak sudi melihat wajahnya lagi dan menyangka pria itu akan menghubunginya lebih dulu.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Nicholas menjawab sapaannya. "Apa kau punya waktu malam ini?"

Megan tak seharusnya menjawab ya, tetapi ia tetap mengatakan ya. "Ya."

"Bisakah kau datang ke rumah sakit. Kau tahu kita butuh bicarakan, kan?"

Megan menggigit bibir bagian dalamnya dan mengangguk. Meski tak tahu apa yang akan ia bicarakan dengan Nicholas selain kata maaf, sekali lagi Megan tetap mengiyakan pertanyaan Nicholas.

"Datanglah ke ruang perawatanku."

Megan tak langsung menjawab. Ingatan ketika mama Nicholas menampar wajah dan memaki-makinya masih begitu jelas terulang di benaknya. Bahkan rasa panas yang menjalar di seluruh permukaan wajahnya masih begitu jelas di ingatannya. Hingga membuat tangan Megan tanpa sadar bergerak menyentuh pipinya.

"S-sekarang?" tanya Megan.

"Ya. Sekarang juga. Masih terlalu sore untuk naik ke tempat tidur, kan? Apa kau keberatan?"

Megan bergegas menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, Nicholas. Aku akan datang sekarang juga."

"Hmm, baiklah. Sampai jumpa beberapa saat lagi," pungkas Nicholas mengakhiri panggilan tersebut.

Megan menghela napas panjangnya dan tercenung selama beberapa saat dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Ketakutan merebak di dadanya mengingat perlakuan mama Nicholas terhadapnya. Yang melemparkan semua kesalahan hanya padanya, dan memang benar adanya.

Megan sendiri tak mampu menolak tuduhan tersebut. Nicholas telah membahayakan nyawanya demi menyelamatkan dirinya. Yang semakin memperkuat ketulusan perasaan pria itu terhadapnya. Dan perasaan tersebut membuat Megan ... goyah?

Sebesar itukah dampak ketulusan Nicholas?

Megan tak mendapatkan jawabannya. Lamunannya terbangun dan ia bergegas masuk ke kamar untuk mengambil outer di ruang ganti.

Saat ia turun ke lantai dua, pintu kamar Alicia masih tertutup rapat dan tak ada tanda-tanda keberadaan Mikail. Cubitan kecil menusuk dadanya memikirkan apa yang membuat Mikail begitu lama berada di dalam kamar Alicia. Dan ia tak berani memikirkan lebih jauh, bergegas menepis tanya-tanya yang bermunculan di benaknya. Inilah alasan kenapa ada pepatah yang mengatakan, rasa penasaran bisa membunuhmu.

Megan melanjutkan langkahnya menuju pintu utama dan langsung bertemu dengan salah satu anak buah Mikail.

"Nyonya? Anda membutuhkan sesuatu?" tanya pria tinggi, besar, dan bermuka sedatar tembok tersebut. Meski tetap terlihat begitu menghormati dirinya di balik sikap datar tersebut.

"Bisakah kau mendapatkan taksi untukku?"

"Saya akan mengantar Anda."

"Tidak perlu. Aku ingin pergi sendiri."

"Mulai hari ini, saya telah ditugaskan tuan Matteo untuk menjadi sopir pribadi Anda. Yang artinya, saya yang akan mengantar ke mana pun Anda pergi."

Megan terdiam, tampak mencerna kalimat anak buah Mikail tersebut. Kedua matanya juga mengamati penampilan pria tersebut. Tahu benar dan dengan pasti tujuan Mikaol memberinya sopir pribadi. Tentu saja untuk mengawasi dirinya. Menjadi mata-mata bagi pria itu.

"Perkenalkan nama saya Tommy. Anda bisa memanggil saya Tom saja."

Megan tak benar-benar mendengarkan perkenalan pria itu. "Apa dia juga memberikan mobil pribadi untukku?"

Tom mengangguk. "Ada tiga."

Megan mengenyit. Tak menyangka akan sebanyak itu tetapi jawaban itu hanya mengingatkannya pada pernikahan mereka sebelum ini. Mikail memberinya tiga mobil pribadi dan satu sopir yang berguna untuk memata-matai dirinya.

Tangan Megan terulur, "Berikan kunci mobil yang kau pegang dan beritahu aku di mana letaknya."

Mata Tom melebar, terheran dengan perintah sang nyonya.

"Cepat! Aku sedang terburu!" sergah Megan membangunkan lamunannya Tom dengan tepukan kedua tangannya di depan muka Tom.

Tom mengerjap meski memaksa raut wajahnya tetap terlihat datar. Menatap tangan Megan yang terulur ke arahnya bergoyang dengan tak sabar, mendapatkan keinginannya dengan segera.

"Kau ingin aku naik taksi atau aku menggunakan fasilitas yang diberikan suamiku sendiri?" Suara Megan lebih kuat dan mendesak.

Dan tentu saja itu adalah pertanyaan ringan yang begitu sulit baginya. Keduanya jelas bukan pilihan yang baik karena mengantar ke mana pun dan memenuhi kebutuhan Megan Matteo adalah tugas utamanya. Yang harus dilaporkan setiap saat pada sang tuan.

"Kalau begitu aku yang akan memutuskan untuk diriku sendiri," ucap Megan kemudian melangkah melewati Tom. Ia baru saja menuruni anak tangga pertama ketika Tom langsung mencegahnya bergerak lebih turun lagi.

"Saya mohon, biarkan saya membantu keperluan Anda, Nyonya." Suara Tom syarat akan permohonan meski terdengar begitu datar dan sangat tenang.

Megan tentu saja bisa menjadi lebih keras kepala pada Tom. Tetapi ia jelas tak punya banyak waktu untuk berdebat. Ia harus segera sampai di rumah sakit. Megan pun mengangguk, kemudian mengikuti langkah Tom meski pria itu melarang dan mengatakan akan menjemputnya di teras rumah.

Tom berhenti di samping mobil SUV putih yang sama dengan milik Mikail meski dengan warna yang berbeda. Pria itu membukakan pintu mobil untuk Megan yang segera memanjat masuk ke dalam mobil.

Mobil langsung meninggalkan halaman kediaman Mikail begitu Tom duduk di balik kemudian. Menyetir dengan cepat meski sangat hati-hati.

Kesunyian menyelimuti keduanya. Tak ada pembicaraan apa pun yang perlu diucapkan. Hingga di tengah perjalanan, ponsel Tom yang diletakkan di samping pria itu berdering.

Megan memajukan tubuhnya dan melihat id pemanggilnya tertulis 'Tuan Matteo'. Wanita itu pun bergegas menyambar benda pipih tersebut sebelum Tom.

"Nyonya?" Tom memanggil. Konsentrasinya pecah antara jalanan dan ponselnya yang diambil alih sang nyonya.

"Aku akan bertanggung-jawab dan memberikannya setelah sampai di rumah sakit," ucap Megan sambil memasukkan ponsel tersebut ke dalam tasnya. Tahu benar apa tujuan Mikail menghubungi Tom. Sepertinya pria itu tahu kalau dirinya pergi keluar. Tak lama ponsel milik juga berdering, yang langsung dibisukan oleh Megan.

Selain didorong rasa kesalnya pada pria itu, ia juga harus menemui Nicholas. Memastikan keadaan pria itu benar-benar kembali membaik. Atau setidaknya berkembang lebih baik dari yang terakhir.

Namun, melihat keadaan Nicholas terakhir kali. Yang begitu parah dan hanya bisa berbaring di ranjang pasien. Megan pun tak berani berharap banyak akan tubuh Nicholas bisa pulih dengan cepat dalam dua hari. Setidaknya ia masih memiliki kesempatan untuk bicara dengan pria itu. Kesempatan untuk memperbaiki perasaan pria itu terhadapnya. Sekaligus kesempatan untuk meminta maaf.

Lima belas menit kemudian, mobil berhenti di halaman rumah sakit. Megan yang hendak melompat turun ditahan oleh Tom.

"Nyonya, ponsel saya."

Megan berhenti sejenak dan mengeluarkan ponsel Tom, saat itulah ia melihat layar ponselnya yang berkelap-kelip menampilkan nama Nicholas di antara notifikasi beberapa panggilan tak terjawab Mikail.

Megan turun dari mobil sambil mengatakan pada Tom agar tak menunggunya dan segera kembali pulang. Ia akan pulang sendiri menggunakan taksi.

Tom tak mengatakan apa pun. Melihat Megan yang menempelkan ponsel di telinga sebelum bergegas masuk ke dalam rumah sakit setelah menutup pintu mobil. Hingga benar-benar menghilang dari pandangannya, barulah Tom memberikan perhatian penuh pada panggilan yang menjerit-jerit di tangannya. Entah kenapa, dalam hatinya menyiapkan mental dan telinga sebelum mendapatkan sambutan dari seberang.

"Ya, Tuan."

***

"Ya, Nicholas."

"Di mana kau?"

"Aku baru saja sampai. Akan naik lift."

"Hm, oke. Aku akan menunggu."

Megan mengangguk. Merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya, terutama di tenggorokan. Ketika mengingat apa yang dilakukan oleh mama Nicholas. "T-tapi..."

"Apa?" tegas Nicholas. Dengan nada tak membutuhkan omong kosong apa pun dalam bentuk tapi-tapian.

"A-apakah mama dan pa...."

"Mereka tidak akan datang sampai besok pagi. Itulah sebabnya aku memanggilmu malam ini, Megan. Untuk menemaniku."

Seluruh tubuh Megan membeku. Tak tahu apakah ia harus senang atau tidak dengan kedua kalimat tersebut. Denting pintu lift menyela pembicaraan keduanya dan Nicholas pun mengakhiri panggilan tersebut.

Megan melangkah masuk, menekan tombol angka dan sampai di lantai ruang perawatan VVIP dengan cepat. Jantung Megan berdebar tiada henti sepanjang perjalanan menuju ruang perawatan Nicholas di pintu ketiga dari deretan pintu di sepanjang lorong pendek tersebut.

Megan kembali menghela napas ketika tangannya terulur, hendak mengetuk pintu di hadapannya.

"Masuklah, Megan." Suara Nicholas terdengar dari balik pintu. Megan tersentak pelan dan membukanya.

Satu langkah pertamanya, tatapannya langsung bersirobok dengan tatapan Nicholas. Keduanya saling pandang selama beberapa detik dalam keterlaluan. Hingga Megan memutus kontak tersebut lebih dulu karena tak sanggup ditatap se intens itu oleh Nicholas.

"Apa kau akan berdiri di sana sepanjang malam?" Pertanyaan Nicholas membangunkan Megan dari lamunannya.

Megan mengerjap dan menutup pintu di belakangnya, lalu berjalan menghampiri ranjang pasien Nicholas. Pandangan Megan mengamati kaki Nicholas yang masih dipasang gips. Kepala dan lengan pria itu juga masih dililit perban. Penampilan pria itu masih sama seperti terakhir kali ia datang ke rumah sakit. Satu-satunya perbedaan hanya lah luka gores yang sudah mengering di wajah pria itu.

Nicholas sendiri hanya terdiam dirinya diamati seperti itu oleh Megan. Malah balas mengamati perubahan ekspresi di wajah Megan karena dirinya. Rasa bersalah dan penyesalan yang sama tampak menyelimuti permukaan wajah wanita itu. Yang memuaskannya.

"A-apa k-kau..." Suara Megan tercekat di tenggorokan.

"Aku tidak baik-baik saja jika itu yang ingin kau tanyakan." Nicholas memenggal kegugupan Megan.

Mulut Megan tertutup rapat. Menatap kedua mata Nicholas dalam-dalam dengan penuh penyesalan. "A-aku mi..."

"Jangan menatapku seperti itu dan jangan meminta maaf, Megan." Sekali lagi Nicholas memenggal kalimat Megan. "Aku tak butuh rasa kasihanmu dan kau tahu aku selalu memaafkan kesalahanmu. Sebesar apapun kesalahanmu, Megan. Jadi, kali ini aku mohon jangan meminta maaf."

Rasa panas menjalar di kedua mata Megan, menciptakan genangan air mata yang kemudian jatuh ke pipinya. Kata-kata Nicholas menusuk tepat di jantungnya.

Hening yang panjang. Tubuh Megan terduduk dengan lemah di kursi yang ditarik ke samping ranjang pasien.

"Aku tak bisa melanjutkan karirku di dunia model. Apakah itu alasanmu berhenti dan mengundurkan diri dari pekerjaanmu saat ini?"

Air mata di pipi Megan jatuh semakin deras. Menggigit bibir bagian dalamnya akan pertanyaan yang serasa menendang dadanya tersebut. Tak berani menjawab.

"Katakan ya, Megan."

Megan bisa merasakan rasa besi yang bercampur dengan air liurnya di dalam mulut. Juga luka perih di bibir karena saking kuatnya ia menggigit.

"Dari mana kau mengetahui semua ini, Nicholas?"

"Aku tak pernah tidak tahu tentang pekerjaan yang melibatkanmu, Megan. Itulah alasan kita berdua sering mendapatkan kontrak yang sama dan bekerja sama dengan brand yang sama."

Megan mengerti. Mengingat masa lalu mereka berdua yang sering kali membawa mereka berdua terlihat dalam frame yang sama. "Apa yang kau inginkan darimu, Nicholas?" tanya Megan dengan suaranya yang tercekat dan bergetar hebat. "Apa yang harus kulakukan untuk membayar hutang nyawaku padamu?"

Nicholas tak langsung menjawab. Pria itu menatap dalam -dalam raut wajah Megan. Mengunci pandangan wanita itu yang masih digenangi air mata. "Aku menyelamatkanmu bukan untuk mendapatkan dirimu, Megan. Betapa pun aku menginginkan dirimu. Dengan cara yang paling licik sekalipun."

Air mata Megan kembali jatuh. Jawaban Nicholas benar-benar menyayat hatinya dengan keras. Ketulusan yang sulit untuk Megan abaikan dan semua itu malah semakin mempersulit dirinya sendiri. Terjerat di antara dua pilihan yang berat dan rumit. Antara Nicholas dan Mikail serta Kiano.

Dan inilah cara paling licik yang pernah ia hadapi, batin Megan.

"Kau benar-benar membuatku kesulitan, Nicholas."

"Tak akan lebih sulit dari terbangun dari tidurmu dan menemukan kakimu yang dibungkus benda sialan ini."

"Lalu apa yang kau ingin kan dariku?" tandas Megan dengan penuh emosional.

Nicholas terdiam sejenak. "Aku sudah mengatakan tidak memiliki keinginan apa pun darimu karena kecelakaan ini."

Megan terdiam. Menatap wajah Nicholas sekali lagi dengan pandangan yang lebih kuat dan dalam.

"Tapi... jika kau benar-benar menginginkannya, aku akan mulai memikirkannya."

Megan tetap bergeming. Perasaannya campur aduk. Tak bisa dijabarkan dan benar-benar membuat dadanya penuh dengan sesak.

"Alasan aku memintamu ke sini adalah karena aku ingin melihat wajahmu," ucap Nicholas dengan perasaan yang begitu dalam. Benar-benar mempersembahkan ketulusannya hingga membuat Megan kewalahan. "Dan malam ini, aku ingin kau menemaniku di sini."

Kedua mata Megan melihat terkejut akan keinginan Nicholas. Malam ini? Apakah itu artinya ia harus pulang keesokan harinya? Kepala Megan benar-benar akan pecah memikirkan dua pertanyaan ini.

"Apa kau keberatan, Megan?"

Megan tak langsung menjawab. Wanita itu terdiam sejenak lalu menggeleng tipis. Meskipun yakin bahwa Mikail akan murka hebat jika ia tidak pulang semalaman. Itu sudah pasti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro