58. Menyibak Sepucuk Rahasia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Megan duduk di penutup lubang toilet di salah satu bilik toilet. Berusaha menormalkan degup jantungnya yang masih memompa dengan keras. Telapak tangannya menempel di dada.

Semua pikirannya dipenuhi oleh Marcel. Kegilaan, ancaman, dan semua yang telah Marcel lakukan padanya. Kepalanya benar-benar akan pecah oleh kefrustrasiannya.

Lebih dari lima menit bagi Megan untuk mengembalikan ketenangan hatinya dan beranjak berdiri. Melangkah keluar dari bilik toiletnya. Megan memekik dan tubuhnya terhuyung ke belakang menemukan seseorang yang berada di dalam toilet. Terkejut melihat Mikail yang berdiri bersandar di wastafel.

"Mikail?" delik Megan sambil menegakkan tubuhnya kembali dengan kedua kaki. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Apa kau baik-baik saja?" Mikail mengulurkan sapu tangan yang diambil dari kantong celananya.

Megan tak langsung menerima uluran tangan tersebut. Wanita itu menatap tangan Mikail dan kembali menatap wajah pria itu sejenak sebelum menerima sedikit perhatian yang diberikan oleh Mikail. Setidaknya Mikail baru saja membebaskannya dari Marcel dan Megan tentu saja tak bisa mengabaikan pertolongan pria itu. Pun dengan bibirnya yang enggan mengucapkan terima kasih pada pria itu.

"Kau mengatakan sudah mengurusnya, Mikail. Kenapa dia masih ada di sini?"

"Seingatku, aku sudah mengatakan padamu kalau dia akan kembali ke perusahaan, kan? Dan kau tahu itu haknya."

Megan pun terdiam. Ya, perusahaan ini adalah warisan dari kedua orang tua Mikail dan Marcel. Meski Mikail menduduki kursi pimpinan tertinggi, dengan kerelaan Marcel sekaligus usaha pria itu sendiri, tetap saja Marcel masih memiliki hak-hak yang tak bisa Mikail tolak.

"Aku akan mengantarmu ke bawah. Ayo." Mikail mengambil tangan Megan dan membawa wanita itu keluar dari pintu toilet. Keduanya masuk ke dalam lift yang membawa mereka turun ke lantai basement. Mikail mengantar Megan sampai masuk ke dalam mobil dan memastikan wanita itu pergi dengan aman.

Di sisi lain basement, Marcel duduk di balik kemudi. Mengamati interaksi Mikail dan Megan dengan kecemburuan yang memenuhi dadanya. Telapak tangannya menggenggam setir dengan cengkeraman yang semakin menguat. Dan saat saudaranya itu masuk ke dalam lift, Marcel menginjak gas dan mengikuti mobil Megan. Marcel sendiri tak tahu ke mana tujuan Megan, tetapi selama beberapa hari ia mendatangi apartemen Megan dan wanita tidak muncul juga. Marcel pun melajukan mobilnya ke rumah saudaranya.

Tebakannya tak meleset sedikit pun, melihat mobil yang ditumpangi Megan masuk ke dalam gerbang kediaman Mikail. Yang semakin membakar api cemburu di dada Marcel.

Megan dan Mikail jelas mengkhianatinya. Dan tentu saja ia tak akan memberi keduanya kemudahan.

***

Sepulang dari kantor Mikail, Megan berendam selama setengah jam dan setelah merasa tubuh dan pikirannya lebih rileks, Megan pergi untuk bermain-main di halaman belakang dengan Kiano. Menghabiskan sorenya dengan putranya tersebut.

Mikail pulang tepat jam enam, langsung ke halaman belakang dan berdiri di ambang pintu menyaksikan Megan dan Kiano yang tengah terbahak. Entah pembicaraan apa yang keduanya tertawakan, kebahagiaan keduanya bisa Mikail rasakan dari jarak sejauh ini.

"Mikail?" Suara memanggil dari arah belakang mengalihkan perhatian Mikail. Pria itu menoleh dan melihat Alicia yang membawa nampan berisi cangkir kopi yang masih mengepulkan asap.

Mikail mengambil cangkir tersebut dan berucap, "Terima kasih, Alicia."

Alicia tersenyum, menunggu di depan Mikail. Mengamati ekspresi Mikail yang mulai menyesap kopi tersebut dalam beberapa sesapan. "Enak?"

Mikail mengangguk sekali.

"Aku akan membantu pelayan menyiapkan makan malam. Apa kau ingin makan sesuatu?"

Mikail menggeleng. "Kau tahu aku bisa makan apa pun. Kau bisa tanyakan pada Megan dan Kiano."

Senyum Alicia membeku, dan dengan segera wanita itu menguasai ekspresi wajahnya. Memberi Mikail satu anggukan di balik kekecewaan yang menyelimuti wajahnya.

"Aku harus ke kamar," ucap Mikail dan menyerahkan kembali cangkir kopi di tangannya ke nampan Alicia. Kemudian berjalan ke arah tangga dan naik ke lantai dua.

Alicia masih tertegun untuk waktu yang cukup lama di tempatnya. Lalu menatap Megan dan Kiano yang sibuk terbahak di samping kolam renang. Megan menggelitik Kiano hingga tawa bocah itu bergema ke seluruh halaman belakang. Yang seolah menertawakan kekecewaannya.

Kenapa selalu dan selalu hanya Megan dan Kiano yang ada di pikiran Mikail?

***

Makan malam telah selesai, Mikail naik lebih dulu sedangkan Megan mengantar Kiano ke kamar dan membacakan cerita untuk putranya tersebut hingga tertidur. Megan masih duduk di samping putranya, menatap wajah mungil yang dipenuhi ketenangan dan tak pernah membosankan untuk dipandang.

Tepat jam sebelas, pelayan datang ke kamar Kiano.

"Ada apa?"

"Tuan menunggu Anda di kamar, Nyonya."

Kening Megan berkerut, meski ia tetap beranjak dan menyempatkna mengecup kening putranya sebelum benar-benar keluar.

Megan merasakan sesuatu yang aneh dengan raut wajah yang terpasang di wajah Mikail ketika ia melangkah masuk ke dalam kamar. Pria itu duduk di sofa tunggal. Ada dua gelas dan sebotol anggur di meja. Salah satunya sudah terisi anggur dan tersisa sedikit.

"Duduklah." Suara memerintah Mikail terdengar begitu kuat dan mendominasi. Menunjuk sofa panjang di sisi kanan pria.

Megan menelan ludahnya. Perintah pria itu menjelaskan bahwa akan ada pembicaraan serius di antara mereka yang menunggunya. "Ada apa, Mikail?"

"Aku butuh teman untuk minum," jawab Mikail sambil menuangkan anggur ke gelas kosong dan kemudian menggesernya ke hadapan Megan yang baru saja mendaratkan pantatnya.

Megan tahu Mikail tak hanya sekadar menginginkan teman untuk minum. Pria itu sengaja ingin membuatnya setengah tidak sadar sebelum kemudian mengorek segala hal tentang dirinya. "Aku tidak ingin minum."

Mikail menatap raut wajah Megan selama beberapa saat. "Kau akan membutuhkannya."

Megan menggeleng dengan tegas.

Satu desahan lolos di kedua lubang hidung dan mulut Mikail, pria itu mengambil gelas yang diberikan pada Megan dan menghabiskannya dalam satu tegukan yang besar. Dan sebelum Megan sempat membaca apa yang akan dilakukan Mikail selanjutnya, dalam sekejap mata pria itu melompat ke arahnya. Menangkap bagian belakang kepala dan rahang Megan, sebelum kemudian memasukkan cairan tersebut ke dalam mulut Megan lewat mulut pria itu sendiri.

Megan hanya mampu mendelikkan matanya sebagai bentuk protesnya ketika cairan merah pekat itu melewati tenggorokannya. Rasa panas menjalari di seluruh tenggorokannya dan saat Mikail melepaskan pertautan bibir mereka, Megan tersedak. Menatap jengkel ke arah Mikail yang kembali duduk.

"Apa yang kau lakukan, Mikail? Apa kau sudah gila?" Megan memegang tenggorokannya, terlambat untuk memuntahkan cairan tersebut.

"Aku sudah mengatakan padamu. Kau akan membutuhkannya, Megan."

"Aku tidak ingi mabuk," tegas Megan.

Mikail kembali menuangkan ke gelas milik Megan dan menggesernya di hadapan Megan. "Ya, kau tak boleh mabuk. Pembicaraan kita cukup berat dan kau uruh melepaskan sedikit emosimu demi membuatmu merasa lebih baik."

Raut Megan membeku, menatap keseriusan di mata Mikail dan tahu Mikail tak akan membiarkan ia menghindar.

Hening sejenak.

"Setelah tadi siang, kau tak mungkin berpikir kita akan menyembunyikan pernikahan ini lebih lama lagi, Megan. Cepat atau lambat, Marcel akan mengetahuinya. Dan kau tahu ini tak akan menjadi permasalahan masing-masing."

Megan menelan ludahnya, tahu ke mana pembicaraan mereka mengarah. "Apa yang kau inginkan, Mikail?"

"Urusan apa yang masih tersisa antara kau dan Marcel?" Mikail jelas tak berbasa-basi dan langsung pada topik permasalahan Megan dan Marcel yang tak berhenti mengganggu pikirannya.

Megan menjilat bibirnya yang mengering. Menatap kedua mata Mikail yang menguncinya kuat-kuat dan tak membiarkan tatapannya berpaling. "Tidak ada."

"Aku tak butuh omong kosong, apalagi kebohongan, Megan. Jangan membuang waktuku."

"Tidak ada."

"Dan apa yang membuatmu begitu ketakutan ketika bertemu dengannya?"

"Aku hanya membencinya."

"Ada alasan kenapa kau membencinya, Megan."

"Karena dia berengsek. Apakah itu tidak cukup dijadikan alasan?"

Mikail menghela napas dalam diamnya. Menatap kedua mata Megan dan masih menangkap tembok tinggi kokoh yang dipasang wanita itu.

Megan beranjak dan hendak melangkah pergi ketika Mikail menangkap pergelangan tangannya dan mengembalikan pantatnya ke sofa dengan gerakan yang cukup kuat.

"Pembicaraan kita belum selesai, Megan."

"Aku sudah menjawab pertanyaanmu dan aku tak ingin mengungkit hal ini lagi." Jawaban Megan terdengar begitu emosional dan Megan nyaris kehilangan kendali dalam ekspresi wajahnya.

Reaksi tersebut tak lepas dari pengamatan Mikail dan merasa pertahanan Megan sudah goyah. "Katakan," tandas Mikail. Telapak tangannya menahan kedua kaki Megan untuk tetap di tempat saat sekali lagi wanita itu mencoba bangkit. "Jika kau tidak mengatakannya sekarang, cepat atau lambat aku akan mengetahuinya sendiri, Megan. Kau tahu kebungkamanmu tak akan menghalangi apa yang ingin kuketahui tentang urusanmu dan Marcel."

"Kau tak akan ingin tahu, Mikail." Megan menggelengkan kepalanya.

"Aku tahu. Apa pun yang sedang kucoba gali darimu, aku sangat yakin tak akan menyukainya. Apa pun yang berhubungan denganmu dan Marcel, kau tahu aku tak pernah menyukainya, Megan. Kau hanya perlu mengatakannya saja."

"Tidak, Mikail," tolak Megan lagi.

"Jangan membuatku lebih memaksa dari ini, Megan."

Megan menggeleng, mulutnya semakin merapat dan bahkan ia tak berani membalas tatap Mikail ketika ia tahu benar jawaban apa yang diinginkan oleh pria itu. Mikail menambah tekanan telapak tangan pria itu di pahanya, dan Megan tahu pria itu tak akan melepaskannya sebelum Mikail mendapatkan apa yang diinginkan. Dan yang lebih buruk, Megan tak tahan dengan situasi seperti ini. Disudutkan hingga ia benar-benar tak memiliki pilihan.

Megan mengangkat pandangannya dan Mikail menangkapnya lekat-lekat. Hanya butuh sepersekian bagi Megan untuk mempertimbangkan dan jawaban itu akhirnya terlepas dari ujung lidahnya. "Aku pernah tidur dengan Marcel."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro